Sabtu, 29 Juni 2024

Koreografer Sri Mulyani membuka kelas tari gratis bagi anak disabilitas di Surabaya

Sri Mulyani adalah Ketua Yayasan Kiprah Kreatif Indonesia, Pimpinan dan pemilik Pusat Olah Seni Budaya Mulyo Joyo Enterprise di Kota Surabaya. Lahir  di Surabaya pada 24 November 1975, Sri dikenal sebagai seniman tari sekaligus koreografer berpengalaman. 

Sejak tahun 2020 sampai sekarang Sri Mulyani membuka kelas tari khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus (disabilitas). Gratis! Anak-anak binaan Sri sering tampil di sejumlah festival di Kota Surabaya.

Berikut petikan percakapan Sri Mulyani dengan Amahurek di Pusat Olah 
Seni Budaya Mulyo Joyo Enterprise, Jalan Tambak Medokan Ayu II/15 Surabaya.

Berapa anak difabel yang Anda latih di Sanggar Mulyo Joyo Surabaya? 

Sekitar 18 orang. Umur mereka mulai 8 tahun.

Bagaimana Anda memberi suntikan motivasi kepada anak-anak disabikitas agar rajin berlatih? 

Saya selalu memberikan keyakinan dan kepercayaan diri kepada mereka bahwa mereka mampu menari dengan baik. Alhamdulillah, para orang tua anak-anak ini sangat men-support aktivitas anak-anaknya. Mereka mengantar anaknya ke tempat latihan, bahkan menunggui hingga selesai.

Sangat luar biasa memang dukungan para orang tua. Saya salut atas kegigihan dan kesabaran bapak ibu yang ingin putra-putrinya semakin maju berkembang dan menjadi setara dengan yang lainnya. 

Tarian apa yang cocok untuk anak-anak disabilitas mengingat mereka punya keterbatasan fisik? 

Saya yakin semua tarian bisa dipelajari anak-anak, apa pun kondisi fisiknya. Saya sebagai pelatih dan sudah pengalaman melatih anak-anak disabilitas dari nol hingga meraih prestasi juara satu tari remo yang tekniknya sulit.

Apakah sama dengan anak normal? 

Ya, bisa sama.

Kendala fisik bagaimana? Apakah tidak sulit membuat gerakan-gerakan tari tertentu?

Gerak tari itu dapat berfungsi untuk membantu terapi pada tubuh mereka. Saya ajarkan olah tubuh dan yoga. Jadi, anak-anak disabilitas ini tidak hanya belajar menari tapi juga secara tidak langsung menjalani terapi olah tubuh.

Apakah ada event di Surabaya sebagai wadah ekspresi anak disabilitas?

Ya, ada. Pemerintah Kota Surabaya pernah mengadakan event Hari Anak Disabilitas dan Konser Anak Istimewa. Itu event yang sangat bagus sebagai ajang berekspresi anak-anak berkebutuhan khusus atau anak istimewa.

Apa perubahan anak disabilitas setelah ikut latihan dan perform? 

Lebih PD (percaya diri), bangga. Para orang tua sangat merasa bangga putra-putrinya mampu menari dengan baik dan tampil dengan percaya diri.

Apa saja kendala yang dihadapi selama membina anak disabilitas dari nol?

Butuh ketelatenan, sabar, dan membuat suasana selalu menyenangkan bagi mereka agar belajar menari membuat hati mereka bahagia sehingga suka belajar menari. Ini dibuktikan jika saya meliburkan latihan, mereka banyak yang tanya kepada mamanya: kenapa latihannya libur? Mau telpon Bu Sri.

Ada yang nangis karena sudah siap-siap ingin berlatih bersama Bu Sri. Mereka merasa kangeeeen latihan menari.

Oh ya, mengapa tidak ditarik biaya untuk anak disabilitas? Apakah ada donatur atau subsidi silang atau bantuan dari pemerintah?

 Tidak ada bantuan atau subsidi dari mana pun untuk sanggar saya. Semua ini murni dari keinginan saya sendiri.
Saya ingin berbagi ilmu dan mengajari mereka dengan tulus ikhlas. Dan, saya ingin punya karya-karya indah yang saya buat yang ditarikan/disajikan oleh anak-anak disabilitas.

Apa motivasi yang membuat anak-anak disabilitas itu semangat berlatih? 

Spirit yang selalu membangun. Semangat  dan kasih sayang Bu Sri membuat mereka ingin latihan terus. Buktinya, murid sanggar ada yang dari Gresik dan Sidoarjo selalu rajin datang latihan.

Ada usul untuk Pemkot Surabaya terkait pembinaan anak berkebutuhan khusus?

 Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya sudah memberi ruang untuk anak-anak  disabilitas mengembangkan bakat kemampuan mereka dengan mendirikan Rumah Anak Prestasi (RAP). Harapan saya, walau ada RAP, sanggar seperti tempat saya melatih anak-anak disabilitas masih diberi kesempatan tampil juga di event-event yangpemkot selenggarakan.

 Intinya, harus sebanyak mungkin memberi kesempatan untuk anak-anak disabilitas tampil. Kemudian perlu ada support pihak swasta dan dunia usaha agar memberikan peluang tenaga kerja agar mereka juga mendapat penghasilan seperti manusia normal lainnya.

Rabu, 26 Juni 2024

Foto tua nawak-nawak lawas di sekolah tua Ngalam


Berbahagialah anak zaman now. Semua orang punya HP yang bisa dipakai motret, bikin video dsb. Mau motret ratusan kali saban hari pun bisa... kalau mau.

Dulu tidak banyak orang yang punya kamera analog. Digital belum ada. Kalaupun punya kamera belum tentu dipakai karena film sangat mahal. Belum biaya cuci cetak.

Karena itu, ayas boleh dikata tidak punya foto kenangan zaman persekolahan. Foto-foto masa SD dan SMP tidak ada. Foto masa SMA mungkin cuma 2 biji saja. Itu pun kurang jelas.

 Syukurlah, Susana ternyata masih simpan film lawas lalu cuci cetak dan sempat bagi ke media sosial nawak-nawak sesama alumni Mitreka Satata, SMAN 1 Malang. 

Pagi ini ayas tidak sengaja ketemu foto lawas di Facebook. Teman sekelas di A1 yang masih polos tanpa polesan makeup dsb. Cewek kota tapi lugu kayak orang desa aja. Rupanya Wiwik yang unggah foto lawas ini.

Kiri ke kanan: Riris, Susana, Rahima, Wiwik. Di belakang tengah kelihatan si Mama alias Yulia. Si Atika gadis kacamata kayak ngintip. 

Agus kacamata kelihatan berdiri di belakang. Ayas kadit masuk di dalam gambar itu. Ayas memang sering kelewatan kalau ada acara rujakan, makan-makan santai macam itu.

Gambar sederhana itu penuh nostalgia. Jadi ingat Rahima yang berpulang beberapa bulan lalu. Astuti juga sudah menghadap ilahi. Ratno juga sudah selesai tugasnya di dunia ini.

Satu kelas Grafiti Smansa Malang itu ada 42 murid. Tiga kawan sudah tak ada lagi. Nawak-nawak semua makin tua dan sibuk sendiri-sendiri dengan urusan masing-masing.

Wiwik pegawai PDAM Malang kelihatan paling rajin ikut reuni. Riris dan Susana sesekali aja. Yulia sibuk ngurus rumah tangga. 

Semoga nawak-nawak semua tetap tahes dan komes!

Rabu, 19 Juni 2024

Usai, seusai, setelah, sesudah, selepas

Usai Dicopot, Afriansyah Kaji Opsi Hukum

 Begitu judul berita di koran Jawa Pos (JP) hari ini, Rabu 19 Juni 2024.

Saya tertarik membaca judul besar itu gara-gara kata "usai" di depan. Saya jadi ingat pelajaran dasar oleh penyelaras bahasa JP sekian tahun lalu.

Kata usai, seusai, setelah, selepas... dibahas secara khusus karena sering dianggap tidak tepat. 

Ada contoh kalimat di buku panduan redaktur:

Usai diberhentikan dari jabatannya sebagai pelatih Arema FC, Joko Susilo ingin berfokus ke keluarga.

Contoh itu dikatakan salah. Penempatan usai di awal klausa tersebut tidak tepat. Kata usai itu verba = kata kerja.

Kata yang tepat adalah setelah, sesudah. Verba tidak bisa jadi kata hubung. Maka, yang benar, kata usai diubah menjadi seusai.

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tertulis: 

u.sai
v bubar; berakhir; selesai; habis; sudah lampau: karena kedua pihak sudah letih, perkelahian -- dengan sendirinya; sebelum pertunjukan --, dia sudah keluar

Bisa jadi redaktur JP lupa dengan pelajaran lama yang disampaikan Andri Teguh, editor bahasa JP.

 Bisa juga Mas Andri sudah tidak seketat dulu karena sudah pindah ke bagian lain. 

Bisa juga para editor baru menganggap kata usai sama dengan seusai, setelah, atau sesudah. 

Di era digital ini kelihatannya ketelitian bahasa Indonesia yang baik dan benar rupanya tidak lagi dianggap sangat penting. Gaya bahasa cakapan, informal, bukan masalah asal bisa mendatangkan banyak klik atau PV.

Selasa, 18 Juni 2024

Pater John Lado SVD Menikmati Sunyi di Graha Wacana Ledug Prigen Tiada Jejak Digital

Banyak pastor yang tidak punya jejak digital. Biasanya romo-romo yang tidak aktif di media sosial. Biasanya pater-pater generasi tempo doeloe alias old school.

Banyak romo senior yang jejak digitalnya banyak karena populer. Salah satunya Romo Frans Magnis Suseno SJ. Romo Magnis populer karena banyak menulis buku-buku filsafat, humaniora, hingga seni budaya seperti wayang kulit.

Romo Magnis makin terkenal setelah jadi saksi di Mahkamah Konstitusi. Pater asal Jerman ini dihujat oleh jutaan warganet pendukung paslon maksi-gemoy dalam sengketa pilpres lalu. Jejak digital Romo Magnis pasti banyak.

Beda lagi dengan Pater Yohanes Lado SVD. Biasa disapa Romo John Lado SVD. Pastor asal Pulau Lembata, NTT, ini sangat sedikit jejak digitalnya. Dia sibuk mengurus kebun di rumah retret Graha Wacana, Ledug, Prigen, Jawa Timur.

Sebagian besar waktunya habis di kebun. Jarang pimpin misa untuk umat. Cuma sekali-sekali saja kalau diminta pihak paroki di Pandaan, Pasuruan. "Pater John itu dari dulu macam itu," kata Hila petugas keamanan di Graha Wacana SVD.

Karena itulah, saya mencoba bikin catatan ringan tentang Pater Yohanes Lado alias Pater John Lado. Siapa tahu ada sedikit jejak digitalnya. Susah kalau di era digital ini tidak ada informasi sama sekali di mesin pencari tentang pastor-pastor katolik asal NTT.

 Haleluya.. rupanya ada mantan teman Pater John yang terbantu dengan sekeping informasiku. Ama Thomas Todogolo Tokan di Pulau Adonara, NTT, menanyakan keberadaan Pater John sekarang. Dia sudah lama kehilangan jejak kawan lama di seminari tinggi di Ledalero, Flores.

"Waktu itu Lado ketua umum asrama. Orangnya pekerja keras," kata Ama Thomas yang mengundurkan diri saat frater. Jadi umat biasa di NTT.

"Pater John nasih ingat Ama Thomas Todogolo?" tanya saya lewat wasap.

"Saya masih ingat baik nama Thomas Todogolo Tokan. Kalau saya tidak keliru, beliau undurkan diri waktu novis di Ledalero. Dia adik kelas kami. Sekarang   beliau tinggal di mana? Salam buat keluarga dan Thomas Todogolo sekeluarga.Tuhan tetap setia memperhatikan dan memberkati semua kita," tulis Pater John.

Tadi malam Ama Thomas tiba-tiba menelepon saya. Bicara dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah kami di Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur. Antusias sekali Ama Thomas nostalgia bersama kawan lamanya, Pater John Lado, yang baru saja berulang tahun.

Ama Thomas mengaku kehilangan jejak banyak kawan lamanya yang jadi pastor di berbagai daerah hingga mancanegara. Salah satunya Pater John ini.

 "Sampaikan salamku kalau Ama ketemu Pater John Lado," kata Thomas yang aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat di Pulau Adonara.

Sabtu, 15 Juni 2024

Satpam gereja haleluya juga galak dan ketus


Sabtu pagi, hujan lumayan deras di Surabaya Tenggara. Saya gowes sepeda lawas. Mau tidak mau harus cari tempat berteduh. 

Haleluya! Ada gereja di dekat jalan raya. Gereja aliran haleluya. Dua lantai. Lumayan besar.

Saya mampir untuk berteduh. Sepeda pancal diparkir di tempat parkiran motor.

"Selamat pagi, Pak! Hujan deras nih."

"Ada apa Anda ke sini?"

"Berteduh sejenak. Menunggu hujan reda."

Satpam haleluya itu diam saja. Kelihatan curiga dengan orang baru. Mungkin khawatir ada pelaku kejahatan menyatroni gereja haleluya yang bertetangga dengan masjid itu.

Saya mengukurkan tangan hendak salaman. Satpam itu cuek saja. Mungkin khawatir ketularan virus corona atau kuman-kuman penyakit.

Hujan masih turun. Tapi sudah agak berkurang. Saya pamit pulang. Satpam haleluya cuek saja. Fokus nonton berita gosip artis kawin cerai di televisi.

Sambil gowes saya merenung. Kelihatan ada yang keliru dengan manajemen atau tata kelola gereja-gereja kita sekarang. Gereja bukan lagi tempat berteduh bagi siapa saja "yang letih lesu dan berbeban berat".

Haleluya... Haleluya... Haleluya... Haleluya... kelihatannya hanya jadi gimik atau yel-yel kosong di bibir saja. Orang mampir di gereja malah dicurigai.

Satpam haleluya itu beda banget pater-pater Eropa dan Belanda di pedalaman kampung-kampung di NTT zaman dulu. Anak-anak yang bermain atau mampir di gereja biasanya dikasih permen, kue, biskuit, susu bubuk.

Kadang Pater Geurtz SVD di Pulau Lembata membagi pakaian layak pakai. Kadang dikasih kalung rosario, bernika, atau aksesoris khas katolik. 

Siapa saja, apa pun agamanya, boleh berteduh atau berlama-lama di teras gereja, aula stasi, atau duduk sembahyang di dalam gereja. Kalau ada makanan ya dimakan ramai-ramai.

Padahal, dulu jarang ada umat yang teriak haleluya, haleluya, haleluya. Belum ada yang nyanyi sambil tepuk tangan dan loncat-loncat diiringi full band di dalam gereja.

 "Haleluya sudah berubah jadi hale lupa," kata Prof Sahetapy (+) tahun 90-an di Surabaya.

Kamis, 13 Juni 2024

Paus Fransiskus: Khotbah Pastor Paling Lama 8 Menit agar Umat Tidak Ngantuk

Durasi khotbah atau homili di gereja (katolik) sudah lama jadi bahan diskusi. Jauh sebelum ada media sosial dan internet. Dulu biasanya polemik soal begini ditampung di majalah Hidup.

"Pastor, berhentilah berkhotbah!" begitu judul salah satu artikel di majalah mingguan Hidup sekitar 30 atau 40 tahun lalu. Saya nasih ingat karena sangat menarik.

Rabu 13 Juni 2024, Paus Fransiskus bicara di Lapangan St Petrus, Kota Vatikan. Salah satunya tentang durasi homili di gereja. Pastor-pastor diminta agar berkhotbah singkat dan padat.

"Homili seharusnya tidak lebih dari 8 menit. Lebih dari itu umat akan ngantuk," kata Paus asal Argentina itu.

Bukan kali ini saja Paus Frans bicara soal panjang pendeknya homili. Tahun 2018 Paus bilang khotbah sebaiknya tidak lebih dari 10 menit. Tidak perlu improvisasi yang bikin khotbah jadi lama.

Kelihatannya aturan tentang durasi khotbah ini hanya berlaku untuk para imam katolik. Paus Frans sendiri khotbah sampai 20 menit saat misa Kamis Putih tahun ini. Barangkali ada jemaat yang ngantuk.

Kalau saya perhatikan di Jawa Timur, khorbah-khotbah di gereja memang cenderung makin padat dalam 20 tahun terakhir. Tapi masih ada beberapa romo yang agak ngelantur ke sana sini.

Uskup Surabaya Monsinyur Sutikno Wisaksono (RIP) dikenal konsisten dengan homili yang padat dan singkat meski selalu ada bumbu-bumbu humor dan sentilan. 

Uskup Mandagi justru sangat populer dan viral karena khotbah-khotbahnya yang tajam dan penuh humor. Itu juga yang membuat beliau sering diundang komunitas-komunitas pengusaha, karismatik dsb untuk KKR. 

Andaikan khotbah Uskup Mandagi dibatasi 8 menit, ya tidak ada lagi humor-humor khas Manado yang renyah itu. 

Senin, 10 Juni 2024

Pater Anton Kedang SVD Berpulang di Surabaya - Pastor yang Inspiratif dari Lembata

Satu lagi pastor senior pulang ke rumah Bapa. Pater Antonius Kedang SVD meninggal dunia di Biara Soverdi Surabaya, Jalan Polisi Istimewa, Senin 10 Juni 2024 dalam usia 87 tahun.

Pater Anton lahir di Desa Tokojaeng, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT, 12 Juni 1937. Artinya dua hari lagi genap berusia 87 tahun.

 Di usia yang sangat sepuh, pater ternyata masih relatif kuat. Bisa diajak komunikasi dengan lancar. Misa hari jadinya tahun lalu pun berlangsung cukup meriah. Pater ikut misa meski hanya duduk saja karena tidak kuat berdiri dan berlutut.

Ditahbiskan di Reo, Manggarai, 30 Juli 1968, Pater Anton Kedang SVD lebih dikenal di luar tempat asalnya di Pulau Lembata dan Keuskupan Larantuka. Sebab misi pelayanannya lebih banyak di Jawa dan Sumatera.

Romo Anton Kedang justru lebih dikenal di Kota Surabaya. Khususnya di kalangan umat Katolik lawas. Sebab Romo Anton pernah bertugas sebagai gembala atau pastor di beberapa paroki.

 Sebut saja Paroki Yohanes Pemandi, Wonokromo, dan Paroki St Maria Tak Bercela Ngagel. Orangnya ramah, murah senyum, tak banyak bicara.

Dulu saya mengira Pater Anton Kedang berasal dari Kedang, Lembata. Bisa Buayasuri atau Omesuri. Sebab ada nama belakang Kedang. Belakangan baru saya tahu bahwa Pater Anton Kedang SVD lahir di Desa Tokojaeng, Lembata.

Ternyata... masih tetangga dengan desaku di pelosok Lomblen Island - nama lama Lembata. Sekitar 8 km.  Bahkan, desa atau stasiku masuk wilayah Paroki Tokojaeng. Pemekaran dari Paroki Waipukang.

Tokojaeng atau disebut juga Lamatokan termasuk salah satu desa yang panggilannya subur. Sebelum ada romo dari kampung lain Tokojaeng sudah punya. Salah satunya ya Pater Anton Kedang SVD.

Jejak Pater Anton Kedang kemudian diikuti anak-anak muda lain di Paroki Tokojaeng. Sehingga panggilan imamat di salah satu paroki baru di Dioses Larantuka itu makin subur. Dulu panggilan subur hanya di Pulau Lembata bagian selatan macam Lamalera, Boto, Wulandoni, Kalikasa, Hadakewa.

Terima kasih banyak, Pater Anton Kedang!

Semoga bahagia bersama-Nya di surga!