Semalam Satpol PP merazia Makam Kembang Kuning Surabaya. Puluhan pekerja seks komersial (PSK) semburat melarikan diri. Banyak kupu-kupu malam yang lolos tapi ada juga yang apes.
Para PSK yang terjaring razia lalu dibawa ke Liponsos Surabaya di Keputih untuk menjalani pembinaan dan pendataan. Yang dari luar Surabaya dipulangkan ke daerah asalnya. Mereka juga harus menandatangani pernyataan tidak boleh praktik lagi.
"Carilah pekerjaan yang halal. Jangan mbalon di atas kuburan. Bahaya Aids, tambah dosa dan sebagainya," pesan petugas.
Wali Kota Bu Risma dulu memang berhasil menutup semua lokalisasi pelacuran di Surabaya. Mulai Gang Dolly, Jarak, Bangunsari, Kremil, Sememi, Klakahrejo dsb pada 2013-2014.
Luar biasa karena kompleks-kompleks ini terkenal sakti selama puluhan tahun. Diduga ada beking yang sangat kuat melibatkan oknum-oknum. Tapi Bu Risma pantang menyerah. Dolly, Jarak dan kawan-kawan akhirnya tutup.
Kembang Kuning ini yang kelihatannya sulit dihapus meski satpol PP sering menangkap para WTS (wanita tuna susila) - istilah lawas. Ada juga pekerja seks dari kalangan bencong atau waria di Kembang Kuning.
Bolak-balik dilakukan razia, pembinaan, pemulangan, tapi tetap saja kumat lagi. Para germo dan PSK bahkan seakan tahu kapan ada razia dan kapan aman. Yang kena razia biasanya lupa atau tidak dapat "bocoran" informasi dari atasannya.
Mengapa lokalisasi di Makam Kembang Kuning sulit diberantas? Wong Dolly yang sakti saja bisa ditutup oleh Pemkot Surabaya?
Sebetulnya tidak sulit kalau ada kemauan sangat kuat. Seperti Bu Risma menutup Dolly, Jarak, Sememi, Kremil dsb itu. Apalagi kompleks makam Kristen dan Tionghoa ini mudah dikontrol. Pemainnya juga para PSK senior alias kewut (tuwek) yang itu-itu saja.
Yang sulit dikontrol sekarang adalah prostitusi online. Ratusan hingga ribuan PSK praktik di hotel, losmen, kos-kosan memanfaatkan aplikasi pertemanan. Aplikasi Ijo alias MiChat paling terkenal sebagai ajang transaksi prostitusi modern.
Bulan lalu polisi menangkap 7 tersangka perdagangan anak-anak di hotel kawasan Sukolilo Surabaya. Tujuh orang ini menjual gadis-gadis di bawah umur (18) dari Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, sebagai pekerja seks lewat aplikasi MiChat.
Praktik prostitusi anak ini terungkap karena salah satu cewek kabur. Korban tidak dapat bayaran dari Mami Yeyen. Padahal sehari dia biasa melayani 10 pelanggan.
Polisi bergerak karena ada TPPO atau trafficking. Bagaimana kalau PSK online itu berusia di atas 18 tahun?
Bisnis prostitusi modern inilah yang sulit disentuh oleh satpol PP atau kepolisian. Biasanya yang ditangkap hanya joki atau makelar saja. Sementara para PSK cuma dijadikan saksi dan dianggap sebagai korban perdagangan manusia.
Yang lebih susah lagi kalau si PSK online itu tidak pakai joki atau makelar tapi menjual tubuhnya sendiri dengan membuat beberapa akun di MiChat. Kasus begini sangat banyak di era aplikasi ini.
Rupanya Wali Kota Bu Risma dulu tidak menyangka kalau setelah Dolly, Jarak, Kremil dan lokalisasi-lokalisasi konvensional ditutup bakal ada prostitusi online yang kian marak. Bisnis satu ini memang tidak ada matinya.