Sabtu, 10 Juni 2023

Menengok rumah tua di pinggir jalan raya Lawang

 


Ayas dulu senang jalan-jalan di kawasan Lawang, Kabupaten Malang. Awalnya penasaran dengan rumah sakit jiwa (RSJ) di Sumber Porong. Kebetulan ada kerabat jauh punya anak yang stres berat pernah dirawat di situ sampai waras. Lalu kumat lagi di Jakarta. Waras lagi dst.

Ada seorang paman asal Pulau Lembata, NTT, punya istri orang Sumber Porong. Dekat RSJ terkenal itu. Klop sudah.

Ayas juga beberapa kali menginap di Hotel Niagara. Bangunan kolonial paling antik yang jadi tetenger Lawang City. Konon ada makhluk halus, noni-noni Belanda dan Tionghoa masih kerasan di situ meski Indonesia sudah lama merdeka. 

Rupanya cerita-cerita klenik macam itu sulit dibuktikan. Ayas tidak dapat gangguan sedikit pun. Tak ada penampakan sama sekali. Malah Ayas yang pernah menderita insomnia bisa tidur nyenyak sekali di Niagara Hotel. Haleluyaaaa!

Belum lama ini Ayas mampir lagi di Lawang. Blusukan di Sumber Waras lihat bekas rumahnya Ucok AKA Harahap rocker eksentrik pentolan AKA Group Surabaya. Almarhum Ucok meski Arek Suroboyo berdarah Batak-Prancis, lebih banyak tinggal di rumah ayahnya Ismail Harahap di Lawang. Ini setelah Apotek Kali Asin (AKA) di Surabaya dijual kemudian dihancurkan.. dibangun patung karapan sapi itu.

Harta pengusaha apotek terkenal di Surabaya itu ludes. Rumahnya di Lawang sudah dijual. Tinggal tersisa foto-foto kenangan rocker gaek Ucok Aka berpose di depan rumah mewah dan besar itu. Dijualnya tidak sekaligus tapi dicuil sedikit-sedikit.

 "Sempat jadi sengketa ahli waris," kata Ita Nasyah. Kawan lama, mantan wartawan Jawa Pos, itu yang menulis buku biografi Ucok Aka Harahap. Ayas sempat diminta Ita jadi editor buku tersebut.

Masih di Lawang, Ayas mampir di rumah tua di pinggir jalan raya. Kondisinya makin memprihatinkan. Om Sutopo, 86 tahun, tampak setia menunggui rumah lawas itu. Dia tinggal di sebelah rumah mangkrak itu. Sekaligus jaga warkop atawa kafe nuansa tempo doeloe.

"Aslinya itu rumah punya wong Totok (Tionghoa). Anak-anaknya pigi kerja ndek Jakarta dsb. Mangkane omahe ndak terurus. Aku dhewe ya isone cuman bersih-bersih rumput," kata Sutopo.

 Ayas terus memandangi bangunan art deco berumur satu abad lebih itu. Kemudian memotret untuk dokumentasi. Lalu balik ngobrol dengan siansen yang ramah itu.

Siansen Sutopo lahir di Pekalongan. Pindah ke Lawang tahun 1952. Wis karatan ndek Lawang. Karena itu, Ayas pun nanya-nanya tentang Ucok AKA Harahap (alm) dan sepak terjangnya di Lawang dulu. Termasuk istri-istrinya. Ucok dikabarkan menikah 9 kali. Istri terakhir seorang notaris di Pagesangan, Surabaya. Di akhir hidupnya Ucok AKA tinggal bersama Jeng Sri di situ.

"Ucok AKA itu saya punya teman baik. Dulu saya sering main ke rumahnya dan dia sering main ke sini. Omahe warisan bapaknya sudah dibeli orang. Ndak ada sisanya," kata Om Sutopo.

Om kan sudah puluhan tahun tinggal di sini. Omah tua itu apa ada..?

"Oh, ada penunggunya (makhluk halus). Makanya kita orang kudu hati-hati. Banyak sembahyang," pesan Om Sutopo.

Aha... pesan yang bagus. Kita orang kudu banyak sembahyang!

Mas Budi asli Lawang memberi informasi tambahan tentang rumah tua itu:

"Awal 80-an rumah itu masih dihuni sebuah keluarga. Sepertinya orang kaya lama. Kalau tidak salah mereka punya 1 - 2 mobil tua yang masih terawat.

Saat itu ada 1 remaja putri yang tinggal di situ, yg bersekolah di SMA St Yusuf, Malang. Dia langganan mobil antar-jemput milik teman saya (saya sering ikutan jadi kenek mobil tersebut).

Sejak tahun 2000-an, rumah tersebut mulai tampak kosong tak berpenghuni."

Selasa, 06 Juni 2023

NTT banyak mencetak pastor tapi belum mampu cetak entrepreneur

Tuaian banyak tapi pekerjanya sedikit! Karena itu, perlu banyak pekerja. Lowongan kerja yang banyak itu di kebun anggur Tuhan. Kalau lowongan kerja di perusahaan atawa kebun anggur manusia di Indonesia makin sedikit.

Minggu lalu ada kabar gembira dari NTT: Nusa Tenggara Timur, bukan Nasib Tidak Tentu. Sebanyak 43 diakon ditahbiskan di Kupang dan Ledalero, Flores, dalam waktu kurang dari seminggu. Selisih cuma tiga hari saja.

Luar biasa! 

Ada 43 diakon baru hanya dalam sepekan. Tidak lama lagi para diakon itu ditahbiskan jadi pastor praja (RD) dan pastor kongregasi (RP). Hampir pasti sebagian besar pater-pater itu akan berkarya di luar NTT. Khususnya pater-pater ordo SVD.

Sabtu, 3 Juni 2023, Uskup Ruteng Mgr. Siprianus Hormat menahbiskan 19 diakon baru di Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero, Kabupaten Sikka, Flores.

Rabu, 31 Mei 2023, Uskup Agung Kupang Mgr. Petrus Turang menahbiskan 24 diakon baru di Kapel Seminari Tinggi St. Mikhael. 

Di balik tanahnya yang gersang, dengan angka kemiskinan tinggi, NTT sejak dulu jadi ladang subur untuk benih-benih panggilan. Boleh jadi NTT, khususnya Flores dan sekitarnya, jadi penghasil pastor-pastor Katolik sedunia.

"Dulu pater-pater dari Eropa yang datang bermisi di NTT. Mereka ajar kita kitab suci, sembahyang misa, jadi orang Serani. Sekarang gantian imam-imam dari NTT yang pigi ke Eropa. Sebab, panggilan imamat di Eropa makin sedikit," kata Gabriel kawan lama dari Tanjung Bunga, Flores Timur.

"Kita ikut bangga, Ama. Pater-pater dari Flores sudah lama bermisi di Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin dsb," kata teman yang rajin ikut paduan suara salah satu gereja di Surabaya itu.

Yah... kita harus bangga. Tapi juga perlu refleksi agak kritis. Apakah banyaknya pastor yang ditahbiskan di NTT itu bisa membuat provinsi ini makmur sejahtera? Tidak lagi "pigi melarat" (pergi merantau) ke Malaysia?

Nanti dulu. Ayas jadi ingat Ir Ciputra embahnya developer di Indonesia. Almarhum Pak Ci selalu bilang Indonesia baru bisa maju jika punya entrepreneur paling kurang 2 persen. Entrepreneur lho, bukan cuma pedagang kecil atau UKM.

Pak Ci bilang Indonesia (saat itu 2016) hanya punya 400 ribu entrepreneur atau 0,18 persen. Masih jauh dari angka 2 persen. "Minimum negara maju 2 persen. Kejar dulu yang 2 persen  ini," katanya.

Ciputra membandingkan Indonesia dengan Singapura. Negara Singa yang tak ada singanya itu punya 7 persen entrepreneur. "Makanya pendapatan dia 15 kali lebih besar. Gaji dia 15 kali dari Anda," kata Pak Ci dalam sebuah seminar.

Dalam kacamata bisnis dan kemajuan negara versi Ciputra, kelihatannya pengusaha, saudagar, pedagang, jauh lebih penting ketimbang akademisi, politisi, karyawan, profesional, rohaniwan, wartawan, pastor, pendeta dan sejenisnya.

Kalau mau maju, makmur, tidak "pigi melarat" terus ke Malaysia atau Batam atau Sorong ya NTT harus mencetak banyak pengusaha. Jangan hanya mencetak pastor atau pendeta sebanyak-banyaknya. Sebab pastor-pastor tidak bisa membangun pabrik-pabrik atau perusahaan besar yang menyerap lapangan kerja.

Imam-imam biasa mengutip ayat suci:

"Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga."

Rabu, 31 Mei 2023

Mengenang Sekolah Tionghoa Lian Huo High School (LHHS) alias Lien Chung di Undaan Wetan 2-6 Surabaya

Di mana lokasi eks sekolah Tionghoa Lian Huo High School (LHHS)?

 Yang bertanya ini AB. Nota bene generasi tua. Peranakan Tionghoa juga. Dia baru dapat buku wisuda LHHS (LHHS) tahun 1949-1950.

Aneh tapi biasa. Orang Tionghoa Surabaya sekalipun sudah lama kehilangan jejak sekolah-sekolah Tionghoa. Apalagi generasi kelahiran Orde Baru, tahun 1966 ke atas. Semua yang berbau Tionghoa rupanya sudah terhapus dari jejak ingatan.

SMA Lian Huo alias Lianhe alias Lien He Chung Huseh alias Lien-Chung ini memang sekolah tua yang kurang dikenal masyarakat umum. Termasuk awak media alias wartawan. Beda dengan Shin Chung alias Shin Hua High School (SHHS) di Jalan Ngaglik 27-29 dan Chung Chung alias Chung Hua High School (CHHS) di Baliwerti 115-121.

Bisa dipahami karena LHHS alias Lien Chung sudah ditutup sejak 1958. Ada persoalan politik di Tiongkok yang ikut merembet ke sini. Presiden Soekarno memutuskan untuk menutup sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan KMT. 

Sedangkan SHHS dan CHHS dapat giliran ditutup pada 1966. Di awal Orde Baru. Bersamaan dengan penghapusan semua yang berbau Tionghoa di Indonesia. Semua sekolah Tionghoa dihabiskan. Gedungnya dipakai sekolah-sekolah negeri. 

Gedung SHHS di Ngaglik dijadikan SMAN 7.  Gedung CHHS di Baliweri awalnya dipakai Ureca dan ITS. Kemudian Ureca yang berubah jadi Ubaya pindah. Kemudian bekas bangunan CHHS dipakai sekolah negeri juga. LHHS di Undaan Wetan Nomor 2-6 jadi ruko yang kurang cemerlang.

Sejumlah pengamat masalah Tionghoa menyebut dulu, sebelum 1960, di Surabaya ada tiga high school atawa SMA terkenal. Ketiganya punya kiblat atau kecenderungan politik yang berbeda. Paling tidak pengurus yayasan atau prinsipalnya.

Pertama, Lien Chung alias Lian Chong alias Lian Huo High School (LHHS) cenderung ke Kuomintang (KMT) atauTaiwan. Seragamnya putih-biru.

Kedua, Chung Chung alias Chung Hua High School (CHHS) pakai uniform putih-putih. Kecenderungan politiknya agak netral. 

Ketiga, Shin Chung alias Shin Hua High School (SHHS) memakai seragam putih-kopi susu. Menggambarkan pakaian kaum buruh atau proletar di Tiongkok. Alirannya Tiongkok Baru yang progresif revolusioner.

SHHS ini yang paling populer, kata pengamat tempo doeloe itu. Lien Chung alias LHHS agak kurang dikenal karena sudah lama tutup sejak 1958. Otomatis saat itu pilihan utama orang Tionghoa ya Shin Chung atau Chung Chung. Meski ada juga sekolah Tionghoa lain macam Ming Kuang atau Ming Kwang di Jalan Argopuro 11-15.

Beberapa tahun lalu ada reuni besar alumni Lian Huo alias LHHS di Surabaya. Cukup banyak pengusaha sukses, akademisi, dokter, hingga profesor hadir. Temu kangen setelah 45 tahun tidak bertatap muka. Ada juga yang datang dari Taiwan, USA, Hongkong, Tiongkok, dan negara lain.

Mereka juga membentuk Perhimpunan Alumni Sekolah Lianhe. Total alumni sekitar 2.000 orang meski usia Lieng Chung ini tidak panjang. "Kualitas Lieng Chung diakui perguruan tinggi papan atas seperti IPB," kata pengurus alumni saat reuni akbar pada pertengahan Februari 2003.

Ayas tadi malam melintas di depan bekas lokasi SMA Lian Huo alias LHHS di Jalan Undaan Wetan 2-6. Suasana gelap. Hanya penerangan seadanya. Dari dulu memang ruko di pojokan Ambengan dan Undaan Wetan memang kurang bersinar. Mungkin kualat telah membongkar salah satu sekolah Tionghoa penting di masa lalu itu.

Ayas dapat informasi juga bahwa eks gedung LHHS sempat dijadikan markas Korem Bhaskara Jaya. Universitas Surabaya (Ubaya) juga awalnya ditawari pakai gedung itu setelah pindah dari gedung eks CHHS di Baliwerti. Tapi, karena sudah dijadikan markas militer, maka Ubaya menggunakan gedung sekolah Tionghoa di Undaan Kulon. Sekarang jadi Sekolah Trisila.

Tak lama kemudian, aset gedung Lian Huo yang bersejarah di Undaan Wetan itu dijual. Kemudian dibongkar total. Rata dengan tanah. Lalu dibangunlah ruko itu. Jejak ian Huo benar-benar hilang sama sekali. Karena itu, sangat wajar kalau banyak orang Surabaya tidak tahu kalau dulu pernah ada SMA Tionghoa terkenal bernama Lian Huo High School alias Lien Chung alias LHHS.

Selasa, 30 Mei 2023

Catholics in Indonesia during the Japanese occupation, 1942-1945


By KAREL A. STEENBRINK


Professor Emeritus of Intercultural Theology at Utrecht University

 

The Japanese administration of Indonesia took religion as an important issue in order to win the sympathy of the population. It gave ample facilities to Islamic institutions.

 

Christianity was seen as the religion introduced and most often directed by the Dutch oppressor. Moreover, Islam was the religion of more than 80% of the population, while in 1942 Christianity reached only about 2.5%.

 

Therefore the Japanese attitude was ambiguous towards Christianity. Dutch missionary personnel were in most cases interned, and initially buildings and other properties of the churches were confiscated, the schools closed or taken over by the new authority.

 

The same was the case with the medical care organised by the Christian churches. In the second year of the Japanese rule there was a milder policy: the Japanese sent several Protestant ministers, some Catholics priests and even two Japanese Catholic bishops to Indonesia (especially to Minahasa and Flores).

 

There were many local variations in this pattern. On the whole it has to be acknowledged that Christianity not only survived the Pacific War but indigenous leadership was given an opportunity to grow because of the absence of foreign missionaries.

 

In education and medical care the Christian churches never regained the broad facilities and close cooperation with the state they had enjoyed before 1942.

 

For the whole of Indonesia the Japanese period was seldom seen as a move towards independence and greater freedom. With the exception of Batakland, the indigenous Indonesians only reluctantly took over the positions of the foreign missionaries. The churches lost much of their solid foundation in society: their schools and sometimes also the hospitals.

 

In 1943 the administration required that during church service the leader should read a message about the Greater Asia War, its causes and aims. 

 

Emperor worship also entered the church buildings, because in many places a Japanese flag was put inside the church building, on the wall facing Tokyo. Before the beginning of the service the assembled congregation were to face that wall and bow.

 

Although it was officially stated that this was an act of respect and not of veneration or adoration, the Christian community had an uneasy feeling about it. Some people wanted to evade this ritual and decided not to go to church anymore.

 

Another reason for a fall in church attendance was the fact that many people had no decent clothes anymore. In regions like the Moluccas, festive black clothes were preserved for going to church on Sundays.

 

Children could go to school naked, as happened in Sangir (the archipelago north of Sulawesi) towards the end of the war, but their parents did not wish them to participate in the church service in such a condition. 

Jumat, 26 Mei 2023

Merayakan Coldplay di tengah kontroversi LGBT

Coldplay hebat! 

Penggemarnya luar biasa di tanah air. Ribuan orang antre beli tiket daring meski harganya tidak murah. Di media sosial disebut-sebut 1,5 juta fan sudah pesan tiket konser di Gelora Bung Karno.

Coldplay bukan sekadar band. Ada pesan, misi, pesan tersamar atau terang-terangan. Itu yang memicu polemik hebat di Malaysia. PAS partai garis keras menolak kedatangan Coldplay karena dituduh mempromosikan LGBT.

MUI di Indonesia juga bikin pernyataan keberatan gegara isu LGBT di balik Coldplay. Sejumlah akademisi juga menulis artikel membahas Coldplay. Bukan musiknya yang dibahas tapi soal ideologi, LGBT, hingga persoalan SARA. 

Syair Viva La Vida pun dipersoalkan. Yang menulis justru tidak pernah dengar Coldplay. Di era media sosial semua orang bisa jadi pakar apa saja. Tinggal nyontek di internet. Minta bantuan Mbah Google semua informasi tersedia berlimpah ruah.

Ayas tidak pernah kaset Coldplay. Maklum, gaya musiknya beda dengan seleraku yang dulu berkiblat ke David Fooster, Peter Cetera, Whitney, Level 42, Incognito, dan sejenisnya. Tapi Ayas punya teman kos gila betul sama Coldplay. Saban hari diputar kasetnya.

Seminggu ini Ayas rutin menyimak lagu-lagu Coldplay di YouTube. Paradise, Yellow, Viva La Vida, Hymn For The Weekend, The Scientist etc.

Cukup enak dinikmati sendirian. Nyanyinya tidak ngoyo. Pop rock yang tidak keras. Ayas juga melihat rekaman konser-konser Coldplay yang megah. Empat musisinya berpenampilan biasa-biasa saja. Gak neko-neko.

Sebuah media berbahasa Inggris menulis:

"The demand for Coldplay tickets is reaching unprecedented levels in Southeast Asia. With over 700,000 eager fans queued up for tickets to the highly anticipated Kuala Lumpur concert, the excitement was palpable.

 The frenzy was bigger in Indonesia as more than 1.5 million enthusiastic fans eagerly await the pre-sale tickets for the Jakarta concert. The staggering numbers are a testament to Coldplay's immense popularity and the unwavering devotion of their Indonesian fanbase.

The overwhelming response from fans demonstrates the profound impact Coldplay's music has had on people's lives. The band's captivating melodies and emotionally charged performances have created an unbreakable bond with their dedicated following, transcending borders and language barriers.

 The sheer numbers queuing for tickets reflect the unbridled enthusiasm and fervor that Coldplay has ignited among fans throughout Southeast Asia."

Nostalgia 36 Butir P4: Kerja Keras & Tidak Boros



Ayas dulu hafal 36 butir P4: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Murid-murid lain juga hafal atawa setengah hafal. Kalau tidak hafal sudah pasti nilai ulangan PMK akan jeblok.

Sekarang tak hafal lagi. Maklum, setelah Orde Baru tumbang, semua yang berbau Orba, Soehartoisme, dsb ditinggalkan. Bahkan jadi bahan guyonan di warkop dan media sosial. Usia bertambah juga membuat memori di kepala makin lemot.

Ayas kemarin dapat kiriman 36 butir P4 dari seorang guru di Surabaya. Orang NTT itu menganggap 36 butir P4 masih relevan di era digital ini. Coba dibaca pelan-pelan dan renungkan, katanya.

Ayas coba baca lagi butir-butir itu. Muncullah guru-guru masa lalu yang sudah rest in peace. Ternyata ada benarnya. Butir-butir itu tidak seburuk anggapan orang di medsos.

Ayas paling terkesan dengan butir-butir sila kelima. Suka menolong orang lain. Tidak memeras orang lain. Tidak boros. Suka bekerja keras. Tidak bergaya hidup mewah. Menghargai hasil karya orang lain.

Aha, rupanya P4 dulu sudah konsen dengan copyright alias hak cipta serta plagiarisme. Jauh sebelum ada budaya copy paste di era digital.

Selamat bernostalgia!

Butir-Butir Pancasila dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa.

KETUHANAN YANG MAHA ESA

1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.

3. Saling hormat-menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB

1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.

2. Saling mencintai sesama manusia.

3.Mengembangkan sikap tenggang rasa.

4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.

5. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

7. Berani membela kebenaran dan keadilan.

8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu kembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

PERSATUAN INDONESIA

1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.

4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan bertanah Air Indonesia.

5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN /PERWAKILAN

1. Mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat.

2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.

5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.

6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA

1. Mengembangkan perbuatan  luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.

2. Bersikap adil.

3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

4. Menghormati hak-hak orang lain.

5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.

6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.

7. Tidak bersifat boros.

8. Tidak bergaya hidup mewah.

9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.

10. Suka bekerja keras.

11. Menghargai hasil karya orang lain. 

12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Kamis, 25 Mei 2023

Ya, Khalik Semesta, Umat-Mu Tolonglah!

Sudah lama banget saya tidak menikmati paduan suara. Khususnya saat pandemi corona selama 3 tahun. Liturgi disederhanakan. Lagu-lagu dikurangi. Bahkan dihilangkan.

Saya jadi terbiasa ikut misa online versi USA. Sangat pendek. Paling lama 25 menit. Hemat data. Beda dengan misa daring versi kita di Indonesia yang masih panjang meski lagu-lagu sudah dikurangi.

Lagu pembukaan dan penutup yang selalu ada dalam misa bersama Father Jack Sheaffer dari West Springfield, USA, yang sering saya ikuti, adalah Come, Thou Almighty King. Khas himne gereja biasa. Tapi tidak pernah saya dengar di Gereja Katolik di Indonesia.

Romo Jack ini imam yang merangkap jadi lektor, misdinar, dsb. Bacaan pertama, bacaan kedua, bacaan Injil, homili, doa umat... semua diborong pastor ini. Maka tidak heran misa jadi sangat padat dan singkat. Romo Jack pun tidak pernah nyanyi sama sekali.

Sejumlah buku nyanyian Katolik saya periksa. Madah Bakti jelas tidak ada. Puji Syukur tidak. Jubilate lama tak ada. Yubilate (versi baru Yubilate) terbitan Ende Flores tidak ada. Syukur Kepada Bapa terbitan Flores juga tidak ada. Kidung Adi terbitan PML Jogja yang berbahasa Jawa sudah pasti tidak ada.

"Aneh, lagu liturgi yang sangat populer di kalangan Katolik Amerika Serikat kok tidak ada di Indonesia?" pikir saya.

Sekian lama kemudian saya buka Kidung Jemaat. Buku nyanyian Kristen Protestan terbitan Yamuger. Saya perhatikan notasi lagu-lagu kebaktian Protestan secara sambil lalu. 

Eureka, ketemu notasi yang sama dengan lagu misa di Amerika itu. Judul di Kidung Jemaat Nomor 16: Ya, Khalik Semesta. Ada keterangan di bawah partitur empat suara itu. Lagu ciptaan Felice de Giardini 1769. Syair: Charles Wesley 1757. Yayasan Musik Gereja (Yamuger) menerjemahkan menjadi Ya, Khalik Semesta.

Lega rasanya. Rasa penasaranku akhirnya terjawab. Lagu ini sederhana tapi cukup megah khas himne-himne gereja tempo doeloe.

Ya, Khalik Semesta, umat-Mu tolonglah!