Nusa Tenggara Timur paling banyak menghasilkan pastor Katolik di Indonesia, bahkan dunia. Tapi NTT dari dulu tercatat sebagai provinsi termiskin karena tidak punya entrepreneur. Kalau Indonesia ingin maju dan kaya, syaratnya harus punya banyak entrepreneur, kata konglomerat terkenal.
Sabtu, 10 Juni 2023
Bung Johnny Plate Sekjen DPP Partai Nasdem, mantan PMKRI, mantan seminaris jatuh dalam pencobaan
Menengok rumah tua di pinggir jalan raya Lawang
Ayas dulu senang jalan-jalan di kawasan Lawang, Kabupaten Malang. Awalnya penasaran dengan rumah sakit jiwa (RSJ) di Sumber Porong. Kebetulan ada kerabat jauh punya anak yang stres berat pernah dirawat di situ sampai waras. Lalu kumat lagi di Jakarta. Waras lagi dst.
Ada seorang paman asal Pulau Lembata, NTT, punya istri orang Sumber Porong. Dekat RSJ terkenal itu. Klop sudah.
Ayas juga beberapa kali menginap di Hotel Niagara. Bangunan kolonial paling antik yang jadi tetenger Lawang City. Konon ada makhluk halus, noni-noni Belanda dan Tionghoa masih kerasan di situ meski Indonesia sudah lama merdeka.
Rupanya cerita-cerita klenik macam itu sulit dibuktikan. Ayas tidak dapat gangguan sedikit pun. Tak ada penampakan sama sekali. Malah Ayas yang pernah menderita insomnia bisa tidur nyenyak sekali di Niagara Hotel. Haleluyaaaa!
Belum lama ini Ayas mampir lagi di Lawang. Blusukan di Sumber Waras lihat bekas rumahnya Ucok AKA Harahap rocker eksentrik pentolan AKA Group Surabaya. Almarhum Ucok meski Arek Suroboyo berdarah Batak-Prancis, lebih banyak tinggal di rumah ayahnya Ismail Harahap di Lawang. Ini setelah Apotek Kali Asin (AKA) di Surabaya dijual kemudian dihancurkan.. dibangun patung karapan sapi itu.
Harta pengusaha apotek terkenal di Surabaya itu ludes. Rumahnya di Lawang sudah dijual. Tinggal tersisa foto-foto kenangan rocker gaek Ucok Aka berpose di depan rumah mewah dan besar itu. Dijualnya tidak sekaligus tapi dicuil sedikit-sedikit.
"Sempat jadi sengketa ahli waris," kata Ita Nasyah. Kawan lama, mantan wartawan Jawa Pos, itu yang menulis buku biografi Ucok Aka Harahap. Ayas sempat diminta Ita jadi editor buku tersebut.
Masih di Lawang, Ayas mampir di rumah tua di pinggir jalan raya. Kondisinya makin memprihatinkan. Om Sutopo, 86 tahun, tampak setia menunggui rumah lawas itu. Dia tinggal di sebelah rumah mangkrak itu. Sekaligus jaga warkop atawa kafe nuansa tempo doeloe.
"Aslinya itu rumah punya wong Totok (Tionghoa). Anak-anaknya pigi kerja ndek Jakarta dsb. Mangkane omahe ndak terurus. Aku dhewe ya isone cuman bersih-bersih rumput," kata Sutopo.
Ayas terus memandangi bangunan art deco berumur satu abad lebih itu. Kemudian memotret untuk dokumentasi. Lalu balik ngobrol dengan siansen yang ramah itu.
Siansen Sutopo lahir di Pekalongan. Pindah ke Lawang tahun 1952. Wis karatan ndek Lawang. Karena itu, Ayas pun nanya-nanya tentang Ucok AKA Harahap (alm) dan sepak terjangnya di Lawang dulu. Termasuk istri-istrinya. Ucok dikabarkan menikah 9 kali. Istri terakhir seorang notaris di Pagesangan, Surabaya. Di akhir hidupnya Ucok AKA tinggal bersama Jeng Sri di situ.
"Ucok AKA itu saya punya teman baik. Dulu saya sering main ke rumahnya dan dia sering main ke sini. Omahe warisan bapaknya sudah dibeli orang. Ndak ada sisanya," kata Om Sutopo.
Om kan sudah puluhan tahun tinggal di sini. Omah tua itu apa ada..?
"Oh, ada penunggunya (makhluk halus). Makanya kita orang kudu hati-hati. Banyak sembahyang," pesan Om Sutopo.
Aha... pesan yang bagus. Kita orang kudu banyak sembahyang!
Mas Budi asli Lawang memberi informasi tambahan tentang rumah tua itu:
"Awal 80-an rumah itu masih dihuni sebuah keluarga. Sepertinya orang kaya lama. Kalau tidak salah mereka punya 1 - 2 mobil tua yang masih terawat.
Saat itu ada 1 remaja putri yang tinggal di situ, yg bersekolah di SMA St Yusuf, Malang. Dia langganan mobil antar-jemput milik teman saya (saya sering ikutan jadi kenek mobil tersebut).
Sejak tahun 2000-an, rumah tersebut mulai tampak kosong tak berpenghuni."
Selasa, 06 Juni 2023
NTT banyak mencetak pastor tapi belum mampu cetak entrepreneur
Rabu, 31 Mei 2023
Mengenang Sekolah Tionghoa Lian Huo High School (LHHS) alias Lien Chung di Undaan Wetan 2-6 Surabaya
Selasa, 30 Mei 2023
Catholics in Indonesia during the Japanese occupation, 1942-1945
By KAREL A. STEENBRINK
Professor Emeritus of Intercultural Theology at Utrecht University
The Japanese administration of Indonesia took religion as an important issue in order to win the sympathy of the population. It gave ample facilities to Islamic institutions.
Christianity was seen as the religion introduced and most often directed by the Dutch oppressor. Moreover, Islam was the religion of more than 80% of the population, while in 1942 Christianity reached only about 2.5%.
Therefore the Japanese attitude was ambiguous towards Christianity. Dutch missionary personnel were in most cases interned, and initially buildings and other properties of the churches were confiscated, the schools closed or taken over by the new authority.
The same was the case with the medical care organised by the Christian churches. In the second year of the Japanese rule there was a milder policy: the Japanese sent several Protestant ministers, some Catholics priests and even two Japanese Catholic bishops to Indonesia (especially to Minahasa and Flores).
There were many local variations in this pattern. On the whole it has to be acknowledged that Christianity not only survived the Pacific War but indigenous leadership was given an opportunity to grow because of the absence of foreign missionaries.
In education and medical care the Christian churches never regained the broad facilities and close cooperation with the state they had enjoyed before 1942.
For the whole of Indonesia the Japanese period was seldom seen as a move towards independence and greater freedom. With the exception of Batakland, the indigenous Indonesians only reluctantly took over the positions of the foreign missionaries. The churches lost much of their solid foundation in society: their schools and sometimes also the hospitals.
In 1943 the administration required that during church service the leader should read a message about the Greater Asia War, its causes and aims.
Emperor worship also entered the church buildings, because in many places a Japanese flag was put inside the church building, on the wall facing Tokyo. Before the beginning of the service the assembled congregation were to face that wall and bow.
Although it was officially stated that this was an act of respect and not of veneration or adoration, the Christian community had an uneasy feeling about it. Some people wanted to evade this ritual and decided not to go to church anymore.
Another reason for a fall in church attendance was the fact that many people had no decent clothes anymore. In regions like the Moluccas, festive black clothes were preserved for going to church on Sundays.
Children could go to school naked, as happened in Sangir (the archipelago north of Sulawesi) towards the end of the war, but their parents did not wish them to participate in the church service in such a condition.