Jumat, 03 Maret 2023

Kontroversi masuk sekolah pukul 5 pagi ala Gubernur NTT Victor Bungtilo Laiskodat

Bukan Viktor Bungtilu Laiskodat kalau tidak bikin kontroversi. Sejak menjabat Gubernur NTT, bung satu ini selalu melontarkan ucapan yang keras, tajam, kontroversial, aneh, kadang nyeleneh.

Bung meminta para pegawai negeri (dan masyarakat) NTT untuk jalan kaki atau naik sepeda pancal. Tujuannya menurunkan angka inflasi. Memangnya ada hubungan jalan kaki dengan inflasi? Belanja BBM tentu turun. Tapi tidak berarti inflasi ikut turun.

Orang BPS kelihatannya geli dengan program jalan kaki + nggowes sepeda angin ala Gubernur NTT. 

Pentolan Partai Nasdem itu  juga mengusulkan agar gereja-gereja di NTT dijadikan sekolah berkualitas. Para pendeta, pastor, suster.. semua turun jadi pengajar. Sebab ia menilai kualitas guru-guru di NTT sangat merosot ketimbang masa lalu. Para rohaniwan itu dinilai masih punya kualitas, karakter, dan renjana untuk mendidik anak-anak NTT jadi manusia yang berkualitas.

"Mengapa dulu (tahun 1960an) anak-anak kita lulusan SMA atau seminari bisa bicara bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Latin, Prancis dan sebagainya? Sementara sekarang lulusan universitas pun tidak? Makanya gereja-gereja kalau bisa dijadikan sekolah. Pastor-pastor, pendeta-pendeta turun mengajar. Jangan cuma khotbah aja," kata VBL disambut tawa hadirin di Flores.

Ucapan Bungtilu saat perayaan ulang tahun STFT Santo Paulus, Ledalero, Flores, ini nuansanya guyon. Peserta seminar atau sarasehan ketawa dengan ide di luar kotak Bungtilo. Ada juga yang tepuk tangan.

Minggu lalu Bung bikin gebrakan di depan sejumlah guru dan pejabat-pejabat NTT. Masih terkait dengan rendahnya kualitas SDM di NTT. Rendahnya mutu lulusan SMA. Betapa sulitnya anak-anak NTT diterima di perguruan tinggi bermutu macam UGM, ITB, UI, ITS, atau Harvard.

Padahal, kata bung gubernur, alokasi anggaran untuk pendidikan sangat tinggi. Buat apa uang yang banyak kalau tidak mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas? Mampu bersaing dengan provinsi lain, misalnya, di Jawa?

Bungtilu lalu mengusulkan dimajukan jam pelajaran di sekolah. Dimulai pukul 05.00. Anak-anak sudah harus bangun pukul 04.00 agar tidak terlambat. Tahap awal uji coba di dua SMAN di Kupang yang dianggap sekolah unggulan.

Ucapan soal sekolah mulai jam lima pagi ini beda dengan guyonan soal gereja-gereja diubah jadi sekolah. Jadi viral di media sosial. Ramai dibahas di radio dan televisi di Surabaya, Jakarta, dan sebagainya. Serius ternyata.

Warganet seperti biasa langsung komen tanpa membaca atau mendengar pidato Bung Gub. Seakan-akan semua SMA di NTT dipaksa masuk pukul 05.00. Gubernur NTT jadi bahan tertawaan. Tapi ada juga yang mendukung. Khususnya kalangan pondok pesantren. 

"Biasa kalau anak pondok belajar bahkan sebelum jam 5 pagi," kata salah satu warga Surabaya. 

Pondok atau sekolah berasrama tentu beda dengan SMA negeri. Peserta didik atawa siswa tersebar di mana-mana bersama orang tuanya. Pagi-pagi buta harus bangun, mandi, sarapan, bersiap.. perjalanan bisa 30 menit hingga satu jam. Apalagi pakai sepeda pancal atau jalan kaki sesuai anjuran Bungtilo.

Yang pasti, NTT yang biasa dipelesetkan jadi Nusa Tidak Terkenal atau Nusa Tetap Tertinggal tiba-tiba jadi terkenal. Saya pun beberapa kali ditanya orang tentang kebijakan masuk pukul 5 pagi itu. Bahkan, BBC di London pun membuat laporan khusus secara panjang lebar.

Kitorang punya gubernur ini rupanya terlalu menyederhanakan masalah. Simplifikasi berlebihan. Begitu ruwet, kompleks, dan kronis masalah pendidikan di Indonesia. Bukan cuma di NTT. Mulai sistem pendidikan, kurikulum, belum lagi sistem PPDB yang kini berdasar zonasi atau jarak tempat tinggal dengan sekolah negeri.

Dan itu mustahil bisa diatasi dengan memajukan jam pelajaran mulai pukul 5. Kalau mulai sekolah pukul 4 pun tidak akan bisa. Bahkan bila perlu full day school atau sekalian semua murid wajib tinggal di asrama di lingkungan sekolah.

Bung Gub mungkin lupa bahwa SMAN 1 Kupang, misalnya, bukan lagi sekolah unggulan atau elite (akademik) seperti dulu sejak berlaku PPDB sistem zonasi. Dulu hanya anak-anak yang punya NEM tinggi bisa masuk SMAN 1. Sekarang tidak ada lagi NEM atau ujian nasional. Siapa saja bisa masuk SMAN 1 jika rumahnya berada di radius zonasi sekolah itu.

Maka, kalau mau membuat sekolah unggulan, khusus anak-anak dengan potensi akademik sangat tinggi, sistem PPDB harus diubah. Dijadikan semacam Sekolah Taruna Nusantara yang digagas Jenderal LB Moerdani di masa Orde Baru. 

Belum lagi soal kualitas pengajar, sarana prasarana, laboratorium dsb. Kualitasnya harus di atas sekolah-sekolah biasa. Dan, sekolah unggulan itu harus berasrama macam di Tiongkok atau negara-negara maju lainnya.

Gubernur Bungtilu ini rupanya terlalu reaktif, tidak konseptual. Sayang, pakar-pakar pendidikan di NTT, wakil rakyat di parlemen, profesor-profesor tidak memberikan masukan untuk orang nomor 1 di NTT itu. Bisa saja mereka berpikir, masa jabatan Bung sebagai gubernur toh tinggal enam bulan lagi. Sampai awal September 2023.

"Kita harap gubernur baru nanti tidak seperti dia. Dari dulu dia terlalu banyak jual retorika, marah-marah, ancam pukul bupati, dsb," kata seorang kawan asal NTT yang tinggal di Surabaya.

Kawan yang senang makan RW itu lebih senang melihat Bungtilu kembali jadi politikus di Jakarta. Bikin ramai Senayan.

Kamis, 02 Maret 2023

Berbahagialah mereka yang punya renjana!

Kata "passion" selalu ada di media cetak dan digital hampir tiap hari. Padanan katanya dalam bahasa Indonesia seperti belum ada.

Sebagai penyunting, saya pernah mengganti passion dengan gairah atau hasrat. Tapi rasanya kurang pas. Sang penulis keberatan passion diganti gairah. Maka, kata passion tetap dipakai dengan tulisan miring alias kursif alias italic.

Kamis pagi, 2 Maret 2023, saya baca koran Kompas di warkop dekat perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Melepas lelah setelah nggowes sepeda lawas. 

Wow, ada kata renjana di berita panjang tentang produktivitas dosen. Wartawan Kompas, eh wartawati Ester Napitupulu menulis:

".. sudah saatnya memberikan dosen ruang untuk berkarya optimal sesuai dengan passion (renjana) dan kapasitasnya."

Akhirnya.. akhirnya... ketemu juga padanan passion = renjana. Bukan hasrat atau gairah seperti terjemahanku dulu.

Kompas rupanya sadar bahwa kata "renjana" tak banyak dimengerti orang Indonesia. Pembaca lebih akrab dan terbiasa dengan "passion". Karena itu, "renjana" justru diletakkan di dalam kurung. Ini terbalik karena aturannya kata bahasa asing atau bahasa daerah yang ditaruh di dalam kurung.

Saya jadi ingat lagu lawas berjudul Renjana. Ciptaan Guruh Soekarnoputra. Dulu temanku, Bambang yang memang pemusik, sering main gitar sambil menyanyikannya. Tidak ada kata "renjana" dalam syair lagu tersebut. Cuma judulnya saja yang ada Renjana.

"Di malam hening
Tertegun kumerenung
Menanti fajar
Tak kunjung datang
Sukmaku bergetar
Digenggam halimun dingin
Terkungkung langit nan kelam

Pagi pun datang
Meremang cahya rawan
Seakan enggan
Menyongsong siang
Hatiku merintih
Ditindih derita beku
Merana berkawan sunyi"

Gara-gara membaca kata "renjana" dan passion di Kompas itu, saya seperti biasa langsung masuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus rujukan para editor itu menulis:

ren.ja.na /rĂȘnjana/

n rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih, berahi, dan sebagainya)

Kemudian buka Wikipedia:

"Renjana atau passion adalah antusiasme, rasa semangat atau kegembiraan yang kuat terhadap sesuatu atau aktivitas tertentu. Renjana atau passion lazim diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dilakukan namun tidak berharap imbalan karna mereka melakukannya atas dasar cinta dan suka."

Saking besarnya renjana, orang rela melakukan pekerjaan tanpa pamrih. Tanpa mengharapkan imbalan. Masih adakah orang-orang yang punya renjana di masa modern ini?

 Tanyakan pada pegawai pajak, polisi, tentara, rohaniwan, pendeta, pastor, dan sebagainya. Sekarang ini minta rohaniwan sembahyang untuk keluarga kita yang meninggal pun harus pakai angpao atau istilah katoliknya: stipendium.

Berbahagialah mereka yang punya renjana!

Senin, 27 Februari 2023

KB makin redup di NTT - Tuhan Allah pao ana

Keluarga berencana (KB) kini tinggal slogan di berbagai perkampungan. Kalau melintas di kawasan Krian, Prambon, Mojosari, Trawas dst masih banyak slogan-slogan warisan Orde Baru. Ada gambar ibu, bapa, dan dua anak.

Dua anak cukup!

Slogan KB era Pak Harto itu sudah banyak dilupakan. Termasuk pejabat-pejabat di daerah. Sebab para pejabat ini umumnya punya anak lebih dari dua. Bahkan bisa lebih dari lima. Istri pejabat pun sering lebih dari satu.

Karena itu, sulit bagi pejabat-pejabat era reformasi bicara tentang "dua anak cukup", NKKBS, dsb.

Di NTT, khususnya Flores dan Lembata, pun makin jarang orang bicara KB. Gereja pun tidak segencar era 80-an dan 90-an jadi motivator KB bersama BKKBN.

Dulu Gereja Katolik di NTT bahkan punya pastor khusus yang fokus mengurus KB. Salah satunya Pater Paul Klein SVD orang Jerman. Pater ini keliling Flores, Lembata, Adonara, Solor, Timor, dan pulau-pulau lain untuk kampanye KBA: KB alamiah. 

Pater Klein bikin banyak buku tentang pentingnya KB di NTT: Nusa Tenggara Timur alias Nasib Tidak Tentu! Saking fokusnya ngurus KB, Pater Klein jadi mitra setia Gubernur Dr Ben Mboi dan istrinya Dr Nafsiah Mboy. Ibu Nafsiah sempat jadi menteri kesehatan kabinet Presiden SBY.

Selepas reformasi propaganda KB makin melemah di NTT. Juga di Indonesia umumnya. Pater Paul Klein kemudian pindah ke Jawa. Bikin Wisma Keluarga SVD di Ledug, Prigen,  Pasuruan. Dekat kawasan wisata Tretes yang terkenal itu.

 "Saya masih konsen soal keluarga sejak dulu. Tapi dalam aspek yang luas. Bukan hanya KBA," kata Pater Klein kepada saya.

Wisma warisan Pater Klein ini sekarang sangat terkenal di kalangan umat Katolik di Jawa Timur. Khususnya anggota Paguyuban Tulang Rusuk. Juga jemaat paroki-paroki yang digembala pater-pater kongregasi SVD macam Roh Kudus Rungkut, Yohanes Pemandi Wonokromo, Salib Suci Waru, atau Ksatrian Malang.

Pagi ini saya baca berita singkat dari NY Times. Tiongkok mengubah kebijakan satu anak yang dimulai sejak 1960-an. 

Koran itu menulis:

"After decades of restricting the number of children its citizens can have, China is desperate for a baby boom.

Families all over the country are now allowed to have three children, up from just one a few years ago, and one province is allowing women to have as many children as they choose, even if they are unmarried.

Some cities are encouraging and subsidizing sperm donation, and some are giving cash payments to new parents. There are plans to expand national insurance coverage for fertility treatments like I.V.F."

Tentu pemerintahan Tuan Xi sudah melakukan analisis, evaluasi, dan kajian mendalam soal one-child policy ini. Selain mampu menekan ledakan penduduk, kebijakan satu anak juga mendatangkan mudarat.

Akankah anak-anak muda Tiongkok  yang bakal menikah punya tiga atau empat anak? Belum tentu.

Hasil survei tahun lalu: dua pertiga atau 66 persen responden di Tiongkok malah tidak mau punya anak. Sebab, biaya pemeliharaan, sekolah, kuliah dsb dianggap kelewat mahal. Tidak lagi terjangkau orang biasa. Kecuali elite-elite politik atau pengusaha kaya.

Pola pikir atau mindset orang Tiongkok ini rupanya beda dengan orang-orang kampung di pelosok NTT. Pasutri muda belum apa-apa sudah punya tiga atau empat anak. Padahal suami (dan istri) tidak punya penghasilan tetap.

 "Tuhan Allah nong Lewotanah pao ana titen," kata orang kampung.

("Tuhan Allah dan nenek moyang akan memelihara anak-anak kita.")

Bagaimana dengan biaya sekolah nanti? Sampai lulus SMA atau kuliah? Tuhan Allah pao juga?

"Tite pe dore ata Sina hala."

(Kita tidak ikut adat orang Tionghoa atau Tiongkok. Kita punya adat sendiri.)

Makin berat tugas pemda dan gereja-gereja di NTT untuk sosialisasi atau edukasi KB. Apalagi pastor-pastor misionaris macam Pater Paul Klein SVD, Pater Van der Leur SVD, Pater Geurtz SVD sudah istirahat dalam damai (RIP) semua. Tinggallah rama-rama praja yang sama-sama asli orang Flobamora alias NTT.

Dan, biasanya kita orang lebih manut omongan "tuan-tuan buraken" alias pater-pater putih ketimbang "tuan-tuan ana titen" (pastor-pastor pribumi). 

Kejadian 1 : 28
Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."

Rabu, 22 Februari 2023

Rabu Abu di Katedral Malang bersama Mgr Pidyarto

Rabu ini Rabu Abu. Sejak pekan lalu beredar pesan berantai di antara orang-orang Katolik. "Jangan lupa pigi misa, terima abu!" pesan dari kampung. 

Di pelosok NTT, khususnya Pulau Lembata, Rabu Abu ini macam hari raya. Orang-orang kampung tidak ke kebun sebelum terima abu. Tidak ada pelajaran di sekolah. Murid-murid diwajibkan pigi sembahyang dan terima abu.

Semalam Ama Paul di Sidoarjo, orang Adonara Barat, pensiunan guru SMA Petra Kalianyar, Surabaya, juga kirim pesan WA soal Rabu Abu. Lengkap dengan pantun bahasa Lamaholot. Ama Paul memang sastrawan Lamaholot. 

Meskipun sejak kuliah di IKIP Sanata Dharma, Jogjakarta, hingga pensiun tinggal di Jawa, kualitas bahasa Lamaholot Ama Paul sangat bagus. Jauh lebih bagus ketimbang anak-anak Lamaholot yang berada di Adonara, Lembata, Solor, atau Larantuka.

Ayas pun berniat bangun pagi agar bisa pigi sembahyang misa di gereja. Terima abu. Tanda tobat selama masa puasa 40 hari. 

Apa boleh buat, pagi ini Ayas bangun pukul 05.07. Sudah terlalu mepet. Misa di Gereja Roh Kudus pukul 05.30. Mandi, cuci muka, perjalanan 10 menit.. pasti telat.

 Ya, sudah, tidak jadi pigi terima abu di gereja. Ayas hanya bisa misa daring. Ikut misa streaming dari Katedral Malang di Jalan Ijen itu. Uskup Malang Monsinyur Henricus Pidyarto Gunawan OCarm yang pimpin misa. Didampingi dua pater.

Prokes covid rupanya masih sangat ketat di gereja-gereja di Malang. Uskup, dua romo, misdinar, semua jemaat pakai masker. "Masker hanya dibuka saat mengambil hosti dengan geser ke samping," begitu pengumuman sebelum misa.

Prokes pakai masker, jaga jarak, cuci tangan pakai sabun ini sudah lama kendor di Surabaya. Sangat kendor. Bahkan, sudah lebih banyak orang tidak pakai masker meski berada di dalam ruangan. Seakan virus corona sudah tak ada lagi.

Misa Rabu Abu di Katedral Malang cukup ramai. Bapa Uskup hanya homili pendek. Lalu penerimaan abu di dahi atau ditaburkan di kepala. Ayas hanya dapat abu virtual.

Mea culpa!
Mea culpa!
Mea maxima culpa! 

Perang terus selama Putin masih hidup

Sudah setahun perang Rusia vs Ukraina berlangsung. Sudah banyak yang mati. Dampaknya sudah meluas ke mana-mana. Tapi belum ada tanda-tanda berhenti.

Sampai kapan perang ini berlangsung? Hanya Tuhan dan Putin yang tahu.

Selama Putin masih hidup perang itu tak akan berhenti, kata pewarta veteran. Putin tak akan pernah menyerah. Hingga ambisi dan misinya tercapai. Hingga Ukraina menyerah kalah.

Kemarin Putin makin keras mengecam USA dan NATO. Amerika dan sekutunya dianggap menyiram bensin ke dalam api. Gara-gara Amerika cs Putin tak bisa segera menang di Ukraina.

Rusia itu korban perang, kata Putin. Yang bertanggung jawab adalah USA, NATO, pemerintah Ukraina yang jadi boneka Barat, masih kata Putin.

Semakin banyak senjata dikirim ke Ukraina, kata Putin, semakin semangat Rusia untuk menggempur lawannya hingga remuk. Kelihatannya Putin makin geregetan. Staminanya masih kuat meski perang sudah jalan setahun.

Jokowi pernah datang ke Rusia menemui Putin. Juga menemui Zelensky di Ukraina. Tapi hasilnya boleh dikata nihil. Alih-alih menghentikan perang, pertempuran malah makin masih. Kehancuran makin menjadi.

Hari ini Rabu Abu. Awal puasa untuk orang Katolik. Termasuk orang Ortodoks di Rusia. Patriark Kirill mestinya sudah menyerukan pertobatan, perdamaian, keadilan, hak asasi manusia, dsb.

Putin selama ini hanya mau mendengar seruan Patriark Kirill dan bukan Paus di Vatikan. Masalahnya, 'Paus' Kirill di Rusia ini juga dari dulu selalu berapi-api menyerang Barat. Termasuk Katolik Roma dengan kepausannya.

Apa boleh buat, sebagai orang beriman, kita hanya bisa sembahyang minta perdamaian kepada Hyang Maha Kuasa.

Agnus Dei.. dona nobis pacem! 

Kamis, 16 Februari 2023

Festival Cap Go Meh di Kembang Jepun

Cap Go Meh itu pesta bulan purnama pertama penanggalan Tionghoa. Jatuhnya pekan lalu. Aku sempat cicipi lontong capgomeh di Kapasan Dalam. Belakang Boen Bio yang terkenal itu.

Tapi Pemkot Surabaya baru gelar Festival Cap Go Meh di Kembang Jepun, Minggu (12/2/2023). Tepat seminggu setelah bulan purnama. Bulannya sudah mati.

 Tentu saja tidak cocok dengan konsep Cap Go Meh asli Tionghoa, kata temanku yang sekarang jadi suhu fengshui dan  host acara pecinan di televisi lokal.

Mei guan xi lah! Tidak apa-apa.

Hujan deras mengguyur Surabaya sejak sore. Kemudian mereda sedikit malam hari. Di tengah rintikan hujan ratusan orang memadati arena Kya-Kya di Jalan Kembang Jepun. Lengkap dengan busana khas Tionghoa.

Cak Eri, wali kota Surabaya, tak ketinggalan. Ia terus menggelorakan semangat gotong royong, toleransi, saling hormat, di antara masyarakat Surabaya yang berbeda-beda latar belakang. 

"Saya bangga, meskipun gerimis, gak ada rasa takut bagi warga Surabaya untuk datang ke Festival Cap Go Meh 2023. Ini yang semakin membuat Surabaya kuat sebagai kota toleransi," kata Cak Eri. 

Cak Eri lalu melepas peserta Festival Cap Go Meh. Lalu pawai dari Kembang Jepun, Slompretan, Coklat dekat Kelenteng Sokhaloka, Karet, Kalimalang belakang Radar Surabaya, dan kembali lagi ke Kembang Jepun.

Selamat Tahun Kelinci Air!

Semoga tahun depan lontong cap go meh diperbanyak (dan gratis)!

Semoga semua makhluk bahagia! 

Pesan Tasbih Rosario Spesial dari Kawasan Ampel

Aku cukup sering mampir ke kawasan wisata religi Sunan Ampel, Surabaya. Mungkin lebih sering ketimbang kawan-kawan yang beragama Islam. Ada kawan muslim yang bahkan tidak pernah mampir ke makam Sunan Ampel atau Masjid Ampel meski kantornya tidak jauh dari Ampel.

Orang bukan muslim yang paling sering ke Ampel mungkin saya. Awalnya karena tugas, lama-lama tergerak sendiri. Beli kurma, lihat orang sembahyang, tirakatan, hingga membeli gorengan khas Ampel.

Saking seringnya ke Ampel, aku sering diberi tasbih oleh peziarah dari luar kota. Biasanya tasbih yang 33 biji. Tasbeh yang penuh 99 butir. Ada tasbih dari batu, kayu biasa, hingga kayu cendana yang mahal. Paling murah Rp 5.000. Paling mahal ratusan ribu. 

Karena bukan muslim, tasbeh itu aku gunakan untuk Sembahyang Tasbeh ala Katolik. Atau biasa disebut doa rosario. Kalau rosario doanya selang-seling Pater Noster atau Bapa Kami + 10 kali Ave Maria atau Salam Maria. Karena pakai tasbih muslim, maka aku tambah sendiri jadi 11 kali Salam Maria. 

Cukup tiga peristiwa saja. Persis orang-orang di pelosok Pulau Flores dan Pulau Lembata yang lebih sering doa rosario 3 peristiwa. Jarang sekali yang 5 peristiwa penuh. Kecuali para pastor dan suster di biara-biara.

 Katoliknya orang di pedalaman NTT macam kampungku memang agak abangan. Hampir tidak ada yang skripturalis alias Sola Scriptura macam orang-orang Kristen aliran evangelis yang sangat banyak di Pulau Jawa. Aliran ini sedikit-sedikit pekik Haleluya dan Shalom!!! 

Karena sudah paham lika-liku pembuatan tasbih di Ampel, minggu lalu aku memesan tasbih spesial. "Maksudnya?" tanya perajin tasbih berlogat Madoera.

"Bikin tasbih yang jumlahnya 50 butir. Dan setiap 10 butir dikasih pembatas. Bisa?"

"Gampang, Mas! Wong aku tiap hari biasa bikin tasbih, gelang, kalung dsb."

Lagu pop lawas Angel Pfaff terdengar jelas dari lapak sebelah. Rupanya ada juga pedagang suvenir di Ampel yang senang lagu-lagu pop lawas melankolis macam orang-orang NTT. Di kawasan Ampel ini ternyata tak hanya musik gambus, kasidah, dangdut OM Awara, tapi ada juga pop cengeng - istilah Menpen Harmoko. 

Aku mampir ke warung untuk ngopi 10 menitan. Sambil menunggu perajin membuat tasbih pesananku.

Akhirnya selesai. Jadilah tasbih rosario tapi tidak kelihatan seperti rosario katolik biasa. Juga tidak sama dengan tasbihnya orang muslim. 

 Semoga semua makhluk berbahagia!