Rabu ini Rabu Abu. Sejak pekan lalu beredar pesan berantai di antara orang-orang Katolik. "Jangan lupa pigi misa, terima abu!" pesan dari kampung.
Di pelosok NTT, khususnya Pulau Lembata, Rabu Abu ini macam hari raya. Orang-orang kampung tidak ke kebun sebelum terima abu. Tidak ada pelajaran di sekolah. Murid-murid diwajibkan pigi sembahyang dan terima abu.
Semalam Ama Paul di Sidoarjo, orang Adonara Barat, pensiunan guru SMA Petra Kalianyar, Surabaya, juga kirim pesan WA soal Rabu Abu. Lengkap dengan pantun bahasa Lamaholot. Ama Paul memang sastrawan Lamaholot.
Meskipun sejak kuliah di IKIP Sanata Dharma, Jogjakarta, hingga pensiun tinggal di Jawa, kualitas bahasa Lamaholot Ama Paul sangat bagus. Jauh lebih bagus ketimbang anak-anak Lamaholot yang berada di Adonara, Lembata, Solor, atau Larantuka.
Ayas pun berniat bangun pagi agar bisa pigi sembahyang misa di gereja. Terima abu. Tanda tobat selama masa puasa 40 hari.
Apa boleh buat, pagi ini Ayas bangun pukul 05.07. Sudah terlalu mepet. Misa di Gereja Roh Kudus pukul 05.30. Mandi, cuci muka, perjalanan 10 menit.. pasti telat.
Ya, sudah, tidak jadi pigi terima abu di gereja. Ayas hanya bisa misa daring. Ikut misa streaming dari Katedral Malang di Jalan Ijen itu. Uskup Malang Monsinyur Henricus Pidyarto Gunawan OCarm yang pimpin misa. Didampingi dua pater.
Prokes covid rupanya masih sangat ketat di gereja-gereja di Malang. Uskup, dua romo, misdinar, semua jemaat pakai masker. "Masker hanya dibuka saat mengambil hosti dengan geser ke samping," begitu pengumuman sebelum misa.
Prokes pakai masker, jaga jarak, cuci tangan pakai sabun ini sudah lama kendor di Surabaya. Sangat kendor. Bahkan, sudah lebih banyak orang tidak pakai masker meski berada di dalam ruangan. Seakan virus corona sudah tak ada lagi.
Misa Rabu Abu di Katedral Malang cukup ramai. Bapa Uskup hanya homili pendek. Lalu penerimaan abu di dahi atau ditaburkan di kepala. Ayas hanya dapat abu virtual.
Mea culpa!
Mea culpa!
Mea maxima culpa!