Oleh Slamet Oerip Prihadi
Mantan Redaktur Jawa Pos Era Kembang Jepun (1982-1989)
Rasanya perlu diceritakan bagaimana awal proses perubahan Jawa Pos. Tidak mungkin koran yang semula hanya terjual sekitar 1.000 eksemplar per hari kemudian melesat begitu saja.
Jawa Pos menembus tiras 100 ribu eksemplar per hari pada 1986. Yaitu tiras puncak pesaing lokal utama Surabaya Post.
Ketika Dahlan Iskan (Dis) dan tim kecilnya masuk dalam manajemen Jawa Pos, kultur kerja Jawa Pos masih pokoke terbit. Tim kecil Dis saat itu adalah Dharma Dewangga, Slamet Oerip Prihadi (wartawan), Imam Suroso (pemasaran), dan Theresia Oemiati (sekretaris redaksi).
Sebagian para wartawan asli JP masih suka menghabiskan waktu di kantor PWI Jatim di Joko Dolog, Taman Apsari. Ada yang main biliar, atau sekadar kongkow-kongkow di sana.
Kekuatan untuk berkompetisi belum terpancar di kantor Kembang Jepun. Produksi beritanya masih elementer. Semuanya berupa stright news. Belum ada yang namanya features, indepth news, blow up news, dsb.
Ada yang hanya mengubah lead dari press release. Kalau masih kurang lari ke mesin berita Antara. Tinggal pilih dan sobek mana yang dirasa penting. Kemudian kertas beritanya diserahkan kepada bagian pracetak.
Mesin cetaknya di lantai 1 juga kuno dan kecil. Warnanya kehitaman saking lawasnya. Karena sudah tua, tak heran bila mesinnya sering ngadat. SDM, peralatan, sistem kerja yang ada masih jauh dari level siap take off.
Honor wartawan bukan diukur dari bobot atau kualitas beritanya. Tapi diukur dari berapa panjang beritanya di kertas folio. Berapa sentimeter panjangnya. Kondisi perusahaan memang sudah di bibir jurang kematian. Hidup segan, mati tak mau.
Situasi awal seperti inilah yang dihadapi Dahlan Iskan. Waktu itu Dis baru berpangkat redaktur pelaksana (redpel). Pemimpin redaksinya masih asli Jawa Pos, yaitu Oetje Masran, pensiunan Mayor TNI AD. Karena itu, awal tugas Dis di Jawa Pos tahun 1982 adalah membenahi redaksi.
Situasi di luar divisi redaksi pun masih menyedihkan. Imam Suroso yang ditugasi di bidang pemasaran tentu sedih melihat JP dicetak 6.800 eksemplar per hari, tapi yang terjual hanya sekitar seribu eksemplar.
Sektor iklan juga sepi. Halaman-halaman JP harus dipenuhi berita dan foto berita karena minimnya iklan.
Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo, dalam hal ini PT Grafiti Pers, harus menginvestasikan dana awal Rp 300 juta untuk menyelamatkan Jawa Pos dari kematian. Dana 300 juta sangat besar pada 1982. Seingat saya, dana tersebut untuk membeli gedung kantor Jawa Pos untuk redaksi dan iklan serta yang untuk keuangan di seberang agak ke timur.
Tahun 1982 harga sepeda motor Honda bebek baru hanya Rp 600 ribu. Jadi, dana Rp 300 juta bisa untuk membeli 500 motor. Sekarang harga sepeda motor bebek Honda Rp 17,5 juta. Berarti sekarang sekitar Rp 8,75 miliar.
Tapi hitungan ini tentu tidak benar. Sebab, kenyataannya nilai gedung JP di Kembang Jepun puluhan miliar. Lokasinya sangat strategis di pusat perdagangan. (bersambung)