Rabu, 07 September 2022

𝗧𝗵𝗲 𝗧𝗵𝘄𝗮𝗻 𝗧𝗷𝗶𝗼𝗲 𝗧𝗼𝗸𝗼𝗵 𝗧𝗶𝗼𝗻𝗴𝗵𝗼𝗮 𝗱𝗶 𝗦𝗶𝗱𝗼𝗮𝗿𝗷𝗼 𝗗𝗶𝗿𝗶𝗸𝗲𝗻 𝗧𝗼𝗸𝗼 𝗪𝗮𝗻𝗰𝘂 (𝗥𝗲𝗱𝗷𝗼) 𝗧𝗮𝗼𝗲𝗻 𝟭𝟵𝟯𝟯

Pekan lalu saya mampir lagi ke Toko Wancu alias Toko Redjo di Jalan Gajah Mada, Sidoarjo. Persis di depan eks Sekolah Tionghoa yang kini jadi sentra kuliner. Toko Wancu masih seperti yang dulu. 

Saya beli minyak gosok. Iseng aja. Aslinya cuma nostalgia. Mengenang almarhum Haryadjie BS, pelukis senior Sidoarjo yang biasa disapa Bambang Thelo atau Mbah Tekek. Haryadjie memang paling suka melukis tokek dan kucing.

Mbah Bambang Thelo inilah yang pertama kali mengajak saya ke Toko Wancu. Dia fanatik betul dengan toko khas Tionghoa tempo doeloe.

 "Saya kalau belanja pasti ke Wancu. Barang-barang yang kami butuhkan ada semua. Rasanya lain belanja di Wancu dengan di minimarket," kata pentolan Dewan Kesenian Sidoarjo itu.

Maklum, Bambang Thelo ini orang lawas. Ia poenja selera matjam oma opa tempo doeloe. Ia juga sering omong-omong pake bahasa Melajoe tempo doeloe matjam ini. Lama-lama kita orang djadi terbiasa. 😀

Bambang Thelo yang memang senang sejarah lalu cerita sedikit riwayat itu Toko Wancu. Intinya, tempo doeloe ada juragan Tionghoa bernama Wancu bangun toko untuk cari nafkah layaknya pedagang-pedagang Tionghoa lainnya.

"Tapi beliau bisa mempertahankan model tokonya sampai hari ini. Toko-toko lain di Gajah Mada dan sekitarnya sudah berubah. Itulah hebatnya Wancu," ujar Bambang Thelo.

Siapa gerangan engkong bernama Wancu itu?

Tidak lain The Thwan Tjioe (baca: Wancu). Wartawan Jawa Pos era Kembang Jepun Basuki Soedjatmiko menyebut The Thwan Tjioe sebagai salah satu tokoh terkemuka Tionghoa di Sidoarjo. Aktif di organisasi masyarakat Tionghoa.

Pak Wancu juga beberapa kali jadi ketua Kelenteng Tjong Hok Kiong Sidoarjo di Jalan Hang Tuah. 

Effendy Tedjokusumo menulis:

"Beliau dipenjara dan 'digebuki' penjajah Jepang. Sehingga sesudah itu, beliau menderita radang paru-paru (batuk darah) dan sakit-sakitan. Sehingga akhirnya harus mengasoh, dan selanjutnya beliau aktif dalam kepengurusan di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Sidoarjo, dan selama beberapa tahun menjabat sebagai ketua."

Toko Wancu sendiri berdiri sejak tahun 1933. Tidak mudah tentu saja untuk mempertahankan toko lawas ini di tengah gempuran supermarket, minimarket, dan ritel-ritel modern.

"Uniknya, kalau orang-orang lama Sidoarjo ke toko, mereka selalu pesan jangan diubah-ubah. Nuansa toko kuno yang jual segala, yang berkesan morat-marit ini, supaya dipertahankan," kata Effendy. 

Langgar Tua di Balongbendo, Jejak Haji Laut di Zaman Belanda

Cukup banyak bangunan tua era kolonial di kawasan Balongbendo, Sidoarjo. Maklum, tempo doeloe ada Pabrik Gula (PG) Balongbendo, kemudian pabrik tekstil Ratatex yang terkenal. 

Kampung di pinggir Sungai Brantas juga pernah jadi pusat perdagangan yang sibuk. Jejaknya masih terlihat di Passer  Soeroengan (Pasar Surungan), Desa Penambangan, Balongbendo.

Akhir pekan lalu saya mampir ke dekat Pasar Surungan itu. Ngobrol di Omah Belanda, salah satu bangunan tempo doeloe yang menonjol di Penambangan. Ditemani Bung Taufik dan Mbak Rita pemilik rumah tua itu.

Mbah buyut Taufik dulu memang saudagar hasil bumi, palawija, yang kondang di Balongbendo. Ia membeli Omah Londo itu dari pedagang Tionghoa. Rumah itu sempat rusak berat tahun 1970-an. Kemudian direstorasi. Jadi bagus lagi.

Di samping rumah lawas itu ada langgar (mushala) keluarga. Mbah buyut Taufik ini orang Tionghoa yang beragama Islam. "Beliau yang bangun itu langgar," kata pensiunan karyawan IPTN di Bandung itu.

Kapan langgar itu dibangun? 

Taufik tidak punya catatan tahunnya. Hanya saja, mereka sudah empat generasi di pinggir Kali Brantas itu. Artinya, tahun 1800-an. "Rumah aslinya tidak ada langgar karena pemilik rumah bukan muslim," katanya.

Mbah buyut Bung Taufik pigi naik haji ke Makkah beberapa kali pada masa kolonial Belanda. Pakai kapal laut tentu saja. Lamaaa sekali.. bisa enam bulan pergi pulang. 

Nah, sebagai ungkapan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT, sepulang haji beliau membangun itu langgar di samping rumah. Selain dipakai sendiri, sekaligus untuk tempat sembahyang pekerja-pekerja yang cukup banyak.

"Sampai sekarang masih dipakai salat warga di sini," kata Taufik.

Bisa jadi langgar di Penambangan, Balongbendo, ini merupakan salah satu "monumen" Haji Laut di Kabupaten Sidoarjo. Lebih unik lagi karena Abah Haji yang bangun itu langgar ternyata orang Muslim Tionghoa. Artinya, sudah lama ada orang Tionghoa yang beragama Islam di Sidoarjo. (*)

Selasa, 06 September 2022

Makam Tionghoa di Taman, Sidoarjo, Dibongkar Tahun 1981, Dijadikan Perumahan


Tidak banyak orang Sidoarjo  yang punya koleksi foto-foto tempo doeloe. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Lie Tjin Sam. Pria Tionghoa ini dulu dapat job sebagai fotografer di kepolisian.

Mbah Sam, sapaan akrabnya, dibekali kamera bagus dan banyak film. Satu rol film hanya bisa dipakai jepret 36 kali. Belum ada kamera digital atau ponsel pintar yang bisa dipakai memotret sesuka hati.

Mbah Sam manfaatkan fasilitas  itu untuk memotret apa saja yang dianggap menarik. "Buat dokumentasi," katanya. "Suatu saat foto-foto lama itu akan dicari orang."

Saya biasa mampir ngombe kopi (dawet gak ada) di tokonya di depan kantor Kecamatan Taman, Sidoarjo. Mbah Sam biasa pamerkan ia punya foto-foto lama tentang Sidoarjo. Paling banyak objeknya di Sepanjang, Taman, Ngelom, Ketegan, Karang Pilang, dan sekitarnya.

Ada beberapa foto Mbah Sam yang sangat menarik perhatianku. Khususnya yang berkaitan dengan Tionghoa. Ada sekolah Tionghoa di Sepanjang yang elok. Ditutup tahun 1966. Lalu dijadikan sekolahan Muhammadiyah.

"Ada kelenteng di dekat sekolahan Tionghoa itu. Dibongkar juga. Sekarang tinggal cerita aja," kata Mbah Sam yang doyan lagu-lagu Teresa Teng.

Ada juga foto pembongkaran makam atawa bong Tionghoa di Kalijaten, Taman, tahun 1981. Orang Tionghoa di Sidoarjo, khususnya Taman dan sekitarnya, dulu sempat protes. "Tapi gak bisa apa-apa," kata Lie Tjin Sam.

Pihak keluarga kemudian memindahkan makam-makam itu ke kota lain. Ada yang ke Krian, Lawang, dsb. Ada juga makam yang tidak sempat dipindahkan. 

Kawasan bekas makam Tionghoa itu lalu dijadikan perkampungan. Sangat padat saat ini. Banyak orang yang tak tahu kalau dulu pernah ada makam Tionghoa, sekolah Tionghoa, atau kelenteng di Sepanjang, Taman. 

"Itu semua nostalgia aja. Buat catatan sejarah aja," kata Mbah yang juga penasihan komunitas Vespa lawas di Taman.

Mbah Sam sudah berpulang tak lama sebelum pandemi covid. Album-album foto masa lalunya entah di mana sekarang. Rumah sekaligus toko pracangannya pun sudah berpindah tangan. 

Senin, 05 September 2022

Misa Pendek, Khotbah Pendek, Misa Panjang, Khotbah Panjaaang

Selama pandemi covid misa kudus atau ekaristi katolik diselenggarakan secara daring. Semua paroki bikin live streaming. Misa jadi sederhana dan singkat. 

Durasi normal misa hari Minggu di Surabaya dan Sidoarjo rata-rata 75 menit. Ada juga yang 90 menit -- di paroki-paroki yang romonya senang homili (khotbah) panjang. Biasanya di Surabaya bagian selatan dan Sidoarjo bagian utara.

 Pater-pater asal NTT, khususnya Flores, Lembata, Solor, Adonara, masuk kategori ini. Namanya juga kebiasaan di kampung halamanku. Umat Katolik di daerahku tempo doeloe umumnya senang khotbah yang panjang, banyak cerita ngalor ngidul khas pater-pater dari Eropa.

Di Jawa tidak bisa begitu. Khotbah harus singkat dan padat. To the point. Orang-orang kota di Jawa terlalu sibuk. Durasi misa pun diatur cukup ketat. Sebab misanya diadakan tiga, empat, hingga lima sesi. Di kampungku misa atau ibadat sabda tanpa imam hanya satu sesi saja.

Gara-gara pandemi, misa di Jawa Timur pun tidak lebih dari satu jam. Misa harian lebih pendek lagi. Makanya saya lebih senang ikut misa harian.

Kini, setelah pandemi (meski covid masih ada), misa di Surabaya dan Sidoarjo sudah normal lagi. Durasinya kembali ke laptop: 75 menit hingga 90 menit. Paroki-paroki sudah jarang bikin live streaming agar umat pigi misa ke gereja. Bukan lagi misa di depan laptop atawa HP.

Kita yang terbiasa misa singkat padat selama dua tahun pandemi perlu adaptasi lagi dengan "misa normal". Rasanya lama banget.

Pagi ini, saya ikut Sunday Mass atau Misa Minggu versi Amerika Serikat. Romo Jack pimpin misa dari St Thomas The Apostle Parish di West Springfield, Massachusetts. Durasi misanya cuma 23 menit. Kalau misa hari biasa rata-rata cuma 18 menit.

Romo Jack tidak pakai misdinar, tidak ada lektor, tidak ada kor, pembawa persembahan, dan sebagainya. Semuanya dilakoni sendiri sang pastor. Efisien betul.

Pater Jack ini punya prinsip lebih baik umat katolik ikut misa pendek setiap hari ketimbang ikut misa panjang seminggu sekali atau sebulan sekali. Sebelum ada pandemi pun banyak paroki di USA sudah mengadakan online mass yang padat dan singkat.

Pandemi virus setan corona ini ternyata punya banyak hikmah. Termasuk urusan liturgi atau ibadah. Berkah Dalem!

Jumat, 02 September 2022

𝗟𝗮𝗴𝘂 𝗦𝗲𝗿𝗶𝗼𝘀𝗮 "𝗕𝘂𝗸𝗶𝘁 𝗞𝗲𝗺𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻", 𝗡𝗼𝘀𝘁𝗮𝗹𝗴𝗶𝗮 𝗱𝗶 𝗞𝗹𝗼𝗷𝗲𝗻


Setiap bulan Agustus saya selalu ingat Bukit Kemenangan. Lagu seriosa tempo doeloe ini biasa dibawakan paduan suara pelajar dan mahasiswa di Grahadi Surabaya. Saat upacara bendera 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia.

Lagu ini juga mengingatkan saya pada Bu Bambang, guru vokal dan piano di Klojen, Malang. Ibu ini biasa mengajar kor dengan gaya klasik. Beda jauh dengan paduan suara yang saya kenal saat anak-anak hingga SMP di kawasan Flores Timur, NTT.

Bu Bambang (nama aslinya ayas tidak tahu) punya wawasan musik jauh di atas rata-rata. Aku perhatikan cara dia mengajar vokal, pernapasan, frasering, falsetto dsb.

 Bukit Kemenangan selalu diajarkan Bu Bambang karena dianggap sebagai lagu seriosa standar BRTV. Tingkat kesulitannya cukup tinggi.

Lagu Bukit Kemenangan ini pun sering jadi lagu wajib lomba paduan suara pelajar dan mahasiswa di Jawa Timur. Aransemen paduan suaranya digarap Musafir Isfanhari, guru musik dan musisi senior di Surabaya. Sampai sekarang aransemen kor SATB versi Isfanhari ini selalu dipakai di kampus-kampus dan SMA di Jatim. Termasuk di Grahadi itu.

<< 𝐷𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐵𝑖𝑠𝑚𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ..
𝐹𝑖𝑠𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ…
𝑇𝑒𝑘𝑎𝑑 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑚'𝑛𝑦𝑒𝑟𝑎ℎ
𝐷𝑒𝑚𝑖 𝑚𝑒𝑟𝑑𝑒𝑘𝑎
𝑁𝑢𝑠𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑠𝑎
𝑅𝑒𝑙𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛 𝑗𝑖𝑤𝑎

𝑀𝑒𝑟𝑖𝑎𝑚 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑙𝑒𝑔𝑎𝑟
𝑃'𝑙𝑢𝑟𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟
𝐻𝑎𝑡𝑖 𝑡𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑔𝑒𝑛𝑡𝑎𝑟
𝐾𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑔𝑢𝑔𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑦𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎𝑛
𝑁𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑎𝑘𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑎𝑗𝑢 >>

Gara-gara sering bikin catatan tentang seriosa, dulu, saya sering dianggap sebagai pengamat musik klasik (seriosa). Ada beberapa musikolog dari luar negeri yang bertanya kepada saya tentang perkembangan lagu-lagu seriosa di Indonesia.

Sharifah Faizah PhD dari Kuala Lumpur, Malaysia, paling serius mengorek data dan informasi tentang seriosa di Indonesia. Sharifah baru saja menerbitkan buku tebal tentang sejarah dan perkembangan seriosa kita. Ia beberapa kali menghubungi saya.

Minggu lalu saya membaca buku karya Sharifah yang sangat tebal dengan analisis musik yang sangat akademis. Boleh jadi inilah buku pertama tentang seriosa yang paling mendalam dan komprehensif.

Salah satu lagu yang dibahas adalah Bukit Kemenangan.  Menarik banget memang cerita di balik lagu patriotik yang menggelegar ini. Belum lagi nada-nada pentatoniknya.

 Sharifah, kawan dari Malaysia, ini pun berhak menyandang gelar profesor. Tahniah 🙏🏼🙏🏼

Minggu, 21 Agustus 2022

Nostalgia Pabrik Ratatex di Balongbendo (1958-2009), Satu Generasi Saja



Sabtu 20 Agustus 2022. Saya blusukan lagi ke Balongbendo, Tarik, Penambangan dan beberapa kawasan Sidoarjo Barat. Sudah tiga tahun lebih tidak mampir ngombe dawet gara-gara covid.

Joko Tingkir ngombe dawet lagi populer. Di depan pintu pagar eks pabrik PT Pertekstilan Ratatex memang ada penjual es dawet. Dawet Ratatek, istilah warga setempat. Lumayan segeeer.

Lahan bekas pabrik, perumahan, lapangan, sekolahan sekitar 12 hektare (ada yang bilang 14) kini berubah jadi hutan. Tanaman-tanaman liar tumbuh subur. Ada juga tanaman pisang.

Jainuri, salah satu dari tiga satpam, angon wedhus di dalam pagar tembok itu. Hasilnya lumayan bagus. "Tapi ada kambing yang dicuri," kata satpam asal Penambangan, desa tetangga Suwaluh, lokasi pabrik Ratatex.

Saya agak paham sedikit Ratatex meskipun bukan asli Sidoarjo. Ini karena saya sering mampir di beberapa rumah karyawan Ratatex saat pihak kurator mengirimkan surat somasi sekitar 2010. Satu tahun setelah PT Ratatex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Intinya, sekitar 40 atau 50 rumah di kompleks Ratatex harus dibongkar. Mesin-mesin pabrik tekstil dan aset-aset lain juga dipindahkan. Kurator Soedeson yang berkuasa. Manajemen dan ahli waris Ratatex sudah kehilangan kuasa.

Nah, ada penghuni yang siap boyongan tapi banyak yang tidak siap. Lalu melakukan perlawanan di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dari situlah saya yang berasal dari NTT paham sikit lah riwayat Ratatex hingga pailit alias gulung tikar.

Ratatex itu akronim dari Rahman Tamin Textile. Rahman punya visi membangun pabrik tekstil terbesar di Indonesia. Itu didukung Bung Karno, Bung Hatta, serta politik benteng saat itu. Yakni kebijakan khusus untuk memajukan pengusaha-pengusaha bumiputra. (Agar tidak kalah dengan Tionghoa.)

Produk tekstil Ratatex memang langsung sukses di pasar. Sayang, usia Rahman Tamin tak panjang. Pada 11 Oktober 1960 pengusaha sekaligus pejuang kemerdekaan itu meninggal dunia dalam usia 54 tahun. 

Praktis, Rahman Tamin hanya dua tahun mengelola PT Pertekstilan Ratatex. Manajemen belum kuat karena masih tahap pengembangan. 

Anak Rahman Tamin yang dua orang itu, Sofjan dan Rahmaniar, masih sangat muda. Sofjan yang diharapkan jadi putra mahkota masih sekolah di Belanda.

Maka manajemen Ratatex diambil alih adik-adik Rahman Tamin. Almarhum Rahman Tamin ini anak sulung H Tamin dan Aisjah dari 11 bersaudara. Ada Agus Tamin, Mochtar Tamin,  Darwis Tamin, Anwar, Arifin, Azwar, Nursidah, Alwis dsb.

Ayah Rahman Tamin punya 5 istri. Kalau ditotal maka anak-anak H Tamin ada 23 orang. Luar biasa! Rahman Tamin ini 23 bersaudara satu bapa lima mama.

Nah, sepeninggal Rahman Tamin, PT Ratatex dikelola adik-adik Rahman. Agus Tamin, anak kedua, yang dominan dibantu adik-adik lainnya. Produk-produk kain Ratatex masih laku di pasar hingga 1980-an. 

Tahun 1990-an mulai seret, banyak kompetitor yang inovatif, ditambah serbuan tekstil impor. Agus Tamin yang kian sepuh kemudian tutup usia. Diganti Hendarmin Tamin putranya. Karena itu, karyawan penghuni Perum Ratatex dulu kalau ditanya siapa bos (pemilik) Ratatex selalu menjawab: Hendarmin Tamin.

Di tangan Hendarmin boleh dikata Ratatex tidak produksi lagi. Yang ramai cuma berita soal gugatan di pengadilan, somasi-somasi, pembongkaran rumah, pengosongan lahan, dan sejenisnya.

Orang Tionghoa punya ungkapan klasik: Harta tidak akan bertahan sampai tiga generasi. 

Kejayaan Ratatex di Balongbendo ini malah tidak sampai dua turunan. 

Sofjan Tamin, anak kandung Rahman Tamin, malah sudah disingkirkan dari Ratatex pada September 1969. Sofjan malah membangun PT Moon Lion yang memproduksi mur, baut, sekrup, dsb. 

Sofjan tak terlena dengan nama besar ayahnya, Rahman Tamin, dan Ratatex. 

Selasa, 16 Agustus 2022

Komedi Stamboel Baba Yap di Kampung Doro Surabaya

Masih dari Suikerstraat atawa Jalan Gula, Surabaya. Selain ada pusat penerbitan buku-buku roman Melayu Tionghoa, tempo doeloe ada markas Komedie Stamboel. Cikal bakal teater modern Indonesia itu pernah sangat terkenal di masa penjajahan Belanda.

Komedie Stamboel itu didirikan pada 1891 di Soerabaia alias Soerabaja alias Surabaja alias Surabaya.  Markasnya di Kampoeng Dorostraat 13, yang tak lain toko milik Yap Gwan Thay.  (Ada juga yang menulis Yap Gwan Thai, Yap Goan Thay, Jap Gwan Thaij, Jap Goan Thaij...  Sama saja orangnya.)

Ada pantun lama tentang Komedie Stamboel yang pernah sangat tersohor pada masa Hindia Belanda itu.

𝐵𝑎𝑏𝑎 𝑌𝑎𝑝 𝐺𝑤𝑎𝑛 𝑇ℎ𝑎𝑦 𝑎𝑚𝑎𝑡𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟
𝐵𝑜𝑒𝑘𝑎 𝑘𝑜𝑚𝑒𝑑𝑖𝑒 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟
𝑆𝑒𝑑𝑒𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑛𝑑𝑎𝑛𝑗𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 
𝑇𝑖𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑜𝑒𝑤𝑎𝑡𝑖𝑟 𝑜𝑒𝑑𝑗𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑒𝑏𝑎𝑟 

𝑇𝑢𝑎𝑛 𝐴. 𝑀𝑎ℎ𝑖𝑒𝑢 𝑝𝑢𝑛𝑗𝑎 𝑏𝑜𝑒𝑤𝑎𝑡𝑎𝑛 
𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑖𝑛𝑔𝑒𝑡𝑎𝑛 
𝐷𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑗𝑒𝑟𝑑𝑖𝑘𝑛𝑗𝑎 𝑠𝑜𝑒𝑑𝑎 𝑘𝑙𝑖ℎ𝑎𝑡𝑎𝑛
 𝐿𝑜𝑒𝑡𝑗𝑜𝑒𝑛𝑗𝑎 𝑑𝑗𝑜𝑒𝑔𝑎 𝑑𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡𝑎𝑛

Baba Yap Gwan Thay ini pedagang obat dan arak cina alias ciu (tjioe). Laku keras. Iklan ciu punya Baba Yap ini sering muncul di koran tempo doeloe terbitan Soerabaia dan Batavia. Alamat toko arak itu di Straat Kampoeng Doro 13. 

Arak obat khas Tiongkok itu bahkan pakai merek Yap Gwan Thay.

 "Boeat obatnja orang laki atawa prampoean toewa atawa moeda jang badannja koeroes poetjet-poetjetan koerang darah...," begitu antara lain iklan arak cina milik Baba Yap di koran tempo doeloe.

Karena duitnya banyak, senang kesenian, punya selera Eropa, Yap Gwan Thay lalu bikin kelompok kesenian yang dinamakan Komedie Stamboel itu. Pemainnya ada 16 orang. Empat di antaranya perempuan. 

Tidak disebutkan apakah para pemain komedi stambul ini doyan minum arak Djin Som Tjioe. Di buku Komedie Stamboel karya Cohen hanya disebutkan sebagian besar pemain berasal dari Krembangan. Mereka kerja serabutan, agak nakal, suka minum, dari kalangan bawah.

Latihan sekaligus pentas di bawah tenda di Kampung Doro. Kampung kecil di Suikerstraat alias Jalan Gula itu. Di buku telepon Soerabaia tahun 1937 ditulis Kampoeng Dorostraat (Suikerstraat).

 Nah, di belakang Baba Yap punya toko ada perkampungan yang masih kumuh dan berantakan. Kontras dengan toko-toko dan kantor-kantor di dekatnya macam Jalan Slompretan, Jalan Gula, Jalan Teh, Jalan Toapekong, Jalan Karet, atawa Kembang Jepun.

 Rupanya eksperimen iseng-iseng Baba Yap dengan Komedie Stamboel ini sukses besar. Masyarakat yang sumpek saat itu sangat menikmati lakon-lakon 1001 Malam, Ali Baba, dsb. Apalagi setelah Tuan A. Mahieu yang jadi sutradara Komedie Stamboel van Soerabaia. 

Arena pentas di Kampung Doro tidak lagi layak. Apalagi baba-baba Tionghoa kelas atas juga senang dengan Komedie Stamboel. Maka kelompok teater itu dikasih tempat pertunjukan di gedung bagus di Jalan Kapasan. Komedie Stamboel juga sering ditanggap ke kota-kota lain di Hindia Belanda.

The glory is over! 

Saat ini praktis tidak ada jejak Komedie Stamboel yang tersisa di Kampung Doro atau Jalan Gula, Surabaya. Bahkan tidak banyak orang Surabaya (asli) mengenal Kampung Doro. Apalagi riwayat Komedie Stamboel sebagai perintis seni pertunjukan atau teater modern di Indonesia.

Syukurlah, ada Matthew Isaac Cohen PhD, peneliti dari University of London, yang melakukan kajian mendalam tentang Komedie Stamboel di Surabaya. Cohen kemudian menerbitkan buku tebal berjudul Komedie Stamboel: Popular Theater ini Colonial Indonesia 1891-1903. 

Saat ini Kampung Doro seperti permukiman di dalam benteng. Jalan masuknya cuma satu dan sangat sempit. Hanya bisa untuk satu sepeda motor.. dan harus dituntun. 

Rumah yang tersisa tidak sampai 15 biji. Tidak ada satu pun warga kampung itu yang pernah dengar Komedie Stamboel. "Saya baru tinggal di sini tahun 1982. Gak pernah denger Komedie Stamboel," kata seorang tante di Kampung Doro.