Minggu, 01 Mei 2022

Nostalgia Sasana Kawanua di Jalan Pajajaran Malang


Dulu Malang Raya pernah jadi barometer olahraga tinju nasional. Begitu sering perebutan gelar juara nasional diadakan di GOR Pulosari, Jalan Kawi Malang. GOR yang kerap jadi venue konser-konser musik itu kini tinggal kenangan.

Sasana-sasana atawa boxing camp juga cukup banyak di Malang. Sasana Gajayana, Sasana Javanua, Sasana Alamanda, Sasana Arema, Sasana Bhirawa, Sasana Kawanua, dan beberapa lagi. Sasana Gajayana pernah punya petinju asal Timor Timur (sekarang Timor Leste) Thomas Americo. 

Mendiang Thomas Americo menantang Saoul Mamby juara dunia kelas ringan WBC di Jakarta tapi kalah. Stamina Thomas Americo melorot.

Tahun 1980-an memang masa keemasan tinju pro di Malang. Ada 7 juara nasional dari Malang. Beberapa nama petinju dari kota dingin itu Juhari (Gajayana Malang), M Solikin (Gajayana Malang). Di kelas bulu ada Monod (Arema Malang) yang dijuluki Raja KO.

Ada lagi Edward Apay (Bhirawa Malang) dan Benny (Alamanda Malang) yang sering muncul di TVRI. Edward Apay ini menghajar Elyas Pical yang pernah jadi juara dunia kelas bantam junior versi IBF itu.

Saat jalan-jalan di Malang, saya teringat Sasana Kawanua di Jalan Pajajaran. Sekarang jadi kantor JNE.

 Sasana Kawanua dekat sekali dengan kompleks SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4 di kawasan Alun-Alun Bundar. Saat berangkat dan pulang sekolah saya biasa lewat di Jalan Pajajaran itu.

Berbeda dengan sasana-sasana lain, Sasana Kawanua berlatih di pelataran Hotel Pajajaran. Petinju-petinju biasa lari memutari Alun-Alun Bunder.

Bisa ditebak Sasana Kawanua itu milik orang Manado. Pak Kailola yang jadi pembina sekaligus pelatihnya. Kemudian diteruskan putranya, Leonard Gustaf Kailola. Bung Leo meninggal dunia pada Kamis (2/11/2017) di RSSA Malang gegara kecelakaan lalu lintas di Kayutangan.

Masa kejayaan sasana-sasana tinju di Malang tinggal kenangan. Sudah lama berlalu. Tak ada sisa-sisa samsak, pelindung kepala, ring, atau perlengkapan tinju yang tersisa

Tak hanya Sasana Kawanua, sasana-sasana lain di Malang juga sudah jadi almarhum. Bekas Sasana Gajayana di pojokan Jembatan Splendid bahkan sudah lama rata dengan tanah. Padahal di situlah Thomas Americo digembleng pelatih Abu Dhori yang sangat terkenal di masa lalu.



Jumat, 29 April 2022

Dua Paus yang Bahagia di Vatikan

Saya lupa kalau Paus Benediktus XVI masih sugeng di Vatikan. Pekan lalu usia bapa suci emeritus itu 95 tahun. Sudah dapat bonus banyak menurut Mazmur 90.

Kebetulan ada berita yang lewat di linimasa. Kardinal Stanislaw Dziwisz menemui Paus Benediktus XVI. Mantan sekretaris Paus Yohanes Paulus II itu cium tangan Paus Benediktus XVI.

Kardinal datang ke Vatikan dalam rangka delapan tahun kanonisasi Santo Yohanes Paulus II. Beliau juga yang pimpin misa di makam St JP 2 di Basilika Santo Petrus.

Saya ingat lagi bahwa Paus Benediktus XVI memilih pensiun pada 2013. Sangat langka karena lazimnya seorang Paus bertakhta sampai akhir hidup. Kelihatannya Paus Benediktus XVI mewarisi tradisi baru di Takhta Suci.

Masih di linimasa, ada cuplikan foto Paus Fransiskus duduk di kursi roda. "Saya belum bisa berdiri lama karena kaki saya masih sakit," kata Paus kepada peziarah.

Paus Fransiskus juga belum lama ini merayakan hari jadi ke-85. Sudah sepuh juga. Dapat bonus dari Tuhan.

Semoga Paus Fransiskus dan Paus Emeritus selalu bahagia.

Sirikit Syah Berpulang, Kita Kehilangan Media Watch

Sirikit Syah berpulang pada 26 April 2022 di RSI Surabaya. Dimakamkan di Keputih, Sukolilo, Surabaya. Dosen jurnalistik, wartawan senior, pendiri Media Watch ini menghadap Sang Khalik setelah sakit kanker cukup lama.

Mbak Sirikit sangat kritis pada wartawan. Tepatnya karya jurnalistik. Itu selalu ia suarakan lewat buletin Media Watch dan program mingguan di Radio Suara Surabaya.

Saking kerasnya, wartawan-wartawan yang masih kerja di media mainstream cenderung mengambil jarak. Sebab idealisme Sirikit sering tidak berbanding lurus dengan pragmatisme bisnis media. 

Terlalu idealis medianya bisa mati karena tidak dapat iklan. Terlalu pragmatis dan kompromi pasar juga membuat kualitas jurnalisme jadi hancur. Idealnya 9 elemen jurnalisme harus dijalankan. Tapi di lapangan sering melenceng dari pelajaran dasar untuk mahasiswa jurnalistik semester awal itu.

"Sekarang jurnalisme tanpa verifikasi kian merajalela di era media sosial," kata Sirikit.

Padahal, elemen jurnalistik nomor 1 adalah disiplin verifikasi. Tanpa verifikasi maka wartawan-wartawan hanya jadi corongnya humas pemerintah, kepolisian, militer, hingga public relations.

Kritik-kritik Sirikit memang sangat keras tapi perlu. Pahit tapi bikin sehat seperti minum obat. Karena itu, saya pernah mengundang Sirikit untuk memberikan pelatihan jurnalistik kepada wartawan-wartawan gereja di Surabaya.

Orangnya asyik ternyata. Omongan Sirikit yang kritis dan tajam ternyata disukai peserta seminar atau pelatihan. Salah satunya saat diklat jurnalistik komsos paroki di kawasan Citraland, Surabaya. Suasana sangat hidup. 

Peserta bahkan minta tambahan waktu. Tapi honornya tidak ditambah. "Soal itu (honor) terserah Sampean aja. Saya senang kok kasih pelatihan jurnalistik di lingkungan gereja," kata Sirikit.


Maklum, saat itu duit panitia sangat terbatas. Honor hanya ala kadarnya. Padahal saya mengajak redaktur-redaktur senior, dan saya anggap hebat, untuk memberikan pelatihan jurnalistik. "Kita perlu beri edukasi juga ke konsumen media," katanya.

Sudah lama sekali saya tidak kontak Sirikit. Apalagi datang ke rumahnya di kawasan Rungkut sejak pandemi covid. Saya pun tak lagi membaca tulisannya di koran. Juga tak lagi dengar suaranya di radio.

Seasa pagi, 26 April 2022, beredar berita berantai di grup-grup WA. Sirikit Syah kembali ke pangkuan-Nya.


Selamat jalan, Mbak Sirikit! 

Rabu, 27 April 2022

Nostalgia Cak Durasim di Radio Soeara Nirom Soerabaia

Terseboetlah tempo doeloe ada Radio Soeara Nirom di Djalan Embong Malang 87-89 Soerabaia. Itoe radio terkenal betoel seantero Soerabaia, Djawa Wetan, hingga kota-kota lain di Hindia Belanda.

Sekarang ini di taoen 2022 bekas kantor itoe didjadiken hotel mewah kelas atas. Orang soedah loepa dengen itoe Radio Soeara Nirom. Hanja tinggal kenangan bagi orang-orang toewa.

Kita batja-batja sedikit Nirom poenja programma taoen 1939. Tjoekoep interesan. Gamelan degoeng, lagoe Tionghoa, lagoe Ambon, lagoe Djawa dolanan, krontjong orkest, ketjapi modern, gamelan Soenda, Hawaiian Band  Harmonium Orkest Penghiboer Hati enz.

Saben Djoem'ah, Radio Soeara Nirom disamboeng dengen Missigit Besar di Ampel Soerabaia memperdengarkan chotbah dan sembahjang Djoem'ah.

Hari Ahad pagi djam 08.00 sampe djam 09.00 ada penjiaran dari Geredja Boeboetan di Soerabaia.

Habis itoe pendengar dapat nikmati lagoe2 Tionghwa dan klenengan gending2 Djawa Timoer. Soembangan dari NV Handel Mij Sampoerna en Sigarettenfabriek Liem Seeng Tee. 

Kita orang paling seneng Loedroek Soerabaia dipimpin oleh Pak Gondo alias Tjak Doerasim (Cak Durasim) di dalam Studio Nirom mengambil tjerita TJAK DOERASIM MENDJADI ABOENAWAS. 

Edjaan sekarang: Cak Durasim Menjadi Abunawas. Begimana dia poenja tjerita?

"Bagian apa jang akan dihidangkan, maka di sini kita beloem akan memberi taoekan. Baiklah para penggemar loedroek bersabar hati sampai nanti hari Achad 12 Februari j.a.d. ini.

Soeara Nirom edisi 5-18 Februari 1939 melandjoetken:

"Sementara, oentoek mendjadi penghiboer para pembatja, maka pada toelisan ini kita sadjikan wadjahnja Tjak Doerasim bersama Minin dalam pose jang sangat aneh dan loetjoe."

Sekianlah sedikit nostalgia dengen Radio Soeara Nirom dan Tjak Doerasim di Soerabaia pada masa pendjadjahan Belanda. Kita hatoerken diperbanjak terima kasih kepada toean dan njonja jang soedah batja ini laporan.

Sabtu, 23 April 2022

Syarah ceramah, pensyarah dosen, universiti universitas

Saya tidak pernah dengar atau baca kata "syarah" di media-media massa Indonesia. Yang paling sering SARA: suku, agama, ras, antargolongan. Karena itu, saya takjub dengan berita di Kompas, Sabtu 23 April 2022.

Kutipannya: 

"Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat acara Syarah Konstitusi Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara."

Materi ceramah itu kurang menarik. Lebih menarik soal minyak goreng yang langka dan mahal sejak empat bulan lalu. Bagi saya, kata "syara" itu yang menarik.

Saya jadi ingat DR, kawan asal Kupang, NTT, yang sudah karatan di Surabaya. Dulu ia kuliah pascasarjana di Selangor Malaysia. Lalu sempat jadi dosen di negara tetangga itu.

"Orang Malaysia sonde (tidak) kenal dosen tapi pensyarah. Beta ini pernah jadi pensyarah di salah satu universiti di Malaysia," kata senior yang juga politisi banteng itu.

Sejak itulah saya kenal kata "pensyarah". Artinya, dosen atau guru di universitas atau perguruan tinggi. Pensyarah bisa diartikan pengajar.

 "Orang Malaysia itu banyak pakai serapan bahasa Arab dan Inggris. Mereka menyerap bunyi, bukan tulisan. Imej, parti, imigresyen, universiti, kolej, motosikal. Di Malaysia tidak ada sepeda tapi baisikal," kata mantan dosen UK Petra itu.

Lama sekali, 10 tahun lebih, saya tidak dengar atau baca kata "syarah". Juga tidak lagi ngobrol dengan DR yang sibuk di parlemen (Malaysia: parlimen). Baru kali ini muncul kata yang unik itu.

Maka, saya periksa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ternyata ada kata syarah. Keterangannya:

syarah
n keterangan; uraian; ulasan; penjelasan
n pidato; ceramah

pensyarah
n pembicara (dalam ceramah dan sebagainya): saya sudah menghubungi empat orang ~ yang sangat tegas
n orang yang mengajar di perguruan tinggi; dosen

Oh, ternyata syarah dan pensyarah sama persis artinya dengan di Malaysia. Ternyata banyak lema di dalam KBBI yang sangat jarang dipakai di Indonesia. Termasuk "tandas" artinya toilet, kakus, atau WC yang biasa dipakai di Malaysia sana.

Pater John Urus Kebun di Graha Wacana SVD Ledug


Wabah virus setan corona selama dua tahun juga berimbas ke rumah retret, tempat rekoleksi, dan sebagainya. Graha Wacana SVD di Ledug, Prigen, Pasuruan, ikut sepi.

Tak ada lagi retret, pendalaman iman, kajian kitab suci, weekend ME, paguyuban tulang rusuk dsb. Penghasilan jelas turun drastis. Padahal Graha Wacana alias SVD Family Center ini salah satu tempat retret favorit di Jawa Timur.

Graha Wacana jadi jujukan para pengusaha Katolik untuk retret Tulang Rusuk. Sering banget retret di situ karena pendiri dan pentolan Tulang Rusuk, Romo Yusuf Halim SVD, memang anggota ordo SVD. 

Sayang, Romo Halim dipanggil Tuhan saat pandemi covid sedang ganas-ganasnya. Masih banyak romo atau pater yang bisa melanjutkan gerakan Tulang Rusuk. Tapi belum ada romo yang punya karisma dan magnet sehebat mendiang Romo Halim SVD.

Saya sering mampir ke Graha Wacana bahkan saat masih pembangunan karena ada Pater Paul Klein SVD. Pater inilah penggagas dan pendiri Graha Wacana di Ledug dekat Tretes itu. Pater Paul Klein menghabiskan sebagian besar usianya di Flores, NTT. Urusannya pastoran keluarga.

Asyik sekali ngobrol dengan pastor asal Jerman itu. Antusiasmenya sangat tinggi. Kata-katanya selalu positif. "Tuhan akan tolong kita," kata Pater Paul tentang dana pembangunan Graha Wacana yang seret.

Graha Wacana kemudian diasuh beberapa pater asal Pulau Flores dan Pulau Lembata. Salah satunya Pater John Lado SVD asal Lembata. Satu pulau dengan saya meski beda kecamatan.

Berbeda dengan romo-romo di paroki atau gereja di Surabaya, Pater John ini tidak kelihatan seperti romo. Selalu pakai kopiah, kaos oblong, jarang pakai jubah. Juga lebih sering berpenampilan seperti petani atau tukang kebun.

"Ama, go nepi jaga ekan, mula buah," kata Pater John dalam bahasa Lamaholot, bahasa daerah di Flores Timur dan Lembata. (Saya lagi sibuk ngurus kebun, tanam buah.)

Dari dulu, jauh sebelum pandemi pun Pater John sibuk mengurus kebun dan berbagai keperluan di Graha Wacana Ledug. Tentu saja tetap pimpin kurban misa gantian dengan imam-imam lain. 

Sesekali diminta memimpin ekaristi di Gereja St Teresa, Pandaan. Tapi sebagian besar waktunya untuk urusan kebun buah. "Rasanya seperti di kampung halaman," kata pater yang pernah bertugas di Surabaya itu.

Enak mana tugas di Graha Wacana atau Surabaya?

 "Enak di sinilah. Tapi kita kan harus ikut keputusan pembesar," katanya.

Meski sejuk nyaman, udara segar, saya tidak bisa berlama-lama ngobrol dengan sesama orang Lembata ini. Sebab, saya tahu, pater-pater SVD punya jadwal yang padat dan kaku. Ada jam bicara, jam tidur siang yang tidak boleh diganggu, serta doa brevis atau liturgi jam.

Saya pun pamit.
Deo gratias!

Mahasiswa kedokteran harus baca ribuan buku tebal


Kalau mau jadi dokter harus kuat baca buku. Tebal-tebal semua. Lebih banyak yang berbahasa Inggris.

Mahasiswa-mahasiswa fakultas lain juga perlu banyak baca buku. Tapi tidak sebanyak kedokteran. Tak sampai 30 persen.

Karena itu, arek FK harus cerdas betul. Harus fokus betul. Tidak boleh piknik atau ikut ormas, unjuk rasa, paduan suara dsb. Bisa-bisa kuliah tidak selesai. Jadi mahasiswa abadi.

Itu saya simpulkan setelah menata buku-buku almarhum Prof Dr dr Trijono, SpR di kawasan Rungkut, Surabaya. Beliau guru besar Fakultas Kedokteraan Universitas Airlangga. Meninggal dunia gara-gara covid pada 18 Agustus 2021 lalu.

Beliau saya anggap orang tua sendiri. Lama banget saya tinggal di rumah Prof Tri. Tidak banyak bicara, banyak baca, sesekali menyanyi dan main musik.

Buku-buku peninggalan almarhum banyak sekali. Terlalu banyaaak. Tapi berat-berat semua. Saya coba membaca sejenak tapi tidak nyambung. Ilmu kedokteran dan kesehatan terlalu berat untuk kita orang. Mumet.