Tuan Ongko Prawiro atawa Ong Khing Hwie berpulang pada Rabu 12 Januari 2022. Laoban berusia berusia 75 tahun itu meninggalkan lebih dari 1.000 kelenteng di seluruh Indonesia.
Selain meninggalkan pabrik kertas Jaya Kertas Group, hotel vintage Olympic di Surabaya dan Niagara di Lawang. Dan masih banyak harta kekayaan lainnya.
Di kalangan warga Tionghoa, khususnya yang rajin pigi sembahyang ke kelenteng, Tuan Ong Khing Hwie ini identik dengan kelenteng. Khususnya kelenteng-kelenteng Sam Kaw alias Tridharma.
Ongko Prawiro menjabat sebagai Ketua Umum Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) se-Indonesia sejak 1988. Menggantikan papanya, Ong Kie Tjay yang meninggal dunia. Ongko Prawiro juga Ketua Umum Majelis Rohaniwan Tri Dharma Se-Indonesia (Martrisia).
Pengusaha besar, taipan kaya raya sekaligus pimpinan tertinggi Buddha aliran Tridharma. Bahagia di bumi sekaligus di surga. Beda dengan kebanyakan orang yang sengsara di bumi dan ingin menikmati bahagia abadi di surga setelah ajal menjemput.
Ong Kie Tjay, papanya Ongko Prawiro, memang dikenal sebagai Bapak Tridharma. Dialah yang mendirikan perkumpulan tempat ibadat Tri Dharma pada tahun 1967. Organisasi ini sangat penting untuk menyelamatkan kelenteng-kelenteng yang terancam ditutup, disita, atau dialihfungsikan di awal Orde Baru.
Upaya Ong Kie Tjay kemudian disetujui pemerintah. Sejak saat itu kelenteng-kelenteng ganti nama jadi TITD: tempat ibadat Tri Dharma. Rumah ibadah untuk tiga agama/aliran sekaligus: Tao, Khonghucu, Buddha.
''Ketiga-tiganya itu jadi satu kesatuan yang utuh. Damai, serasi, harmonis,'' kata Ongko Prawiro kepada saya dalam sebuah wawancara.
Saya juga beberapa kali menemui Ongko Siansen di Kelenteng Dukuh. Sibuk benar dan sangat banyak jemaat yang datang menghadap. Macam-macam topi yang dubahas atau sekadar basa-basi jemaat dengan rohaniwannya.
Karena itu, jangan harap bisa wawancara lama dengan Ong Khing Hwie. Sepuluh menit saja sudah luar biasa. Ada kesan ia malas bicara dengan wartawan. Begitu melihat ada wartawan yang ingin bertanya soal makna Sincia, Cap Go Meh, sembahyang rebutan, lelang kalung dewa.. dia langsung berpaling.
Syukurlah, di Kelenteng Dukuh ini setiap hari ada pertunjukan wayang potehi. Dalang dan semua pemainnya orang Jawa. Saya jadi lebih sering ngobrol ngalor ngidul dengan rombongan potehi. Akhirnya jadi kenal dekat Dalang Mujiono, Eddy Sutrisno, Ki Subur dsb.
Tidak heran cerita-cerita tentang Kelenteng Dukuh di Surabaya lebih banyak soal pertunjukan wayang potehi itu. Kesenian tradisional Tionghoa yang dipentaskan tiap hari. Termasuk pada masa Orde Baru.
Cukup lama saya tidak bertemu Ong Sian Sen di Olympic Hotel yang sudah suram di Keputran itu. Juga tidak masuk ke Kelenteng Dukuh meski lewat di depannya hampir setiap hari. Saya malah lebih sering mampir ke kawasan Makam Sunan Ampel, tak jauh dari kelenteng tertua di Surabaya itu.
Sambil ngopi dan menikmati roti maryam khas Ampel, saya baca koran. Ada iklan besar setengah halaman. Tuan Ongko Prawiro meninggal dunia.
Selamat jalan, Pak Ongko!
Sabbe sankhara anicca!