Di masa pandemi ini kita kehilangan banyak tokoh besar. Terakhir Prof JE Sahetapy. Guru besar emeritus FH Univeritas Airlangga itu berpulang dalam usia 88 tahun.
Prof Sahetapy lahir di Saparua, Maluku Tengah pada 6 Juni 1933. Kiprahnya sebagai akademisi hukum berlangsung selama puluhan tahun. Sahetapy juga salah satu dari sedikit pakar hukum kita yang fasih berbahasa Belanda.
Karena itu, Sahetapy yang paling getol menjelaskan latar belakang dan makna pasal dan ayat-ayat di KUHP, KUH Perdata, serta literatur-literatur hukum lain yang memang banyak merujuk ke Negeri Belanda.
Sahetapy bukan saja galak di luar tapi juga dalam gereja. Kritikannya sangat tajam dengan pelesetan yang khas. "Kalian ini selalu teriak Haleluya, Haleluya, Haleluya... tapi keluar dari gereja Hale Lupa," begitu ucapan khas Sahetapy di depan mahasiswa Kristen di mana-mana.
Kisruh HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) pun tak lepas dari sorotan Sahetapy. Ia menyebut Gereja HKBP sebagai Hancur Karena Bapak Pendeta.
Mahasiswa, aktivis GMKI, jemaat biasanya tertawa dan keplak-keplok. Tapi pendeta-pendeta (juga rama-rama) sering kebakaran jenggot karena disikat Sahetapy. Mendiang ini ibarat pendeta yang pintar menemukan ayat-ayat Alkitab untuk membantah argumentasi pendeta-pendeta tertentu yang dianggap keliru menafsirkan ayat suci.
"Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku menjadi musuhmu?"
Galatia 4:16 ini selalu dikutip Prof Sahetapy dalam ceramah-ceramahnya di komunitas kristiani. Kebenaran meski pahit harus disampaikan. Apa pun risikonya.
Saya sendiri senang mendengar kritik-kritik Sahatepy kepada pemerintah dan para pemimpin gereja. Plong karena unek-unek kita diwakili beliau. Tidak banyak orang yang berani menghajar penguasa dengan kata-kata yang keras dan kasar.
Sebagai akademisi Hollands Spreiken, Sahetapy dikenal sangat disiplin. Khususnya disiplin waktu. Janjian jam sekian harus ditaati. Terlambat sedikit saja habislah kau.
Itu yang pernah saya alami di awal reformasi. Saya janjian wawancara one-on-one di rumahnya tanggal sekian jam sekian. Prof Sahetapy sudah menunggu. Sayang, saya terlambat karena ada gangguan kendaraan. Terlambat tidak sampai 10 menit.
Saya pencet bel. Prof Sahetapy keluar. Wajahnya tegang. "Selamat sore, Prof. Maaf, saya terlambat," kataku sambil tersenyum.
Pak Sahetapy langsung nyemprot. "Anda ini paham disiplin atau tidak? Sekarang jam berapa? Anda janjian jam berapa? Silakan Anda pulang saja karena Anda ini sulit dipercaya!"
Apa boleh buat. Saya pun pamit pulang. Tak ada wawancara. Jantungku berdegup kencang. Baru kali ini saya dapat pelajaran mahal tentang disiplin waktu dari seorang profesor sekaliber JE Sahetapy.
Sekitar dua minggu kemudian ada seminar penting di Surabaya. Salah satu pembicaranya Prof Sahetapy. Saat sesi wawancara, para wartawan mengerubuti beliau. Rupanya Sahetapy masih ingat betul keterlambatan saya tempo hari.
"Kalian jangan tiru anak dari Flores itu. Anaknya tidak disiplin. Sudah janjian wawancara jam sekian tapi tidak ditepati," ujar Sahetapy.
Mati aku!
Malu aku!
Kapok aku!
Tapi saya tidak marah, malah senyum. Teman-teman wartawan yang ketawa melihat aku dikerjain Prof Sahetapy.
Sejak korsleiteng dengan Prof Sahetapy itu saya benar-benar belajar disiplin. Kalau janjian dengan siapa saja, saya biasanya datang 30 menit lebih awal. Paling sial 10 menit lah.
Sayang, tidak semua orang Indonesia punya prinsip dan disiplin keras macam Prof Sahetapy. Kita orang sudah disiplin, eh, narasumbernya malah bisa molor satu jam, bahkan dua jam. Mati aku!
Selamat jalan, Prof Sahetapy!