Sabtu, 21 Agustus 2021

Perjuangan melawan Covid-19 belum usai

Kuenya sudah habis. Tapi kotaknya masih ada. Kue legit untuk Tasyakuran RT 05 RW 03 merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sudah dua tahun ini tak ada acara kumpul-kumpul tasyakuran pada malam 17 Agustus. Surabaya masih PPKM 4 alias level paling tinggi. Lonjakan pasien covid sejak awal Juli lalu masih terasa hingga ulang tahun ke-76 RI.

Karena tidak boleh kumpul-kumpul, jaga jarak, prokes 5M, maka Pak RT mengirim kue tasyakuran ke rumah-rumah penduduk. Lengkap dengan tulisan ini:

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai.
Semoga dengan perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-76 nanti masyarakat bisa semakin kuat dan Indonesia semakin jaya!
MERDEKA!"

Kita orang masih simpan kertas berisi tulisan Pak Eko, ketua RT 05, di kawasan Rungkut Barata, Surabaya. Kata-katanya sangat relevan dengan kondisi yang kita orang rasakan akhir-akhir ini.

Dua pekan sebelum Hari Merdeka Nusa dan Bangsa, ada seorang tetangga meninggal dunia. Positif Covid-19. Dimakamkan di atas pukul 01.00. Paginya baru kita dengar beliau sudah tiada.

Dan... masih dalam suasana "dirgahayu Indonesia", Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan, guru besar FK Unair, meninggal dunia. Jenazah tidak pulang ke rumahnya yang megah di RT 5, RW 3. 

Dari RSUD dr Soetomo geser ke sebelah di kampus FK Unair untuk penghormatan terakhir dari civitas academica. Lalu langsung ke TPU Keputih. Permakaman khusus para korban Covid-19 di Surabaya.

Saya lagi asyik menikmati lagu-lagu perjuangan tempo doeloe di rumah Bapak Prof Trijono. Tidak dapat informasi dokter spesialias radiologi itu berpulang. Asyik-asyik aja nikmati lagu-lagu Ismail Marzuki macam Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, Kopral Djono dll.

Eh.. tak lama kemudian datanglah karangan bunga. Susul menyusul. Oh, Tuhan, Pak Prof Trijono berpulang.

Makin lama makin banyak karangan bunga. Dari kampus, kerabat, rumah sakit, organisasi profesi, dsb. Saya pun harus piket hingga jelang pukul 00.00 untuk menerima dan mengatur posisi karangan-karangan bunga dukacita itu.

Malam itu, seperti biasa, saya sulit tidur. Kita orang punya otak melayang ke mana-mana. Betapa rentannya manusia di hadapan virus yang renik itu. Kita orang masih kewalahan mengatasi pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun itu.

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai," kata Ketua RT Pak Eko.

Masih panjaaaaaaang, Pak Eko!

Rabu, 18 Agustus 2021

Dedikasi Prof Dr dr Trijono Karmawan untuk FK Unair hingga Akhir Hayat


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga kembali kehilangan guru besarnya karena Covid-19. Prof. Dr. dr. Trijono Karmawan Sukana Prija, Sp.Rad(K), guru besar Departemen Radiologi, tutup usia pada Rabu 18 Agustus 2021 pukul 10.55 di Ruang Isolasi Khusus (RIK) 1 RSUD dr Soetomo Surabaya setelah dirawat selama empat hari.

Dekan FK Unair Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG(K) menuturkan, meninggalnya Prof Trijono menambah daftar guru besar FK Unair yang gugur karena Covid-19. Sepanjang pandemi, sudah tujuh guru besar FK Unair meninggal dunia. Enam di antaranya karena Covid-19.

Kehilangan banyak guru besar menjadi keprihatinan bagi FK Unair. Apalagi, para guru besar ini masih produktif dan melakukan pelayanan, pendidikan, dan penelitian.

"Tentu kehilangan guru-guru terbaik yang ada di FK Unair, termasuk Prof Trijono, adalah duka mendalam bagi FK Unair. Karena ilmu-ilmu beliau masih kami butuhkan sebenarnya di FK Unair. Lewat jasa Prof Trijono juga, banyak banyak ahli radiologi dari FK Unair lahir dan sudah tersebar di seluruh Indonesia," katanya.

Prof Budi menegaskan bahwa mencetak guru besar yang ahli tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan proses yang panjang dan sulit. Karena itu, ia meminta masyarakat untuk terus berupaya agar pandemi ini segera berlalu.

Prof Trijono semasa hidup dikenal sebagai sosok yang berdedikasi pada ilmu pengetahuan. Ia telaten dalam mentransfer ilmu kepada para calon dokter spesialis radiologi dari FK Unair.

Semangat guru besar yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Radiologi FK Unair dalam menegakkan penelitian juga sangat tinggi. Banyak jurnal penelitian tentang radiologi lahir lewat tangan dinginnya.

Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Digitalisasi, dan Informasi Universitas Airlangga, Dr. dr. Miftahussurur, M.Kes, SpPD-KGEH, Ph.D menuturkan meninggalnya guru besar merupakan pukulan yang mendalam bagi Fakultas Kedokteran.

"Beliau bukan hanya profesor, namun bapak dan guru kami yang sangat berjasa pada pengembangan ilmu pengetahuan di Unair," terangnya.

Tak hanya dalam akademis, Prof Trijono juga penuh dedikasi mengabdi untuk merawat pasien. Atas pengabdian hingga akhir hayatnya, kami memberikan penghargaan setinggi-tingginya. Semoga semangat kni diteruskan oleh dokter yang tengah berperang melawan pandemi saat ini," katanya.

Prof Trijono lulus dokter dari FK Unair tahun 1978. Ia kemudian menyandang gelar sebagai ahli radiologi pada 1983. Di tahun 1988, ia menamatkan pendidikan S-3 dan menyandang gelar doktor.

Ia mulai mengabdi di FK Unair tahun 1979 dan diangkat menjadi guru besar di tahun 2000.

Guru besar kelahiran Purwokerto, 2 Januari 1952, itu gugur meninggalkan istri Ratna Nuryani Rasoel dan tiga orang putra, yakni Andri Setiawan, Bagus Massyanto dan Aswin Syaferial.

Matur Sembah Nuwun Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan

Betapa sedih hatiku hari ini.
Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan menghadap Allah SWT.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!

Lebih sedih lagi karena kita tidak bisa mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Pemakaman dilakukan dengan lekas. Jenazah guru besar radiologi Universitas Airlangga itu tidak bisa dibawa ke rumahnya di Rungkut, Barata, Surabaya. Langsung dibawa ke TPU Keputih. Pelepasan di Unair pun secara virtual.

Kita hanya bisa dengar kabar, "Bapak sudah gak ada!"

Kita tak bisa berkata apa-apa. Selain berdoa agar Pak Tri mendapat tempat yang bahagia di sisi Allah. Dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan iman, tabah menghadapi ujian ini.

Bu Ani, Mas Andri, Mas Bagus, Mas Aswin... keluarga besar Pak Tri semoga selalu mendapat rahmat dan kekuatan dari Tuhan.

Pak Tri dan Bu Ani sudah seperti keluarga sendiri. Saya lama tinggal bersama mereka. Bapak Trijono dan Ibu Ani di rumah sebelah barat, saya di sebelah timur. Pak Tri memang punya tiga rumah berdempetan yang dijadikan satu.

Pak Tri tak banyak bicara, murah senyum, dan bijaksana. Hanya sesekali bicara. Yang perlu-perlu saja. Bicara banyak saat membimbing dokter-dokter yang ingin maju ke S3.

Sejak siang tadi karangan bunga terus berdatangan. Saya ikut bantu menerima dan memasang karangan bunga dukacita itu.

Sambil mengetik catatan ini, tak terasa mata saya basah. Ingat jasa-jasa dan kebaikan Pak Tri.

Selamat jalan Pak Tri!
Matur sembah nuwun!

Senin, 16 Agustus 2021

Jokowi terlambat sadar biaya tes PCR kita selangit

Kita orang sudah lama komplain soal tes PCR yang sangat mahal. Sekitar Rp 1 juta atau 900 ribu sekali tes. Tes antigen juga mahal. Di atas 200-an.

 Ya, kalau tes gratisan dari pemerintah untuk melacak kontak erat dsb. Bagaimana kalau bayar sendiri? Bisa mati berdiri. Bukan mati karena corona tapi kelaparan.

Penghasilan karyawan di Indonesia, khususnya Jawa Timur, rata-rata di bawah Rp 5 juta. UMK di bawah Rp 4 juta. Kalau harus tes PCR maka uang di saku tinggal Rp 2 juta. Bisa tidak makan dua minggu.

Sayang, seperti biasa para wakil rakyat tidak peka soal biaya PCR ini. Sama sekali tidak ada keluhan atau protes dari anggota parlemen. Apalagi pemerintahnya. Seakan biaya PCR yang seribu itu, Rp 1 juta, dianggap wajar.

Gara-gara PCR yang biayanya sekitar 30% dari penghasilan, maka selama ini banyak banget orang Indonesia yang enggan dites covid. Padahal punya gejala-gejala kena virus corona. Dianggap sakit selesma (istilah flu di Lembata sana), influenza, flu, atau demam biasa.

Banyak karyawan yang suspek covid, gejala ringan, tetap kerja seperti biasa. Cangkrukan di warkop. Antar pesanan atau penumpang karena dia orang tukang ojek. Seakan-akan orang itu cuma flu ringan yang bisa sembuh sendiri.

"Ndak kuat kita orang kalau harus tes covid pakai duit sendiri. Tes antigen sih agak murah. Tapi kalau reaktif kan kudu pigi tes PCR yang satu juta. Apa negara yang bayar," kata Cak Fulan. 

 Kenalan saya ini wong Jowo tapi pernah ke NTT. Dia suka pakai "kita orang" kalau omong-omong dengan saya. Maka saya pun mulai terbiasa pakai kita orang, kitorang, dia orang, dorang, khas omongan Melayu Pasar di NTT.

Fulan tidak cuma omong atau guyon. Bulan lalu dia kena gejala covid. Taruhlah ada 10 ciri-ciri orang terpapar covid, bung itu dapat 8. Alias sudah hampir pasti positif kalau dites antigen dan PCR.

"Tapi kita orang tidak mau tes-tesan. Langsung isoman aja," tuturnya setelah sehat kembali.

Buat apa tes antigen dan PCR yang makan biaya sekitar Rp 1.500 kalau kita sudah tahu positif? Begitulah jalan pikirannya. Dan... banyak banget orang Indonesia yang berpikir dan bertindak seperti itu.

Maka,  Fulan dan banyak orang lain ini tidak tercatat sebagai penderita Covid-19. Meskipun sejatinya bisa dipastikan covid. Covid ibarat gunung es. Data-data konfirmasi dsb cuma permukaan gunung es saja. Di bawahnya masih banyak.

Dan... salah satu biang keroknya adalah biaya tes yang sangat mahal.

Syukurlah, Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara. Bapa Presiden bilang kita orang punya biaya tes PCR kemahalan. Tidak masuk akal kalau sampai 900 atau 1000 atau di atas itu.

Jokowi minta biaya PCR diturunkan jadi 450. Maksimal Rp 550. "Saya sudah bicara dengan menkes," katanya.

Presiden jelas terlambat. Sangat terlambat. Sudah 17 bulan pandemi baru sadar ada masalah serius dalam testing & tracing di Indonesia. Menkes dan kepala daerah lebih parah lagi karena seakan tidak tahu bahwa harga PCR itu bisa menyedot habis penghasilan rakyat yang masih di bawah Rp 3 juta.

Mengapa biaya tes PCR di India hanya Rp 100 ribu? Toh, India juga bukan negara kaya. "Kulakan di mana alat PCR di India itu?" tanya seorang pendengar Radio Suara Surabaya.

Tidak ada salahnya kalau Bapa Menkes pigi ke India untuk studi banding PCR test. Sambil pesiar dan bertemu artis-artis Bollywood.

Rabu, 04 Agustus 2021

Kita orang punya bupati di Lembata, Baba Sunur, meninggal karena covid

Kita orang punya bupati di Pulau Lembata, NTT, meninggal dunia. Kena covid. Sempat dirawat di RS Siloam, Kupang, tapi ajal menjemputnya. 

"Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur meninggal dunia di Rumah Sakit Siloam Kupang, setelah dirawat di ruang isolasi Covid-19," tulis media online.

Selamat jalan, Baba Sunur!
Resquescat in pace!
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!
Pana mang sare-sare mai Bapa langun!

Sudah lama bupati yang peranakan Tionghoa ini punya komplikasi. Karena itu, ketika seremoni vaksinasi covid pertama awal tahun 2021, Baba Sunur tidak bisa ikut. Sebab, tidak memenuhi syarat untuk disuntik vaksin.

Namun, selama ini sang baba yang tinggal lama di Jakarta dan Bekasi itu kelihatannya baik-baik saja. Tetap bekerja seperti biasa. Termasuk menangani bencana alam gunung meletus disusul banjir lahar di kampung halaman saya. Termasuk mendampingi Presiden Jokowi yang berkunjung ke Lembata pada pertengahan April 2021.

Maka, kita orang terkejut dengan kepergian Bapa Bupati yang terasa mendadak. Tidak lama dirawat di Kupang, karena rumah sakit di Lembata tidak memadai, lalu pergi untuk selamanya.

Baba Sunur ini memang unik. Juga fenomenal. Sebab sangat jarang, bahkan tidak ada, baba-baba Tionghoa di NTT yang jadi pejabat sekelas bupati. Bahkan, bisa sampai dua periode di tengah persaingan politik yang keras dan kasar. Untungnya, isu rasial, Tionghoa vs pribumi, Islam vs Katolik, tidak laku di NTT, khususnya Lembata.

Seperti baba-baba lain di Flores dan Lembata, Baba Sunur ini sangat luwes dan adaptis. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan apa saja. Mulai kelas elite yang mewah hingga rakyat kecil di pelosok Lembata yang sangat sederhana. Mulai dari hotel bintang lima hingga oring (pondok) beratap alang-alang atau daun kelapa atau daun siwalan.

Keluwesan Baba Sunur bahkan sampai ke soal iman kepercayaan atau agama. Waktu kecil Katolik, menikah jadi Protestan karena ikut istrinya, dr Kandouw (alm). Kita orang pernah foto bareng Bupati Sunur, Bu Kandouw, saat sama-sama menumpang kapal terbang Susi Air dari Lembata ke Kupang.

Setelah Bu Kandouw meninggal, Baba Sunur kembali jadi Ata Kiwan alias orang Katolik. Tak lama menduda, Baba Sunur menikah lagi dengan Bu Damayanti orang Jawa yang muslim. Baba Sunur pun jadi "turis" (turut istri) lagi dalam hal agama. Alias pindah jadi muslim alias mualaf.

Karena itu, Baba Sunur pun dimakamkan secara Islam di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Ketua MUI Lembata yang pimpin upacara keagamaan pemakaman Baba Sunur.

"Almarhum Bapa Yentji Sunur punya banyak sumbangan untuk pembangunan Kabupaten Lembata," kata Wakil Bupati Lembata Thomas Langoday.

Senin, 19 Juli 2021

Isoman harus konsultasi dokter, tapi dokternya tidak ada

IDI: Isoman harus konsultasi dokter.

Begitu judul berita di koran pagi ini. Prof Menaldi Rasmin prihatin karena banyak warga isoman yang meninggal. Ada pula isoman yang kondisinya memburuk. Lalu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Karena itu, IDI mengingatkan bahwa isoman tidak bisa dilakukan tanpa konsultasi dokter atau tenaga kesehatan (nakes). Bisa makin runyam situasi pageblug di Indonesia.

Pagi tadi, saya baca di Antara ada isoman meninggal di rumahnya di Jember. Almarhum mantan anggota DPRD Jember. Ia isoman karena rumah sakit penuh.

Mengapa begitu banyak korban serangan covid isolasi mandiri? Tanpa konsultasi dokter? Cari obat sendiri-sendiri? Berburu oksigen ke mana-mana?

IDI mestinya sudah tahu. BOR rumah sakit sudah lama di atas 95 persen. Bahkan di atas 100 persen. Dokter dan tenaga kesehatan angkat tangan. Tenaga medis bertumbangan.

Maka, warga yang merasakan gejala covid ditolak di rumah sakit. Jangankan dokter, perawat pun kewalahan. Sang calon pasien pun pulang ke rumahnya. Isoman: isolasi mandiri.

IDI bilang isoman harus konsultasi dokter. Bagus. Tapi berapa sih jumlah dokter di Indonesia? Di NTT, misalnya, banyak kecamatan yang tidak punya dokter. Puskesmas-puskesmas tak ada dokternya.

Lalu, mau konsultasi ke dokter yang mana?

Situasi pandemi korona di Indonesia sedang gawat-gawatnya. Pemerintah kerja keras untuk memutus rantai covid tapi tidak mudah. PPKM darurat saat ini justru membuat banyak rakyat kecil kelimpungan karena tidak punya penghasilan.

''Pilih mana: mati karena korona atau mati kelaparan?'' ujar Yuk Madura, pemilik warkop di kawasan Gunung Anyar.

Yuk ini memilih taat prokes PPKM dengan tidak toron (mudik) ke Bangkalan untuk Idul Adha. Selamat hari raya kurban!

Kamis, 15 Juli 2021

Bingky Irawan Sudah Bahagia bersama Thian

Pageblug ini merenggut begitu banyak orang terkenal di tanah air. Pengusaha top, pejabat, akademisi, agamawan, kiai, pastor, dsb. Semuanya narasumber utama di media massa.

Semuanya layak ditulis obituarinya. In Memoriam, begitu nama rubrik orang meninggal di masa lalu. Tapi di musim covid ini terlalu banyak RIP dan obituari. Media massa pun bingung menulis obituari yang mana.

Karena itu, begitu banyak tokoh di Surabaya atau Jawa Timur meninggal dalam sepi. Tidak ada pemberitaan besar layaknya sebelum pandemi covid. Orang-orang hebat itu pun hanya jadi statistik korban Covid-19. Atau korban penyakit lain tapi kebetulan meninggal saat covid.

Salah satu tokoh Tionghoa yang meninggal belum lama ini adalah Bingky Irawan. Poo Soen Bing. Rohaniwan agama Khonghucu. Dulu pimpinan Boen Bio Kapasan yang sangat terkenal.

Tahun 1990-an Bingky Irawan sangat getol berjuang agar negara mengakui Khonghucu sebagai agama resmi. Khonghucu harus dicatat di KTP. Pernikahan Khonghucu harus diakui. Dan seterusnya.

Bingky jadi sangat terkenal saat memperjuangkan pernikahan Budi-Lanny di pengadilan. Waktu itu catatan sipil menolak karena Budi-Lanny menikah secara Khonghucu di Boen Bio Kapasan. Ini dijadikan momentum untuk mengembalikan hak sipil jemaat Khonghucu di Indonesia. Sekaligus warga Tionghoa umumnya.

Kasus itu kian menarik karena ada Gus Dur. KH Abdurrahman Wahid itu jadi saksi ahli di pengadilan. Intinya membela hak-hak sipil Budi-Lanny dan orang Khonghucu. Bingky Irawan sejak itu jadi sangat dekat dengan Gus Dur. 

"Sudah kayak keluarga," ujar Bingky kepada saya di tokonya, Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo.

Ujung perjuangan Bingky dkk semua sudah tahu. Orde Baru jatuh. Gus Dur tak dinyana jadi presiden. Hak-hak orang Khonghucu dipulihkan. Sincia jadi hari libur nasional.

 Agama Khonghucu juga diajar di sekolah-sekolah untuk pelajar Khonghucu. Tidak perlu lagi nunut Buddha atau Katolik atau Protestan atau agama lain. "Tantangan ke depan lebih berat," ujar Bingky.

Sejak Gus Dur berpulang, Bingky Irawan makin menjauh dari hiruk pikuk sosial politik. Ia lebih mantap menekuni jalan spiritual konfusius. Makin dekat dengan Thian, Sang Pencipta. 

Bingky juga kelihatannya makin Njawani alias Kejawen. Saya selalu dikirimi wejangan-wejangan berbahasa Jawa. Biasanya pakai huruf kapital semua.

Pesan terakhir yang saya terima:

AYO DULUR PODO ELINGO
OKE KADANG KANG ISE SENGSORO.

AYO PODO DISENGKUYONG PODO DIREWANGI. 

ABOT ENTENG BARENG DILAKONI.

ORA BEDAKNO KULIT RUPO LAN AGOMO.

KABEH WES DADI PINESTEN GUSTI.

BEDO RUPO' SIJI GEGAYUHAN'E.

BHINNEKA TUNGGAL IKA IKU ARANE.

1. PANCASILA KANG DADI JIWO KITO.

2. TANSAH GUYUP RUKUN SAK LAWASE.

Saya pun sempat melayat di Adi Jasa malam hari. Aneh sendiri karena semua pelayat yang Tionghoa berpakaian putih. Saya sendiri yang pakai kaos hitam. Tapi saya diterima dengan baik oleh keluarga mendiang Bingky Irawan.

"Bapak tidak sakit covid tapi ada masalah jantung," kata menantunya.

Saya hanya bisa berdoa di depan peti jenazah Pak Bingky. Doa standar Pater Noster ditambah tiga kali Ave Maria. Putra-putrinya berdiri mengawal sang ayah di dalam peti.

Begitu banyak kenangan bersama Bingky Irawan. Dari beliaulah saya jadi paham Boen Bio, sedekah bumi di Kapasan, tata kebaktian Khonghucu, bedanya kelenteng Tridharna dengan Boen Bio, hingga riwayat orang Tionghoa di Kapasan dengan buaya-buaya Kapasan yang disegani tempo doeloe.

"Beliau (Bingky)  itu Kaipang. Temannya banyak, tapi uangnya tidak ada," ujar Ny Bingky Irawan.

Oh, bisa jadi karena kaipang itulah, Bingky tak pernah mentraktir makan kayak narasumber-narasumber Tionghoa lainnya. Cuma sekali aja makan lontong capgomeh di Boen Bio ramai-ramai saat perayaan Cap Go Meh.

Selamat jalan, Pak Bingky Irawan!

AYO PODO DISENGKUYONG PODO DIREWANGI. 

ABOT ENTENG BARENG DILAKONI.

ORA BEDAKNO KULIT RUPO LAN AGOMO.