Rabu, 04 Agustus 2021

Kita orang punya bupati di Lembata, Baba Sunur, meninggal karena covid

Kita orang punya bupati di Pulau Lembata, NTT, meninggal dunia. Kena covid. Sempat dirawat di RS Siloam, Kupang, tapi ajal menjemputnya. 

"Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur meninggal dunia di Rumah Sakit Siloam Kupang, setelah dirawat di ruang isolasi Covid-19," tulis media online.

Selamat jalan, Baba Sunur!
Resquescat in pace!
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!
Pana mang sare-sare mai Bapa langun!

Sudah lama bupati yang peranakan Tionghoa ini punya komplikasi. Karena itu, ketika seremoni vaksinasi covid pertama awal tahun 2021, Baba Sunur tidak bisa ikut. Sebab, tidak memenuhi syarat untuk disuntik vaksin.

Namun, selama ini sang baba yang tinggal lama di Jakarta dan Bekasi itu kelihatannya baik-baik saja. Tetap bekerja seperti biasa. Termasuk menangani bencana alam gunung meletus disusul banjir lahar di kampung halaman saya. Termasuk mendampingi Presiden Jokowi yang berkunjung ke Lembata pada pertengahan April 2021.

Maka, kita orang terkejut dengan kepergian Bapa Bupati yang terasa mendadak. Tidak lama dirawat di Kupang, karena rumah sakit di Lembata tidak memadai, lalu pergi untuk selamanya.

Baba Sunur ini memang unik. Juga fenomenal. Sebab sangat jarang, bahkan tidak ada, baba-baba Tionghoa di NTT yang jadi pejabat sekelas bupati. Bahkan, bisa sampai dua periode di tengah persaingan politik yang keras dan kasar. Untungnya, isu rasial, Tionghoa vs pribumi, Islam vs Katolik, tidak laku di NTT, khususnya Lembata.

Seperti baba-baba lain di Flores dan Lembata, Baba Sunur ini sangat luwes dan adaptis. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan apa saja. Mulai kelas elite yang mewah hingga rakyat kecil di pelosok Lembata yang sangat sederhana. Mulai dari hotel bintang lima hingga oring (pondok) beratap alang-alang atau daun kelapa atau daun siwalan.

Keluwesan Baba Sunur bahkan sampai ke soal iman kepercayaan atau agama. Waktu kecil Katolik, menikah jadi Protestan karena ikut istrinya, dr Kandouw (alm). Kita orang pernah foto bareng Bupati Sunur, Bu Kandouw, saat sama-sama menumpang kapal terbang Susi Air dari Lembata ke Kupang.

Setelah Bu Kandouw meninggal, Baba Sunur kembali jadi Ata Kiwan alias orang Katolik. Tak lama menduda, Baba Sunur menikah lagi dengan Bu Damayanti orang Jawa yang muslim. Baba Sunur pun jadi "turis" (turut istri) lagi dalam hal agama. Alias pindah jadi muslim alias mualaf.

Karena itu, Baba Sunur pun dimakamkan secara Islam di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Ketua MUI Lembata yang pimpin upacara keagamaan pemakaman Baba Sunur.

"Almarhum Bapa Yentji Sunur punya banyak sumbangan untuk pembangunan Kabupaten Lembata," kata Wakil Bupati Lembata Thomas Langoday.

Senin, 19 Juli 2021

Isoman harus konsultasi dokter, tapi dokternya tidak ada

IDI: Isoman harus konsultasi dokter.

Begitu judul berita di koran pagi ini. Prof Menaldi Rasmin prihatin karena banyak warga isoman yang meninggal. Ada pula isoman yang kondisinya memburuk. Lalu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Karena itu, IDI mengingatkan bahwa isoman tidak bisa dilakukan tanpa konsultasi dokter atau tenaga kesehatan (nakes). Bisa makin runyam situasi pageblug di Indonesia.

Pagi tadi, saya baca di Antara ada isoman meninggal di rumahnya di Jember. Almarhum mantan anggota DPRD Jember. Ia isoman karena rumah sakit penuh.

Mengapa begitu banyak korban serangan covid isolasi mandiri? Tanpa konsultasi dokter? Cari obat sendiri-sendiri? Berburu oksigen ke mana-mana?

IDI mestinya sudah tahu. BOR rumah sakit sudah lama di atas 95 persen. Bahkan di atas 100 persen. Dokter dan tenaga kesehatan angkat tangan. Tenaga medis bertumbangan.

Maka, warga yang merasakan gejala covid ditolak di rumah sakit. Jangankan dokter, perawat pun kewalahan. Sang calon pasien pun pulang ke rumahnya. Isoman: isolasi mandiri.

IDI bilang isoman harus konsultasi dokter. Bagus. Tapi berapa sih jumlah dokter di Indonesia? Di NTT, misalnya, banyak kecamatan yang tidak punya dokter. Puskesmas-puskesmas tak ada dokternya.

Lalu, mau konsultasi ke dokter yang mana?

Situasi pandemi korona di Indonesia sedang gawat-gawatnya. Pemerintah kerja keras untuk memutus rantai covid tapi tidak mudah. PPKM darurat saat ini justru membuat banyak rakyat kecil kelimpungan karena tidak punya penghasilan.

''Pilih mana: mati karena korona atau mati kelaparan?'' ujar Yuk Madura, pemilik warkop di kawasan Gunung Anyar.

Yuk ini memilih taat prokes PPKM dengan tidak toron (mudik) ke Bangkalan untuk Idul Adha. Selamat hari raya kurban!

Kamis, 15 Juli 2021

Bingky Irawan Sudah Bahagia bersama Thian

Pageblug ini merenggut begitu banyak orang terkenal di tanah air. Pengusaha top, pejabat, akademisi, agamawan, kiai, pastor, dsb. Semuanya narasumber utama di media massa.

Semuanya layak ditulis obituarinya. In Memoriam, begitu nama rubrik orang meninggal di masa lalu. Tapi di musim covid ini terlalu banyak RIP dan obituari. Media massa pun bingung menulis obituari yang mana.

Karena itu, begitu banyak tokoh di Surabaya atau Jawa Timur meninggal dalam sepi. Tidak ada pemberitaan besar layaknya sebelum pandemi covid. Orang-orang hebat itu pun hanya jadi statistik korban Covid-19. Atau korban penyakit lain tapi kebetulan meninggal saat covid.

Salah satu tokoh Tionghoa yang meninggal belum lama ini adalah Bingky Irawan. Poo Soen Bing. Rohaniwan agama Khonghucu. Dulu pimpinan Boen Bio Kapasan yang sangat terkenal.

Tahun 1990-an Bingky Irawan sangat getol berjuang agar negara mengakui Khonghucu sebagai agama resmi. Khonghucu harus dicatat di KTP. Pernikahan Khonghucu harus diakui. Dan seterusnya.

Bingky jadi sangat terkenal saat memperjuangkan pernikahan Budi-Lanny di pengadilan. Waktu itu catatan sipil menolak karena Budi-Lanny menikah secara Khonghucu di Boen Bio Kapasan. Ini dijadikan momentum untuk mengembalikan hak sipil jemaat Khonghucu di Indonesia. Sekaligus warga Tionghoa umumnya.

Kasus itu kian menarik karena ada Gus Dur. KH Abdurrahman Wahid itu jadi saksi ahli di pengadilan. Intinya membela hak-hak sipil Budi-Lanny dan orang Khonghucu. Bingky Irawan sejak itu jadi sangat dekat dengan Gus Dur. 

"Sudah kayak keluarga," ujar Bingky kepada saya di tokonya, Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo.

Ujung perjuangan Bingky dkk semua sudah tahu. Orde Baru jatuh. Gus Dur tak dinyana jadi presiden. Hak-hak orang Khonghucu dipulihkan. Sincia jadi hari libur nasional.

 Agama Khonghucu juga diajar di sekolah-sekolah untuk pelajar Khonghucu. Tidak perlu lagi nunut Buddha atau Katolik atau Protestan atau agama lain. "Tantangan ke depan lebih berat," ujar Bingky.

Sejak Gus Dur berpulang, Bingky Irawan makin menjauh dari hiruk pikuk sosial politik. Ia lebih mantap menekuni jalan spiritual konfusius. Makin dekat dengan Thian, Sang Pencipta. 

Bingky juga kelihatannya makin Njawani alias Kejawen. Saya selalu dikirimi wejangan-wejangan berbahasa Jawa. Biasanya pakai huruf kapital semua.

Pesan terakhir yang saya terima:

AYO DULUR PODO ELINGO
OKE KADANG KANG ISE SENGSORO.

AYO PODO DISENGKUYONG PODO DIREWANGI. 

ABOT ENTENG BARENG DILAKONI.

ORA BEDAKNO KULIT RUPO LAN AGOMO.

KABEH WES DADI PINESTEN GUSTI.

BEDO RUPO' SIJI GEGAYUHAN'E.

BHINNEKA TUNGGAL IKA IKU ARANE.

1. PANCASILA KANG DADI JIWO KITO.

2. TANSAH GUYUP RUKUN SAK LAWASE.

Saya pun sempat melayat di Adi Jasa malam hari. Aneh sendiri karena semua pelayat yang Tionghoa berpakaian putih. Saya sendiri yang pakai kaos hitam. Tapi saya diterima dengan baik oleh keluarga mendiang Bingky Irawan.

"Bapak tidak sakit covid tapi ada masalah jantung," kata menantunya.

Saya hanya bisa berdoa di depan peti jenazah Pak Bingky. Doa standar Pater Noster ditambah tiga kali Ave Maria. Putra-putrinya berdiri mengawal sang ayah di dalam peti.

Begitu banyak kenangan bersama Bingky Irawan. Dari beliaulah saya jadi paham Boen Bio, sedekah bumi di Kapasan, tata kebaktian Khonghucu, bedanya kelenteng Tridharna dengan Boen Bio, hingga riwayat orang Tionghoa di Kapasan dengan buaya-buaya Kapasan yang disegani tempo doeloe.

"Beliau (Bingky)  itu Kaipang. Temannya banyak, tapi uangnya tidak ada," ujar Ny Bingky Irawan.

Oh, bisa jadi karena kaipang itulah, Bingky tak pernah mentraktir makan kayak narasumber-narasumber Tionghoa lainnya. Cuma sekali aja makan lontong capgomeh di Boen Bio ramai-ramai saat perayaan Cap Go Meh.

Selamat jalan, Pak Bingky Irawan!

AYO PODO DISENGKUYONG PODO DIREWANGI. 

ABOT ENTENG BARENG DILAKONI.

ORA BEDAKNO KULIT RUPO LAN AGOMO.

Selasa, 13 Juli 2021

Merasa kena covid meski tidak pernah tes swab

Kapan seseorang dinyatakan positif Covid-19? 

Kalau sudah tes swab antigen dan hasilnya positif. Itu pun belum mantap. Harus tes PCR bayar 800 hingga 1.300. Hasilnya baru keluar 10 hari kemudian.

Swab PCR memang mahal. Tes tiga kali saja bisa bikin bangkrut. Karyawan yang gajinya UMK 4.000 pasti tidak bisa makan. Pilihannya: beli beras atau PCR.

Karena itu, banyak sekali orang yang merasa dirinya positif covid meskipun tidak tes antigen atau PCR. Sebab gejala-gejala covid sangat jelas. Badan superloyo, hilang penciuman, demam, keringat dingin, hingga gangguan pernapasan.

''Saya lagi isoman di rumah. Tidak bisa ke mana-mana,'' kata Mas Adi.

Kapan Anda tes swab? ''Nggak ada tes. Aku sudah jelas kena. Kalaupun tes pasti hasilnya positif,'' kata karyawan yang sudah dua kali vaksin Sinovac itu.

Mas Adi tidak sendiri. Ada satu kantor yang banyak karyawannya gejala covid. Sekitar 10 orang. Hanya satu orang yang swab. Positif. Sembilan orang tidak swab dan tes segala macam. Namun mereka semua sudah sangat yakin terpapar covid.

''Uang untuk biaya tes saya pakai untuk bayar sekolah anak saya,'' kata seorang karyawan yang isoman.

Singkat cerita, 10 karyawan itu isoman sendiri-sendiri. Bukan di asrama haji atau rumah sakit lapangan yang ada dokter dan nakesnya. Beli obat dan vitamin sendiri-sendiri. Berdasar rekomendasi teman yang pernah isolasi resmi pemkot di asrama haji.

Alhamdulillah, para karyawan yang isoman itu semuanya sembuh. Tanpa intervensi dokter, tenaga medis dsb.

 ''Saya pakai intervensi Lianhua saja. Tiga hari minum Lianhua badan perlahan-lahan membaik,'' kata seorang karyawan.

Senin, 12 Juli 2021

Tidak pernah nonton adu penalti

Inggris ternyata kalah. Keok sama Italia. Tiga penendang Inggris yang semuanya gelap gagal. Hanya dua penendang Italia yang gagal.

Saya cuma nonton laga final Piala Eropa 2020 selama 120 menit. Waktu normal 2x45 menit ditambah perpanjangan waktu 2x15 menit. Hasilnya 1-1.

Saya memang antiadu tendangan penalti. Mirip lotre. Untung-untungan. Tidak asyik. Makanya, saya sudah bertahun-tahun tidak nonton pertandingan yang harus diselesaikan dengan adu penalti.

Makanya, begitu wasit dari Belanda memutuskan adu penalti, saya langsung matikan televisi. Mata sudah telanjur berat. Jelang pukul 05.00. Bioritme tubuh rusak sejak turnamen Piala Eropa selama sebulan.

Saya baru membaca berita kekalahan Inggris di kantor berita Antara sekitar pukul 10.00 WIB. Italia pesta karena bisa mempermalukan tuan rumah yang sempat unggul pada menit kedua itu.

Sepak bola memang beda dengan badminton atau bola basket yang ada unsur lotre bernama adu penalti jika kedua tim seri selama 120 menit. Saya lebih suka tim yang menang meyakinkan 2-0, 3-1, atau bisa juga 3-2 selama 90 menit.

Lebih senang lagi dengan Spanyol yang menang 4-0 di final Piala Eropa beberapa tahun lalu. 

Mayat-mayat bergelimpangan! Gusti nyuwun kawelasan

Pagi ini ada rombongan pengantar jenazah ke makam di daerah Gunung Anyar, Surabaya. Dua hari lalu ada tiga jenazah di rumah berdekatan. Miris juga melihat jamaah yang berdukacita di saat pandemi.

''Maaf, apakah karena covid?''

''Gak lah. Kalau covid makamnya di Keputih,'' kata seorang bapak 40-an tahun.

Yang hampir bisa dipastikan covid atau bukan itu jenazah di kawasan perumahan. Pengumuman dari toa masjid biasanya ada indikasi kena korona atau tidak.

Jenazah korban covid pasti lekas dimakamkan. Dari rumah sakit tembak langsung ke TPU Keputih. Nama Keputih sejak pandemi identik dengan covid. Atau prokes pemakamannya disamakan dengan covid meski hasil PCR belum ada.

''Innalilahi...  jenazah Bapak X dimakamkan di Keputih,'' demikian pengumuman di salah satu masjid pagi tadi.

Angka real penderita covid-19 di Indonesia memang tidak mesti sama dengan yang diumumkan satgas setiap hari. Sebab, pengujian dan pelacakan tidak sebagus di Eropa atau Tiongkok. Terlalu banyak yang tidak testing karena berbagai alasan.

''Covid-19 itu seperti gunung es. Angka-angka itu cuma di permukaan. Di bawah permukaan banyak,'' ujar seorang dokter dalam webinar belum lama ini.

Gunung es artinya hanya sepertiga atau 30 persen yang kelihatan. Sisanya tidak dianggap covid karena memang tidak tes swab antigen, genose, PCR, dan sebagainya. Tahu-tahu meninggal dan diperlakukan layaknya jenazah biasa.

Pemerintah tampaknya serbasalah. Buka posko untuk tes antigen gratis malah diamuk warga. Tes antigen gratis malah dianggap sebagai siksaan atau hukuman. Posko untuk tes antigen di Jembatan Suramadu pun dirusak.

Padahal, biaya tes antigen mandiri di klinik-klinik cukup mahal. Bisa di atas 200. Tes PCR malah di atas 800 hingga 1.300.

 Kalau mau lebih murah lagi ya tes genose di stasiun kereta api. Tapi, syarat dan ketentuan, harus tunjuk tiket kereta jarak jauh dulu. Kalau tidak punya tiket ya tes di klinik-klinik itu. Bayar seribu alias Rp 1 juta dan berlaku hanya 1x24 jam. Gaji buruh yang di bawah 4.000 sebulan itu ludes dalam sekejap demi tes korona.

Betapa beratnya penderitaan ini!
Gusti nyuwun kawelasan!

Minggu, 11 Juli 2021

Isolasi mandiri malah mati sendiri

Makin banyak orang yang memutuskan isolasi mandiri (isoman). Ada juga isoman di hotel, motel, penginapan, hingga kos harian. Orang terpaksa isoman karena ditolak pihak rumah sakit.

Sudah lama memang rumah-rumah sakit di Jawa Timur penuh. BOR di atas 100 persen. Tenaga kesehatan pun banyak yang kena Covid-19. Karena itu, apa boleh buat, isoman jadi pilihan.

Sayangnya, isoman ini benar-benar mandiri. Tanpa konsultasi dan pengawasan dokter atau setidaknya nakes. Sang isoman beli obat sendiri sesuai petunjuk di media sosialnya.

Hasilnya? Banyak yang baik-baik saja setelah isoman di rumah. Tidak ada gejala yang menakutkan. Tidak panik beli oksigen, ventilator dsb. Tahu-tahu sudah sehat lagi.

Namun, di sisi lain, isoman yang gagal juga banyak. Minggu lalu ada sedikitnya tiga kasus isoman yang jadi mayat. Jenazahnya baru diketahui setelah petugas hotel curiga karena tamunya tidak keluar-keluar. Lalu menyeruak bau bangkai manusia.

Tragis memang derita nestapa yang dialami bangsa ini. Mayat-mayat bergelimpangan dan makin lama makin kehilangan kontrol. Terutama para isoman yang tidak punya rujukan dan konsultasi itu.

Dulu saya membayangkan isoman itu pasti ada pengawasan intensif dari nakes. Ada kontrol harian. Minimal panggilan video atau kontak via WA. Bukan orang isoman sendiri layaknya sakit malaria, flu biasa, atau sakit kepala.

Mudah-mudahan pandemi korona ini cepat berlalu. Negara sepertinya sudah babak belur. Rumah sakit sudah angkat tangan. Dokter, tenaga kesehatan, IGD dsb sudah kehabisan energi setelah berjuang selama 1,5 tahun.