Pandemi Covid-19 membuat semua tatanan berubah. Disrupsi di mana-mana. Termasuk urusan wisuda sarjana. Sangat janggal rasanya mengikuti suasana wisuda daring di kampus Universitas Padjadjaran, Bandung.
Wisudawan tidak perlu hadir langsung di aula besar bersama rektor, guru besar, petinggi-petinggi Unpad yang terkenal itu. Wisudawan bisa ikut dari mana saja. Tapi tetap pakai toga serta berbagai atribut layaknya wisuda bersama ribuan orang di dalam satu gedung.
Bagaimana dengan pemindahan kuncir di topi sarjana itu?
Dekan tentu tidak bisa melakukan ritual klasik itu dari jauh. Sebagai gantinya, pihak keluarga yang memindahkan kuncir ketika nama sang wisudawan dibacakan.
Saya merasa terharu saat memindahkan kuncir di topi sarjana Bapa Urbanus Ola Hurek di Gedung Pascasarjana FISIP Unpad, Jalan Bukit Dago Utara, Bandung. Sangat bangga rasanya ikut ''meresmikan'' Bapa Urbanus sebagai seorang doktor ilmu sosial politik.
Dr. Urbanus Ola Hurek.
Kerja keras, dedikasi, pengorbanan Bapa Ur akhirnya berbuah gelar doktor (S-3). Bapa Ur yang dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang itu harus wira-wiri Kupang-Bandung untuk mengejar cita-cita meraih gelar akademik tertinggi itu.
Bapa Ur seakan kembali muda dengan jadi anak kos di Wisma Timah. Hanya sekitar 200 meter dari kampus Pascasarjana FISIP yang sangat sejuk. Saking sejuknya saya mengigil kedinginan saat mandi pada pukul 09.00 di Bukit Dago itu.
Bapa Dr Urbanus Ola Hurek ini adik kandung ayah kandung saya, Bapa Nikolaus Nuho Hurek (almarhum). Bapa Niko anak sulung dari lima bersaudara. Bapa Urbanus anak kelima alias bungsu. Bapa Daniel Demong Hurek, anak keempat pernah jadi Wakil Wali Kota Kupang.
Sepanjang perjalanan dengan KA Harini dari Surabaya Pasarturi ke Stasiun Bandung selama 10 jam lebih, saya banyak merenung tentang pencapaian (achievement) akademik ini. Sulit membayangkan seorang Urbanus yang asli kelahiran Kampung Napaulun, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, meraih gelar doktor. Jadi dosen, peneliti, dan orang penting di fakultasnya.
Betapa tidak. Kedua orang tua Bapa Urbanus (kakek dan nenek saya), almarhum Opa Samun Hurek Making dan Oma Ebong Nimanuho, sama-sama buta huruf. Tidak makan sekolahan. Tidak bisa baca tulis. Bisanya cuma cap jempol untuk urusan KTP dan surat-surat lain di kampung halaman dulu.
Kakek-nenek saya pun tinggal di kampung lama yang jauh dari jalan raya. Lebih banyak menghabiskan waktu di ongen alias ladang di tengah hutan. Kampung lama yang suwung. Bergelut dengan babi hutan dan binatang-binatang liar pemangsa tanaman-tanaman seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian yang memang sangat banyak saat itu.
Tapi, rupanya Opa Samun Hurek Making punya visi yang jauh ke depan. Anak-anaknya harus sekolah. Dua anak perempuan harus bisa baca tulis meskipun tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Tiga anak laki-laki (Nikolaus, Daniel, Urbanus) harus bisa lanjut ke SMP, SMA... kalau bisa kuliah.
Apalah artinya visi dan cita-cita kalau tidak didukung dana? Opa Samun tentu tidak mampu membiayai sekolah tiga putranya itu dengan berladang di pedalaman Pulau Lembata. Tapi setidaknya visi itu membuat anak-anaknya punya semangat tinggi untuk menempuh pendidikan meski menghadapi rintangan yang sangat berat.
Karena itu, ketika MC mengumumkan wisudawan terbaik S3 Dede Yusuf Macam Effendy, juga dokter asal NTT, Maria Damayanti, lulusan terbaik di fakultasnya, saya tidak terlalu terpukau. Meskipun itu sebuah pencapaian yang fenomenal. Saya lebih terharu melihat Bapa Dr Urbanus Ola Hurek mengenakan toga kebesaran seorang doktor lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Proficiat untuk Dr Urbanus Ola Hurek!
Selamat untuk Bapa Ur!
Terima kasih banyak, Ama!