Minggu, 09 Mei 2021

Mengikuti Wisuda Bapa Dr. Urbanus Ola Hurek di Bandung

Pandemi Covid-19 membuat semua tatanan berubah. Disrupsi di mana-mana. Termasuk urusan wisuda sarjana. Sangat janggal rasanya mengikuti suasana wisuda daring di kampus Universitas Padjadjaran, Bandung.

Wisudawan tidak perlu hadir langsung di aula besar bersama rektor, guru besar, petinggi-petinggi Unpad yang terkenal itu. Wisudawan bisa ikut dari mana saja. Tapi tetap pakai toga serta berbagai atribut layaknya wisuda bersama ribuan orang di dalam satu gedung.

Bagaimana dengan pemindahan kuncir di topi sarjana itu?

Dekan tentu tidak bisa melakukan ritual klasik itu dari jauh. Sebagai gantinya, pihak keluarga yang memindahkan kuncir ketika nama sang wisudawan dibacakan.

Saya merasa terharu saat memindahkan kuncir di topi sarjana Bapa Urbanus Ola Hurek di Gedung Pascasarjana FISIP Unpad, Jalan Bukit Dago Utara, Bandung. Sangat bangga rasanya ikut ''meresmikan'' Bapa Urbanus sebagai seorang doktor ilmu sosial politik. 

Dr. Urbanus Ola Hurek.

Kerja keras, dedikasi, pengorbanan Bapa Ur akhirnya berbuah gelar doktor (S-3). Bapa Ur yang dosen Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang itu harus wira-wiri Kupang-Bandung untuk mengejar cita-cita meraih gelar akademik tertinggi itu.

Bapa Ur seakan kembali muda dengan jadi anak kos di Wisma Timah. Hanya sekitar 200 meter dari kampus Pascasarjana FISIP yang sangat sejuk. Saking sejuknya saya mengigil kedinginan saat mandi pada pukul 09.00 di Bukit Dago itu.

Bapa Dr Urbanus Ola Hurek ini adik kandung ayah kandung saya, Bapa Nikolaus Nuho Hurek (almarhum). Bapa Niko anak sulung dari lima bersaudara. Bapa Urbanus anak kelima alias bungsu. Bapa Daniel Demong Hurek, anak keempat pernah jadi Wakil Wali Kota Kupang.

Sepanjang perjalanan dengan KA Harini dari Surabaya Pasarturi ke Stasiun Bandung selama 10 jam lebih, saya banyak merenung tentang pencapaian (achievement) akademik ini. Sulit membayangkan seorang Urbanus yang asli kelahiran Kampung Napaulun, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT, meraih gelar doktor. Jadi dosen, peneliti, dan orang penting di fakultasnya.

Betapa tidak. Kedua orang tua Bapa Urbanus (kakek dan nenek saya), almarhum Opa Samun Hurek Making dan Oma Ebong Nimanuho, sama-sama buta huruf. Tidak makan sekolahan. Tidak bisa baca tulis. Bisanya cuma cap jempol untuk urusan KTP dan surat-surat lain di kampung halaman dulu.

Kakek-nenek saya pun tinggal di kampung lama yang jauh dari jalan raya. Lebih banyak menghabiskan waktu di ongen alias ladang di tengah hutan. Kampung lama yang suwung. Bergelut dengan babi hutan dan binatang-binatang liar pemangsa tanaman-tanaman seperti jagung, singkong, dan umbi-umbian yang memang sangat banyak saat itu.

Tapi, rupanya Opa Samun Hurek Making punya visi yang jauh ke depan. Anak-anaknya harus sekolah. Dua anak perempuan harus bisa baca tulis meskipun tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Tiga anak laki-laki (Nikolaus, Daniel, Urbanus) harus bisa lanjut ke SMP, SMA... kalau bisa kuliah.

Apalah artinya visi dan cita-cita kalau tidak didukung dana? Opa Samun tentu tidak mampu membiayai sekolah tiga putranya itu dengan berladang di pedalaman Pulau Lembata. Tapi setidaknya visi itu membuat anak-anaknya punya semangat tinggi untuk menempuh pendidikan meski menghadapi rintangan yang sangat berat.

Karena itu, ketika MC mengumumkan wisudawan terbaik S3 Dede Yusuf Macam Effendy, juga dokter asal NTT, Maria Damayanti, lulusan terbaik di fakultasnya, saya tidak terlalu terpukau. Meskipun itu sebuah pencapaian yang fenomenal. Saya lebih terharu melihat Bapa Dr Urbanus Ola Hurek mengenakan toga kebesaran seorang doktor lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Proficiat untuk Dr Urbanus Ola Hurek!
Selamat untuk Bapa Ur!
Terima kasih banyak, Ama!

Kamis, 06 Mei 2021

Tes Genose Dua Kali di Stasiun KA

Pandemi Covid-19 sudah berlangsung setahun lebih. Protokol kesehatan, 3M jadi 5M, jaga jarak, tes rapid, PCR, antigen dsb sudah jadi makanan sehari-hari.

Saya pun beberapa kali melihat dan memotret calon penumpang pesawat yang menjalani tes usap cepat, swab test saat masih awal pandemi. Ketika pesawat-pesawat baru mulai diizinkan terbang lagi. 

''Kami su punya fasilitas  rapid test di mana-mana. Sekarang Bapa sonde perlu takut terbang lai. Silakan Bapa pigi lihat di kawasan Juanda,'' kata Mas Danang, Humas Lion Air, yang senang menirukan gaya bicara orang NTT dalam bahasa Melayu Kupang.

Intinya, Mas Danang minta saya ikut menjajal swab test milik Lion Air di Jalan Bypass Juanda itu. Tapi saya takut dites covid. 

Bagaimana kalau positif? Karantina dua minggu? Bisa-bisa melebar ke mana-mana dampaknya. Kantor tempat kerja bisa lockdown. Seperti yang terjadi di RRI Surabaya dan Suara Surabaya Media beberapa bulan lalu.

Awalnya mau tes, ragu.. akhirnya tidak jadi tes rapid sama sekali. Melihat orang disogok hidungnya saja sudah takut.

Waktu berlalu.. akhirnya saya dipaksa keadaan untuk tes deteksi covid. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Itu syarat wajib untuk naik kereta api jarak jauh.

Kali ini masih takut tapi skalanya sudah turun jauh. Sebab saya sudah disuntik vaksin Sinovac dua kali bersama kawan-kawan pekerja media di kantor gubernur Jatim. Paling tidak lebih percaya diri karena ada imunitas dari vaksin buatan Tiongkok itu. Meskipun vaksinasi tidak menjamin seseorang tidak terpapar virus korona.

Selasa 4 Mei 2021. 

Saya pun dipaksa melakukan ritual nyebul kantong plastik di Stasiun Pasar Turi. Gampang banget. Kayak mainan anak-anak aja. Beda banget dengan swab test yang pakai merogoh lendir di dalam lubang hidung.

Hasil tes Genose C19 ini pun lekas diketahui. Tak sampai enam menit. ''Hasil pemerikaan NEGATIF,'' demikian surat keterangan yang diteken dr Marisca Asukawati.

Lega benar hati ini. Aku bebas Covid-19. Bisa jadi vaksinasi tempo hari membuat badan saya lebih tahan serangan virus asal Wuhan itu.

Syarat perjalanan dengan KA jarak jauh pun lengkap. Bisa berangkat ke Bandung. Bertemu Bapa Kecil Urbanus Ola Hurek.

Rabu 5 Mei 2021. 

Saya harus segera kembali ke Surabaya. Sebab ada larangan operasional kendaraan-kendaraan umum, khususnya kereta api mulai 6 Mei. Agar tidak ada gelombang mudik yang dahsyat di Pulau Jawa seperti tradisi jelang Lebaran di masa normal.

Saya baca lagi pengumuman di stasiun kereta api. Juga keterangan dokter itu. Masa berlaku tes genose atau rapid test antigen, PCR hanya 1x24 jam. Bukan 3x24 jam lagi seperti dulu.

Maka, saya harus tes genose lagi di Stasiun Bandung. Bayar lagi Rp 30 ribu. Kalau nekat pakai surat genose yang kemarin pasti ditolak karena sudah lewat tiga jam.

Begitulah. Dalam tempo 24 jam lebih sedikit saya dipaksa untuk menjalani tes lagi. Hasilnya negatif. Yang tanda tangan dr Imam Junaedi dari Bandung.

Saya pun lega karena dua kali tes sama-sama negatif hasilnya. Tapi covid ini penyakit yang aneh tapi nyata. Hari ini negatif, besok bisa positif. Apalagi jika kita tidak taat prokes dan meremehkan covid.

Covid-19 juga ibarat gunung es. Angka riil yang positif bisa jadi jauh lebih banyak ketimbang yang diumumkan satgas setiap hari. Sebab gunung es itu hanya sepertiga yang kelihatan di permukaan. Di bawah permukaan masih ada dua pertiga.

Sebanyak 66 persen korban covid yang belum terdeteksi itu antara lain orang-orang yang takut dites seperti saya... dulu.

Sabtu, 01 Mei 2021

Selamat Jalan, Pater Yosep Bukubala Kewuta, SVD

Sudah sering saya ingin bertemu Pater Yosep Bukubala Kewuta, SVD di Paroki Salib Suci, Waru, Sidoarjo. Tapi pandemi Covid-19 membuat pater-pater alias romo-romo di Surabaya Raya diproteksi dengan sangat ketat. Mas-mas satpam biasanya menolak dengan alasan yang masuk akal.

''Ketemu romo harus daftar dulu, janjian dulu. Nanti dicarikan waktu yang pas,'' kata seorang satpam gereja di Wisma Tropodo, Sidoarjo, itu.

''Saya dengan Pater Yosep ini kebetulan satu daerah. Flores Timur. Makanya saya mau ketemu paling lama 30 menit,'' kata saya merayu petugas itu.

''Sama aja. Aturannya sudah begitu,'' katanya tegas kayak polisi.

Akhirnya saya pulang dengan rasa kecewa. Apa boleh buat, pandemi covid ini membuat semua tatatan ambruk. Disrupsi total. Liturgi pun harus daring. Silaturahmi atau anjangsana dengan pater pun tak boleh.

Meski tidak bisa tatap muka, Pater Yosep Bukubala bisa ditemui hampir setiap hari di YouTube. Misa daring live streaming dari Gereja Salib Suci pagi hari. Selain Pater Yosep, ada dua pater lain yang konselebrasi. Pater Fransiskus Sidok SVD dan Pastor Gabriel Madja SVD.

 Paroki Salib Suci ini memang digembalakan pater-pater SVD. Boleh dikata 95% asal NTT, khususnya Flores, Lembata, Solor, Adonara. Pater yang bukan NTT kayaknya cuma Pater Heribert Balhorn SVD (+) asal Jerman.

Tiba-tiba datang kabar mengejutkan dari Ama Paulus. Orang Adonara Barat di Sidoarjo ini memang dekat dengan Pater Yosep Bukubala SVD.


''Telah berpulang ke Rumah Bapa Pater Yosep Bukubala Kewuta, SVD pukul 21.30 WIB pada Selasa 27 April 2021.

Jenazah saat ini disemayamkan di Gereja Paroki Salib Suci Tropodo, Sidoarjo, sampai dengan Kamis, 29 April 2021. Jenazah akan diantarkan ke Soverdi, Jalan Polisi Istimewa No. 9 Surabaya pukul 19.00 WIB dari Paroki Salib Suci. 

Jenazah akan dimakamkan di Kembang Kuning setelah Misa Requiem pagi Jumat 30 April 2021 di Soverdi. Misa tersebut hanya diikuti oleh Komunitas Soverdi.''

Oh, Tuhan, satu lagi pater, sang gembala umat dipanggil ke rumah-Nya. Pater asli suku Lamaholot. Pater Yosep Bukubala yang saya kenal sejak beliau bertugas di Paroki Gembala Yang Baik, Jalan Jemur Handayani, Surabaya. Pater yang ramah dan tutur katanya halus. Halusnya malah melebihi wong Jowo.

Saya pun menyempatkan diri datang ke Gereja Salib Suci. Menemani Pater Yosep yang terbaring di dalam peti jenazah. Wajahnya tenang meski pucat. Tugas pater asal Lewouran, Flores Timur, ini selesai sudah.

''Pater Yosep sempat bilang ingin ketemu adiknya, Pater Markus Solo SVD, tapi tidak kesampaian. Tuhan lebih sayang beliau,'' kata seorang bapak aktivis gereja.

Pater Dr Markus Solo, yang juga musisi dan penyanyi lagu-lagu pop daerah Flores Timur, sudah lama bertugas di Eropa. Sekarang jadi salah satu staf kepausan di Vatikan. Kedua pastor bermarga Kewuta ini jadi kebanggaan warga Lewouran dan orang Lamaholot pada umumnya.

Sekarang Pater Yosef Bukubala sudah tenang di Rumah Bapa. Tak ada lagi homilinya yang sejuk untuk menguatkan iman umat di tengah pandemi.

Selamat jalan, Pater Yosep!
Pana mang sare-sare, Ama Tuan!

Tak Ada Lagi Mbak Kholifah di Jalan Karet

Sudah seminggu ini warkop Mbak Kholifah di kawasan kota lama Surabaya tutup. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal warkop itu biasanya buka meskipun bulan Ramadan. 

Langganannya cukup banyak. Salah satunya saya. Selain itu, sejumlah karyawan di kawasan kota lama seperti Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Gula, Jalan Cokelat, hingga Kalimas.

Mampir di warkop ini ibarat belajar bahasa Madura juga. Sebab Kholifah yang asli Bangkalan selalu berbahasa Madura dengan Umi dan beberapa oreng (orang) di situ yang sama-sama berasal dari Madura.

 Kawasan Surabaya Utara ini memang sering dipelesetkan sebagai Blok M. Blok Madura. Saking banyaknya orang Madura yang bekerja di sektor informal. Tukang parkir, tambal ban, warkop, sopir truk-truk yang biasa mangkal di Jalan Karet hingga Kalimas, tukang ojek online, dsb.

''Ke mana Mbak Kholifah?'' tanya saya kepada Umi. Tukang parkir yang hajah ini asli Bangkalan tapi sudah puluhan tinggal di Surabaya. Umi ini yang paling dekat dengan Kholifah.

''Mbak Kholifah sudah nggak ada,'' katanya. ''Sudah seminggu ini meninggal dunia.''

Oh, Tuhan... semoga Mbak Kholifah tenang di alam keabadian.

Saya tak pernah menyangka kalau Mbak Kholifah pergi secepat ini. Usianya belum 40. Orangnya juga kelihatan sehat dan jarang mengeluh sakit, tidak enak badan, dan sejenisnya.

Jangan-jangan... sakit Covid-19?

"Nggak ada itu kopid-kopidan. Mbak Kholifah meninggal karena sakit lambung,'' kata perempuan gemuk yang selalu dipamggil Umi setelah naik haji bersama suaminya itu.

Oh, Tuhan....

Sebelum pandemi covid ini datang, Mbak Kholifah juga kehilangan suami. Meninggal dunia karena sakit. Tak lama kemudian  Kholifah menikah lagi dengan orang Madura juga. Belum sampai dua tahun dia menyusul suami pertamanya ke alam baka.

Berbeda dengan ngopi di warkop-warkop lain, apalagi di depot sebelah yang kopinya mahal, ngopi di warkopnya Mbak Kholifah terasa gayeng. Ibarat cangkrukan bersama teman-teman lama. Ada saja obrolan ringan hingga berat seperti tren media massa dan media sosial, bisnis shipping and cargo yang kantornya di dekat situ, kawasan kota lama yang masih kumuh dan semrawut.

Mas Surani, karyawan perkapalan, malah lebih suka membahas ramuan madura dan menggojlok Kholifah pakai bahasa Madura tentu saja. Omongannya selalu seru...  dan ngeres.

Kholifah selalu menanggap para wartawan dan karyawan koran langganannya tahu banyak hal tentang apa saja di Surabaya dan negara ini. Mulai penangkapan pemakai sabu-sabu, pengeroyokan maling motor, hingga perkembangan covid.

''Pak Wartawan, kapan korona ini berhenti? Kok gak selesai-selesai?" tanya Kholifah. "Orang sudah bosan baca berita-berita tentang korona. Jualan saya jadi gak laku."

Gampang-gampang sulit menjawab pertanyaan Kholifah. Sebab jawaban kita akan disusul pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sulit lagi. Tapi asyik karena mbak warkop ini termasuk salah satu dari sedikit orang (Madura) yang masih sempat baca koran ketika warkopnya sepi.

Kini salah satu pelanggan koran itu telah tiada. Dan pelanggan-pelanggan warkopnya seperti saya kehilangan tempat cangkrukan dan ngopi plus ngerasani pejabat, politisi, dan sebagainya.

Rabu, 07 April 2021

Selamat Jalan Umbu sang Presiden Penyair

Bumi NTT sedang porak poranda. Ratusan jenazah bergelimpangan. Ada yang tertimbun tanah. Ada yang hanyut dibawa banjir ke laut. Gara-gara badai seroja sejak Paskah, 4 April 2021, lalu.

Di tengah kedukaan itu, dua putra terbaik NTT berpulang ke hadirat-Nya. Umbu Landu Paranggi, 77, meninggal dunia di Bali. Terpapar virus korona.

Kemudian Dr Daniel Dhakidae meninggal di Jakarta. Bung Daniel intelektual terkemuka, peneliti yang sangat dikenal di bidang sosiologi, politik, hingga media massa.

Kajian-kajian Daniel Dhakidae sangat mendalam. Seorang pembaca buku yang lahap. Pisau analisisnya sangat tajam. Namanya sangat dikenal di kalangan akademisi meski tidak pernah muncul di televisi.

Umbu Landu Paranggi, bangsawan dari Pulau Sumba, dijuluki Presiden Penyair Malioboro. Namanya begitu menjulang di kalangan penyair-penyair di Jogja pada era 70-an hingga 2000.

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun punya apresiasi yang luar biasa untuk Umbu Landu Paranggi. Cak Nun menceritakan sosok Umbu yang luar biasa di pengajian-pengajiannya yang tersebar di YouTube itu.

Yang menarik, presiden penyair ini sepertinya tidak mau melepas puisi-puisinya ke publik. Beda dengan penyair-penyair lain yang punya buku kumpulan puisi, laman di internet dsb.

Suatu ketika, tutur Emha, ada penerbit yang sudah siap mencetak kumpulan puisi Umbu. Naskah tinggal dicetak. Tiba-tiba Umbu datang ke penerbit. Ambil kembali naskah puisinya. Gagallah penerbitan puisi Umbu.

Masih banyak lagi kebiasaan Umbu yang aneh-aneh, nyentrik, yang diceritakan Emha, salah satu murid Umbu saat di Malioboro, Jogjakarta. Mulai dari kebiasaan makan, tidur, bergadang, melekan, ngobrol dengan anak-anak muda dsb.

Emha bahkan menyebut Umbu sebagai 'orang suhud'. Saking perilakunya yang sangat berbeda dengan manusia normal. Seorang bangsawan yang berkelana jauh dari Pulau Sumba sebagai raja kelana. Sebagai raja pujangga di masanya.

Selamat jalan Umbu!
Selamat jalan Bung Daniel!

Tuhan, ujian ini terlalu berat

Masih banyak korban yang tertimbun. Masih banyak orang hilang di sini. Jalan raya putus di banyak titik sehingga alat berat tidak masuk ke kampung.

Begitu 'laporan' Yois Langoday tadi malam. ''Sejak hari pertama kami, warga di sini, yang berusaha cari jenazah-jenazah yang tertimbun,'' ujar Yois dengan suara tegar meski menyimpan kesedihan sangat dalam.

Yois Langoday adik ipar saya. Suaminya Kristofora, adik bungsu saya. Rumah mereka di Desa Amakaka 'data laga gohuk' atau rusak berantakan. Wilayah kampungnya di dekat sumur dan pasar, meski data laga, boleh dikata lumayan selamat.

Korban paling banyak di Amakaka bagian timur. Yang hancur habis. Jadi jalannya banjir lahar dari Gunung Lewotolok itu. ''Ujian dari Tuhan ini terlalu berat,'' kata Yois alias Yohanes.

Tak banyak yang saya tanyakan ke Yois. Saya cuma bilang sangat prihatin dan ''onek tungen''.  Belasungkawa yang sangat mendalam. Sebab, korban-korban meninggal di Amakaka, Waimatan, Tanjungbatu, dan kampung-kampung di Lembata ini bukan sekadar angka.

Sebagian besar korban tentu keluarga besar Langoday, marganya Yois. Salah satu marga terbesar di Lembata, khususnya Ile Ape. Yang punya ikatan khusus dengan marga Hurek karena adik kandungku menikah dengan Yois Langoday.

Semalam saya ikuti juga konferensi pers Ketua BNPB Doni Munardi. Data statistik korban disampaikan. Juga berbagai kesulitan petugas Basarnas dan aparat di lapangan. Termasuk antisipasi agar pengungsian tidak jadi klaster Covid-19.

Dari 22 kabupaten di NTT, Lembata dan Adonara (Flores Timur) yang paling parah. Parah kerusakannya, parah korbannya. Parah segalanya.

Mudah-mudahan bencana banjir lahar, banjir bandang, badai seroja atau apa pun namanya segera berlalu.

Oh Tuhan, ujian ini terlalu berat!
Ribu ratu rae lewo susah tudak!
Ina Maria, ina senaren, peten kame ata nalan!

Senin, 05 April 2021

Paskah Kelabu di Pulau Lembata

Seminggu sebelum Paskah ada firasat buruk. Saya bermimpi melihat begitu banyak orang sembahyang di makam di kampung asal saya di Pulau Lembata, NTT. Ratap tangis terus terdengar di tengah warga yang sedang berdoa rosario.

Ah, cuma mimpi. Bunga tidur saja. 

Tapi suasana dalam mimpi itu tak pernah hilang. Jangan-jangan ada apa-apa di kampung halaman atau Lewotanah. Maklum, sudah banyak firasatku yang terbukti meski kejadiannya tidak sama persis. Misalnya, ada keluarga inti meninggal dunia.

Sabtu 3 April 2021. Malam Paaskah. Tidak ada kabar dari kampung. 

Saya pun ikut misa Sabtu Paskah secara daring via channel Katedral Manila, Filipina. Misanya mulai pukul 14.00 sampai 16.00. Inilah kali pertama saya mengikuti misa Malam Paskah pada siang hari.

 Malam Paskah kok siang? Pandemi membuat berbagai tananan ambruk. Termasuk soal liturgi atau peribadatan. Kita tidak lagi terikat pada suatu paroki atau gereja layaknya di dunia nyata. Bisa ikut streaming mass dari negara mana saja.

Minggu Paskah, 4 April 2021.

Kembali ikut misa online. Bukan di YouTube atau Facebook tapi lewat Kompas TV pukul 11.00. Siaran langsung dari Gereja Katedral Jakarta. Dipimpin langsung Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta.

Sesuai protokol di masa pandemi, liturgi Minggu Paskah benar-benar dipadatkan. Lagu-lagu sangat dikurangi. Karena itu, misa hanya berlangsung selama 52 atau 53 menit. Biasanya di atas dua jam di masa normal.

Nah, saat ikut misa di televisi itu muncul beberapa panggilan dari NTT. ''Banjir lahar sangat parah di kampung,'' kata Vincentia Hurek, adik saya di Kupang.

''Esi muri beng go kontak lewo. Go dore misa Paskah pi. Nanti saya kontak kampung. Saya lagi misa Paskah ini,'' pesan pendek saya di WA.

Setelah misa di kamar yang sepi itu, saya kontak Kristofora Hurek, adik bungsu di kampung. Di Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape. Tidak nyambung. HP mati. 

Bisa jadi listrik padam sehingga baterai HP mati. Bisa juga sinyal seluler hilang karena bencana itu. Begitu kecurigaan saya.

Maka saya cek grup-grup orang NTT alias Flobamora di media sosial. Khususnya Facebook yang jadi kegemaran orang NTT. Oh.. banyak gambar dan narasi tentang bencana alam di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Tetangga terdekat Pulau Lembata.

Jangan-jangan... badai itu juga menerjang Lembata di sebelah timur Adonara. Apalagi Gunung Ile Ape baru saja erupsi. Laharnya belum dimuntahkan.

Buku Puji Syukur masih terbuka di depan saya. Buku liturgi untuk ikut misa bersama Bapa Uskup Agung Jakarta di Kompas TV itu. 

''Hai makhluk semua, pujilah Tuhan kita,'' begitu lagu penutup misa khas Flores yang baru saja dibawakan di Kompas TV.

Tiba-tiba... Erni Hurek, adik kandung yang satunya di Lewoleba, menelepon. Nadanya sangat panik. Rinol dan Rio, keponakan, putranya Kristofora, sudah di rumah. Mereka lari tengah malam, jalan kaki. Hanya pakai pakaian basah yang melekat di badan.

''Kristofora belum bisa dihubungi karena HP-nya mati. Saya lagi cari informasi,'' ujar Erni dengan nada sangat panik.

Informasi lain: banyak warga Desa Amakaka, Tanjungbatu, Waimatan yang jadi korban. Banyak yang terbawa banjir lahar sampai ke laut. Bangunan rumah, harta benda.. tersapu. Ludes.

Oh, Tuhan... betapa berat ujian yang dihadapi ina ama kaka ari rae Lewo. ''Banjir lahar sangat mendadak sehingga banyak sekali orang kampung yang terjebak,'' kata Erni.

Saya hanya bisa berdoa dan kirim SMS ke Kristofora. Semoa dia dan Yois, suaminya, serta keluarga besar di kampung selamat.

Minggu petang. Kompas TV dan Metro TV kembali memberitakan bencana banjir di Flores Timur. Puluhan orang tewas. Puluhan orang lagi belum ditemukan. Narasumbernya Wakil Bupati Flores Timur Agus Payong Boli.

Kok jurnalis televisi di NTT tidak menyebut Lembata? Bukankah sama-sama dahsyat bencananya? Korbannya juga sama-sama banyak.

Tiba-tiba... ada panggilan dari Kristofora. Misscall. Gantian saya yang harus menelepon karena pulsa di kampung memang terbatas. Apalagi dalam kondisi bencana dahsyat macam ini.

Ade Is, sapaan akrabnya, bilang mereka ditampung di pengungsian Puskesmas Waipukang. ''Puji Tuhan, kami dikasih selamat. Kampung di sebelah yang habis dihantam banjir. Terima kasih Tuhan.. terima masih Tuhan,'' ujarnya dalam bahasa daerah.

Lalu, Is menceritakan kondisi bencana alam yang benar-benar sangat parah itu. Desa Wamatan boleh dikata habis karena bangunan-bangunannya disapu banjir. ''Kami di pengungsian ini juga tidak bawa apa-apa. Cepat-cepat jalan kaki untuk menyelamatkan diri,'' katanya.

Puji Tuhan! Ade Is dan keluarganya selamat.

Namun, saya pun sangat bersedih melihat foto-foto kerusakan yang sangat masif itu. Saya tidak pernah membayangkan dampak erupsi, banjir lahar, ditambah badai siklon tropis menerjang NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata.

Kawan lama saya di Larantuka, Gaby, yang sekarang tinggal di Kenjeran, Surabaya, mengirim video lagu lawas tentang bencana alam dahsyat di Flores Timur tahun 1979. Lagu ini biasa diputar ulang saat ada bencana-bencana alam di Flores Timur dan Lembata.

Syairnya antara lain:

''Oh Tuhan, apa salah dan dosaku
Derita ini bertubi menimpa...''