Sabtu, 01 Mei 2021

Tak Ada Lagi Mbak Kholifah di Jalan Karet

Sudah seminggu ini warkop Mbak Kholifah di kawasan kota lama Surabaya tutup. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal warkop itu biasanya buka meskipun bulan Ramadan. 

Langganannya cukup banyak. Salah satunya saya. Selain itu, sejumlah karyawan di kawasan kota lama seperti Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Gula, Jalan Cokelat, hingga Kalimas.

Mampir di warkop ini ibarat belajar bahasa Madura juga. Sebab Kholifah yang asli Bangkalan selalu berbahasa Madura dengan Umi dan beberapa oreng (orang) di situ yang sama-sama berasal dari Madura.

 Kawasan Surabaya Utara ini memang sering dipelesetkan sebagai Blok M. Blok Madura. Saking banyaknya orang Madura yang bekerja di sektor informal. Tukang parkir, tambal ban, warkop, sopir truk-truk yang biasa mangkal di Jalan Karet hingga Kalimas, tukang ojek online, dsb.

''Ke mana Mbak Kholifah?'' tanya saya kepada Umi. Tukang parkir yang hajah ini asli Bangkalan tapi sudah puluhan tinggal di Surabaya. Umi ini yang paling dekat dengan Kholifah.

''Mbak Kholifah sudah nggak ada,'' katanya. ''Sudah seminggu ini meninggal dunia.''

Oh, Tuhan... semoga Mbak Kholifah tenang di alam keabadian.

Saya tak pernah menyangka kalau Mbak Kholifah pergi secepat ini. Usianya belum 40. Orangnya juga kelihatan sehat dan jarang mengeluh sakit, tidak enak badan, dan sejenisnya.

Jangan-jangan... sakit Covid-19?

"Nggak ada itu kopid-kopidan. Mbak Kholifah meninggal karena sakit lambung,'' kata perempuan gemuk yang selalu dipamggil Umi setelah naik haji bersama suaminya itu.

Oh, Tuhan....

Sebelum pandemi covid ini datang, Mbak Kholifah juga kehilangan suami. Meninggal dunia karena sakit. Tak lama kemudian  Kholifah menikah lagi dengan orang Madura juga. Belum sampai dua tahun dia menyusul suami pertamanya ke alam baka.

Berbeda dengan ngopi di warkop-warkop lain, apalagi di depot sebelah yang kopinya mahal, ngopi di warkopnya Mbak Kholifah terasa gayeng. Ibarat cangkrukan bersama teman-teman lama. Ada saja obrolan ringan hingga berat seperti tren media massa dan media sosial, bisnis shipping and cargo yang kantornya di dekat situ, kawasan kota lama yang masih kumuh dan semrawut.

Mas Surani, karyawan perkapalan, malah lebih suka membahas ramuan madura dan menggojlok Kholifah pakai bahasa Madura tentu saja. Omongannya selalu seru...  dan ngeres.

Kholifah selalu menanggap para wartawan dan karyawan koran langganannya tahu banyak hal tentang apa saja di Surabaya dan negara ini. Mulai penangkapan pemakai sabu-sabu, pengeroyokan maling motor, hingga perkembangan covid.

''Pak Wartawan, kapan korona ini berhenti? Kok gak selesai-selesai?" tanya Kholifah. "Orang sudah bosan baca berita-berita tentang korona. Jualan saya jadi gak laku."

Gampang-gampang sulit menjawab pertanyaan Kholifah. Sebab jawaban kita akan disusul pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sulit lagi. Tapi asyik karena mbak warkop ini termasuk salah satu dari sedikit orang (Madura) yang masih sempat baca koran ketika warkopnya sepi.

Kini salah satu pelanggan koran itu telah tiada. Dan pelanggan-pelanggan warkopnya seperti saya kehilangan tempat cangkrukan dan ngopi plus ngerasani pejabat, politisi, dan sebagainya.

Rabu, 07 April 2021

Selamat Jalan Umbu sang Presiden Penyair

Bumi NTT sedang porak poranda. Ratusan jenazah bergelimpangan. Ada yang tertimbun tanah. Ada yang hanyut dibawa banjir ke laut. Gara-gara badai seroja sejak Paskah, 4 April 2021, lalu.

Di tengah kedukaan itu, dua putra terbaik NTT berpulang ke hadirat-Nya. Umbu Landu Paranggi, 77, meninggal dunia di Bali. Terpapar virus korona.

Kemudian Dr Daniel Dhakidae meninggal di Jakarta. Bung Daniel intelektual terkemuka, peneliti yang sangat dikenal di bidang sosiologi, politik, hingga media massa.

Kajian-kajian Daniel Dhakidae sangat mendalam. Seorang pembaca buku yang lahap. Pisau analisisnya sangat tajam. Namanya sangat dikenal di kalangan akademisi meski tidak pernah muncul di televisi.

Umbu Landu Paranggi, bangsawan dari Pulau Sumba, dijuluki Presiden Penyair Malioboro. Namanya begitu menjulang di kalangan penyair-penyair di Jogja pada era 70-an hingga 2000.

Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun punya apresiasi yang luar biasa untuk Umbu Landu Paranggi. Cak Nun menceritakan sosok Umbu yang luar biasa di pengajian-pengajiannya yang tersebar di YouTube itu.

Yang menarik, presiden penyair ini sepertinya tidak mau melepas puisi-puisinya ke publik. Beda dengan penyair-penyair lain yang punya buku kumpulan puisi, laman di internet dsb.

Suatu ketika, tutur Emha, ada penerbit yang sudah siap mencetak kumpulan puisi Umbu. Naskah tinggal dicetak. Tiba-tiba Umbu datang ke penerbit. Ambil kembali naskah puisinya. Gagallah penerbitan puisi Umbu.

Masih banyak lagi kebiasaan Umbu yang aneh-aneh, nyentrik, yang diceritakan Emha, salah satu murid Umbu saat di Malioboro, Jogjakarta. Mulai dari kebiasaan makan, tidur, bergadang, melekan, ngobrol dengan anak-anak muda dsb.

Emha bahkan menyebut Umbu sebagai 'orang suhud'. Saking perilakunya yang sangat berbeda dengan manusia normal. Seorang bangsawan yang berkelana jauh dari Pulau Sumba sebagai raja kelana. Sebagai raja pujangga di masanya.

Selamat jalan Umbu!
Selamat jalan Bung Daniel!

Tuhan, ujian ini terlalu berat

Masih banyak korban yang tertimbun. Masih banyak orang hilang di sini. Jalan raya putus di banyak titik sehingga alat berat tidak masuk ke kampung.

Begitu 'laporan' Yois Langoday tadi malam. ''Sejak hari pertama kami, warga di sini, yang berusaha cari jenazah-jenazah yang tertimbun,'' ujar Yois dengan suara tegar meski menyimpan kesedihan sangat dalam.

Yois Langoday adik ipar saya. Suaminya Kristofora, adik bungsu saya. Rumah mereka di Desa Amakaka 'data laga gohuk' atau rusak berantakan. Wilayah kampungnya di dekat sumur dan pasar, meski data laga, boleh dikata lumayan selamat.

Korban paling banyak di Amakaka bagian timur. Yang hancur habis. Jadi jalannya banjir lahar dari Gunung Lewotolok itu. ''Ujian dari Tuhan ini terlalu berat,'' kata Yois alias Yohanes.

Tak banyak yang saya tanyakan ke Yois. Saya cuma bilang sangat prihatin dan ''onek tungen''.  Belasungkawa yang sangat mendalam. Sebab, korban-korban meninggal di Amakaka, Waimatan, Tanjungbatu, dan kampung-kampung di Lembata ini bukan sekadar angka.

Sebagian besar korban tentu keluarga besar Langoday, marganya Yois. Salah satu marga terbesar di Lembata, khususnya Ile Ape. Yang punya ikatan khusus dengan marga Hurek karena adik kandungku menikah dengan Yois Langoday.

Semalam saya ikuti juga konferensi pers Ketua BNPB Doni Munardi. Data statistik korban disampaikan. Juga berbagai kesulitan petugas Basarnas dan aparat di lapangan. Termasuk antisipasi agar pengungsian tidak jadi klaster Covid-19.

Dari 22 kabupaten di NTT, Lembata dan Adonara (Flores Timur) yang paling parah. Parah kerusakannya, parah korbannya. Parah segalanya.

Mudah-mudahan bencana banjir lahar, banjir bandang, badai seroja atau apa pun namanya segera berlalu.

Oh Tuhan, ujian ini terlalu berat!
Ribu ratu rae lewo susah tudak!
Ina Maria, ina senaren, peten kame ata nalan!

Senin, 05 April 2021

Paskah Kelabu di Pulau Lembata

Seminggu sebelum Paskah ada firasat buruk. Saya bermimpi melihat begitu banyak orang sembahyang di makam di kampung asal saya di Pulau Lembata, NTT. Ratap tangis terus terdengar di tengah warga yang sedang berdoa rosario.

Ah, cuma mimpi. Bunga tidur saja. 

Tapi suasana dalam mimpi itu tak pernah hilang. Jangan-jangan ada apa-apa di kampung halaman atau Lewotanah. Maklum, sudah banyak firasatku yang terbukti meski kejadiannya tidak sama persis. Misalnya, ada keluarga inti meninggal dunia.

Sabtu 3 April 2021. Malam Paaskah. Tidak ada kabar dari kampung. 

Saya pun ikut misa Sabtu Paskah secara daring via channel Katedral Manila, Filipina. Misanya mulai pukul 14.00 sampai 16.00. Inilah kali pertama saya mengikuti misa Malam Paskah pada siang hari.

 Malam Paskah kok siang? Pandemi membuat berbagai tananan ambruk. Termasuk soal liturgi atau peribadatan. Kita tidak lagi terikat pada suatu paroki atau gereja layaknya di dunia nyata. Bisa ikut streaming mass dari negara mana saja.

Minggu Paskah, 4 April 2021.

Kembali ikut misa online. Bukan di YouTube atau Facebook tapi lewat Kompas TV pukul 11.00. Siaran langsung dari Gereja Katedral Jakarta. Dipimpin langsung Ignatius Kardinal Suharyo, Uskup Agung Jakarta.

Sesuai protokol di masa pandemi, liturgi Minggu Paskah benar-benar dipadatkan. Lagu-lagu sangat dikurangi. Karena itu, misa hanya berlangsung selama 52 atau 53 menit. Biasanya di atas dua jam di masa normal.

Nah, saat ikut misa di televisi itu muncul beberapa panggilan dari NTT. ''Banjir lahar sangat parah di kampung,'' kata Vincentia Hurek, adik saya di Kupang.

''Esi muri beng go kontak lewo. Go dore misa Paskah pi. Nanti saya kontak kampung. Saya lagi misa Paskah ini,'' pesan pendek saya di WA.

Setelah misa di kamar yang sepi itu, saya kontak Kristofora Hurek, adik bungsu di kampung. Di Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape. Tidak nyambung. HP mati. 

Bisa jadi listrik padam sehingga baterai HP mati. Bisa juga sinyal seluler hilang karena bencana itu. Begitu kecurigaan saya.

Maka saya cek grup-grup orang NTT alias Flobamora di media sosial. Khususnya Facebook yang jadi kegemaran orang NTT. Oh.. banyak gambar dan narasi tentang bencana alam di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Tetangga terdekat Pulau Lembata.

Jangan-jangan... badai itu juga menerjang Lembata di sebelah timur Adonara. Apalagi Gunung Ile Ape baru saja erupsi. Laharnya belum dimuntahkan.

Buku Puji Syukur masih terbuka di depan saya. Buku liturgi untuk ikut misa bersama Bapa Uskup Agung Jakarta di Kompas TV itu. 

''Hai makhluk semua, pujilah Tuhan kita,'' begitu lagu penutup misa khas Flores yang baru saja dibawakan di Kompas TV.

Tiba-tiba... Erni Hurek, adik kandung yang satunya di Lewoleba, menelepon. Nadanya sangat panik. Rinol dan Rio, keponakan, putranya Kristofora, sudah di rumah. Mereka lari tengah malam, jalan kaki. Hanya pakai pakaian basah yang melekat di badan.

''Kristofora belum bisa dihubungi karena HP-nya mati. Saya lagi cari informasi,'' ujar Erni dengan nada sangat panik.

Informasi lain: banyak warga Desa Amakaka, Tanjungbatu, Waimatan yang jadi korban. Banyak yang terbawa banjir lahar sampai ke laut. Bangunan rumah, harta benda.. tersapu. Ludes.

Oh, Tuhan... betapa berat ujian yang dihadapi ina ama kaka ari rae Lewo. ''Banjir lahar sangat mendadak sehingga banyak sekali orang kampung yang terjebak,'' kata Erni.

Saya hanya bisa berdoa dan kirim SMS ke Kristofora. Semoa dia dan Yois, suaminya, serta keluarga besar di kampung selamat.

Minggu petang. Kompas TV dan Metro TV kembali memberitakan bencana banjir di Flores Timur. Puluhan orang tewas. Puluhan orang lagi belum ditemukan. Narasumbernya Wakil Bupati Flores Timur Agus Payong Boli.

Kok jurnalis televisi di NTT tidak menyebut Lembata? Bukankah sama-sama dahsyat bencananya? Korbannya juga sama-sama banyak.

Tiba-tiba... ada panggilan dari Kristofora. Misscall. Gantian saya yang harus menelepon karena pulsa di kampung memang terbatas. Apalagi dalam kondisi bencana dahsyat macam ini.

Ade Is, sapaan akrabnya, bilang mereka ditampung di pengungsian Puskesmas Waipukang. ''Puji Tuhan, kami dikasih selamat. Kampung di sebelah yang habis dihantam banjir. Terima kasih Tuhan.. terima masih Tuhan,'' ujarnya dalam bahasa daerah.

Lalu, Is menceritakan kondisi bencana alam yang benar-benar sangat parah itu. Desa Wamatan boleh dikata habis karena bangunan-bangunannya disapu banjir. ''Kami di pengungsian ini juga tidak bawa apa-apa. Cepat-cepat jalan kaki untuk menyelamatkan diri,'' katanya.

Puji Tuhan! Ade Is dan keluarganya selamat.

Namun, saya pun sangat bersedih melihat foto-foto kerusakan yang sangat masif itu. Saya tidak pernah membayangkan dampak erupsi, banjir lahar, ditambah badai siklon tropis menerjang NTT, khususnya Flores Timur dan Lembata.

Kawan lama saya di Larantuka, Gaby, yang sekarang tinggal di Kenjeran, Surabaya, mengirim video lagu lawas tentang bencana alam dahsyat di Flores Timur tahun 1979. Lagu ini biasa diputar ulang saat ada bencana-bencana alam di Flores Timur dan Lembata.

Syairnya antara lain:

''Oh Tuhan, apa salah dan dosaku
Derita ini bertubi menimpa...''

Jumat, 02 April 2021

Puken aku teroris bom gereja?

''Kaka, hati-hati, ake mai gereja ki. Misa paskah hala di jadi. Mio tepe bom nong teroris menun pe.''

Begitu pesan singkat dari Kristofora, adik bungsu saya, di Lembata, NTT. Setelah melihat siaran teror bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, bolak balik Ade Is, sapaan akrabnya, misscall. Kelihatannya panik.

Ade Erni juga beberapa kali sengaja misscall setelah tragedi bom itu. Biasanya saya santai aja agar orang-orang di pelosok Pulau Lembata sana tidak panik.

''Aman. Tidak ada apa-apa di Surabaya,'' begitu pesan SMS saya. ''Semoga Tuhan melindungi kita semua.''

Pertanyaan dalam bahasa daerah di awal itu memang penuh kepanikan. Saya diminta tidak perlu ke gereja untuk misa pekan suci Paskah karena situasi yang tidak kondusif.

''Misa hala di dosa hala. Tidak misa pun tidak berdosa,'' kata dua adik perempuanku di kampung itu.

''Puken aku ti teroris nepe bom gereja? Tite salah aku?''

Mengapa teroris itu mengebom gereja? Apa salah kita (maksudnya umat Katolik)?

Tentu saya sulit menjawab pertanyaan khas orang-orang kampung di NTT seperti ini. Mereka tidak paham JI, JAT, ISIS dsb dsb. Orang-orang desa itu juga tidak mengerti istilah radikalisme, terorisme, deradikalisasi dsb.

Maka biasanya saya hanya bilang suasana di Pulau Jawa sebetulnya aman-aman saja. Sebab polisi sudah bergerak memburu sarang-sarang teroris. Sudah puluhan teroris yang ditangkap.

''Tapi mengapa masih ada bom?'' tanya Ade Is.

Yah.. bisa saja pasutri yang meledakkan diri di Makassar itu sudah bosan hidup. Mereka berdua ingin segera masuk surga bersama-sama.

''Teroris otaken helo tite hala,'' kata saya dalam bahasa daerah. Pola pikir, ideologi, dogmatika yang dianut para teroris berbeda total dengan orang normal. Jumlah mereka pun sangat sangat sedikit. Tapi sangat sangat berbahaya.

Bicara soal teroris dengan orang-orang NTT di pedalaman memang susah. Sebab nenek moyang etnis Lamaholot selalu mengajarkan bahwa ''Tite atadiken hama hena. Kiwanan watanen hama hena.''

Semua manusia itu sama saja di hadapan Sang Pencipta. Orang nasrani dan muslimin sama-sama manusia ciptaan Tuhan. Harus saling mengasihi, menyayangi, tak boleh saling menyakiti... apalagi ngebom sesama manusia.

Obrolan soal ini bisa panjang lebar kalau dikaitkan dengan kearifan dan adat Lamaholot. Dan pasti makan pulsa seluler yang banyak. Sementara saya sudah lama tidak menyimpang banyak pulsa untuk telepon dan SMS karena 99 persen komunikasi pakai WA.

Maka, apa boleh buat, obrolan tiba-tiba putus. Sebelum saya menyampaikan selamat pekan suci dan Jumat Agung.

Kamis, 01 April 2021

Belajar lagi tulisan tangan

Tak terasa hampir dua bulan blog ini off. Tidak ada naskah sepanjang bulan Maret. Bulan Februari pun cuma ada segelintir catatan. Terakhir Kamis, 11 Februari 2021, tentang Hari Orang Sakit Sedunia.

Ada beberapa rekan yang bertanya apa gerangan? Sakit? Terlalu sibuk? Tidak ada topik menarik?

Sebetulnya saya masih sering corat-coret. Tapi pakai tulisan tangan di buku tulis. Menulis catatan pendek khas diari tempo doeloe. Sekaligus melatih kembali tangan yang sudah lama tidak dipakai untuk menulis agak panjang.

Awalnya kagok karena tulisan tangan kurang lancar. Dan tidak elok. Agak cakar ayam. Kadang agak miring ke kanan, kurang tegak, kurang rata. Tapi lama-lama terbiasa juga.

Bulan Februari dan Maret 2021 adalah momentum yang miris. Terlalu banyak orang yang saya kenal berpulang gara-gara covid. Mulai kolega seprofesi, pastor... dan kian dekat ke keluarga sendiri.

Aku jadi banyak merenung dan refleksi. Betapa rapuhnya manusia. Sehebat apa pun tak kuat diserang virus tak kasat mata itu. Berita duka, RIP, innalilahi... berhamburan di media sosial.

Laman internet dan media sosial penuh dengan RIP dan obituari. Aku pun menulis catatan dan doa di atas kertas lusuh. Khususnya untuk Mama Vita yang berpulang bulan lalu di Kupang.

Hati ini rasanya teriris karena pemakaman pasien-pasien covid dilakukan dengan protokol yang sangat ketat. Tidak boleh datang ke rumah duka, tak ada upacara adat perkabungan layaknya adat kebiasaan di NTT.

Ya, Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami!
Semoga pandemi ini segera berlalu! 

Pekan Suci di Tengah Panen Bom

Sudah setahun pandemi Covid-19 melanda dunia. Virus asal Wuhan itu telah menghancurkan hampir semua tatanan hidup. Sudah jutaan orang yang kena covid. Yang meninggal pun terus bertambah.

Sudah setahun pula tatanan liturgi berubah drastis. Misa atau kebaktian langsung di gereja tidak ada. Misa hanya lewat daring atau live streaming. Rasanya memang beda dengan ikut misa langsung di gereja.

Pekan Suci telah tiba. Ditandai Minggu Palma yang ada geger bom bunuh diri di Katedral Makassar. Apakah pasutri teroris memang tahu ada misa pekan suci? Entahlah.

Hari ini Kamis Putih. Baru saja Ama Paul di Sidoarjo mengirim lagu Ajarilah Kami Bahasa Cintamu. Lagu lawas yang selalu jadi tema utama Kamis Putih.

Tiada kasih yang lebih besar, selain kasih seorang yang menyerahkan nyawa untuk sahabatnya!

Lagu itu saya renungkan sejenak. Nanti malam akan dinyanyikan di gereja. Biasanya jadi lagu pembukaan misa. Notasinya macam-macam tapi teksnya sama dari Injil Yohanes.

Berbeda dengan Pekan Suci tahun 2020 yang online penuh, tahun ini Bapa Uskup Surabaya menginginkan misa offline. Ekaristi langsung di gereja. Dengan protokol kesehatan ketat. Itu pun umat sangat dibatasi. Tidak sampai 50 persen kapasitas gereja.

Yang ikut misa offline harus daftar dulu lewat ketua lingkungan. Harus umat paroki setempat. Orang Katolik di Sidoarjo kayak teman saya Ricky tidak boleh ikut misa di Katedral Surabaya. Padahal sudah 20-an tahun dia selalu misa di HKY Surabaya. 

''Aku malas aja di Sidoarjo. Suasana di HKY itu beda,'' kata Ricky.

''Kami akan misa Kamis Putih nanti petang,'' kata Ama Paul di Sidoarjo. Bapak guru asal Adonara NTT ini sangat setia ikut misa di Gereja Santa Maria Annuntiata Sidoarjo.

Saya pantau beberapa gereja yang paternya saya kenal. HKY Surabaya, Roh Kudus Rungkut, Salib Suci Waru, Santo Paulus Juanda. Semuanya ada offline, tapi lebih banyak online.

Apa boleh buat, misa offline alias misa daring masih jadi pilihan di masa pandemi. Apalagi Pekan Suci tahun 2021 ini ditandai dengan aksi terorisme di Makassar. Situasinya tidak kondusif untuk misa langsung di gereja.

Selamat memasuki Pekan Suci!