Sudah seminggu ini warkop Mbak Kholifah di kawasan kota lama Surabaya tutup. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Padahal warkop itu biasanya buka meskipun bulan Ramadan.
Langganannya cukup banyak. Salah satunya saya. Selain itu, sejumlah karyawan di kawasan kota lama seperti Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Gula, Jalan Cokelat, hingga Kalimas.
Mampir di warkop ini ibarat belajar bahasa Madura juga. Sebab Kholifah yang asli Bangkalan selalu berbahasa Madura dengan Umi dan beberapa oreng (orang) di situ yang sama-sama berasal dari Madura.
Kawasan Surabaya Utara ini memang sering dipelesetkan sebagai Blok M. Blok Madura. Saking banyaknya orang Madura yang bekerja di sektor informal. Tukang parkir, tambal ban, warkop, sopir truk-truk yang biasa mangkal di Jalan Karet hingga Kalimas, tukang ojek online, dsb.
''Ke mana Mbak Kholifah?'' tanya saya kepada Umi. Tukang parkir yang hajah ini asli Bangkalan tapi sudah puluhan tinggal di Surabaya. Umi ini yang paling dekat dengan Kholifah.
''Mbak Kholifah sudah nggak ada,'' katanya. ''Sudah seminggu ini meninggal dunia.''
Oh, Tuhan... semoga Mbak Kholifah tenang di alam keabadian.
Saya tak pernah menyangka kalau Mbak Kholifah pergi secepat ini. Usianya belum 40. Orangnya juga kelihatan sehat dan jarang mengeluh sakit, tidak enak badan, dan sejenisnya.
Jangan-jangan... sakit Covid-19?
"Nggak ada itu kopid-kopidan. Mbak Kholifah meninggal karena sakit lambung,'' kata perempuan gemuk yang selalu dipamggil Umi setelah naik haji bersama suaminya itu.
Oh, Tuhan....
Sebelum pandemi covid ini datang, Mbak Kholifah juga kehilangan suami. Meninggal dunia karena sakit. Tak lama kemudian Kholifah menikah lagi dengan orang Madura juga. Belum sampai dua tahun dia menyusul suami pertamanya ke alam baka.
Berbeda dengan ngopi di warkop-warkop lain, apalagi di depot sebelah yang kopinya mahal, ngopi di warkopnya Mbak Kholifah terasa gayeng. Ibarat cangkrukan bersama teman-teman lama. Ada saja obrolan ringan hingga berat seperti tren media massa dan media sosial, bisnis shipping and cargo yang kantornya di dekat situ, kawasan kota lama yang masih kumuh dan semrawut.
Mas Surani, karyawan perkapalan, malah lebih suka membahas ramuan madura dan menggojlok Kholifah pakai bahasa Madura tentu saja. Omongannya selalu seru... dan ngeres.
Kholifah selalu menanggap para wartawan dan karyawan koran langganannya tahu banyak hal tentang apa saja di Surabaya dan negara ini. Mulai penangkapan pemakai sabu-sabu, pengeroyokan maling motor, hingga perkembangan covid.
''Pak Wartawan, kapan korona ini berhenti? Kok gak selesai-selesai?" tanya Kholifah. "Orang sudah bosan baca berita-berita tentang korona. Jualan saya jadi gak laku."
Gampang-gampang sulit menjawab pertanyaan Kholifah. Sebab jawaban kita akan disusul pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih sulit lagi. Tapi asyik karena mbak warkop ini termasuk salah satu dari sedikit orang (Madura) yang masih sempat baca koran ketika warkopnya sepi.
Kini salah satu pelanggan koran itu telah tiada. Dan pelanggan-pelanggan warkopnya seperti saya kehilangan tempat cangkrukan dan ngopi plus ngerasani pejabat, politisi, dan sebagainya.