Seandainya masih hidup, hari ini ayahku genap berusia 80 tahun. Bapa Niko lahir di Desa Bungamuda, salah satu kampung yang sekarang terdampak erupsi Gunung Lewotolok, Pulau Lembata, 6 Desember 1940.
Tanggal dan bulan lahirnya sebetulnya tidak akurat. Seorang pater asal Belanda yang memilihkan tanggal 6 Desember. Pesta nama Santo Nikolaus atau Nikolas. Orang-orang kampung di Lembata saat itu buta huruf sehingga tidak punya catatan tanggal lahir yang akurat.
Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia tahun lalu di Lewoleba. Tepatnya 22 Juli 2019.
Meskipun sudah 1,5 tahun berpulang, saya masih merasa seakan-akan beliau masih ada. Beberapa kali Bapa Niko datang dalam mimpi dengan wajah yang selalu tersenyum. Wajah saat masih muda dan kuat. Bukan Bapa Niko yang lansia dan rapuh.
Ada kenangan tak terlupakan di kampung Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, saat aku masih kecil. Ada kaitan dengan Diego Maradona, megabintang asal Argentina yang baru saja meninggal dunia. Yakni partai final Piala Dunia 1986 di Meksiko.
Argentina yang dikapteni Maradona melawan Jerman Barat yang diperkuat pemain-pemain top seperti Matthaeus, Rummenigge, Voeller. Inilah partai final paling berkesan dalam hidup saya meskipun saya tidak melihat dengan mata, tapi telinga.
Saat itu Pulau Lembata belum ada listrik. Lewoleba sebagai ibu kota (calon) kabupaten saja belum ada jaringan PLN. Apalagi desa-desa pelosok seperti di Ile Ape. Bahkan, Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur pun listrik PLN hanya tiga jam. Pukul 18.00 sampai 21.00.
Karena itu, Bapa Niko dan beberapa orang kampung sangat doyan mendengarkan siaran pandangan mata lewat RRI Kupang dan RRI Ujungpandang. Kualitas suara RRI Ujungpandang di gelombang pendek (SW) sangat bagus.
RRI Kupang hanya bagus pada malam hari. RRI Stasiun Nasional Jakarta selalu kemeresek suaranya. Biasanya pertandingan-pertandingan yang bagus seperti tim nasional direlai oleh RRI stasiun regional di seluruh Indonesia.
Nah, Bapa Niko Hurek punya radio kecil merek Conion khusus gelombang pendek SW1 dan SW2. Aslinya pakai dua baterai, tapi dimodifikasi jadi empat baterai. Baterai-baterai lama yang sudah suak dijemur lalu digandeng. Agar bisa hemat katanya.
Luar biasa kecintaan Bapa Niko pada radio. Khususnya warta berita, sandiwara Butir-Butir Pasir di Laut, siaran pendidikan, Forum Negara Pancasila, hingga berita dukacita. Beliau yang selalu mengabarkan berita kematian sanak famili yang tinggal di Kupang setelah nguping RRI Kupang malam hari.
Kembali ke Piala Dunia 1986.
Siaran langsung Argentina vs Jerman Barat berlangsung dini hari. Saat "manuk gokok moan telo", ayam berkokok tiga kali. Bapa Niko sudah siapkan radio di atas meja. Biasanya radio kecil itu ditaruh di atas lemari.
Saya pun bangun untuk menemani ayah mengikuti siaran pandangan mata di radio. Meski tidak melihat gambarnya seperti di TV, suasana yang dilaporkan penyiar RRI saat itu sangat hidup. Match reporting, suasana di stadion, keriuhan... benar-benar hidup.
Rupanya Bapa Niko penggemar Maradona dan Argentina meskipun--itu tadi--tidak pernah lihat orangnya karena memang belum ada televisi. Wajahnya berseri-seri mendengar Maradona mampu mengecoh dua tiga pemain lawan. Kemudian kirim umpan yang berbuah gol dicetak Jose Brown. Turun minum, kami pun minum teh sembari mendengar komentar penyiar RRI. Bapa Niko makin kagum dengan Diego Maradona.
Saudara-saudara... bola dikuasai Maradona, utak-atik dia melewati dua tiga empat pemain.. sayang... Maradona terjatuh. blablabla. Bapa Niko makin senang Argentina unggul 2-0 lewat sepakan Valdano.
Saya yang awalnya biasa-biasa saja jadi pendukung Jerman Barat. Ini setelah Karl-Heinz Rummenigge mencetak gol pada menit 74. Enam menit kemudian Rudi Voeller cetak gol.
Saya girang luar biasa. Mama Yuliana akhirnya terbangun. Mendiang Mama ini kelihatannya heran melihat saya dan Bapa Niko khusyuk menghadap radio transistor kecil itu.
Skor 2-2 membuat pertandingan makin seru. Penyiar RRI pun makin semangat melaporkan jalannya pertandingan. Kedua kesebelasan berusaha kill the game.
Akhirnya... Jorge Burruchaga mencetak gol pada menit ke-83. Skor 3-2 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan wasit. Argentina juara. Nama Diego Maradona sejak itu makin berkibar di jagat sepak bola dunia.
Karena itu, ketika Maradona meninggal dunia dua pekan lalu air mataku jatuh. Mengenang momen bahagia bersama Bapa Niko mendengarkan siaran langsung sepak bola di kampung asalku 34 tahun lalu.
Selamat ulang tahun Bapa Niko!
Semoga damai bersama Bapa di surga!