Minggu, 06 Desember 2020

Erupsi Berlanjut, Romo Ajak Pulang

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata sudah berlangsung selama tujuh hari. Puncak erupsi sepertinya sudah terjadi pekan lalu. Saat itu semburan material vulkanik menjulang hingga 5.000-an meter.

Saya pantau terus kondisi Ile Ape. Maklum, kampung halaman tempat saya dilahirkan. Ribuan warga dari 26 desa juga masih berada di tenda-tenda pengungsian.

Minggu pagi ini, 6 Desember 2020, pukul 07:36 Wita dilaporkan erupsi masih terjadi di Gunung Lewotolok. Tinggi kolom abu teramati ± 900 m di atas puncak (± 2323 meter di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna putih hingga kelabu dengan intensitas tebal ke arah timur.

Bagaimana dengan kondisi pengungsi? Media-media online tidak lagi melaporkannya. Mungkin dianggap sudah aman. Tidak segawat pekan lalu yang benar-benar mengerikan.

Tapi rupanya ada masalah dalam tanggap darurat. Pemkab Lembata sepertinya kewalahan menangani pengungsi dari dua kecamatan itu: Ile Ape dan Ile Ape Timur. Bisa dimaklumi karena pemkab tidak punya pengalaman menangani ribuan pengungsi.

Kelihatannya Romo Laurensius Yatim Muda berang. Melihat penanganan para pengungsi yang tak lain umat parokinya sengsara di lokasi pengungsian.

Romo Laurens Yatim Muda menulis:

"SAYA... RM LORENS YATIM MUDA PR. PASTOR PAROKI TOKOJAENG MEMINTA UMAT SEPAROKI TOKOJAENG UNTUK KEMBALI KE TEMPAT ASAL KITA MASING2. BIAR KITA MATI TERTIMPA GUNUNG DALAM WAKTU SEKEJAP DARI PADA KITA HARUS MATI PERLAHAN-LAHAN ATAS CARA SEPERTI INI."

Kaget juga membaca kata-kata yang sangat keras ini. Kelihatannya Romo Laurens memandam amarah selama sepekan ini. "Semoga ada solusi yang baik," kata saya menanggapi pernyataan Romo Laurens.

Tidak hanya di Lembata. Di mana-mana selalu begitu. Pemerintah pasti kewalahan menyediakan dapur umum, makanan minuman, dan sebagainya. Di lokasi bencana alam di Jawa pun sama saja.

Dulu pengungsi semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo juga unjuk rasa hampir tiap hari. Ada saja keluhannya. Karena itu, semua pihak perlu membantu Pemkab Lembata dan instansi terkait.

Mengecam keras pemerintah yang dinilai tidak becus menangani ribuan pengungsi tak akan menyelesaikan masalah. Apalagi nekat pulang kampung di saat erupsi masih terjadi.

Sabar... sabar... sabar... dan tunggulah petunjuk pihak vulkanologi kapan waktu yang tepat. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Salus populi suprema lex!

Sabtu, 05 Desember 2020

Bapa Niko, Maradona, Radio Conion

Seandainya masih hidup, hari ini ayahku genap berusia 80 tahun. Bapa Niko lahir di Desa Bungamuda, salah satu kampung yang sekarang terdampak erupsi Gunung Lewotolok, Pulau Lembata, 6 Desember 1940.

Tanggal dan bulan lahirnya sebetulnya tidak akurat. Seorang pater asal Belanda yang memilihkan tanggal 6 Desember. Pesta nama Santo Nikolaus atau Nikolas. Orang-orang kampung di Lembata saat itu buta huruf sehingga tidak punya catatan tanggal lahir yang akurat.

Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia tahun lalu di Lewoleba. Tepatnya 22 Juli 2019.

Meskipun sudah 1,5 tahun berpulang, saya masih merasa seakan-akan beliau masih ada. Beberapa kali Bapa Niko datang dalam mimpi dengan wajah yang selalu tersenyum. Wajah saat masih muda dan kuat. Bukan Bapa Niko yang lansia dan rapuh.

Ada kenangan tak terlupakan di kampung Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, saat aku masih kecil. Ada kaitan dengan Diego Maradona, megabintang asal Argentina yang baru saja meninggal dunia. Yakni partai final Piala Dunia 1986 di Meksiko.

Argentina yang dikapteni Maradona melawan Jerman Barat yang diperkuat pemain-pemain top seperti Matthaeus, Rummenigge, Voeller. Inilah partai final paling berkesan dalam hidup saya meskipun saya tidak melihat dengan mata, tapi telinga.

Saat itu Pulau Lembata belum ada listrik. Lewoleba sebagai ibu kota (calon) kabupaten saja belum ada jaringan PLN. Apalagi desa-desa pelosok seperti di Ile Ape. Bahkan, Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur pun listrik PLN hanya tiga jam. Pukul 18.00 sampai 21.00.

Karena itu, Bapa Niko dan beberapa orang kampung sangat doyan mendengarkan siaran pandangan mata lewat RRI Kupang dan RRI Ujungpandang. Kualitas suara RRI Ujungpandang di gelombang pendek (SW) sangat bagus.

RRI Kupang hanya bagus pada malam hari. RRI Stasiun Nasional Jakarta selalu kemeresek suaranya. Biasanya pertandingan-pertandingan yang bagus seperti tim nasional direlai oleh RRI stasiun regional di seluruh Indonesia.

Nah, Bapa Niko Hurek punya radio kecil merek Conion khusus gelombang pendek SW1 dan SW2. Aslinya pakai dua baterai, tapi dimodifikasi jadi empat baterai. Baterai-baterai lama yang sudah suak dijemur lalu digandeng. Agar bisa hemat katanya.

Luar biasa kecintaan Bapa Niko pada radio. Khususnya warta berita, sandiwara Butir-Butir Pasir di Laut, siaran pendidikan, Forum Negara Pancasila, hingga berita dukacita. Beliau yang selalu mengabarkan berita kematian sanak famili yang tinggal di Kupang setelah nguping RRI Kupang malam hari.

Kembali ke Piala Dunia 1986.

Siaran langsung Argentina vs Jerman Barat berlangsung dini hari. Saat "manuk gokok moan telo", ayam berkokok tiga kali. Bapa Niko sudah siapkan radio di atas meja. Biasanya radio kecil itu ditaruh di atas lemari.

Saya pun bangun untuk menemani ayah mengikuti siaran pandangan mata di radio. Meski tidak melihat gambarnya seperti di TV, suasana yang dilaporkan penyiar RRI saat itu sangat hidup. Match reporting, suasana di stadion, keriuhan... benar-benar hidup.

Rupanya Bapa Niko penggemar Maradona dan Argentina meskipun--itu tadi--tidak pernah lihat orangnya karena memang belum ada televisi. Wajahnya berseri-seri mendengar Maradona mampu mengecoh dua tiga pemain lawan. Kemudian kirim umpan yang berbuah gol dicetak Jose Brown. Turun minum, kami pun minum teh sembari mendengar komentar penyiar RRI. Bapa Niko makin kagum dengan Diego Maradona.

Saudara-saudara... bola dikuasai Maradona, utak-atik dia melewati dua tiga empat pemain.. sayang... Maradona terjatuh. blablabla. Bapa Niko makin senang Argentina unggul 2-0 lewat sepakan Valdano.

Saya yang awalnya biasa-biasa saja jadi pendukung Jerman Barat. Ini setelah Karl-Heinz Rummenigge mencetak gol pada menit 74. Enam menit kemudian Rudi Voeller cetak gol.

Saya girang luar biasa. Mama Yuliana akhirnya terbangun. Mendiang Mama ini kelihatannya heran melihat saya dan Bapa Niko khusyuk menghadap radio transistor kecil itu.

Skor 2-2 membuat pertandingan makin seru. Penyiar RRI pun makin semangat melaporkan jalannya pertandingan. Kedua kesebelasan berusaha kill the game.

Akhirnya... Jorge Burruchaga mencetak gol pada menit ke-83. Skor 3-2 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan wasit. Argentina juara. Nama Diego Maradona sejak itu makin berkibar di jagat sepak bola dunia.

Karena itu, ketika Maradona meninggal dunia dua pekan lalu air mataku jatuh. Mengenang momen bahagia bersama Bapa Niko mendengarkan siaran langsung sepak bola di kampung asalku 34 tahun lalu.

Selamat ulang tahun Bapa Niko!
Semoga damai bersama Bapa di surga!

Donasi untuk Korban Erupsi Ile Lewotolok

Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, meletus pada Minggu 29 November 2020. Semburan material vulkanik setinggi 5.000-an meter itu membuat belasan ribu warga dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba.

Banyak pihak langsung merespons dengan mengadakan aksi penggalanan dana. Mahasiswa Lembata dan Adonara di Surabaya juga membuka posko donasi. Begitu juga keluarga besar NTT di Jawa Timur.

Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, juga sudah membuka posko. "Kami menerima bantuan baik berupa makanan, sembako, juga uang tunai," ujar Romo Kristo Soge, koordinator Posko Dekenat Lembata.

 Dompet bencana alam untuk korban erupsi Gunung Lewotolok dibuka hingga 14 Desember 2020. 

Jumat, 04 Desember 2020

Romo Laurens Yatim Muda bersama ribuan pengungsi

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, menjadi konsen keluarga besar Flobamora di Jawa Timur. Khusus para perantau asal Kabupaten Lembata. Lebih khusus lagi yang berasal dari Ile Ape.

Saya jadi makin sering mengecek laporan pemantauan Ile Ape di laman Kementerian ESDM. Erupsi masih ada tapi tidak sedahsyat hari pertama, Minggu 29 November 2020, yang mencapai ketinggian 5.000-an meter itu.

Pagi tadi, Jumat, 4 Deswmber 2020, ketinggian sekitar 500 meter. Satu dua hari lalu 800-an meter. Artinya, erupsi gunung di kampung halamanku itu berangsur menurun. Atau akan ada letusan susulan yang besar? Pakar vulkanologi sekaliber Prof Surono pun tak bisa memastikan.

Yang pasti, ribuan penduduk dari 26 desa dan 2 kecamatan dan 2 paroki masih berada di tenda-tenda pengungsian di Lewoleba. Banyak pula yang menumpang di rumah-rumah famili. Termasuk Kristofora Tuto, adik kandungku, dari Desa Lewotolok.

"Kame ia sot-sot," kata Kristofora. "Kami di sini sangat takut ada erupsi susulan. Informasinya simpang siur," katanya.

Tenang saja. Banyak berdoa dan sabar. Tunggulah sampai situasi aman baru pulang. Ikuti petunjuk pemerintah. Begitu antara lain nasihatku kepada si bungsu yang mudah nelangsa itu.

Saya pun memantau situasi pengungsi letusan Ile Ape lewat Romo Laurentius Yatim Muda. Pastor Paroki Tokojaeng itu cukup aktif membagikan imformasi tentang situasi Gunung Lewotolok. Lengkap dengan foto-foto terkini.

Sebagai seorang pastor, gembala umat, Romo Laurens pun ikut mengungsi. Bersama ribuan domba-dombanya di tenda-tenda. Romo Laurens selalu menguatkan umat agar berserah diri kepada Tuhan.

Romo Laurens menulis (huruf besar semua, ciri khasnya):

"SEBAGAI SALAH SATU PENGUNGSI DARI BELASAN RIBU PENGUNGSI, SAYA MENGUCAPKAN SYUKUR KEPADA TUHAN KARENA TELAH MENJAGA DAN MELINDUNGI KAMI HINGGA SAAT INI. 

SAYA JUGA BERTERIMA KASIH KEPADA SAUDARA/I SEKALIAN KARENA SUDAH... SEDANG DAN AKAN MEMBERI PERHATIAN KEPADA KAMI BAIK SECARA MORIL MAUPUN MATERIL SEHINGGA KAMI TETAP KUAT DAN SEMANGAT SAMPAI SAAT INI.

SEMOGA TUHAN MEMBERKATI ANDA KALIAN DENGAN SEGALA BERKAT SURGAWI DAN DUNIAWI OLEH ALLAH YANG MAHA KUASA."

Saya juga melihat foto-foto patung Bunda Maria di lokasi pengungsian. Ada seorang mama tua memeluk Bunda Maria erat-erat sambil menangis. Minta perlindungan sang Mater Dei agar para pengungsi yang jumlahnya ribuan itu sehat dan selamat.

Kalau ada bencana alam gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi dsb, pertanyaan pertama saya kepada wartawan di lapangan adalah: "Berapa korban yang meninggal? Berapa korban luka? Berapa orang yang hilang?"

Maka, saya pun mengecek di laman internet dan kontak langsung beberapa kenalan. Ada lima anak yang hilang. Foto-fotonya sempat viral di media sosial.

Roma Laurens Yatim Muda akhirnya membagi informasi yang menyenangkan. Kelima anak itu sudah kembali.

"TUHAN, DENGARKANLAH DOA SEMUA ORANG YANG MEMOHON BELAS KASIH DAN PENGAMPUNANMU," tulis Romo Laurens.

Rabu, 02 Desember 2020

Puisi di Tengah Erupsi Ile Ape

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, Minggu pagi 29 November 2020 memang sangat dahsyat. Tinggi semburan bisa mencapai 5.000 meter.

Ribuan penduduk dari 26 desa panik. Buru-buru mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Tak bawa bekal apa pun. Asal selamat nyawa. ''Tidak sempat bawa baju. Baju di badan saja,'' kata seorang wanita asal Desa Lewotolok.

Erupsi Ile Ape ini juga menjadi inspirasi bagi sejumlah seniman Lamaholot untuk menulis syair, puisi, lagu-lagu, hingga oreng (lagu ratapan tradisional).

Ama Paulus Latera di Sidoarjo, yang asli Adonara Barat, membagi puisinya yang berjudul Duka Lembata, Dukanya Lewotanah. ''Ini bentuk simpati saya untuk saudara-saudari di Lembata,'' katanya.

Yang sangat menyentuh hatiku adalah puisi berbahasa Lamaholot karya Kristiani Claris. Wanita asal Honihama, Adonara, itu memotret kepulan awan yang membubung tinggi di atas puncak Ile Ape. Menyemburkan abu vulkanik ke Adonara, Solor, hingga Larantuka. Kawasan yang jauh dari Lembata pun kebagian abu hangat. Biar sama-sama dapat pupuk alam gratis dari langit.

Bagi kami yang berbahasa Lamaholot, puisi itu sangat mengharukan. Apalagi para korban bencana alam itu keluarga sendiri. Hujan abu, material panas, dsb menimpa kampung halaman kita.

''Go louk loranga,'' komentar seorang teman dari Ile Ape. Artinya, air mataku jatuh (membaca puisi itu).


DUKA LEMBATA - DUKANYA LEWOTANAH

Ketika dentuman gelegar di puncak ile ape
Asap membumbung tinggi
Panas lahar membara
Bikin heboh tanah Lembata
Orang berlari tak tentu arah
Yang penting selamat dulu
Kali ini Ile Lewotolok
Bikin cerita
Untuk ribu ratu
Lembata berduka
Torang po iko menangis

Tuan Deo
Dengarkan jerit tangis anak2mu di sana
Ke mana lagi air matanya ditampung
Tuhan
Jeritan ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Kami berdoa
Kami berharap
PadaMu Ema Lera Wulan
Biar Lembata kembali damai
Sama damainya hati kami 
di masa Natal ini
Oh nuba pulo dan nara lema
Jaga lapak lewo tana kami
Kami cinta lewo tana
Air mata ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Duka Lembata, dukanya lewotana 
Dukanya anak Lamaholot

----------- 
Puisi Kristiani Claris

Doan pia lewo honihama
Doan go belelen lile....
Belelen kaan onek te kerudun
Lile kaan yonhek te menange.
Lela pia suku lein laka matan
Lela go peroin marin....
Turun aku tou nuanen.
puken aku tou musinen...
Na tula luga, soron sera, nuru nonin,naan nuluyen te beleku naan manonen te geridin...
sape naan tube dop,
ribhun rathun ina wae ama lake kesin belen pelae gerame , todok walet ,goka lengat.
Naku..
Koda ake taan odun
kirin ake taan pute..
Pai tite hama-hama..
tobo golen pae gole..
pupu uku, tutu tapan, marin holo koda usu, kirin asa...
hobe boke puin holo koda di belaga laga, kirin dimeneso peso..
Ti koda ake nai data doan..
kirin ake nai hoan lela....
Doan hulen te perohon...
Lela lile te menange...

Selasa, 01 Desember 2020

Ile Ape Meletus: Adat Lamaholot vs Agama


Gunung Ile Ape atau Ile Lewotolok di Pulau Lembata, NTT, meletus dahsyat pada Minggu pagi 29 November 2020. Ribuan penduduk dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba. Inilah erupsi terdahsyat dalam sejarah gunung api di kampung halamanku itu.

Selama puluhan, bahkan ratusan tahun, Ile Ape aman-aman saja. Cuma batuk kecil. Baru kali ini erupsi mengeluarkan material hingga ketinggian 5.000-an meter. Jadi pemandangan yang langka di Flores Timur dan Lembata, bahkan NTT.

Karena itu, semua orang Ile Ape terkejut, panik, dan gelagapan. Tidak sempat membaca tanda-tanda alam beberapa bulan sebelum terjadi letusan ini.

Ada apa dengan Ile Ape? Ada pesan apa di balik letusan gunung setinggi 1.400-an meter itu?

Diskusi informal pun terjadi di Jawa Timur. Di antara sesama orang Ile Ape, Lembata, atau Flores Timur. Yang sama-sama etnis Lamaholot.

Ama Paul Manuk yang asli Adonara Barat punya perhatian khusus terhadap Ile Ape. Guru senior di SMAK Petra Surabaya itu punya suku yang satu nenek moyang dengan suku Manuk di Ile Ape. Ia punya konsen dengan adat leluhur Lamaholot.

Ama Paul: "Ini jadi pelajaran juga buat orang tua rae lewo. Tutu koda untuk gena ana. Berjagalah terus. Dan jangan lupa koda adat ama."

(Ini pelajaran untuk kita di kampung supaya tidak lupa adat istiadat. Mungkin ada adat yang diabaikan selama ini.)

Ama Paul meneruskan:

"Itu termasuk isyarat teti lodo. Sudahkah ribu peten oneka. Terus bagaimana dengan cerita ILE TELO? Tentu ada riwayat sambungannya. Tobo hama2 tutu lagi dan lagi. . ..ama. Pe ada jasmerahnya."

(Kejadian Ile Ape meletus itu isyarat dari langit. Sudahkan kita semua duduk bersama, bicarakan adat istiadat, harus duduk lagi. Semua itu ada jasmerahnya. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.)

Beberapa menit lalu Ama Cornelis Hurek di Kota Lama, Jalan Pecinan Malang, telepon. Pasti bertanya tentang Ile Ape meletus. Berikut pendapat dan analisisnya.

"Bernie, perkembangan rae lewo nega?" (bagaimana perkembangan erupsi di kampung.)

Saya bilang baru membaca laporan terakhir di situs Magma ESDM. Erupsi masih terjadi tapi tinggi semburan tinggal 800 meter. Tidak lagi 4.000 meter seperti hari pertama.

Data resmi PMBGV ini menunjukkan bahwa erupsi Ile Ape makin lama makin reda. Mudah-mudahan bisa cepat selesai. Agar ribuan warga segera pulang ke kampung masing-masing. Musim hujan saatnya mula wata hokot ekan (menanam jagung dan menyiangi rumput di ladang).

Saya sudah menduga Ama Cornelis di Malang ini lebih banyak bicara soal kristianitas dan alkitabiah. Kontras dengan Ama Paulus yang konsen ke adat istiadat orang Lamaholot.

"Itu peringatan untuk kita semua. Pasti ada hikmah di balik bencana ini," kata Ama Cornelis yang pernah merantau lama di Malaysia Timur.

Hikmah apa?

"Masyarakat kita di kampung itu sudah ratusan tahun terlalu sibuk dengan urusan adat. Bahkan, ada yang sampai lupa dengan Tuhan. Adat, adat, adat.. koda kiring tula gudung," katanya.

"Bukan berarti saya anti sama adat di kampung. Tapi mestinya jangan berlebihan. Gunung meletus ini jadi peringatan agar kita semua kembali pada Tuhan," ujar Ama Cornelis mirip khotbah evangelis yang lahir baru.

Hemmm... repot juga memang. Satu peristiwa alam disikapi dengan sudut pandang yang berbeda meski sama-sama orang Lamaholot. Sama-sama peduli Lewotanah.

Ama yang satu menganggap masyarakat di kampung sudah mengabaikan adat istiadat nenek moyang. Terlalu ikut arus modernisasi. Koda kiring, tula gudung.. sudah tidak seintens pada masa lalu.

Sebaliknya, Ama yang satunya lagi menganggap kami orang-orang Ile Ape terlalu larut dalam adat istadat. Agama di KTP Katolik tapi tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Alkitab, 10 Perintah Allah, 5 Perintah Gereja, katekismus dsb.

Saya sih manut Mbah Rono aja. Sang profesor pakar gunung berapi itu punya pendapat yang sangat menarik tentang erupsi dan perilaku volcano. Gunung api itu sahabat manusia, bukan musuh.

Gunung api pasti meletus atau erupsi. Itulah mekanisme alam untuk mengeluarkan material yang sudah dimasak di dapurnya selama sekian tahun. Material-material itu pun bermanfaat untuk manusia. Kawasan Ile Ape dan Lembata umumnya akan lebih subur.

Gunung Ile Ape di Kampungku Meletus

Ada panggilan berkali-kali dari Pulau Lembata, NTT, lewotanah alias kampung halaman. Tidak segera saya angkat karena masih OTW alias di jalan raya. Saya agak trauma telepon-teleponan di jalan karena pernah kesenggol. Terkilir sedikit.

Saya sudah bisa menduga isinya. Berita kurang enak dari kampung. Deg-degan karena hampir tidak ada telepon atau SMS atau pesan WA yang isinya berita bahagia.

 "Gunung Ile Ape meletus. Semua warga panik dan sedang mengungsi ke Lewoleba," kata Kristofora di Desa Lewotolok. Adik bungsu ini tani gareng atau menangis sejadi-jadinya karena memang emosinya paling peka. Mudah sedih dan menangis.

Oh Tuhan!

Minggu pertama Masa Adven! Pagi-pagi Ile Ape alias Ile Lewotolok erupsi. Meletus hebat. Benar-benar gawat karena wedhus gembelnya sangat tinggi. Hujan abunya menyebar sangat jauh.

Meski namanya Ile Ape (ile: gunung, ape: api), gunung di kampung kami itu sudah lama tidak erupsi. Bahkan sering dianggap sangat aman karena sudah mati. Meskipun setiap hari melelehkan cairan belereng dan kepulan asap.

Saya cek internet dan media sosial. Foto-foto Ile Ape meletus sudah mulai viral. Tinggi sekali semburannya. Orang-orang di Pulau Adonara yang sebenarnya agak jauh dari Lembata pun ngeri melihat letusan Ile Ape.

 Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyebut erupsi pertama 500 meter, disusul erupsi kedua mencapai 4.000 meter. Tinggi Ile Ape sendiri sekitar 1.400-an meter dari permukaan laut.

Ketinggian erupsi yang mencapai 4 km, ada yang bilang 5 km, itu yang viral di berbagai media. Ile Ape atau Ile Lewotolok sekaligus Pulau Lembata tiba-tiba jadi terkenal. Padahal selama ini tidak banyak orang di luar NTT yang tahu tentang Lembata. 

Saya sendiri pun selalu mengaku berasal dari Pulau Flores kalau ditanya orang Jawa Timur. Tidak pernah saya bilang Lembata atau Lomblen. Sebab pasti muncul pertanyaan lanjutan, ''Lembata itu di mana?"

Sebagai orang yang lahir di kampung tua, kawasan gunung itu, saya sangat paham risiko dan dampak bencana geologi letusan Ile Ape. Sebanyak 26 desa seluruhnya berlokasi di sekeliling gunung. Semua desa berada di pinggir pantai tapi juga tidak terlalu jauh dari gunung sakti itu.

Kampung-kampung yang jauh cuma di kawasan tanjung seperti Tuak Wutun, Dulitukan, Tagawiti, Palilolon. Sementara kampungku di kawasan Bungamuda, Napasabok, Lamagute, Lamawara, Lewotolok, Waowala... sudah pasti terkena siraman abu gunung api.

"Bungamuda dan Lamawara parah. Banyak atap rumah yang rusak," ujar Kristofora dengan suara masih panik. Padahal sudah mengungsi di Lewoleba.

Saya berusaha menenangkan dan membesarkan hati si bungsu ini. Bahwa erupsi itu tidak akan lama. Sebagai gunung api, Ile Ape memang harus mengeluarkan semua isi perutnya. Percayalah, letusan akan semakin kecil dan lama-lama akan mereda.

"Ramalan di sini letusan nanti sore akan lebih besar lagi," katanya.

"Tenang, sabar, banyak sembahyang kontas (rosario)... semoga erupsi ini segera berakhir," kata saya.

Omonganku kayak penasihat spiritual yang paham rahasia gunung berapi. Padahal, saya pun ngeri melihat foto-foto dan video erupsi Ile Ape di grup medsos Flobamora Jawa Timur:  "Pray for Lembata! Ile Lewotolok Meletus! Ribuan Warga Ngungsi!"

Gara-gara Ile Ape meletus, saya jadi rajin membaca laman Magma milik Kementerian ESDM yang rutin melaporkan aktivitas semua gunung berapi di Indonesia. Saya perhatikan ketinggian erupsi cenderung makin turun. 

Satu jam lalu ketinggian erupsi sekitar 800 meter. Jauh di bawah 4.000-an meter pada Minggu 29 November 2020 lalu. Berita di media online pun tidak lagi seru. 

Mudah-mudahan letusan Ile Ape segera berakhir. Apalagi saat ini masih pandemi virus korona. Pulau Lembata memang berstatus zona hijau. Tapi kalau pengungsi berjejalan di tenda, relawan-relawan dari luar berdatangan... bisa tambah runyam.