Minggu lalu saya mampir ke Puspa Agro, Taman, Sidoarjo. Kali pertama sejak pandemi korona awal Maret 2020. Puluhan imigran asing masih sama saja. Main HP, ngobrol, ngopi, ada yang punya teman perempuan dsb.
Nasib orang Afganistan, Pakistan, Somalia, Iran dsb itu tidak jelas. Masih tunggu dikirim ke negara ketiga. Sebagian besar ingin menetap di Kanada. "Jangan di Australia lah," kata orang Afganistan yang kini jadi penjual kopi.
Bagaimana dengan pengungsi asal Sampang?
Ini yang menarik. Sebanyak 350 orang Sampang mengungsi di Rusunawa Puspa Agro sejak 2012 dan 2013 lalu. Rumah-rumah mereka di desa dibakar. Harta benda mereka pun ludes.
Gara-garanya SARA. Ratusan pengikut Tajul Muluk itu menganut paham Syiah. Mazhab yang berbeda dengan (hampir) semua umat Islam di Indonesia yang Aswaja.
Selama 9 tahun sudah banyak upaya untuk rekonsiliasi. Presiden SBY bentuk tim khusus untuk rekonsiliasi agar warga Sampang itu bisa balik ke kampung halamannya. Tapi hasilnya gagal.
Presiden SBY diganti Presiden Jokowi. Tidak ada upaya khusus untuk menyelesaikan persoalan pengungsi Syiah Sampang. Bisa jadi tim itu bekerja dalam senyap.
Nah, kini ada perkembangan menarik. Tajul Muluk, pemimpin pengungsi Syiah asal Madura, menyatakan telah bertobat. Meninggalkan Syiah dan kembali ke Aswaja. "Tidak ada paksaan," katanya.
Tajul yang pernah dipersekusi dan dipenjara itu mengatakan bahwa pihaknya telah mempelajari paham-paham dalam agama Islam. Akhirnya mereka telah mengambil keputusan, yakni berpindah ke Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (Aswaja).
Pernyataan tertulis Tajul Muluk sudah dikirim ke ulama-ulama di Sampang dan Pemkab Sampang. Juga disebarkan secara luas di media sosial dan media massa.
Meski begitu, Tajul Muluk dan ratusan warga Sampang itu belum bisa pulang dalam waktu dekat. Sebab, para ulama di Madura menuntut ada baiat atau semacam ikrar kesetiaan.
"Kami siap dibaiat kapan saja," kata Tajul Muluk.
Perubahan sikap Ustad Tajul ini memang luar biasa. Sulit dibayangkan dia berubah sedrastis ini. Dulu, Anda sudah tahu, Tajul sama sekali tak gentar saat dipersekusi warga yang marah. Tajul juga berapi-api saat bicara di pengadilan.
Dulu, Tajul selalu siap melayani debat tentang masalah keislamanan, khususnya Syiah. Bisa berjam-jam tanpa titik temu.
Tapi rupanya waktu jualah yang telah mengubah sang guru komunitas pengungsi Sampang di Sidoarjo itu. "Allah sendiri yang menyentuh hatinya," kata seorang pengunjung warkop di Puspa Agro.