Rabu, 29 April 2020

Nasi Anjing dan Nasi Kucing

Silakan buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Boleh kamus buku (fisik) atau KBBI Daring.

《nasi kucing:
nasi dengan porsi kecil, biasanya dicampur dengan tempe orek, potongan ikan atau ayam, dibungkus daun pisang, dijual di angkringan pada malam hari.》

《nasi anjing:
nasi berkuah (tanpa ikan, daging, dan sebagainya).》

Rupanya orang Indonesia sangat jarang buka kamus. Makanya gampang marah, mispersepsi, curiga dsb. Polisi juga turun tangan untuk mengusut panitia bakti sosial pembagian nasi anjing kepada masyarakat.

Ihwal nasi anjing viral di media sosial. Di bulan puasa begini, komentar pun bermunculan. Seakan-akan nasi anjing itu nasi dengan lauk daging anjing. Bukankah anjing itu haram?

Bisa jadi karena pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita kurang bermutu. Atau lupa bahwa semua bahasa itu ada ungkapan, kata majemuk, istilah.. yang artinya jauh berbeda dengan arti harfiah.

Namanya memang nasi anjing dan nasi kucing. Tapi jangan bayangkan nasi bungkus itu ada daging anjing atau kucing.

Orang itu banyak makan garam. Tidak berarti orang tua itu memasukkan garam ke mulutnya, mengunyah, dan menelan garam alias NaCl. Makan angin tidak berarti menelan angin karena tidak ada nasi lagi.

Apakah istilah atau kata majemuk nasi anjing dan nasi kucing perlu dihapus di KBBI? Agar tidak menimbulkan salah pengertian?

Di tengah pandemi Covid-19 ini sebaiknya semua warga bersatu padu agar virus corona segera berlalu. Bukan malah ribut dengan nasi anjing yang tidak ada anjingnya.

Senin, 27 April 2020

Tidur Sore ala Mbok Tani di Hutan Trawas

Minggu 26 April 2020.
Saya menyepi di kawasan bumi perkemahan Seloliman, Trawas. Suasana sepi karena areal wisata Jolotundo ditutup sejak pertengahan Maret 2020.

Cocok untuk menjauh dari keramaian. Social distancing, physical distancing, atau apa pun namanya. Gemerisik daun-daun, air sungai, hingga binatang-binatang malam sangat jelas.

Mbok Tani seperti biasa menyambut hangat. Langsung disuguhi makanan sambel ayam goreng. Perempuan asli Balekambang, Trawas, ini tahu betul saya tidak puasa. Maklum, sudah kenal 15 tahunan.

"Kamu gak usah jalan ke mana-mana. Istirahat saja. Mumpung gak ada orang," kata Mbok Tani yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

Asyik memang menjauh dari keramaian kota. Mengambil jarak dari isu-isu politik, corona, dan sebagainya. Mbok Tani dari dulu cuma bicara soal tanaman, ayam, kucing, dan isu khas wong kampung.

Bagi saya, cara hidup Mbok Tani ini mirip orang-orang kampung di NTT sebelum tahun 2000. Ketika belum ada jaringan listrik masuk kampung. Ketika penerangan hanya mengandalkan pelita alias ublik.

Mbok Tani pun belum lama menikmati listrik. Tapi cara hidupnya masih sama persis dengan zaman pralistrik. Selepas magrib, biasanya di atas pukul 18.00, pintu gubuknya harus tutup. Lalu tidur.

Sepanjang hidupnya yang 80-an tahun Mbok Tani melakoni rutinitas macam itu. Matahari tenggelam, malam datang, maka tidurlah dia bersama suaminya. Gak ada yang namanya melekan.

Gak eman sama duit? Kan banyak pembeli yang datang malam?

"Buat apa? Orang hidup itu gak usah ngoyo. Urip biasa aja kayak wong kampung," kata Mbok Tani santai.

Dulu orang-orang desa di kawasan hutan milik Perhutani di Trawas pun kebanyak mirip Mbok Tani. Cepat tidur karena sangat gelap. Sehingga sebelum subuh sudah bangun. Tidak ada orang yang mbangkong alias bangun kesiangan.

Namun, denyut ekonomi wisata Jolotundo membuat suasana berubah. Warung-warung biasa buka hingga pukul 01.00. Bahkan ada yang buka 24 jam.

"Tamu harus kita layani karena bawa rezeki," kata Mbak Hasanah, pemilik warung luas dekat candi bersejarah peninggalan Erlangga.

Warung-warung lain pun sama saja. Buka sampai jelang pagi. Nyaris 24 jam. Ramai banget kalau tidak ada Covid-19. Itu yang membuat wajah kawasan perkemahan milik perhutani itu berubah total.

Syukurlah, Mbok Tani masih mempertahankan gaya hidup ala orang kampung pralistrik. Itu yang membuat saya selalu betah menikmati musik dan nyanyian alam di kawasan sejuk itu.

"Kalau kamu ke sini lagi saya sembelih ayam kampung," kata Mbok Tani.

Hahaha...
Surabaya, Sidoarjo, Gresik mau dikunci gara-gara corona. Entah kapan virus aneh ini minggat dari Indonesia dan seluruh dunia.

Semoga badai corona cepat berlalu

Sudah terlalu lama kita dihajar virus corona. Jasad renik itu teridentifikasi masuk ke Indonesia saat pesta dansa Hari Valentine di Jakarta. Ada pria asal Jepang berdansa dengan wanita Indonesia.

Pria Jepang itu balik ke negaranya. Ternyata positif Covid-19. Lalu mulai dilacak orang-orang yang pernah dekat dengan si Jepang itu. Termasuk pasangan dansanya putri seniman tari itu.

Presiden Jokowi kemudian mengumumkan bahwa Covid-19 sudah sampai ke tanah air. Pasiennya tiga orang. Satu keluarga di Depok itu. Jadi, coronavirus itu tidak berasal dari ratusan warga Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok.

Sejak pengumuman resmi Jokowi pada 2 Maret 2020 itu pelan-pelan suasana mulai berubah. Muncul kekhawatiran di mana-mana. Jangan-jangan corona sudah berkembang di dalam tubuh orang Indonesia di daerah lain. Khususnya orang-orang yang pernah dekat dengan warga negara yang masuk zona merah.

Betul banget. Tak lama kemudian muncul berita tentang korban baru di daerah lain. Lalu muncul lagi di kota X, Y, Z, dst. Angka pasien cepat berubah. Mulai satu digit, dua digit, tiga digit... dan kini empat digit. Minggu lalu sudah hampir 9.000 orang Indonesia yang positif.

Ngeri! Sangat ngeri!

Angka kematiannya juga tinggi. Meskipun masyarakat sering membesarkan hati teman-temannya dengan membagi informasi positif di media sosial.

"Pasien yang meninggal itu sebenarnya sudah punya penyakit bawaan. Bukan murni corona," kata salah seorang teman yang agak cuek dengan anjuran jaga jarak fisik.

"Corona itu kayak flu biasa. Nggak usah panik. Biasa aja. Yang penting jaga imunitas tubuh," kata teman lain yang rada sok dokter.

Pandemi Covid-19 muncul di tengah banjir informasi di media sosial. Kabar-kabar bohong, fake news, hoax... berseliweran di medsos. Artikel-artikel pseudosains, sains palsu, mengisi linimasa media sosial.

Dan, banyak orang yang termakan hoax. Menganggap covid ini hanya rekayasa belaka. Ada konspirasi di baliknya. Bahkan, di Amerika sekalipun banyak orang masih meremehkan bahaya corona. Termasuk Mr Potus yang ngotot agar kegiatan bisnis dan sebagainya di USA segera dinormalkan.

Tak terasa sudah dua bulan kita di Indonesia hidup tidak normal. Ke mana-mana pakai masker. Tempat-tempat ibadah ditutup. Sekolah-sekolah lebih dulu diliburkan... entah sampai kapan. Diminta jaga jarak minimal satu meter.

Protokol kesehatan untuk menanggulangi Covid ini banyak sekali. Salaman atau jabat tangan pun tak ada lagi. Istilah WFH menjadi sangat populer sejak ada corona. "Teknologi sudah canggih. Kita bisa kerja di mana saja," kata seorang pakar di radio swasta.

Sang pakar itu rupanya lupa bahwa tidak semua pekerjaan bisa dilakukan di rumah. Mungkin tidak sampai 10 persen. Industri wisata, penerbangan, transportasi bus, ojek dsb tidak bisa WFH. Ribuan pabrik itu bagaimana?

Belum sampai dua bulan efek corona sudah mematikan sumber nafkah jutaan orang di tanah air. Ribuan karyawan dirumahkan. Ribuan lain di-PHK. Semua sektor ekonomi lesu. Berbagai perusahaan limbung.

Saya tertegun membaca pesan dari beberapa kawan dekat yang jadi korban corona. Orang-orang ini sehat jasmani tapi harus kehilangan pekerjaan (sementara).

"Aku dirumahkan," kata konco lawas.

Aku kehilangan kata-kata. Tak tahu mau ngomong apa justru di awal bulan puasa ini. Situasinya sangat tidak kondusif.

Semoga badai corona cepat berlalu!

Kamis, 09 April 2020

Misa Kamis Putih Cuma 54 Menit

Misa Kamis Putih baru saja selesai. Perayaan ekaristi awal pekan suci itu dipimpin Uskup Surabaya Mgr Vinventius Sutikno Wisaksono. Didampingi tiga romo. Salah satunya Romo Y. Eko Budi Susilo, Vikjen Keuskupan Surabaya.

Misa Kamis Putih diadakan di Gereja Katedral HKY Surabaya, Jalan Polisi Istimewa. Tidak ada umat layaknya pekan suci normal yang luar biasa meriah itu. Cuma lektor, pemazmur, dan dua atau tiga orang penyanyi.

Suasana prihatin gara-gara Covid-19 sangat terasa. Pembasuhan kaki 12 murid ditiadakan. Begitu juga perarakan sakramen mahakudus di akhir misa.

Umat Katolik di Keuskupan Surabaya cukup ikut misa di rumah masing-masing. Lewat live streaming YouTube. Sudah tiga minggu gereja-gereja di Jawa Timur memang tutup. Begitu juga di daerah lain di tanah air.

Saya ikuti misa Kamis Putih online ini dengan sangat fokus. Kebetulan juga libur. Secara umum sama saja dengan misa di gereja. Cuma sangat tidak meriah.

Lagu-lagu paduan suara yang bagus ala pekan suci tak ada. Aklamasi pun tidak dinyanyikan. Kor cuma menyanyi lagu pembukaan, kyrie, gloria, agnus dei, dan lagu penutup.

Karena itu, misa jadi sangat padat dan singkat. Cuma intinya saja yang dipakai. Tidak heran misa Kamis Putih yang lazimnya berlangsung antara dua sampai tiga jam itu selesai dalam tempo 54 menit. Kurang satu jam.

Pandemi Covid-19 merebak saat teknologi internet dan jaringan data di tanah air sudah bagus. Karena itu, konten-konten liturgi berseliweran dari berbagai keuskupan dan paroki di seluruh Indonesia.

Belum lagi online mass atau misa bahasa Inggris yang jumlahnya jauh lebih banyak. Belum lagi bahasa-bahasa lain di ratusan negara yang juga bikin misa online. Belum lagi live streaming dari Vatikan.

Sulit dibayangkan jika si corona ini datang di era pra-internet. Mudah-mudahan wabah corona ini segera berlalu.

Kyrie eleison!
Christe eleison!

Jumat, 03 April 2020

Gamang menutup sementara tempat ibadah

Sudah dua minggu ini gereja-gereja di Surabaya tutup. Tidak ada misa atau kebaktian. Kebijakan yang sempat ditentang banyak umat kristiani itu untuk memutus mata rantai penyebaran coronavirus.

Bagaimana dengan masjid-masjid di Surabaya?

Tidak semuanya tutup. Masjid Al Falah di Raya Darmo yang pertama kali meniadakan salat Jumat dua pekan lalu. Kemudian diikuti masjid-masjid lain. Khususnya yang bernaung di bawah Yayasan Muhammadiyah.

Jumat pagi 3 April 2020. Saya perhatikan delapan masjid di kawasan Rungkut dan Gununganyar. Tutup semua. Tidak adakan salat Jumat berjemaah.

"Apakah masjid-masjid di Surabaya hari ini tidak gelar Jumatan?" tanya saya kepada seorang tukang ojek di Rungkut Menanggal.

"Ada yang tetap Jumatan, ada yang tidak. Kebijakannya tidak sama," kata Mas asal Sidoarjo. Dia sambat kehilangan pendapatan hingga 60 persen gara-gara corona.

Indonesia memang negara yang sangat religius. Tidak gampang meminta tempat-tempat ibadah untuk tutup sementara sesuai protokol Covid-19. Apalagi masjid. Bisa panjang urusannya. Kudu hati-hati dan super bijaksana.

Saking bijaksananya, pemerintah pusat dan daerah tidak berani meminta masjid-masjid ditutup sementara. Kata-katanya cuma "imbauan", "anjuran", "sebaiknya", "alangkah bagusnya" dsb dsb.

Beda dengan PM Singapura yang bisa dengan enteng meminta masjid-masjid, gereja, dan semua tempat ibadahnya ditutup sementara. "Vatikan juga tutup sementara. Arab Saudi juga menghentikan sementara ibadah umrah," kata PM Lee.

Pagi ini saya baca tulisan Dahlan Iskan di disway.id. Mantan menteri BUMN ini kelihatannya gregetan karena orang Indonesia kelihatannya masih sangat longgar dalam menghadapi corona. Padahal pasien positif naik terus.

Dahlan Iskan menulis:

<< Saya pun mendapat kiriman pidato Bupati Lombok Timur, Sukiman Azmy. Yang begitu tegas. "Semua masjid harus ditutup. Yang melanggar bawa ke kantor polisi," katanya.

Ia tidak mau banyak berdebat soal alasan. "Kurang berkah apa Masjidil Haram di Makkah. Ditutup. Kurang hebat apa para ulama di Al Azhar, Kairo, Mesir. Mereka telah berfatwa agar masjid ditutup," kata Sukiman Azmy. >>

Misa Pekan Suci via Streaming dan TV

Romo Eko Budi Susilo meneteskan air mata seusai memimpin misa di kapel Keuskupan Surabaya. Misa yang tidak ada umatnya. Cuma ada beberapa petugas liturgi. Umat Paroki HKY Katedral Surabaya bisa mengikuti online mass ini dari rumah masing-masing.

"Selama 30an tahun jadi imam, baru pertama kali ini memimpin misa tanpa umat. Biasanya umat yang hadir misa seribu sampai 3.000 orang," kata Romo Eko BS yang juga Vikjen Keuskupan Surabaya.

Begitulah. Sudah dua minggu ini semua gereja katolik di Keuskupan Surabaya tutup. Gara-gara coronavirus. Uskup Surabaya Mgr Sutikno Wisaksono memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan yang melibatkan banyak umat di wilayah Keuskupan Surabaya. Termasuk misa mingguan dan misa harian.

Minggu 5 April 2020 sudah masuk Minggu Palma. Awal pekan suci. Liturgi paling meriah di lingkungan Gereja Katolik.

Ada pawai, arak-arakan umat membawa daun palma. Mengenang Yesus masuk ke Yerusalem naik keledai. Ratusan bahkan ribuan umat Katolik di Flores biasanya jalan kaki cukup jauh. Sambil menyanyi Hosanna... Putra Daud!

Tapi besok tidak akan ada arak-arakan itu. Misa Minggu Palma sederhana saja. Bapa Uskup atau Romo Eko (dan romo-romo lain) memimpin ekaristi dari gereja yang kosong. Umat cukup di rumah saja. Mengikuti online mass.

Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci, Minggu Paskah?

Sama saja. Tidak ada misa raya di gereja-gereja. Cukup misa live streaming. Di rumah saja. Jangan ke mana-mana agar Covid-19 ini segera berakhir.

Barusan ada informasi dari Ama Paul, tokoh Lamaholot, Flores Timur, di Sidoarjo. Katanya misa pekan suci akan disiarkan TVRI dan Kompas TV. Mulai

Lumayan, bisa hemat data! Tidak perlu beli pulsa internet. "Tite misa te lango onen," katanya. Kita misa di dalam rumah saja. Begitu arti kalimat dalam bahasa Lamaholot.

Mungkin sepanjang sejarah baru kali ini perayaan ekaristi pekan suci Paskah tidak diadakan di gereja. Mungkin baru tahun 2020 ini gereja-gereja ditutup di (hampir) seluruh dunia.

Sampai kapan?

Hanya Tuhan yang tahu!

Rabu, 25 Maret 2020

Misa Online Jadi Kebutuhan saat Covid-19

Jauh sebelum ada Covid-19, saya sudah biasa ikut misa online. Bukan karena malas pigi misa di gereja atau ada halangan lain. Saya ingin tahu suasana misa bahasa Inggris di Amerika Serikat dan Kanada.

Di Surabaya juga ada misa bahasa Inggris tiap Minggu pukul 10.00 di Dukuh Kupang Barat. Tapi paternya bukan english native speaker. Biasanya romo Tionghoa, Jawa, Flores, atau Filipina.

Pater asal Filipina biasanya lebih fasih berbahasa Inggris. Tapi tetap saja logat atau aksennya beda dengan orang USA, UK, Kanada, atau Australia. Sama saja dengan orang Jawa atau Batak atau Flores berbahasa Inggris. Logat asli bahasa ibu tidak bisa hilang.

Karena itu, sejak kecepatan internet di Indonesia meningkat plus data melimpah, saya manfaatkan YouTube untuk Daily Mass dan Sunday Mass. Saya sengaja pilih misa versi Amerika Serikat dan Kanada. Bukan Australia apalagi Filipina atau India. Gereja Katolik di Filipina dan India sejak dulu punya layanan misa online.

Selain aksen American English yang sangat jelas dan menarik, layanan misa dari USA dan Kanada sangat profesional. Kualitas video, audio, angle, hingga tata liturginya paling profesional.

Sunday Mass atau Misa Minggu saya biasa ikut misa bersama pater-pater Pasionis di New York. Pater Paul Fagan OP yang jadi koordinator. Homilinya sederhana dan menarik.

Begitu juga kornya sangat profesional. Empat penyanyi dan satu pemain musik. Mereka bergantian jadi solis untuk Mazmur Tanggapan. Bagus banget.

Umatnya anak-anak sekolah menengah pertama. Ada juga beberapa orang dewasa yang ikut perayaan ekaristi di Kapel Pasionis untuk Sunday Mass itu.

Daily Mass atau Misa Harian saya pilih Kanada. Kapel di Ontorio. Aksen bahasa Inggris pater-pater dan lektor mirip dengan USA. Kecuali pater asal Belanda yang logat Hollands Spreken tidak hilang.

Misa harian ini tidak pakai kor. Lecta Missa. Ordinarium Kyrie dan Gloria diucapkan saja. Kecuali Sanctus dan Agnus Day dinyanyikan solis. Misa harian ini paling lama 29 menit.

Tentu saja kebiasaan saya mengikuti misa harian (beberapa kali bolos misa di gereja) diprotes. Dianggap tidak sah. Tidak ada komuni. Tidak berada di sekitar altar. "Itu kan kayak nonton televisi," kata teman.

Hehehe... Orang NTT itu lupa bahwa selama bertahun-tahun dia juga "menonton TV" saat misa di gereja karena gereja kadung penuh.

Sebagian umat mengikuti misa di balai paroki samping gereja. Ratusan umat di balai paroki itu menyaksikan imam, altar dsb lewat layar lebar yang dipasang di balai paroki. Itu yang selama ini terjadi di Sidoarjo Kota dan Sidoarjo Waru.

"Apa bedanya dengan saya yang nonton TV di rumah? Anda menonton TV di balai paroki?" kata saya bercanda.

"Tapi kan ada komuni. Ada umat. Sementara misa di YouTube tidak ada komuni," katanya.

Tak disangka-sangka datanglah wabah virus corona. Pandemi melanda dunia. Italia dan Vatikan pun dikarantina total. Sulit dibayangkan Lapangan dan Basilika Santo Petrus di Vatikan tutup.

Covid juga melanda Indonesia. Pasien naik terus. Yang mati banyak. Maka pemerintah melarang kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Termasuk ibadah di gereja, masjid, pura, kelenteng dsb.

Apa boleh buat. Uskup-uskup di Indonesia pun bikin surat gembala. Intinya meniadakan misa di gereja dan berbagai kegiatan di paroki. Umat dianjurkan memperbanyak doa-doa di rumah masing-masing.

Sabtu sore, 21 Maret 2020. Kali pertama dalam sejarah Keuskupan Surabaya diadakan misa online. Misa kudus langsung dipimpin Mgr Sutikno Wisaksono dari kapel keuskupan di Jalan Polisi Istimewa Surabaya.

Minggu diadakan dua kali misa secara online streaming. Kemudian misa harian juga diadakan secara daring.

Luar biasa!

Pandemi virus corona tak ayal membongkar tatanan lama yang sudah mapan selama ribuan tahun. Vatikan ditutup sementara! Ibadah umrah di Makkah pun distop sementara oleh Kerajaan Arab Saudi.

Saya sendiri tentu tidak kaget dengan Online Mass. Sebab misa ala nonton TV di kamar itu sudah seperti gaya hidup rutin layaknya nggowes sepeda pancal.