Sudah terlalu lama kita dihajar virus corona. Jasad renik itu teridentifikasi masuk ke Indonesia saat pesta dansa Hari Valentine di Jakarta. Ada pria asal Jepang berdansa dengan wanita Indonesia.
Pria Jepang itu balik ke negaranya. Ternyata positif Covid-19. Lalu mulai dilacak orang-orang yang pernah dekat dengan si Jepang itu. Termasuk pasangan dansanya putri seniman tari itu.
Presiden Jokowi kemudian mengumumkan bahwa Covid-19 sudah sampai ke tanah air. Pasiennya tiga orang. Satu keluarga di Depok itu. Jadi, coronavirus itu tidak berasal dari ratusan warga Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok.
Sejak pengumuman resmi Jokowi pada 2 Maret 2020 itu pelan-pelan suasana mulai berubah. Muncul kekhawatiran di mana-mana. Jangan-jangan corona sudah berkembang di dalam tubuh orang Indonesia di daerah lain. Khususnya orang-orang yang pernah dekat dengan warga negara yang masuk zona merah.
Betul banget. Tak lama kemudian muncul berita tentang korban baru di daerah lain. Lalu muncul lagi di kota X, Y, Z, dst. Angka pasien cepat berubah. Mulai satu digit, dua digit, tiga digit... dan kini empat digit. Minggu lalu sudah hampir 9.000 orang Indonesia yang positif.
Ngeri! Sangat ngeri!
Angka kematiannya juga tinggi. Meskipun masyarakat sering membesarkan hati teman-temannya dengan membagi informasi positif di media sosial.
"Pasien yang meninggal itu sebenarnya sudah punya penyakit bawaan. Bukan murni corona," kata salah seorang teman yang agak cuek dengan anjuran jaga jarak fisik.
"Corona itu kayak flu biasa. Nggak usah panik. Biasa aja. Yang penting jaga imunitas tubuh," kata teman lain yang rada sok dokter.
Pandemi Covid-19 muncul di tengah banjir informasi di media sosial. Kabar-kabar bohong, fake news, hoax... berseliweran di medsos. Artikel-artikel pseudosains, sains palsu, mengisi linimasa media sosial.
Dan, banyak orang yang termakan hoax. Menganggap covid ini hanya rekayasa belaka. Ada konspirasi di baliknya. Bahkan, di Amerika sekalipun banyak orang masih meremehkan bahaya corona. Termasuk Mr Potus yang ngotot agar kegiatan bisnis dan sebagainya di USA segera dinormalkan.
Tak terasa sudah dua bulan kita di Indonesia hidup tidak normal. Ke mana-mana pakai masker. Tempat-tempat ibadah ditutup. Sekolah-sekolah lebih dulu diliburkan... entah sampai kapan. Diminta jaga jarak minimal satu meter.
Protokol kesehatan untuk menanggulangi Covid ini banyak sekali. Salaman atau jabat tangan pun tak ada lagi. Istilah WFH menjadi sangat populer sejak ada corona. "Teknologi sudah canggih. Kita bisa kerja di mana saja," kata seorang pakar di radio swasta.
Sang pakar itu rupanya lupa bahwa tidak semua pekerjaan bisa dilakukan di rumah. Mungkin tidak sampai 10 persen. Industri wisata, penerbangan, transportasi bus, ojek dsb tidak bisa WFH. Ribuan pabrik itu bagaimana?
Belum sampai dua bulan efek corona sudah mematikan sumber nafkah jutaan orang di tanah air. Ribuan karyawan dirumahkan. Ribuan lain di-PHK. Semua sektor ekonomi lesu. Berbagai perusahaan limbung.
Saya tertegun membaca pesan dari beberapa kawan dekat yang jadi korban corona. Orang-orang ini sehat jasmani tapi harus kehilangan pekerjaan (sementara).
"Aku dirumahkan," kata konco lawas.
Aku kehilangan kata-kata. Tak tahu mau ngomong apa justru di awal bulan puasa ini. Situasinya sangat tidak kondusif.
Semoga badai corona cepat berlalu!
Pria Jepang itu balik ke negaranya. Ternyata positif Covid-19. Lalu mulai dilacak orang-orang yang pernah dekat dengan si Jepang itu. Termasuk pasangan dansanya putri seniman tari itu.
Presiden Jokowi kemudian mengumumkan bahwa Covid-19 sudah sampai ke tanah air. Pasiennya tiga orang. Satu keluarga di Depok itu. Jadi, coronavirus itu tidak berasal dari ratusan warga Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok.
Sejak pengumuman resmi Jokowi pada 2 Maret 2020 itu pelan-pelan suasana mulai berubah. Muncul kekhawatiran di mana-mana. Jangan-jangan corona sudah berkembang di dalam tubuh orang Indonesia di daerah lain. Khususnya orang-orang yang pernah dekat dengan warga negara yang masuk zona merah.
Betul banget. Tak lama kemudian muncul berita tentang korban baru di daerah lain. Lalu muncul lagi di kota X, Y, Z, dst. Angka pasien cepat berubah. Mulai satu digit, dua digit, tiga digit... dan kini empat digit. Minggu lalu sudah hampir 9.000 orang Indonesia yang positif.
Ngeri! Sangat ngeri!
Angka kematiannya juga tinggi. Meskipun masyarakat sering membesarkan hati teman-temannya dengan membagi informasi positif di media sosial.
"Pasien yang meninggal itu sebenarnya sudah punya penyakit bawaan. Bukan murni corona," kata salah seorang teman yang agak cuek dengan anjuran jaga jarak fisik.
"Corona itu kayak flu biasa. Nggak usah panik. Biasa aja. Yang penting jaga imunitas tubuh," kata teman lain yang rada sok dokter.
Pandemi Covid-19 muncul di tengah banjir informasi di media sosial. Kabar-kabar bohong, fake news, hoax... berseliweran di medsos. Artikel-artikel pseudosains, sains palsu, mengisi linimasa media sosial.
Dan, banyak orang yang termakan hoax. Menganggap covid ini hanya rekayasa belaka. Ada konspirasi di baliknya. Bahkan, di Amerika sekalipun banyak orang masih meremehkan bahaya corona. Termasuk Mr Potus yang ngotot agar kegiatan bisnis dan sebagainya di USA segera dinormalkan.
Tak terasa sudah dua bulan kita di Indonesia hidup tidak normal. Ke mana-mana pakai masker. Tempat-tempat ibadah ditutup. Sekolah-sekolah lebih dulu diliburkan... entah sampai kapan. Diminta jaga jarak minimal satu meter.
Protokol kesehatan untuk menanggulangi Covid ini banyak sekali. Salaman atau jabat tangan pun tak ada lagi. Istilah WFH menjadi sangat populer sejak ada corona. "Teknologi sudah canggih. Kita bisa kerja di mana saja," kata seorang pakar di radio swasta.
Sang pakar itu rupanya lupa bahwa tidak semua pekerjaan bisa dilakukan di rumah. Mungkin tidak sampai 10 persen. Industri wisata, penerbangan, transportasi bus, ojek dsb tidak bisa WFH. Ribuan pabrik itu bagaimana?
Belum sampai dua bulan efek corona sudah mematikan sumber nafkah jutaan orang di tanah air. Ribuan karyawan dirumahkan. Ribuan lain di-PHK. Semua sektor ekonomi lesu. Berbagai perusahaan limbung.
Saya tertegun membaca pesan dari beberapa kawan dekat yang jadi korban corona. Orang-orang ini sehat jasmani tapi harus kehilangan pekerjaan (sementara).
"Aku dirumahkan," kata konco lawas.
Aku kehilangan kata-kata. Tak tahu mau ngomong apa justru di awal bulan puasa ini. Situasinya sangat tidak kondusif.
Semoga badai corona cepat berlalu!
Kita menanggapinya dengan sains saja Bung. Yg pasti penyakit ini lebih mudah menular drpd flu, dan lebih mematikan. Tetapi, jika kita sehat, walaupun tertular pun, kemungkinan besar L, di atas 98%, kita akan survive. Kita itu, orang2 yang masih muda, di bawah 60 tahun. Jika termasuk manula, memang berabe. Krn itu kita mengadakan PSBB itu untuk melindungi mereka yg rentan.
BalasHapusSekarang di USA kita sedang belajar bgmn membuka ekonomi dengan hati-hati. Semoga nantinya bisa menjadi contoh untuk Indonesia.
Iya.. sangat ngeri corona ini. Dampak ekonominya benar2 dahsyat. Sementara ahli2 amerika tiongkok eropa dsb belum mampu menemukan antivirusnya.
BalasHapusAmerika memang luar biasa. Gak nyangka korban meninggal begitu banyak. Namun Mr Potus tetap saja sesumbar dan antisains.
Di sini pun pernyataan Mr Potus itu jadi bahan guyonan. Kok iso presiden negara termaju di dunia ngomong koyok ngono? Ngombe lysol ya mampusss!
Salam sehat!