Minggu 26 April 2020.
Saya menyepi di kawasan bumi perkemahan Seloliman, Trawas. Suasana sepi karena areal wisata Jolotundo ditutup sejak pertengahan Maret 2020.
Cocok untuk menjauh dari keramaian. Social distancing, physical distancing, atau apa pun namanya. Gemerisik daun-daun, air sungai, hingga binatang-binatang malam sangat jelas.
Mbok Tani seperti biasa menyambut hangat. Langsung disuguhi makanan sambel ayam goreng. Perempuan asli Balekambang, Trawas, ini tahu betul saya tidak puasa. Maklum, sudah kenal 15 tahunan.
"Kamu gak usah jalan ke mana-mana. Istirahat saja. Mumpung gak ada orang," kata Mbok Tani yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Asyik memang menjauh dari keramaian kota. Mengambil jarak dari isu-isu politik, corona, dan sebagainya. Mbok Tani dari dulu cuma bicara soal tanaman, ayam, kucing, dan isu khas wong kampung.
Bagi saya, cara hidup Mbok Tani ini mirip orang-orang kampung di NTT sebelum tahun 2000. Ketika belum ada jaringan listrik masuk kampung. Ketika penerangan hanya mengandalkan pelita alias ublik.
Mbok Tani pun belum lama menikmati listrik. Tapi cara hidupnya masih sama persis dengan zaman pralistrik. Selepas magrib, biasanya di atas pukul 18.00, pintu gubuknya harus tutup. Lalu tidur.
Sepanjang hidupnya yang 80-an tahun Mbok Tani melakoni rutinitas macam itu. Matahari tenggelam, malam datang, maka tidurlah dia bersama suaminya. Gak ada yang namanya melekan.
Gak eman sama duit? Kan banyak pembeli yang datang malam?
"Buat apa? Orang hidup itu gak usah ngoyo. Urip biasa aja kayak wong kampung," kata Mbok Tani santai.
Dulu orang-orang desa di kawasan hutan milik Perhutani di Trawas pun kebanyak mirip Mbok Tani. Cepat tidur karena sangat gelap. Sehingga sebelum subuh sudah bangun. Tidak ada orang yang mbangkong alias bangun kesiangan.
Namun, denyut ekonomi wisata Jolotundo membuat suasana berubah. Warung-warung biasa buka hingga pukul 01.00. Bahkan ada yang buka 24 jam.
"Tamu harus kita layani karena bawa rezeki," kata Mbak Hasanah, pemilik warung luas dekat candi bersejarah peninggalan Erlangga.
Warung-warung lain pun sama saja. Buka sampai jelang pagi. Nyaris 24 jam. Ramai banget kalau tidak ada Covid-19. Itu yang membuat wajah kawasan perkemahan milik perhutani itu berubah total.
Syukurlah, Mbok Tani masih mempertahankan gaya hidup ala orang kampung pralistrik. Itu yang membuat saya selalu betah menikmati musik dan nyanyian alam di kawasan sejuk itu.
"Kalau kamu ke sini lagi saya sembelih ayam kampung," kata Mbok Tani.
Hahaha...
Surabaya, Sidoarjo, Gresik mau dikunci gara-gara corona. Entah kapan virus aneh ini minggat dari Indonesia dan seluruh dunia.
Saya menyepi di kawasan bumi perkemahan Seloliman, Trawas. Suasana sepi karena areal wisata Jolotundo ditutup sejak pertengahan Maret 2020.
Cocok untuk menjauh dari keramaian. Social distancing, physical distancing, atau apa pun namanya. Gemerisik daun-daun, air sungai, hingga binatang-binatang malam sangat jelas.
Mbok Tani seperti biasa menyambut hangat. Langsung disuguhi makanan sambel ayam goreng. Perempuan asli Balekambang, Trawas, ini tahu betul saya tidak puasa. Maklum, sudah kenal 15 tahunan.
"Kamu gak usah jalan ke mana-mana. Istirahat saja. Mumpung gak ada orang," kata Mbok Tani yang tidak bisa berbahasa Indonesia.
Asyik memang menjauh dari keramaian kota. Mengambil jarak dari isu-isu politik, corona, dan sebagainya. Mbok Tani dari dulu cuma bicara soal tanaman, ayam, kucing, dan isu khas wong kampung.
Bagi saya, cara hidup Mbok Tani ini mirip orang-orang kampung di NTT sebelum tahun 2000. Ketika belum ada jaringan listrik masuk kampung. Ketika penerangan hanya mengandalkan pelita alias ublik.
Mbok Tani pun belum lama menikmati listrik. Tapi cara hidupnya masih sama persis dengan zaman pralistrik. Selepas magrib, biasanya di atas pukul 18.00, pintu gubuknya harus tutup. Lalu tidur.
Sepanjang hidupnya yang 80-an tahun Mbok Tani melakoni rutinitas macam itu. Matahari tenggelam, malam datang, maka tidurlah dia bersama suaminya. Gak ada yang namanya melekan.
Gak eman sama duit? Kan banyak pembeli yang datang malam?
"Buat apa? Orang hidup itu gak usah ngoyo. Urip biasa aja kayak wong kampung," kata Mbok Tani santai.
Dulu orang-orang desa di kawasan hutan milik Perhutani di Trawas pun kebanyak mirip Mbok Tani. Cepat tidur karena sangat gelap. Sehingga sebelum subuh sudah bangun. Tidak ada orang yang mbangkong alias bangun kesiangan.
Namun, denyut ekonomi wisata Jolotundo membuat suasana berubah. Warung-warung biasa buka hingga pukul 01.00. Bahkan ada yang buka 24 jam.
"Tamu harus kita layani karena bawa rezeki," kata Mbak Hasanah, pemilik warung luas dekat candi bersejarah peninggalan Erlangga.
Warung-warung lain pun sama saja. Buka sampai jelang pagi. Nyaris 24 jam. Ramai banget kalau tidak ada Covid-19. Itu yang membuat wajah kawasan perkemahan milik perhutani itu berubah total.
Syukurlah, Mbok Tani masih mempertahankan gaya hidup ala orang kampung pralistrik. Itu yang membuat saya selalu betah menikmati musik dan nyanyian alam di kawasan sejuk itu.
"Kalau kamu ke sini lagi saya sembelih ayam kampung," kata Mbok Tani.
Hahaha...
Surabaya, Sidoarjo, Gresik mau dikunci gara-gara corona. Entah kapan virus aneh ini minggat dari Indonesia dan seluruh dunia.