Masih soal bahasa ibu. Minggu pagi ini ada artikel bagus di Jawa Pos. Judulnya "Menjaga Bahasa Ibu".
Fariz Alnizar dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menyodorkan fakta mutakhir:
11 bahasa daerah telah punah.
22 terancam punah.
4 sakaratul maut.
16 stabil tapi terancam punah.
Sudah lama saya peduli bahasa ibu. Dari mana saja. Biasanya saya bertanya sederhana: apa bahasa daerah Anda untuk 'saya mau minum kopi'. Atau 'saya lelah setelah berjalan jauh'.
Sayang, 80 persen 'responden' tidak tahu. "Kami di rumah tidak pernah pakai bahasa daerah," kata seorang mahasiswi asal NTT di Surabaya.
Akhir pekan lalu, banyak orang NTT berkumpul untuk mengikuti promosi calon doktor asal Belu di Universitas Airlangga. Ada beberapa orang yang mengaku berasal dari Solor, Kabupaten Flores Timur.
Wow, menarik!
Di Surabaya ada orang Solor yang cukup terkenal di kalangan umat Katolik. Pater Gregorius Kaha SVD, Pastor Kepala Paroki Gembala Yang Baik di Jalan Jemur Andayani. Gereja GYB ini dikunjungi Gubernur Khofifah, Kapolda, dan Pangdam jelang misa Malam Natal 2019.
Saya biasa berbicara dalam bahasa Lamaholot dengan Pater Goris Kaha. Romo ini poliglot. Menguasai banyak bahasa khas imam-imam SVD. Maklum, "Dunia adalah paroki kami," begitu moto SVD yang saya baca di kalender saat masih anak-anak di Pulau Lembata.
Kembali ke ruang ujian doktor. Saya pun mencoba berbasa-basi dalam bahasa Lamaholot. Langsung dijawab, "Pakai bahasa Indonesia saja. Saya tidak bisa bahasa daerah."
Yo wis...
Maka aku pun mulai ngobrol pakai bahasa Indonesia ala Kupang saja! Orang keturunan Lamaholot yang tinggal di NTT malah tidak bisa berbahasa Lamaholot. Kalah jauh sama Ama Paul, guru SMA Petra Surabaya yang sejak remaja sudah merantau di Jawa.
Ama Paul ini bahkan setiap minggu menulis puisi khusus dalam bahasa Lamaholot. Bahkan sudah menerbitkan buku dalam bahasa daerah Lamaholot. "Tite ake lupang Lamaholot," kata pak guru yang tinggal di Sidoarjo itu.
Ada lagi Pater Wayan SVD di Wonokromo, Surabaya. Asli Bali tapi pernah tugas di Adonara. Meskipun sudah puluhan tahun bertugas di Surabaya, Pater Wayan tidak lupa bahasa Lamaholot. Beliau bahkan senang bercakap dalam bahasa Lamaholot ketika berjumpa dengan orang Lamaholot macam saya.
Bahasa ibunya bahasa Bali tentu selalu digunakan. Pater Wayan pun fasih bahasa Jawa ngoko sampai kromo. Maklum, bahasa Jawa dan Bali punya kedekatan. Beda dengan bahasa Lamaholot atau bahasa-bahasa di NTT yang berbeda struktur dsb.
Bahasa Lamaholot jelas bukan bahasa yang terancam punah. Sebab penuturnya tersebar di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan di luar NTT yang ada orang Lamaholotnya. Tapi kalau orang Lamaholot di luar bumi Lamaholot, khususnya NTT, malu berbahasa Lamaholot ya... wassalam!
Fariz Alnizar dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia menyodorkan fakta mutakhir:
11 bahasa daerah telah punah.
22 terancam punah.
4 sakaratul maut.
16 stabil tapi terancam punah.
Sudah lama saya peduli bahasa ibu. Dari mana saja. Biasanya saya bertanya sederhana: apa bahasa daerah Anda untuk 'saya mau minum kopi'. Atau 'saya lelah setelah berjalan jauh'.
Sayang, 80 persen 'responden' tidak tahu. "Kami di rumah tidak pernah pakai bahasa daerah," kata seorang mahasiswi asal NTT di Surabaya.
Akhir pekan lalu, banyak orang NTT berkumpul untuk mengikuti promosi calon doktor asal Belu di Universitas Airlangga. Ada beberapa orang yang mengaku berasal dari Solor, Kabupaten Flores Timur.
Wow, menarik!
Di Surabaya ada orang Solor yang cukup terkenal di kalangan umat Katolik. Pater Gregorius Kaha SVD, Pastor Kepala Paroki Gembala Yang Baik di Jalan Jemur Andayani. Gereja GYB ini dikunjungi Gubernur Khofifah, Kapolda, dan Pangdam jelang misa Malam Natal 2019.
Saya biasa berbicara dalam bahasa Lamaholot dengan Pater Goris Kaha. Romo ini poliglot. Menguasai banyak bahasa khas imam-imam SVD. Maklum, "Dunia adalah paroki kami," begitu moto SVD yang saya baca di kalender saat masih anak-anak di Pulau Lembata.
Kembali ke ruang ujian doktor. Saya pun mencoba berbasa-basi dalam bahasa Lamaholot. Langsung dijawab, "Pakai bahasa Indonesia saja. Saya tidak bisa bahasa daerah."
Yo wis...
Maka aku pun mulai ngobrol pakai bahasa Indonesia ala Kupang saja! Orang keturunan Lamaholot yang tinggal di NTT malah tidak bisa berbahasa Lamaholot. Kalah jauh sama Ama Paul, guru SMA Petra Surabaya yang sejak remaja sudah merantau di Jawa.
Ama Paul ini bahkan setiap minggu menulis puisi khusus dalam bahasa Lamaholot. Bahkan sudah menerbitkan buku dalam bahasa daerah Lamaholot. "Tite ake lupang Lamaholot," kata pak guru yang tinggal di Sidoarjo itu.
Ada lagi Pater Wayan SVD di Wonokromo, Surabaya. Asli Bali tapi pernah tugas di Adonara. Meskipun sudah puluhan tahun bertugas di Surabaya, Pater Wayan tidak lupa bahasa Lamaholot. Beliau bahkan senang bercakap dalam bahasa Lamaholot ketika berjumpa dengan orang Lamaholot macam saya.
Bahasa ibunya bahasa Bali tentu selalu digunakan. Pater Wayan pun fasih bahasa Jawa ngoko sampai kromo. Maklum, bahasa Jawa dan Bali punya kedekatan. Beda dengan bahasa Lamaholot atau bahasa-bahasa di NTT yang berbeda struktur dsb.
Bahasa Lamaholot jelas bukan bahasa yang terancam punah. Sebab penuturnya tersebar di Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan di luar NTT yang ada orang Lamaholotnya. Tapi kalau orang Lamaholot di luar bumi Lamaholot, khususnya NTT, malu berbahasa Lamaholot ya... wassalam!