Kamis, 05 Desember 2019

Tak Akan Ada Lagi Ir Ciputra


Tak akan ada lagi orang seperti Ir Ciputra (1931-2019).

Kamis ini 5 Desember 2019 jenazah Pak Ci diantar menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.

Orang super istimewa macam Ciputra belum tentu hadir dalam satu abad. Kalaupun ada kalibernya di bawah Pak Ci. Ibarat tinju, Ciputra itu bukan lagi petinju kelas berat, tapi di atasnya.

Dulu, kali pertama ke Surabaya, saya sempat lewat di kawasan Surabaya Barat. Daerah Lidah, Sambikerep dan sekitarnya. Suasananya benar-benar khas desa. Sawah yang luas. Rumah-rumah gedeg sederhana.

Kendaraan bermotor pun belum banyak. Belum ada lampu penerangan jalan. Lebih parah dibandingkan kampung di NTT saat ini.

Siapa sangka kalau kawasan yang dulu dibilang tempat jin buang anak itu sekarang jadi Citraland Surabaya. Suasananya sudah mirip kota-kota modern di luar negeri. Citraland pun jadi kawasan paling elite di Kota Surabaya.

Minggu lalu saya mampir ke daerah Beringinbendo, Sidoarjo. Ngopi dan ngobrol sama Gregorius Suharsojo, seniman lukis dan musik eks buangan di Pulau Buru. Pak Greg cerita banyak hal tentang Lekra, genjer-genjer hingga lagu Nasakom Bersatu.

"Saya dekat sama Pak Subronto Kusumo Atmojo. Komponis hebat yang menciptakan lagu Nasakom Bersatu dan lagu-lagu terkenal tahun 1960an," katanya.

Pak Greg tak lupa menyanyi dan membirama layaknya dirigen paduan suara. "Harus tegas. Jangan kayak orang menari. Ini lagu mars. Begitu yang diajarkan Pak Subronto," kata pria 83 tahun ini.

Saya menyimak lagu lawas yang dilarang Orde Baru itu. Lalu memandang perumahan mewah tak jauh dari rumah Pak Greg. Citra Harmoni Sidoarjo. Banyak patung yang sangat indah. Ada patung kuda yang terasa istimewa.

"Itu karya seni yang luar biasa. Ciputra rupanya seorang penikmat seni kelas tinggi. Makanya perumahan-perumahannya selalu ada sentuhan seni," kata Greg.

Selain Citra Harmoni, di Sidoarjo ada Citra Garden dan Citra Indah. Tidak seelite Citraland di Surabaya. Tapi tata lokasi, tata taman, tata rumah, dan tata-tata lain sangat khas Ciputra. Sedap dipandang mata.

Pak Ci telah meninggalkan warisan yang sangat berharga. Bukan hanya untuk anak cucu, keluarga besar dan perusahaan-perusahaannya, tapi juga untuk Indonesia.

"Tidak akan ada lagi orang seperti Ciputra," kata Dahlan Iskan.

Selamat jalan Pak Ci!
Selamat berbahagia bersama-Nya!

Rabu, 04 Desember 2019

Shalat Salat vs Sembeang Sembahyang



Shalat atau salat?
Sholat atau solat?

Masih banyak versi di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sudah lama pakai salat. Kamus yang lama juga salat. Tapi masih banyak orang Indonesia yang menulis atau mengucap shalat atau sholat (pakai h).

Koran-koran atau media cetak juga tidak seragam. Ratusan media Grup Jawa Pos sejak dulu pakai salat. Sebaliknya, Kompas dan koran-koran kelompoknya pakai shalat.

Kompas juga pakai hektar. Padahal KBBI pakai hektare.

Koran-koran memang tidak selalu ikut kamus resmi. Sebab tim editor bahasa media sering berbeda pandangan dengan pakar-pakar di Badan Bahasa dan KBBI.

Yang menarik, Kementerian Agama rupanya tidak sreg dengan salat. Maka kemenag mengusulkan agar salat diganti shalat. Alquran yang serapan diganti Al-Qur'an yang transliterasi bahasa Arab.

Tim ahli Badan Bahasa menerima usulan Al-Qur'an tapi menolak shalat. Sehingga kata baku bahasa Indonesia tetap salat. Silakan Kemenang, Kompas, dan pihak lain menggunakan shalat atau sholat.

Di pelosok NTT, kampung asal saya, umat Islam yang berbahasa Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata tidak biasa menyebut shalat atau salat atau sholat atau solat. Sehari-hari saudara-saudari muslim menggunakan kata SEMBEANG atau SEMBAHYANG.

"Mo tobo tepi, go sembeang ki," kata Mama Siti Manuk, bibi saya yang muslimah tulen, adik kandung mendiang ibunda saya. Artinya, Anda duduk sebentar, saya sembahyang (salat) dulu.

Kata sembeang hanya dipakai dalam konteks salat atau doa umat Islam di bumi Lamaholot. Umat Katolik di Lamaholot menggunakan kata sembahyang untuk misa atau ekaristi atau ibadat sabda tanpa imam. Kata sembeang dan sembahyang ini asalnya sama-sama sembahyang.

Pagi ini saya perhatikan sebuah foto menarik di koran Jawa Pos. Ada tulisan besar di proyek Teluk Lamong, Surabaya. UTAMAKAN SHOLAT DAN KESELAMATAN KERJA.

Pesannya bagus. Seberat-beratnya kerja proyek, kuli bangunan, sholat atau solat atau shalat atau salat tetap yang paling utama. Kuli-kuli dari Tiongkok yang ateis ya tidak perlu salat.

Bahasa Lamaholotnya:
AKE LUPANG SEMBEANG (SEMBAHYANG)!

Selasa, 03 Desember 2019

Alquran atau Al-Qur'an?


Minggu lalu Badan Bahasa merevisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Juga menambah lema-lema baru di senarai dalam jaring (jaring). Tentu saja KBBI Luring alias buku cetak belum bisa direvisi segera karena prosesnya panjang. Biaya cetak juga mahal.

Yang mengagetkan adalah Badan Bahasa mengakomodasi beberapa usulan Kementerian Agama soal kata-kata serapan dari bahasa Arab. Kata-kata itu sudah lama mengindonesia. Tapi bagi Kemenag dan sejumlah ormas dan aktivis Islam dianggap kurang pas.

Maka, atas permintaan Kemenag RI, Badan Bahasa mengubah ejaan enam kata serapan bahasa Arab. Enam kata itu:

1. Alquran → Al-Qur'an 
2. Baitulmakdis → Baitulmaqdis
3. Kakbah → Ka'bah 
4. Lailatulkadar → Lailatulqadar
5. Masjidilaksa → Masjidilaqsa
6. Rohulkudus → Ruhulkudus

Sebagai pengguna bahasa Indonesia sekaligus penyunting, saya tidak sepakat dengan perubahan Alquran menjadi Al-Qur'an dan Kakbah menjadi Kabah. Kalau penggunaan huruf 1 dalam Lailatulqadar dan Masjidilaqsa sih boleh saja.

Sudah lama isu ini dipersoalkan. Sangat sensitif karena menyangkut agama Islam. Tapi ini bukan masalah teologi atau doktrin agama. Ini masalah kata serapan dari bahasa asing. Khususnya bahasa Arab yang jadi rujukan Kemenag itu.

Rupanya banyak pihak di Indonesia yang gagal paham tentang kaidah penyerapan kata asing. Mereka tidak bisa membedakan kata serapan dan transliterasi.

Al-Qur'an itu transliterasi. Kata ini jelas bahasa Arab yang ditulis dengan aksara Latin. Karena itu, perlu bantuan apostrof atau koma ain.

Kalau diserap dalam bahasa Indonesia, maka kaidah fonetik bahasa Indonesia yang berlaku. Al-Qur'an yang bahasa Arab menjadi Alquran yang bahasa Indonesia. Sederhana. Tanpa apostrof.

Begitu pula Ka'bah jadi Kakbah, Jum'at jadi Jumat, ni'mat jadi nikmat, ma'ruf jadi makruf, dsb.

Kalau kata Alquran dan Kakbah yang sudah puluhan tahun jadi penghuni KBBI dikembalikan ke Al-Qu'ran dan Ka'bah maka kita mundur jauh ke belakang. Kembali ke kata asli alias hanya transliterasi atau cuma mengubah aksara Arab menjadi bahasa Latin.

Rupanya kegalauan saya ternyata dirasakan sejumlah pembina bahasa Indonesia di Jawa Timur. Seorang pakar bahasa Indonesia menulis begini:

 "Semestinya kalau Kemenag mau menulis Alquran dan Kakbah dengan Al-Qur'an dan Ka'bah ya silakan saja mengacu pada pedoman transliterasi. Namun, kalau ejaan kemudian ikut ditundukkan, itu berarti kembali ke masa lalu alias mundur. 

Penggunaan apostrof sebagai pengganti bunyi glotal tentu bertabrakan dengan PUEBI. Masyarakat baru saja paham bahwa Jum'at harus ditulis Jumat, eh tiba-tiba kebijakannya lentur."

Selasa pagi ini, 3 Desember 2019, saya baca Jawa Pos di warkop dekat Bandara Juanda. Ada kalimat berbunyi: "... dai diwajibkan fasih membaca Alquran dan memiliki wawasan Islam wasathiyah atau moderat."

Syukurlah, Jawa Pos masih taat asas dengan kaidah bahasa Indonesia sesuai dengan PUEBI dan KBBI yang lama. Bukan Al-Qur'an melainkan Alquran.

Saya pun menghubungi Mas Andri, koordinator editor bahasa Jawa Pos. Saya anggap Mas Andri ini yang paling paham kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar.

Apakah Grup Jawa Pos akan menyesuaikan diri dengan keinginan Kemenag dan KBBI yang baru?

 "Kami belum mengikuti perubahan itu Mas. Masih pakai kesepakatan sebelumnya," jawab Mas Andri.

Sepakat!

Penggunaan apostrof membuat bahasa Indonesia tidak sederhana lagi. Kata-kata bahasa Indonesia seharusnya bebas dari apostrof. Bahasa Indonesia sering dipuji orang asing justru karena kesederhanaannya itu.

Minggu, 01 Desember 2019

Kolekte vs Nyawer Artis



Misa di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo, baru saja usai. Minggu Pertama Adven. Persiapan jelang Natal. Paternya asal Flores, sudah pasti SVD, tak tahu namanya. Mungkin romo tamu.

Saya tidak fokus ke homili tentang Nuh dan sebagainya. Entah mengapa, kali ini saya tertarik ke kolekte. Sumbangan sukarela ke kotak atau kantong kain. Nilainya terserah. Ada yang masukkan 100, 50, 20, 10, bahkan 2000an.

Tidak apa-apa menyumbang sedikit. Lama-lama jadi bukit, bukan? Kolekte ini berbeda dengan persembahan 10% alias perpuluhan di gereja-gereja yang bukan katolik.

Giliran kantong warna ungu itu sampai ke tangan saya. Kudu nyumbang. Berapa pun nilainya? bisik hati kecilku. Uang merah atau biru atau 20?

Akhirnya saya masukkan susu tante alias sumbangan sukarela tanpa tekanan ke kantong kolekte. Suara hati berbisik lagi, kok lebih sedikit ketimbang nyawer penyanyi dangdut koplo? Kok berat banget nyawer gereja?

Gereja kan sudah banyak yang nyumbang? Artis koplo dan pemain keyboard itu kan jarang dapat job akhir-akhir ini. Begitu suara hati berbisik lagi.

Jadi malu memang kalau membandingkan nyawer artis dan nyawer gereja alias kolekte. Mestinya sumbangan untuk gereja lebih besar daripada kasih saweran ke penyanyi. Gak nyawer pun gak apa-apa. Gak kolekte pun gak papa.

Minggu lalu ada bacaan tentang persembahan seorang janda miskin di tempat ibadah. Duit yang dimasukkan ke dalam kotak amal hanya beberapa sen. Tapi Yesus bilang saweran, eh.. sumbangan janda miskin itu jauh lebih besar ketimbangan persembahan orang kaya.

Markus 12 : 43-44

Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka:

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.

Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

Rabu, 27 November 2019

Sing Hallelujah to TheLord di Hongkong

Apa kabar Hongkong?
Apa masih unjuk rasa?
Demo ribuan orang memprotes kebijakan pemerintah?

James Chu, seniman musik keroncong dan campursari, warga negara HK, tidak menjawab. Pak Chu malah kirim rekaman terbarunya. Lagu Rayuan Kelapa dalam bahasa Mandarin.

"Kita ingin mempererat hubungan antara Indonesia dan Tiongkok. Penyanyinya cakep lho," kata Chu.

Pengusaha ini lahir di Banyuwangi, sekolah di Surabaya, kemudian terusir gara-gara PP 10 bersama ribuan warga Tionghoa lainnya. Lama di Wuhan dan beberapa daerah di Tiongkok, James Chu kemudian menetap di HK. Buka usaha dan sukses. Tapi hobi musiknya tidak mati. Malah tambah gila aja.

Sebetulnya saya mau bertanya mengapa massa di HK selalu menyanyi Sing Hallelujah to The Lord saat unjuk rasa. Memangnya banyak warga HK yang Kristen? Kenapa lagu pujian kepada Tuhan itu dijadikan sarana untuk memprotes pemerintah?

James Chu gak mau ngurus yang ada bau politiknya. Chu hanya fokus ke musik dan bisnis. "Itu urusan mereka. Kita bahasa keroncong aja," katanya. Saya yang malas bahas keroncong. Musik lawas yang sudah lama meranggas di Indonesia.

Saya justru dapat jawaban dari Mr Yu, mantan menteri yang juga mantan bosku. Kebetulan Mr Yu sangat sering ke Tiongkok. Tentu saja mampir juga ke HK yang masih satu negara itu.

Mr Yu menulis:

"Kristen-Katolik merupakan agama dari 15 persen penduduk Hongkong. Sebagian lain Buddha, Konghuchu dan agama-agama kecil. Sebagian besar lagi agama mereka uang. Tuhannya angka-angka."

Wkwkwkwk... cerita berbalut humor khas Yu Xianshen.

"Pemimpin tertinggi Hongkong sendiri, Carrie Lam, juga Katolik. Tokoh-tokoh gereja juga pernah bertemu Lam. Untuk menyampaikan komplain atas kekerasan yang dilakukan polisi. Tapi Lam saat itu menjawab: mengapa gereja tidak mengecam kekerasan yang dilakukan pendemo. Belakangan polisi tidak begitu peduli lagi. Polisi mulai berani masuk gereja. Mengejar pendemo yang menyelamatkan diri ke gereja," tulis Yu.

Yang pasti, saya tidak ingin membahas agama uang dan tuhannya angka-angka. Apalagi doktrin, rukun iman, liturgi dsb. Terlalu ruwet.

Saya cuma ingat Sing Hallelujah to The Lorld!

Lagu ini sangat populer di kalangan para ekspatriat Filipina di Surabaya. Selalu dinyanyikan setiap Sunday Mass di Gereja Katolik Redemptor Mundi, Jalan Dukuh Kupang Surabaya. Satu-satunya Gereja Katolik di Surabaya, mungkin Jawa Timur, yang mengadakan misa berbahasa Inggris setiap Minggu pagi.

Dulu saya sering ikut Sunday Mass itu. Sekalian belajar bahasa Inggris dengan orang Filipina, Amerika, Australia dsb. Semuanya kumpul di sini. Dan sangat menghayati lagu Sing Hallelujah to The Lord.

"Itu biasa kami nyanyikan di Filipina," kata Emilio. "Kami juga biasa nyanyi di Australia," kata perempuan kulit putih.

Di Indonesia setahu saya tidak ada lagu itu di gereja. Setidaknya di semua paroki yang ada di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Nuansanya lebih ke PDKK alias Persekutuan Doa Karismatik Katolik.

Sudah 2 tahunan saya tidak lagi misa bahasa Inggris di Surabaya. Cukup misa bahasa Indonesia dan sesekali bahasa Jawa. Sayang tidak ada misa bahasa Latin. Suasana misa bahasa Inggris alias Sunday Mass rasanya terlalu meriah, gitaran, tamborin, tepuk tangan ala karismatik.

Maka, saya lupa lagu Sing Hallelujah to The Lord. Belakangan teringat lagi setelah membaca tulisan Yu Xiansheng di laman pribadinya. Bahwa Sing Hallelujah ternyata jadi lagu kebangsaan para pengunjuk rasa di Hong Kong.

Selasa, 26 November 2019

Generasi Milenial vs Generasi Kolonial

Istilah milenial sangat populer sejak 5 tahun lalu. Acara-acara dilabeli milenial milenial milenial. Jalan sehat milenial. Parade musik milenial. Belakangan pejabat milenial macam Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.

Minggu lalu Presiden Jokowi mengangkat staf khusus yang milenial karena usia mereka relatif muda. Rata-rata masih kepala tiga.

Menurut saya, yang benar-benar generasi milenial ya mereka yang lahir mulai tahun 2000. Milenium baru. Generasi yang tidak kenal mesin ketik. Tidak menikmati musik lewat kaset dan tape recorder. Jarang baca koran atau media cetak.

Selasa pagi, 26 November 2019, seperti biasa, saya nggowes sepada lawas. Khas generasi lawas. Entah mengapa saya lebih suka sepeda keluaran di bawah 1980an ketimbang sepeda-sepeda milenial produksi Sidoarjo yang sangat terkenal itu. Sepeda milenialku malah saya pinjamkan dan (kayaknya) tidak akan kembali.

Setelah mengayuh 30an menit, kecepatan rendah, mampirlah di warkop. Baca koran pagi. Sebagian besar warkop di Surabaya dan Sidoarjo memang berlanggan Jawa Pos. Peminat surat kabar cetak masih banyak. Ada juga beberapa anak milenial yang suka baca koran.

Ada judul menarik. Tidak Ada Milenial, Hanya Kolonial.

Ini karena 8 staf khusus Wapres KH Maruf Amin bukan generasi milenial. Tidak ada yang di bawah 40 tahun. "Karena Kiai dari generasi kolonial, ya banyak yang kolonial lah," kata Masduki staf khusus Wapres Maruf Amin.

Generasi kolonial.

Istilah yang sangat menarik. Generasi yang lahir pada masa kolonial. Alias sebelum tahun 1945. Di masa Orde Baru generasi kolonial ini biasa disebut angkatan 1945. Angkatan (generasi) yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam perjuangan fisik untuk kemerdekaan.

Generasi kolonial itu sebenarnya mereka yang lahir sebelum 1950. Sebab faktanya kolonial Belanda masih bercokol di Indonesia sampai 27 Desember 1949. Indonesia baru benar-benar bebas merdeka dari Kerajaan Belanda pada 1 Januari 1950.

Suka tidak suka, generasi kolonial ini sangat tangguh. Wapres Maruf Amin 76 tahun, jelas generasi kolonial. Orang-orang yang berusia di atas 70 tahun pun masih banyak yang mengurus partai politik, ormas, dan sebagainya.

Di luar negeri generasi kolonial juga banyak. PM Malaysia Mahathir 94 tahun. Tun M ini hebat banget. Di usia yang mendekati satu abad omongannya tetap kritis, tajam, dan jernih. Saya sering mengikuti pidatonya yang berisi otokritik terhadap etnis Melayu kaumnya sendiri.

Usia Prabowo 68 tahun. Bisa dibilang generasi kolonial juga. Ia masih punya kesempatan untuk nyapres lima tahun lagi. Apalagi sekarang ia dapat kesempatan "magang" sebagai menteri pertahanan.

Sabtu, 23 November 2019

Taruhan Hujan Tidak Dibayar

Apa saja bisa dibuat taruhan di Jawa. Yang paling populer tebak skor sepak bola. Saya sering menang kalau tebak skor Liga 1. Khususnya Persebaya atau Arema.

Lima hari ini langit mendung di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Tepatnya di kawasan Gununganyar Rungkut. "Nanti hujan gak," tanya saya ke Mbak Min pedagang rujak cingur langganan saya.

"Hujan," tegasnya. "Ini mendung banget. Aku kok yakin hujan."

"Gak mungkin hujan," kata saya enteng-entengan.

"Hujan.. hujaaan," kata mbak yang aslinya dari wilayah kulonan (barat) karena sering boso halus itu.

Akhirnya, saya tantang dia taruhan. Kecilan-kecilan aja. Kalau saya menang, rujak cingurnya gratis. Kalau kalah ya saya kasih duit seharga rujak itu.

Langit makin mendung. Ongkep. Banyak warga sambat di Suara Surabaya dan media sosial. Ada juga yang tanya BMKG kapan hujan di Surabaya. Memangnya BMKG itu panitia persiapan kedatangan sang hujan?

Makin siang awan gelap hilang. Diganti panas terik khas kota buaya. Bunga tabebuya bermekaran sangat indah tapi suhunya seperti di Sahara, tulis salah satu warga di medsos Suara Surabaya.

Tengah hari doa malaikat alias angelus. Saya selipkan doa minta hujan. Meskipun saya kehilangan uang 15 ribu karena kalah taruhan sama mbak rujak itu.

Rupanya Sang Khalik belum merestui doa-doa orang Surabaya yang minta hujan. Belum saatnya. Cepat atau lambat akan datang hujan. Bisa awal Desember, bisa juga akhir tahun.

Dua hari kemudian saya mampir ke warung itu. Pesan kopi, rujak, baca koran Jawa Pos seperti biasa. "Surabaya kok belum hujan ya?"

Mbak tertawa kecil. Lalu membuatkan kopi racikan plus gula satu sendok biar terasa agak pahit. Hidup memang ada manis pahitnya. Maka kopi tidak boleh terlalu manis kayak kopi sasetan Kapal Api atau Tora Biko itu.

Berita koran pagi ini tentang Ahok. Mantan gubernur Jakarta itu diangkat jadi komisaris utama Pertamina. Ada gambar Ahok lagi pegang selang bensin kayak di SPBU.

Mendekati pukul 07.00 hawa terasa terik seperti biasa. Awan mendung tak ada. Mbak itu lupa kalau dia kalah taruhan. Saya tetap bayar kopi dan rujak.

Judi itu bikin sengsara, kata Rhoma Irama.