Sabtu, 05 Oktober 2019

Selamat Jalan Romo Paskalis Hurek!

Berita duka lagi dari kampung halaman.

Sabtu pagi, 5 Oktober 2019, Romo PASKALIS GILO HUREK, Pr meninggal dunia di RSUD Larantuka, Flores Timur, NTT. Gara-gara kecelakaan lalu lintas di depan STM Bina Karya Larantuka.
Jenazah dimakamkan di Larantuka, Minggu siang 6 Oktober 2019.

"Kak Berni, Romo Kalis naika," begitu pesan SMS dari Is Hurek, adik saya, dari Lembata, NTT.

Saya yang lagi nonton kuliah filsafat di YouTube pun hanya bisa terdiam. Berserah kepada Dia Sang Empunya Hidup. Tak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya.

Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Terpujilah nama-Nya

Begitulah kata-kata Nabi Ayub yang sering dikutip saat dukacita begini. Kata-kata yang masih terngiang di telinga saya saat kami sekeluarga juga mengalami kedukaan. Saat Bapa Nikolaus Nuho Hurek dipanggil Tuhan pada 22 Juli 2019 lalu.

Belum terlalu lama. Setelah Bapa Niko Hurek, keluarga besar suku Hurek Making kehilangan lagi seorang tokohnya. Romo Paskalis Hurek, imam diosesan Keuskupan Larantuka.

Bulan Juli 2019 saya sempat melintas di jalan raya depan rumahnya. Di pinggir Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata. Dekat tempat permakaman kampung itu. Banyak tokoh kampung bersemayam di situ.

Saya sempat doa singkat di makamnya Ama Yeremian Selebar Hurek, ayahanda Romo Paskalis Hurek. Beliau katekis pertama di kampung saya. Tak heran putrinya jadi biarawati pertama di kampung saya: Suster Yerona Hurek.

Jejak Suster Yerona kemudian diikuti Paskalis Hurek. Jadilah ia pastor pertama asal Desa Mawa Napasabok. "Paskalis itu sangat berbakat. Pintar pelajaran, musiknya juga hebat," kata Bapa Niko Hurek, guru pertama Romo Paskalis di Mawa Napasabok.

Saat anak-anak, saya takjub mendengar permainan gitar Ama Kalis (belum romo, masih seminari). Lagu-lagu Ebiet G Ade dipetik layaknya seniman profesional. Inilah pertama kali saya melihat orang Lembata bisa main gitar dengan cara klasik. Bukan cuma jreng genjreng ala pemain koplo atau dangdut itu.

Rupanya bakat musik ini dibawa hingga ia ditahbiskan jadi pastor. Romo Paskalis selalu main musik dan menyanyi. "Paling enak kalau dia nyanyi Mama.. Kembalilah," kata seorang teman dari Adonara.

Sayang, saya tidak pernah bertemu muka dengan beliau selama bertahun-tahun. Sebab beliau memang ditugaskan di paroki-paroki yang jauh dari Lembata. Lebih banyak di Larantuka dan sekitarnya.

Saat saya mudik Natal, sudah pasti Pastor Paskalis sibuk di parokinya. Saat beliau mudik, saya bekerja di Jawa Timur. "Tuan Paskalis beto terus. Na maring meri gute ape teti lewo," kata tante saat saya mampir ke rumah Romo Paskalis.

(Romo Paskalis selalu pulang kampung. Dia bilang ambil api di kampung halaman.)

Gute ape. Ambil api.

Itulah pesan dan kebijaksanaan Romo Paskalis. Beliau berpesan kepada para perantau untuk meluangkan waktu pulang kampung sejenak. Ambil api. Sumber semangat dan inspirasi di lingkungan keluarga dekat dan jauh.

"Jangan sampai lupa kampung," pesannya.

Dua pekan lalu, Romo Paskalis Hurek pulang kampung. Kali ini beliau sangat bahagia merayakan misa pertama Romo Yeri Laper Making Pr di Desa Mawa Napasabok, kampung halamannya. Romo Yeri baru saja ditahbiskan di Kupang.

Romo Paskalis Hurek pastor pertama dari Kampung Mawa dan Romo Yeri Laper Making pastor kedua. Setelah 30an tahun baru lahir pastor baru. "Go mehak hala muri. Go kong Arik Yeri," kata Romo Paskalis dalam khotbahnya seperti diceritakan Ama Franky Hurek.

Perayaan atau pesta penyambutan imam baru di kampung pun berlangsung meriah. Imam lama, Romo Paskalis, pun berbunga-bunga. Kampung yang gersang itu ternyata mampu melahirkan pekerja untuk kebun anggur Tuhan.

Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. "Tuan Paskalis naika kenehingen," kata adik saya. Romo Paskalis meninggal dunia secara mendadak. Kecelakaan lalu lintas.

Ama Tuan... mo maiko kepi!
Kerung Bapa Niko lau Bapa langun!

Requescat in pace!
Selamat jalan Romo Paskalis!

Rokok Bentoel Tinggal Kenangan



Pagi ini saya mampir di warkop dekat Bandara Juanda, Sedati, Sidoarjo. Mengaso sejenak setelah nggowes sepeda jengki lawas cukup jauh. Sekalian baca koran. Sebagian warkop di Surabaya dan Sidoarjo memang abonemen surat kabar terbitan Surabaya.

Saya tertarik dengan Ardath milik seorang pria 40an tahun. Asal Lowokwaru, Malang. Aha, kebetulan cocok. Mau saya tes pengetahuan mas itu. Tentang rokok Bentoel yang identik dengan Kota Malang itu.

"Mas, rokok kretek Bentoel apa masih ada? Saya kok gak pernah lihat di Surabaya," tanya saya. Jujur... saya tidak pernah lihat rokok Bentoel di lapak-lapak di Surabaya dan Sidoarjo.

"Saya juga gak pernah lihat Bentoel. Mungkin masih ada, tapi kurang diminati di sini," kata arek Lowokwaru yang sudah lama jadi warga Sidoarjo itu.

Saya lalu cerita nostalgia tentang Bentoel. Kisah masa kecil saya di Lembata yang tidak ada listriknya. Betapa rokok Bentoel lakunya luar biasa. Rokok yang paling disukai masyarakat saat itu. Gudang Garam kalah jauh.

Situasinya berubah drastis sejak reformasi. Bentoel hilang. Orang-orang kampung kecanduan Surya. Tidak lagi ngelinting tembakau pakai daun koli (siwalan). Hem... nikmatnya Surya.

"Ardath itu produksi mana?" tanya saya lagi.

Mas asal Malang penggemar Ardath -- kenikmatan sukses -- bilang tidak tahu. Rupanya dia tidak pernah baca tulisan di bawah bungkus rokok Ardath. Dibuat di Malang. Yang bikin ya perusahaan rokok Bentoel itu.

Sudah lama Bentoel diakuisisi BAT. Makanya rokok-rokok buatan Bentoel, eh BAT, dominan rokok putih. Kretek khas Ong Hok Liong tidak lagi jadi andalan. Karena itu, sangat wajar kalau kretek Bentoel tak ada lagi di pasar.

Beberapa waktu lalu saya mlaku-mlaku di Malang. Lewat di bekas rumah Ong Hok Liong, laopan pendiri Bentoel Malang, di Wiromargo 32, Klojen. Rumah yang 6 tahun lalu dijadikan museum sejarah Bentoel itu sepi jali. Ada spanduk bertulisan "dijual". Patung Tuan Ong juga sudah tidak ada lagi.

Lengkap sudah. Bentoel yang pernah mengebulkan asap nan harum ke seluruh Nusantara itu kini tinggal cerita. Bahkan, orang Malang sendiri kayak mas dari Lowokwaru itu pun tidak tahu kalau salah satu ikon di kotanya sudah tiada lagi.

Mas itu menyedot rokok Ardath dalam-dalam. Ah... kenikmatan sukses!

Jumat, 04 Oktober 2019

Semburan Minyak di Kutisari Surabaya

Sudah hampir dua minggu muncul semburan di Kutisari Indah Utara III Surabaya. Persis di halaman rumah. Bau khas minyak mentah meruak ke mana-mana.

Jumat pagi, 4 Oktober 2019, saya mampir ke sana. Banyak petugas yang berjaga. Linmas, satpol, pekerja, hingga satpam. Drum-drum berisi minyak mentah berjejer di halaman dan pinggir jalan.

"Minyaknya sudah sedikit. Lebih banyak airnya," kata anggota Linmas Surabaya. Mereka berjaga gantian hingga jelang 24.00.

Semburan lumpur berminyak di Kutisari ini tidak sama dengan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Beda jauuuh. Di Kutisari mirip sumber mata air yang bergejolak.

Karena itu, secara awam bisa dikatakan aman. Warga sekitar pun adem ayem. Tidak ada keresahan. Mereka juga sudah bikin selamatan tumpeng, doa bersama, meminta bantuan Yang Mahakuasa agar semburan itu berhenti. Pemerintah juga tidak tinggal diam.

Pakar geologi dari ITS Dr Amien Widodo mengatakan hampir di sepanjang sumbu lipatan di wilayah Jawa Timur selalu muncul semburan secara alami baik minyak, gas, maupun lumpur. Di antaranya, di Sedati, Pulungan, Gununganyar, Kutisari, Semolowaru, Lidah Kulon, Gresik, Madura, Wringinanom.

Penjajah Belanda dulu melakukan pengeboran untuk mengambil minyak di sekitar semburan semburan tersebut. Amien Widodo mengatakan, lapangan minyak Belanda di Kota Surabaya ada tiga, yaitu Lapangan Lidah, Lapangan Krukah, dan Lapangan Kuti-anyar. Eksploitasi migas Belanda sekitar 1880 dan berhenti operasi (ditinggalkan) tahun 1930-an.

"Bekas lapangan migas tersebut saat ini menjadi perumahan padat seperti di Kutisari," kata geolog yang aktif meneliti semburan lumpur di Sidoarjo sejak 2006 itu.

Berapa sumur minyak tua eks Belanda di Kutisari? Datanya simpang siur. DLH Surabaya bilang 84 sumur. Yang sudah terdeteksi 34 sumur minyak.

Tentu saja posisi sumur-sumur lawas itu sudah tidak kelihatan lagi setelah eksplorasi distop satu abad lalu. Eks lapangan minyak itu pun sudah berubah menjadi kampung dan perumahan padat penduduk. Nyaris tidak ada spasi di antara rumah-rumah di Kutisari dan sekitarnya.

Lantas, kapan semburan minyak itu berhenti? Apakah sumur-sumur lain pun berpotensi nyembur?

Ini yang belum bisa dijawab. Ada pakar yang bilang semburan kecil itu biasanya akan berhenti sendiri. Bisa cepat seperti di Gresik, tapi bisa juga sampai puluhan tahun seperti di Jawa Tengah. Waduh!

Pater Markus Solo SVD Temani Menteri Agama RI di Vatikan

Sudah 12 tahun Pater Markus Solo Kewuta SVD bertugas di Vatikan. Jadi semacam staf ahli Takhta Suci. Sejak Paus Benediktus XVI yang kini emeritus dan dilanjutkan Paus Fransiskus. Pastor asal Flores Timur ini selalu jadi pendamping dan tak bosan-bosannya menyerukan perdamaian dunia.

Padre Marco, begitu nama populer Pater Markus Solo SVD, pekan ini ikut mendampingi rombongan kiai dan ulama Indonesia yang berkunjung ke Vatikan. Termasuk menemani Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin beraudiensi dengan Paus Fransiskus.

Inilah untungnya ada orang Indonesia yang jadi staf kepausan. Orang Flores Timur pula. Yang bahasa daerahnya bahasa Lamaholot seperti bahasa ibu di kampung saya. Sama-sama Keuskupan Larantuka pula.

Pater Markus Solo SVD menulis:

"Tadi sama Pak Menteri Agama Indonesia bincang2 ttg bgm majukan perdamaian & kerukunan di tanah air. Pendidikan inklusif jd kata kunci," tulis sang pater yang mengawali panggilan dengan masuk Seminari Hokeng itu.

Selanjutnya, Pater Markus menemani Pak Menag jalan-jalan di kompleks Vatikan City. "Beliau sangat tertarik mendengar penjelasan2 saya. Katanya: Romo, baru ketemu tapi rasanya akrab. Saya jawab: Karena kita orang Indonesia," kata Pater Markus.

Masa jabatan menteri dari PPP ini tinggal seminggu lagi. Rupanya di ujung pengabdiannya sebagai menteri agama, Lukman Hakim menyempatkan diri berkunjung ke Vatikan. Diskusi tentang banyak hal. Indonesia yang majemuk, Bhinneka Tunggal Ika, dsb.

Satu jam lalu Menag Lukman mengunggah fotonya saat berada di Vatikan. Sang Menteri menulis:

"Mengabadikan diri di depan lukisan tokoh2 agama dunia, usai berdialog dg Mgr. Miguel Angel Ayuso, Presiden Dialog Antaragama, Dewan Kepausan Tahta Suci Vatican, ditemani Romo Markus Solo asal Flores, NTT, yg sudah 12 tahun mengabdi di Vatican."

Ada guyonan kecil Pater Markus Solo yang bikin saya ketawa sendiri. Rombongan dari Indonesia minta nomor teleponnya. Pater Markus pun menulis + 379 kode Vatikan.

"Ini bukan tanda salib tapi plus," kata Pater Markus disambut tawa anggota rombongan.

Maklum, belakangan ini isu jin kafir sedang ramai di media sosial. Hehehe....

Pesan kopi langsung bayar



Pesan langsur bayar.

Begitu tulisan di salah satu warkop di Rungkut Menanggal Surabaya yang saya baca pagi ini. Tulisan sejenis pun makin marak di warkop-warkop lain di Surabaya dan Sidoarjo.

Rupanya ada perubahan tata kelola warkop atau warung di Indonesia. Biasanya sistem "pesan langsung bayar" hanya kita temui di KFC, MacD, atau resto-resto besar di plaza atau hotel. Tapi sekarang mulai merambah ke usaha kecil dan menengah.

"Lebih aman kalau langsung bayar. Soalnya tidak semua pelanggan dan pembeli itu jujur," kata Cak Mamat, pengusaha warkop di Surabaya Utara.

Cak Mamat sangat jengkel karena beberapa pelanggannya punya utang tapi tidak ngaku. Atau makan 5 gorengan tapi cuma lapor makan 3 jajan. Pelanggan-pelanggan mokong ini cukup banyak.

"Saya rugi. Makanya, kalau beli rokok wajib bayar langsung," katanya.

Kalau kopi, teh, atau gorengan? "Sekarang sih belum. Tapi nanti akan saya terapkan sistem bayar langsung," katanya.

Memang ada pergeseran budaya orang Indonesia. Budaya kita makan minum dulu bayar belakangan. Sebab makanan dan minuman yang dinikmati itu jumlahnya belum jelas. Bisa 2 atau 3 atau 5. Tergantung kapasitas perut. Kopinya juga bisa nambah 2 gelas lagi.

Maka, setelah ditotal baru bayar kopi dsb itu. Beda dengan budaya Barat yang modern. Mereka sudah lama pakai sistem langsung bayar. Ada uang ada ayam tepung KFC. Tidak ada ceritanya makan dan minum baru bayar belakangan di MacD.

Persoalan kita ya itu tadi... makin lama kejujuran makin tergerus. Uang yang dibayar lebih sedikit daripada makanan dan minuman yang sudah masuk perut.

Saya sendiri cocok dengan sistem modern ini. Lebih praktis. Transaksi cukup sekali, makan minum, lalu cabut. Tidak perlu lagi berurusan dengan si pedagang kopi itu.

Bulan Bahasa, Wartawan Ditatar Lagi


Oktober bulan bahasa. Wartawan-wartawan dari berbagai media di Jawa Timur ditatar oleh Badan Bahasa Jawa Timur. Diingatkan kembali akan pentingnya bahasa yang baik dan benar.

Saya pun ditugaskan sebagai salah satu peserta penataran ini. Anggap saja ngecas baterai. Sudah sangat lama saya tidak ikut lokakarya bahasa Indonesia macam ini. Tapi karena ditugaskan ya.. mau tidak mau, suka tak suka, harus ikut.

Ada lima materi yang disajikan selama dua hari. Penggunaan BI di media massa, ejaan dan peristilahan, bentuk dan pilihan kata, kalimat dan paragraf, dan praktek, eh praktik penulisan berita.

Boleh dikata, materi-materi ini tidak ada yang baru. Setiap hari pekerja media selalu bergulat dengan kata, kalimat, judul, paragraf, dsb. Rutinitas. Ibarat mesin yang sudah punya SOP atawa prosedur tetap.

Ibarat sopir truk yang setiap hari menyetir truk di jalan raya, melewati rute panjang, yang diajari lagi cara menyetir yang baik dan benar. Aturan-aturan lalu lintas. Larangan-larangan di jalan raya.

Sopir yang bekerja rutin, bertahun-tahun, pun sering kena tilang karena melanggar aturan. Bukan karena tidak tahu, tapi ya serobot sana sini. Karena itu, polisi perlu melakukan operasi zebra, tilang, cipta kondisi, dan sebagainya.

Saking rutinnya menulis berita, bermain kata, wartawan-wartawan sering tidak bisa membedakan dsb (dan sebagainya) dan dst (dan seterusnya). Bahkan banyak pula media yang memakai 'dan lain sebagainya'. Kesalahan-kesalahan seperti inilah yang dikoreksi Badan Bahasa Jatim.

Media-media juga sering menyamakan INI dan ITU. Prof Dr Suyatno dari Unesa kemudian mengoreksi. Ternyata ada banyak sekali kesalahan bahasa di media-media di Jawa Timur. Bukan saja media-media kecil, tapi juga media besar yang punya reputasi nasional.

Dari lima pemateri, saya paling tertarik dengan Prof Suyatno. Pakar bahasa ini merupakan copy editor pertama Jawa Pos ketika masih berkantor di Kembang Jepun 167. Pertengahan 1980-an, masih pakai mesin ketik, belum komputer. Pracetak masih pakai film. "Capek," katanya.

Prof Suyantno menyajikan 41 kesalahan logika atau sesat pikir wartawan saat menulis berita. Di antaranya, argumentum ad hominem, pars pro toto alias gebyah uyah atau sebaliknya totum pro parte. Logika yang buruk ini membuat berita-berita di media massa jadi berantakan.

Hetty Palestina Yunani pembicara terakhir. Dia meminta peserta yang sebagian besar redaktur agar tidak terlalu terikat pada piramida terbalik. Bikin berita naratif dengan angle yang unik dan menarik. Tidak pasaran. Lupakan rumus 5W+1H. Menulis sebebas dan sekreatif mungkin.

Hetty ini dulu reporter saya. Sekarang dia tak lagi terikat dengan koran, majalah, tabloid, atau media massa mainstream. Maklum, Hetty dari dulu tidak mau terikat dengan aturan-aturan perusahaan seperti wajib ngantor paling lambat pukul 15.00, wajib nyetor 4 berita sehari, dsb.

"Kalau mindset Anda terlalu standar, ya berita-berita Anda tidak akan bagus. Cuma bikin penuh koran, tapi tidak akan dibaca orang," kata Hetty.

Gara-gara ikut lokakarya bahasa Indonesia ini, saya bisa bertemu lagi dengan Hetty Palestina. Lima tahun lebih saya tidak ketemu dan ngobrol sama putri mendiang RM Yunani, wartawan senior Surabaya Post itu.

Kamis, 03 Oktober 2019

Kades dari Lembata Studi Banding Sorgum di Jatim



Dua pekan lalu ada rombongan kepala desa, sekdes, dan BPD dari tiga desa di Lembata, NTT, studi banding di Jawa Timur. Mereka belajar budidaya sorgum di Lamongan, buah naga di Banyuwangi, dan tata kelola wisata pantai di Banyuwangi. Mungkin baru kali pertama kades-kades di Lembata pigi studi banding sekaligus jalan-jalan.

"Banyak hal yang bisa kita pelajari di Jawa. Orang Jawa sangat kreatif dan maju," kata Kades Mawa Napasabok Patrisius Gawi Manuk kepada saya saat ngopi di Hotel Neo Sidoarjo, Jalan Raya Waru.

Kades Gawi didampingi Kades Lamawara Ama Moses dan Kades Bungamuda Ama Berni. Selama satu minggu mereka pesiar, cuci mata, dan mencoba menyerap ilmu dari orang Lamongan dan Banyuwangi. Juga menikmati keramaian dan kemacetan Surabaya dan Sidoarjo. Malamnya melihat Jembatan Suramadu yang menghubungan Pulau Jawa dan Madura itu.

Sorgum bukanlah tanaman yang asing di Lembata dan Flores Timur, NTT. Saat anak-anak di kampung, saya biasa menikmati makanan olahan sorgum yang lezat. Sorgum juga ditanam sebagai selingan jagung. 

Kalau jagung disebut WATA dalam bahasa Lamaholot, sorgum disebut WATA HOLOT. Maka bumi Lamaholot bisa diartikan sebagai Kampung Sorgum. (Lama artinya kampung atau wilayah.)  

Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Wata holot alias sorgum itu lama-lama hilang. Tinggal wata (jagung) biasa. Jagung pun makin terdesak oleh raskin alias beras untuk warga miskin. Maka orang Lembata di desa-desa pun makin kecanduan makan nasi putih. Saat mudik di kampung halaman, saya sangat kesulitan mendapatkan nasi jagung. 

Aneh! Sebab tanah di Lembata lebih cocok untuk jagung dan jagung cantel alias sorgum ini. Saya hanya melihat sedikit sorgum di sebuah pondok di Parek, ladang utama orang Ile Ape di kawasan Lembata Utara, dekat Laut Flores.

Rupanya beberapa tahun terakhir ada gerakan untuk kembali menanam sorgum. Dibuat beberapa kebun contoh di NTT. Orang Lembata yang sudah puluhan tahun lupa wata holot pun teringat nenek moyangnya.

 Oh, dulu banyak wata holot di kampung! Tapi hilang karena tidak dibudidayakan. Dianggap makanan yang kelasnya lebih rendah daripada beras. Makan beras lebih bergengsi. Macam pejabat, PNS, atau orang Jawa yang dianggap hebat-hebat.

Apa hasil studi banding sorgum itu? Banyak, kata tiga kades yang masih punya hubungan kekerabatan dengan saya. "Tanam sorgum perlu serius. Bukan lagi selingan, tapi tanaman utama," kata Ama Gawi.

Begitu juga buah naga yang sudah mulai dikenal di Lembata. Selama ini orang Lembata hanya fokus ke jagung. Tanaman-tanaman lain hanya selingan. "Kami akan coba di Parek Walang," kata Ama Gawi.

Yang menarik adalah pengolahan pascapanen. Sorgum bisa diolah menjadi aneka ragam makanan. Dan bisa dijadikan uang.

Malam makin larut. Obrolan di kafe Hotel Neo+ itu pun berlanjut dengan pengelolaan wisata pantai di Banyuwangi. Pantainya sih biasa saja. Pantai dan laut di Lembata jauh lebih bersih dan eksotis. Tapi belum digarap sebagai objek wisata yang menarik.

Ama Gawi bilang saat ini Desa Mawa Napasabok sudah merintis Pantai Eler. Biar keren disebut Eler Beach. Pantai di pinggir desa ini punya pemandangan yang eksotik. "Bisa untuk uji nyali," kata kades yang juga Opu Lake ini.

Kades Gawi Manuk mengaku sudah punya konsep untuk mengembangkan wisata pantai. Apalagi ia sudah dapat inspirasi dari Banyuwangi. Ke depan Eler Beach bakal jadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten Lembata.

Uangnya dari mana? "Kan ada dana desa. Dana dari Jokowi itu akan kita pakai untuk pembangunan fisik. Salah satunya Pantai Eler," katanya.

Malam makin larut. Obrolan makin asyik. Sayang, malam itu rombongan kades, sekdes, dan BPD itu harus ngelencer ke Surabaya dan Sidoarjo. Kapan lagi? Sebab besok harus kembali ke NTT.