Rabu, 28 Agustus 2019

Selamat Jalan Ayahanda Tercinta Bapa Nikolaus Nuho Hurek




Gelisah, cemas, waswas.. takut. Campur aduk. Itulah yang saya rasakan selama hampir dua minggu. Sulit tidur. Padahal saya tipe orang yang sangat mudah tidur di mana pun. Saya tidak perlu kasur empuk, bantal guling, kamar semewah hotel berbintang hanya untuk tidur.

Tapi dua mingguan itu mata sulit terpejam. Bolak-balik saya lihat ponsel. Padahal biasanya HP saya matikan sebelum pukul 23.00. Mode pesawat. Tinggal musik pengantar tidur. Saya bolak-balik cek HP.

"Kak Berni.. kondisi Bapa sangat melemah. Sulit diajak bicara," begitu SMS dari Is Hurek, adik saya, dari Lembata.

Oh, Tuhan!

Saya pun tak bisa berbuat banyak. Larut dalam keheningan. Berdoa agak lama. Berdoa lagi dan lagi. Rosario lima peristiwa. Sampai pagi.

Waktunya sudah dekat rupanya. Tuhan kasih isyarat dalam kegelisahan itu. Ayah kandung saya, Bapa NIKOLAUS NUHO SAMUN HUREK, juga beberapa kali datang dalam mimpi. Bapa Niko tersenyum dalam wajah yang masih relatif muda, di bawah 60an tahun. Bukan 79 tahun atau 80an tahun seperti usia sebenarnya.

Bapa Niko Hurek tidak ngomong apa-apa dalam mimpiku. Tapi saya tahu beliau minta agar saya segera pulang. Bertemu beliau di ujung perjalanan tugas di dunia ini.

Bapa Niko.. Bapa... saya segera pulang. Minggu ini. Saya harus izin cuti panjang, urus tiket dsb. Tuhan... izinkan saya bertemu ayahandaku sebelum saatnya tiba! Begitu doaku di malam yang gelisah itu.

Minggu 21 Juli 2019
Kristofora Tuto alias Is Hurek kirim SMS. Bunyinya:
"Kak Berni... pia Bapa bisa loka nong tite koda di loka jadi mo daiko ki... nepi kme open hala."

"Kak Berni.. Bapa sudah tidak bisa bicara dengan kita. Jadi segera pulang. Kami tidak bohong."

Saya pun menangis. Di toilet kantor di Kembang Jepun, Surabaya, jelang deadline. Tanganku gemetar saat mengedit berita-berita untuk halaman 1 koran pagi Radar Surabaya.

"Saya pulang. Go urus cuti nong seba tiket pesawat. (Saya segera urus cuti dan cari tiket pesawat)," jawab saya ke Is dan keluarga besar di kampung.

Tak lama, masih Minggu malam 21 Juli 2019. Fransiskus Terong Hurek alias Franky kirim WA. Saudara sepupuku itu menulis:
"Malam bae, kalau boleh dai moi bapa ki."

Lengkap dengan foto Bapa Niko di kamar di Lamahora, Lewoleba, Lembata. Adik Is duduk di samping ayahanda yang terbaring. Tak ada kata. Tapi wajah ayahku masih tersenyum khas. Mirip saat mimpi beberapa kali itu.

Senin 22 Juli 2019
Pagi itu saya mampir ke pastoran Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Mau ketemu Pater Dominikus Udjan SVD yang baru tiga bulan bertugas di Surabaya. Romo Domi ini kebetulan asli Lembata.

Ayah Pastor Paroki Roh Kudus Surabaya ini, Bapa Yosef Nuba Udjan (+), dulu ketua Stasi Gereja Atawatung. Bapa Niko Hurek, ayah saya wakil ketua Stasi Atawatung. Waktu SD di kampung, saya selalu diajak Bapa Guru Niko untuk main di rumah Bapa Guru Yosef Nuba. Karena itu, hubungan kami seperti keluarga sendiri meskipun Pater Domi ini berasal dari Kalikasa. Lumayan jauh dari Atawatung di Kecamatan Ileape.

Sudah bertahun-tahun saya tidak ketemu Pater Domi. Maklum, pastor ini lebih banyak bertugas di Jakarta. Terakhir kalau tidak salah di Matraman Raya, Jakarta.

Saya pun menunggu di pastoran. Setengah jam kemudian Pater Domi keluar. Saya langsung peluk sang pastor. Wajahnya tidak banyak berubah. "Anda siapa?" tanya Pater Domi.

Lalu saya cerita sedikit latar belakang, orang tua dsb di kampung. Ouww... Pater Domi kemudian memeluk saya erat-erat.

"Berni Hurek... kamu dulu kurus. Saya pangling," kata pater yang dulu biasa jalan kaki 30an km dari Lewoleba ke Atawatung saat duduk di SMPK Santo Pius X Lewoleba itu.

Lalu saya diajak ke lantai atas. Ruangan khusus para pastor. "Mo menu kopi le teh... (mau minum kopi atau teh)," tanya Pater Domi.

Saya jawab kopi. Pater Domi, dulu Pater Geurtz SVD memberi gilingan kopi di rumah saya di Mawa, Lembata. Semua warga bebas giling kopi (selep). Makanya sejak SD saya sudah biasa minum kopi. Sampai sekarang pun sulit lepas dari kopi.

"Oh ya... saya ingat," kata Pater Dominikus Udjan SVD.

Obrolan pun makin gayeng. Cerita-cerita nostalgia pun mengalir deras. Termasuk kehebatan Bapa Yosef Nuba Udjan yang memimpin Gereja Stasi Atawatung, pandai berkhotbah dsb dsb. "Jujur aja Pater... khotbahnya Bapak Yosef Nuba dulu kualitasnya tidak kalah dengan pastor beneran. Bahkan lebih bagus," kata saya disambut tawa Pater Domi Udjan.

Tidak heran dua putra almarhum Bapa Yosef Nuba Udjan berhasil jadi pastor. Pastor Dominikus Udjan SVD bertugas di Surabaya dan Pastor Paulus Udjan SVD bertugas di Timor Leste.

Tak lama kemudian telepon saya berdering. "Maaf Pater.. saya terima dulu. Dari Is Hurek di Lewoleba," kata saya minta izin ke Pater Domi.

Isak tangis Is Hurek, adik perempuan saya, sangat keras. Tak banyak kata. Tapi saya sudah menangkap pesannya. Ayahanda Nikolaus Nuho Samun Hurek sudah tiada. Sudah dipanggil menghadap Bapa di Surga.

"Kak Berni... Kak Berni... mo dai hala ka Bapa naika...." (Kak Berni.. Bapa Niko pergi sebelum kamu pulang)

Wajahku memerah. Air mataku tumpah di depan Pater Dominikus Udjan SVD. Pater pun memberi kekuatan kepada saya. "Saya akan doakan secara khusus dalam misa di sini," katanya seraya mengantar saya ke halaman parkir Gereja Katolik Roh Kudus, Puri Mas, Rungkut, Surabaya.

Saya pun belum sempat menyampaikan maksudku yang sebenarnya ke Pater Dominikus Udjan. Pertama, minta doa agar Bapa Niko Hurek diberi tambahan umur agar saya bisa bertemu dengan ayahanda tercinta di saat-saat terakhir hidupnya. Kedua, minta berkat agar perjalanan mudik ke kampung halaman besok aman dan lancar.

Tapi Tuhan punya rencana lain. Benarlah nas kitab suci ini:

"Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu." (Yesaya 55:8-9)

Dari Gereja Roh Kudus, Rungkut, saya pun langsung cari tiket. Sore atau malam ini harus sudah tiba di Kupang dan besoknya di Lembata. Ternyata dapat penerbangan Lion Air malam hari ke Kupang. Satu-satunya flight yang tersisa.

Di sisi lain, manajemen, direktur, GM, HRD, dan pemimpin redaksi memberikan cuti khusus dukacita kepadaku. Semua wartawan dan karyawan juga menyampaikan doa yang tulus kepada ayahandaku yang telah berpulang dan mendoakan saya serta keluarga yang ditinggalkan.

"Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Terpujilah nama-Nya!"

(Ayub 1:21b)

Resquescat in pace!
Beristirahatlah dengan tenang bersama-Nya!

Selamat jalan ayahanda tercinta Bapa Nikolaus Nuho Samun Hurek Making!

Selamat berjumpa lagi dengan ibunda tercinta Mama Maria Yuliana Manuk (+) yang sudah lebih dulu berpulang pada 1998!

Budi jasa moen aya aya Bapa!
Kame anak anak moen balas bisa hala!
Go pia teti ata lewohna.. doan doan pi Surabaya
onek peten peten kong mo
Go balik lewo koi Bapa hala muri

Senin, 19 Agustus 2019

Oei Hiem Hwie, Buku, dan Media Lama

OEI HIEM HWIE masuk koran lagi. Cerita lama tentang pengalamannya di Pulau Buru karena dianggap antek-antek Bung Karno. Pak Oei juga punya kedekatan khusus dengan Pramoedya Ananta Tour saat berada di pulau pembuangan tahanan politik itu.

Cerita tentang Pak Oei sudah sering dibeber di media massa. Saya juga beberapa kali menulis pengalaman mantan wartawan Trompet Masjarakat, Surabaya, itu di koran. Kalau perlu pendapat tokoh atau pengamat Tionghoa, biasanya saya kontak Oei Hiem Hwie.

Lama-lama jadi dekat dengan sesepuh Tionghoa Surabaya itu. Apalagi beliau punya perpustakaan antik di Medokan Ayu Surabaya. Satu-satunya perpustakaan yang menyimpan begitu banyak majalah, koran, buku, dan dokumen tempo doeloe. 

Mau cari koran prakemerdekaan macam Sin Poo, Sin Jit Poo, Keng Poo... ada saja arsipnya di perpustakaan yang bernama Medayu Agung. "Saya memang hobi membaca dan mengoleksi media massa dan buku-buku," ujarnya. 

Sayang, banyak buku koleksinya yang diambil aparat setelah peristiwa kelabu 65 itu. Masih lumayan ada setumpuk yang disembunyikan di plafon rumahnya ketika ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. 

Kembali ke Jawa Timur, Oei kelahiran Malang tapi cari duit di Surabaya, bersyukur karena buku-buku lamanya masih ada. Tapi di masa Orde Baru dia hidup dalam kecemasan gara-gara status ET di kartu penduduk. ET : eks tapol. "Kami terus diawasi setiap saat," ujarnya. 

Orde Baru kemudian tumbang. Pak Oei bisa sedikit lega meskipun tetap eling lan waspada. Diam-diam dia buka perpustakaan sederhana, kecil, agar koleksi-koleksi lawas itu bisa dibaca banyak orang. "Tiap hari ada mahasiswa, dosen, wartawan, tokoh masyarakat datang ke sini," tuturnya lantas tertawa kecil.

Hehehe... Saya ikut tersindir karena memang sering ke perpustakaannya yang dekat perbatasan Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Kalau saya lewat di tambak-tambak Sedati Juanda hingga Tambakoso biasanya saya merapat ke Medayu Agung.

Makin hari saya lihat buku-buku makin menumpuk. Selain membeli pakai duit sendiri, banyak orang yang ikut menyumbang. Di era digital ini tentu sumbangan buku makin banyak. Sebab manusia modern lebih banyak membaca di internet ketimbang buka-buka buku kertas.

Saya merasa asyik membaca tulisan-tulisan lawas dengan gaya Melayu Pasar atau Melayu Tionghoa. Penulis-penulis lama senang bermain-main kata, guyon, nyindir... sehingga berita-berita jadi sangat berwarna. Beda dengan model jurnalistik modern yang singkat, padat, tidak bertele-tele, to the point.

Kelemahan perpustakaan milik Tuan Oei hanya satu: tidak ada AC. Bisa dibayangkan betapa sejuknya ruangan perpustakaan dua lantai itu di Surabaya yang panas. Tapi tentu saja Pak Oei tidak punya anggaran untuk pengadaan AC. Pemkot Surabaya juga belum berkenan menyumbang karena lebih memperhatikan perpustakaannya sendiri yang mutunya biasa-biasa saja.

Tahun ini Pak Oei genap 82 tahun. Beliau mau menerbitkan buku memoar yang isinya pasti werno-werni dan interesan. Semoga lancar dan Tuhan kasih sehat untuk Pak Oei. 

Senin, 12 Agustus 2019

Blog Dihapus Bikin Trauma Ringan

Awalnya kaget dan shock. Kehilangan blog dengan konten 3.000 tulisan. Blog yang cukup populer karena lebih dulu masuk blogsphere. Tapi beberapa hari kemudian saya ikhlas. Sadar bahwa laman pribadi di blogspot suatu ketika akan hilang.

Toh, saya juga sudah pernah kehilangan blog. Multiply dihapus. Blogsome hilang. Yahoo 360 amblas. Tapi tiga platform blog pribadi ini memang tutup. Mungkin bangkrut. Ribuan pengguna juga kehilangan.

Nah, bedanya, Multiply, Blogsome, Yahoo 360 ada pemberitahun lebih dulu. Notifikasinya berkali-kali. Kita bisa siap-siap mengarsip atau menyelamatkan naskah, foto, atau video.

Lah, Mbah Google ini dadakan. Akun hurek2007 yang dihapus. Otomatis semua akun saya yang terkait Google terhapus. Otomatis! Termasuk hurek.blogspot.com yang dirintis mulai 2006 itu. (Ada naskah-naskah bertahun 2005 tapi sejatinya dipos tahun 2006.)

Bukankah gampang bikin blog baru? Gampang banget memang. Tidak sampai 5 menit bikin akun email baru. Akun yang bisa dipakai untuk bikin laman di blogspot, youtube dsb.

Yang tidak gampang itu menjaga mood. Bikin tulisan-tulisan baru atau ngepos ulang arsip-arsip lama yang bisa diselamatkan. "Saya butuh artikel tentang seriosa," kata seorang doktor asal Malaysia, Sharifah.

Dia ternyata diam-diam aktif membaca blog lawasku. Bahkan jadi salah satu referensi untuk bikin tesis doktoral. Sharifah juga memberi dorongan agar saya terus menulis di blog. Agar bisa diakses di mana saja lewat internet.

Iya iya.... Tapi kasus kehilangan 3.000 artikel dalam hitungan detik ini sedikit banyak membuat trauma. Bisa saja naskah-naskah baru pun hilang dalam sekejap karena dianggap melanggar syarat dan ketentuan Mbah Google.

Jumat, 09 Agustus 2019

Tionghoa kok bukan pedagang?

Surabaya, 16 October 2014

Orang Tionghoa di Indonesia identik dengan pedagang. Mulai pedagang kelontong hingga bos yang punya banyak pabrik. Karena itu, ketika melihat Ahok jadi gubernur Jakarta, dengan gayanya yang blak-blakan dan unik, mayoritas orang Indonesia terkejut. Yang terkejut ini bukan hanya pribumi tapi juga Tionghoa sendiri.

Dua hari lalu saya didatangi mahasiswi Universitas Kristen Petra Surabaya. Olivia namanya, tinggal di Taman, Sidoarjo. Di otak saya, ayah si Olivia ini pasti pedagang atau pebisnis. "Papamu bisnis apa?" tanya saya.

Pertanyaan standar ketika kita bertemu warga keturunan Tionghoa. Kalau ketemu pribumi, pertanyaan kita: Anda kerja di mana? Di bagian apa?

"Papaku pendeta," kata Olivia mantap. Oh, Tuhan, saya kena batunya. Termakan oleh stereotipe, generalisasi, yang memang ada di alam bawah sadar saya. Memang sangat jarang, bahkan baru kali ini, pertanyaan standar "papamu bisnis apa" dijawab pendeta.

Saya tahu banyak sekali pendeta Tionghoa, khususnya di gereja-gereja aliran pentakosta dan karismatik, di Jawa Timur. Tapi mendengar langsung ucapan seorang Tionghoa, anak pendeta, baru kali ini. "Wah, papamu benar-benar melaksanakan sabda kitab suci. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran...."

Olivia tertawa kecil. Lalu, obrolan kembali ke topik utama. Tak lagi bahas masalah pribadi, Tionghoa, pendeta, kristiani, dan sebagainya. Olivia cuma ingin wawancara tentang sistem kerja di newsroom sebuah surat kabar untuk tugas kuliahnya.

Diam-diam, setelah Oliv pulang, saya merenung sendiri. Pasti tidak gampang bagi orang Tionghoa yang memilih jalan hidup sebagai pendeta. Profesi yang sangat jauh dari template di kalangan masyarakat Tionghoa di tanah air.

Bagaimana bisa membiayai anak istri? Beli rumah pakai apa? Masa depannya? Bukankah lebih enak punya banyak uang? Dan itu hanya bisa lewat perdagangan dan bisnis?

"Orang Tionghoa yang jadi seniman atau rohaniwan itu harus nekat. Harus tahan kritik dari lingkungan keluarga," kata Lim Keng, almarhum, pelukis terkenal di Surabaya.

Lim Keng dulu jadi bahan gunjingan keluarga, teman, dan orang-orang Tionghoa karena nekat memilih jalan kesenian. Bahkan, istri dan dua anaknya pun menyingkir ke kota lain karena memilih jalan dagang. Tapi Lim Keng merasa bahagia dan bertahan dengan dunia seni lukis sampai ajal menjemput.


Komentar Lama

Anonymous
October 17, 2014

Ya memang benar itu. Ketika saya kecil, setiap kali main ke rumah teman sesama Tionghoa, pasti ditanyain orangtuanya: "Papa kamu co apa?". "Co" - dalam pinyin dituliskan sebagai "zuo", artinya bekerja; lengkapnya zuo shengyi atau lafal Tionghoa Surabaya yang mlingsih dari aslinya: "co sen-i" (bekerja bisnis). Kalau kita bekerja sama orang (seperti saya) sering merasa minder. Padahal bekerja apa pun itu mulia, asalkan kita jujur dan memberikan bakat dan kemampuan kita yang terbaik.

Sabtu, 03 Agustus 2019

Lagu Seriosa Itu Apa Sih?




Oleh LAMBERTUS HUREK

Pada 1980-an lagu seriosa sering diperdengarkan di Televisi Republik Indonesia [TVRI], satu-satunya televisi masa itu. Kini, seriosa nyaris tidak ada lagi. Tidak dapat tempat di televisi atau radio. Pertanyaannya, lagu seriosa itu apa?

Saya suka main-main ke kantor Surabaya Symphony Orchestra (SSO) di Jalan Gentengkali 15 Surabaya. Bangunan tiga lantai di kawasan strategis kota Surabaya. Selain kantor, SSO membuka kelas vokal dan musik, juga punya concert hall kecil untuk berlatih atau home concert. Tiap hari ada saja anak-anak dan remaja yang mengikuti les musik klasik.

Saya bertandang ke sana karena kebetulan kenal dekat dengan Pak Solomon Tong, dirigen sekaligus pendiri SSO. Para staf serta beberapa penyanyi andalannya pun saya kenal baik. Jelek-jelek begini, saya sempat mengikuti latihan vokal bersama Paduan Suara SSO. Diskui dengan Pak Tong bikin wawasan musik klasik saya bertambah-tambah.

"Kamu ikutlah karena suaramu bagus. Kamu juga bisa menyanyi," kata Solomon Tong kepada saya di rumahnya, Jalan Kawi 3 Surabaya, di awal karier saya sebagai jurnalis, menjelang kejatuhan Presiden Suharto.

Sayang, karena sibuk meliput ke mana-mana, saya tidak bisa intens berlatih seni suara klasik. Cukup menonton, kemudian menulis sedikit liputan di surat kabar.

Baru-baru ini, setelah membual dengan Yanti dan Mimin (keduanya staf SSO), saya diterima Solomon Tong di ruangannya. Pria kelahiran Xiamen Tiongkok, 20 Oktober 1939, ini tengah menulis sambil menikmati rekaman Konser Kemerdekaan SSO, awal Agustus 2006 di Hotel JW Marriot. Dalam setahun SSO rata-rata menggelar tiga kali konser besar.

"Yang ini konser ke-46 selama 10 tahun usia SSO," ujar Solomon Tong. Saat itu Pauline Poegoeh, soprano andalan SSO, tengah membawakan lagu klasik karya W.A. Mozart.

"Pak Tong, saya ingin tahu apa sebetulnya seriosa itu?" pancing saya.

"Nah, ini pertanyaan bagus. Kita perlu meluruskan istilah seriosa itu. Di luar negeri tidak dikenal lagu atau musik seriosa. Kita di Indonesia saja yang salah kaprah," kata suami Ester Carlina Magawe, pianis top Surabaya, itu.

Celakanya lagi, "Seriosa dalam pengertian Indonesia itu sangat sempit, hanya untuk vokal serius. Ini yang sulit ditangkap masyarakat awam," tegasnya.

Saya pun teringat pemilihan Bintang Radio dan Televisi atau BRTV di TVRI pada 1980-an. Selain keroncong, lomba menyanyi tingkat nasional ini menampilkan kategori seriosa dan hiburan. Lagu seriosa yang saya lihat di TVRI dibawakan dengan 'sangat serius', busana formal, teknik vokal klasik, suara bergetar (vibrasi kuat)--mirip orang kedinginan, begitu olok-olok masyarakat--lagu-lagunya sulit, sehingga peserta sedikit.

Lagu-lagu seriosa yang kerap dilombakan di BRTV antara lain Seuntai Manikam (Djohari), Keluhan Kuncup Melati (Ibu Sud), Cempaka Kuning (Syafei Embut), Taufan (C. Simandjuntak), Fajar Harapan (Ismail Marzuki), Karam (Iskandar), Kasih di Ambang Pintu (Iskandar), Bukit Kemenangan (R. Djuhari), Bintang Sejuta (Ismail Marzuki), Senja Semerah Bara (F.A. Warsono), Mekar Melati (C. Simandjuntak).

Kisah Angin Malam (Saiful Bahri), Puisi Rumah Bambu (FX Sutopo), Wanita (Ismail Marzuki), Kisah Mawar di Malam Hari (Iskandar), Embun (GWR Sinsu), Di Sela-Sela Rumput Hijau (Maladi), Citra (C. Simandjuntak), Dewi Anggraeni (FX Sutopo), Kembang dan Kumbang (Sancaya HR). Kebetulan saya bisa membawakan sebagian di antaranya.

Saya sodorkan daftar lagu ini kepada Solomon Tong. "Lagu-lagu ini yang biasa disebut seriosa itu," kata saya. Tong tersenyum.

Sebagai dirigen orkes simfoni dan mantan juri BRTV jenis seriosa, Tong niscaya sangat paham lagu-lagu seriosa versi Indonesia itu. Dia berkeras istilah 'seriosa' salah kaprah. Tidak cocok dipakai di dunia musik karena bisa membingungkan orang luar negeri.

"Indonesia ini hanya mengutip setengah-setengah lagu-lagu pada zaman Barrock. Di Jerman istilahnya lieder artinya song. Tapi arti sesungguhnya art song," papar Tong.

Puisi yang dilagukan ini melahirkan lieder-lieder yang sangat terkenal di Jerman. Cara pembawaanya pun 'serius', berbeda dengan lagu-lagu biasa.

Di mata Solomon Tong, lagu-lagu seriosa yang dilombakan di BRTV tidak cocok dengan konsep art song.

"Itu kan lagu-lagu kepahlawanan, perjuangan, cinta tanah air. Kita jangan paksakan diri memakai istilah seriosa. Nanti bikin bingung orang," tutur Solomon Tong yang mendirikan SSO pada 1996 itu.

SSO merupakan orkes simfoni langka di Indonesia karena paling aktif menggelar konser besar maupun konser kecil.

Sebagai 'suhu' musik klasik, Tong memang berkeinginan kuat untuk meluruskan banyak istilah musik yang salah kaprah di Indonesia. Salah satunya seriosa. Kalau sekadar berarti 'serius', apanya yang serius? Apa hanya cari pembawaannya? Menurut dia, sebaiknya kita menggunakan istilah-istilah musik yang berlaku universal. Untuk vokal, misalnya, ada opera, aria, oratorio, sacred song, secular song, folk song.

"Kalau yang sedang dibawakan Pauline ini jenis aria dari Mozart. Jangan disebut seriosa! Nggak jelas!" tandas Tong.

"Kenapa anda tidak meluruskan istilah seriosa sejak dulu? Bukankah anda sering menjadi juri BRTV?" tanya saya.

"Saya sih maunya begitu, tapi tidak pernah diberi kesempatan oleh panitia. Waktu saya jadi juri, selalu ada pesanan supaya memberi bobot lebih kepada peserta yang berpenampilan menarik dan macam-macam lah," kenang Tong yang mulai membina paduan suara dan musik klasik sejak 1957.

Beberapa waktu lalu Tong sempat bertemu dengan kepala program TVRI Surabaya. Tong ingin 'meluruskan' salah kaprah istilah seriosa melalui televisi negara itu.

"Pak Sutrisno tanya apa saya bersedia jadi narasumber. Saya jawab oke. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasannya," kata Solomon Tong, kecewa.

Tidak itu saja. Tong pun ingin menggalakkan musik vokal untuk remaja lewat TVRI Surabaya agar muncul bibit-bibit vokalis masa depan. Ternyata, konsep sosialisasi ala Solomon Tong sangat dihargai, tapi masih sulit dilaksanakan di Indonesia. Karena itu, Tong selalu meminta wartawan-wartawan di Surabaya, khususnya saya, untuk membuat tulisan tentang musik klasik yang apresiatif.

"Tanpa media massa, musik klasik tidak akan jalan. Kalian itu mitra saya, partner saya," tegas Tong dalam berbagai kesempatan. Jangan heran, beliau senantiasa memberikan waktu kepada saya untuk membahas tetek-bengek seputar musik klasik kapan saja.

AGAR bahasan ini komplet, saya lengkapi dengan pandangan Suka Hadjana, pemusik, dirigen, dan kritikus kelahiran Jogja 17 Agustus 1940. "Istilah musik seriosa sesungguhnya agak berlebihan," tegas Suka Hardjana.

Menurut dia, seriosa ala BRTV tak lain bagian dari seni olah suara (menyanyi) dengan teknik tertentu, diiringi piano atau aransemen orkes. Lagunya pendek-pendek dalam bentuk lied bermatra tiga frasa sederhana: awal, sisipan, ulangan.

"Dilihat dari bentuk penulisan dan pembawaannya pun sesungguhnya masih terlalu sederhana untuk dibilang seni serious(a). Istilah musik seriosa yang kedengaran agak ke-italia-italia-an itu sebenarnya berasal dari pemilahan khazanah musik di Amerika dan Eropa di awal perkembangan industri musik sesudah Perang Dunia II," urai Suka Hardjana.

Adalah Amir Pasaribu yang mengimpor istilah 'seriosa' ke Indonesia untuk memberi ciri salah satu kategori Bintang Radio yang digelar pertama kali pada 1952. Waktu itu televisi belum ada di Indonesia. Setelah TVRI berdiri pada 1964, menjelang Asian Games di Jakarta, Bintang Radio pun diperluas menjadi Bintang Radio dan Televisi (BRTV).

Setelah dominasi TVRI sebagai satu-satunya televisi dihapus, pamor BRTV pun meredup sama sekali. Kini, ajang pemilihan BRTV praktis lenyap sama sekali di Indonesia. Seperti Pak Tong, Pak Suka Hardjana suka menulis kolom reguler di harian Kompas. Berikut sedikit catatan Pak Suka tentang lagu-lagu seriosa versi Indonesia:

"Sangat mengherankan bahwa mereka (penulis lagu seriosa Indonesia) sepertinya sama sekali tak terinspirasi oleh komponis-komponis yang lebih fundamental seperti Bach, Mozart, Debussy, Bartok, Stravinsky, dan lainnya.

Tapi hal itu bisa dimengerti bila diingat bahwa sesungguhnya lagu-lagu pendek mendayu-merdu-merayu dari para komponis Romantik mudah masuk selera. Dan itu rasanya lebih dekat dengan apresiasi diletantis para komponis Indonesia dari dulu hingga sekarang," tulis Suka Hardjana di bukunya, Esai & Kritik Musik' (Penerbit Galang Press, Jogjakarta, 2004).

Yo wis, Cak!

Ananda Sukarlan Hidupkan Seriosa

Surabaya, 3 November 2013



Untung Indonesia punya Ananda Sukarlan. Dialah yang mengisi ruang kosong art song alias lagu-lagu seriosa setelah para komponis senior berpulang atau nonaktif karena memang sudah berumur. Ananda muncul dengan cukup banyak komposisi yang sangat indah.

Sedap nian menikmati komposisi seriosa Ananda Sukarlan. Sang pianis yang belakangan serius menjadi komponis ini memang aktif mengadakan kompetisi di berbagai kota. Di Surabaya peserta cukup banyak. Muda-muda, yang wanita cakep-cakep, yang laki-laki punya kualitas vokal bagus.

Ananda Sukarlan pun berhasil melestarikan tradisi musik seriosa dengan caranya sendiri. Kalau dulu, sejak 1950an lagu-lagu seriosa dipopulerkan lewat Bintang Radio, kemudian Bintang Radio Televisi, sekarang Ananda Sukarlan berjuang sendiri dengan cara yang elegan.

Ananda menciptakan komposisi, sebagian berdasar puisi-puisi karya penyair terkemuka, bikin kompetisi sendiri, dan mungkin mengeluarkan duit sendiri untuk hadiah para juara. Luar biasa! Ananda benar-benar seniman tulen yang mau menghidupi seni suara di tanah air.

Sore tadi, 2 November 2013, Ananda Sukarlan muncul di televisi. Diwawancarai Desi Anwar dalam suasana yang intim, santai, sambil minum teh. Desi Anwar kembali memperlihatkan kelasnya sebagai wartawan senior yang tahu benar bagaimana mmperlakukan narasumbernya. Desi juga paham musik klasik, terlihat dari pertanyaan dan komentarnya.

Setelah tinggal di Belanda kemudian Spanyol selama hampir 30 tahun, akhir-akhir ini Ananda sering tur ke tanah air. Dia juga rupanya ingin memulai fase baru dalam dunia kesenimanannya, yakni menekuni komposisi. Menjadi komponis.

Main piano seperti yang bertahun-tahun dilakoninya lebih menjamin nafkah dan kemapanan ekonomi. Cukup membaca partitur, main, tampil di mana-mana, dapat tepuk tangan meriah, dibahas di media massa atau media sosial. Juga bisa keliling dunia.

Tapi Ananda Sukarlan akhirnya belajar dari kearifan sejarah musik klasik. Bahwa para pianis hebat di Eropa pada suatu titik berbelok haluan ke dunia komposisi. Kalau dulu memainkan karya komponis-komponis lain, sekarang membuat komposisi untuk dimainkan sendiri dan orang lain.

Itu antara lain yang mendasari kompetisi art song ciptaannya yang digelar di beberapa kota besar di tanah air. Dahsyat memang lagu-lagu seriosa ala Ananda Sukarlan. Tingkat kesulitannya cukup tinggi tapi tetap enak didengar karena melodius.

Sudah lama saya kesengsem lagu DALAM DOAKU. Dibawakan soprano dan bas, lagu yang diangkat dari puisi Sapardi Joko Damono ini sangat menyentuh kalbu. Saya pun menyimpannya di HP agar bisa didengarkan sewaktu-waktu. Paling enak saat sepi, sendirian, di tempat yang jauh dari keramaian.

Ketika Desi Anwar bertanya komposisi apa yang paling berkesan, Ananda Sukarlan menjawab Dalam Doaku. Oh, ternyata Mas Ananda punya kesan khusus pada lagu yang sangat saya sukai melodi dan liriknya itu.
Sayang, Desi Anwar tidak mengajak penyanyi seriosa untuk membawakan lagu itu. Tahu-tahu obrolan santai sembari minum teh ala Desi Anwar itu pun selesai. Sudah 30 menit.

DALAM DOAKU SUBUH INI
KAU MENJELMA LANGIT
YANG SEMALAMAN TAK MEMEJAMKAN MATA
YANG MELUAS BENING
SIAP MENERIMA CAHAYA PERTAMA
YANG MELENGKUNG HENING
KARENA AKAN MENERIMA SUARA-SUARA


KOMENTAR LAMA

Babs11:56 PM, November 03, 2013
FINISH !!
Selesai deh baca dari 2005 sampai hari ini. Gak semua sih, seperti artikel paduan suara atau yg ada partitur (?) pasti dilewati. Tulisannya bukan kurang bagus, tapi karena alasan pribadi (baca: gak bisa nyanyi). Pernah coba tapi nada yg keluar kok Do semua yah? Terus pas artikel bola, ntah kenapa touchpadnya langsung loncat ke artikel berikutnya.

Dalam blog ini, saya baru mudeng kalau sudah “membahayakan” mas Hurek dengan berkomentar secara anonymous. Alasan gak log-in sih karena takut ada phishing (bukan low trust loh, hanya berhati-hati :). Saya minta maaf dan juga berterimakasih sudah membuat blog ini.

Nah berhubung artikel ini ada kata doa dan sekarang hari minggu, saya mau berdoa “egois”:

DOA khusus (Ngarep banyak bacaan): Semoga laptop dan desktop mas Hurek sembuh, biar nulisnya bisa 4x dalam sehari. 2 dari BB, 1 dari laptop dan 1 lagi dari desktop . Jadi dalam bulan November & Desember ini bisa mengejar ketinggal jumlah artikel thn 2012 (245) atau thn 2007 (338). 

Semoga selalu ingat nulis secara detail lokasi dan tanggal (sebelum eventnya terjadi donk) tentang Surabaya dan sekitarnya. (Asyik bisa jd tour guide)

DOA umum: Semoga, kecintaan dan kebanggaan terhadap NTT meluas keseluruh nusantara. Dulu yang saya tahu tentang NTT hanya panas, gersang dan Kelimutu. Tetapi sesudah baca tulisan di blog ini, panas dan gersangnya bukan jadi faktor untuk tidak berkunjung ke NTT. Kehidupan bermasyarakat yang sangat toleran, kesederhanaan hidup dan keunikan seperti pasar barter benar-benar menarik dan damai ! Banyak sih orang lain menulis tentang provinsi-provinsi di Indonesia, tetapi gak sedalam blog ini (Asyik ada referensi jalan-jalan). 

DOA sangat-sangat jangka pendek: Semoga ada tambahan artikel lagi malam ini…
Amin dan selamat hari minggu.
Salam


Lambertus Hurek11:03 AM, November 04, 2013
hehehe... Matur suwun, terima kasih sampean sudah berkorban waktu untuk membaca curhatan dan catatan ringan saya. Enteng2n aja kok Mas. Ini kebiasaan lama sejak saya SMP di Larantuka suka bikin catatan ringan tentang kaset baru, khotbah pastor yg kurang menarik, acara TV yg bagus, dan apa saja yg saya suka. 

Makanya blog ini kayak prasmanan: isinya macam2, campur aduk, gado2. Mulai soal NTT, gereja, paduan suara, musik klasik, pop, jazz, bahasa hingga isu2 dan tokoh2 Surabaya atau Jawa Timur. Tadinya topik2 ini punya blog sendiri2, tapi akhirnya saya mutusin untuk digabung saja... biar prasmanan tadi. Baca sedikit2 aja.. biar gak capek.
Sekian dan salam damai sejahtera. God bless you!



Andy Skyblogger8:43 AM, February 19, 2014
Saya diberitahu link ini oleh teman saya, mas / pak Hurek. Terima kasih sudah nonton, semoga terinspirasi, dan terima kasih ulasannya :) . Saya sendiri nontonnya acara tsb ya dari rumah di Spanyol. Anda ada twitter? Kita tweet2an saja, twitter saya @anandasukarlan . Salam, AS

Lambertus Hurek10:47 AM, February 25, 2014
Terima kasih mas Ananda Sukarlan. Kehormatan besar bagi saya seorang maestro ikut membaca dan menulis komentar di blog saya. Benar2 gak nyangka deh!

Semoga tetap sehat, makmur, dan berkarya dan main piano. Salam untuk mas Ananda dan keluarga di Spanyol. Oh ya, titip salam untuk pemain2 Barcelona dan Real Madrid. Salam el clasico!

Resital Seriosa Effie Tjoa di Surabaya Tahun 1960



Olah vokal klasik atau seriosa rupanya sudah sangat maju di Surabaya pada era 1960-an. Saat itu sebagian besar orang Indonesia di luar Jawa, khususnya NTT, masih buta huruf dan cenderung primitif. Ini saya tahu dari program konser seriosa di Surabaya pada era 1960-an.

Tak sengaja saya menemukan kertas yang sudah kumal itu. Konser digelar di Balai Pertemuan Mahasiswa, Jalan Tegalsari 4 Surabaya, 29 Agustus 1960. Penyanyinya EFFIE TJOA (soprano) diiringi pianis JENNY TJOA. Penyelenggaranya: JPAB (mungkin Yayasan Pendidikan Anak Buta, yang kini jadi YPAB) dan Petra.

Wow, rupanya orang Tionghoa sejak zaman dulu di Surabaya sudah menekuni musik klasik. Karena itu, tak heran sampai sekarang pun anak-anak Tionghoa sejak balita sudah ikut kursus piano klasik, vokal, ikut lomba atau resital hingga ke luar negeri. Yah, punya uang, kesempatan, dan kecerdasan di atas rata-rata orang Indonesia!

Effie Tjoa membawakan 25 lagu yang dibagi dua sesi. Sesi pertama 14 lagu, istirahat, kemudian dilanjutkan sisanya. Pola seperti ini juga masih dipakai dalam resital-resital di Kota Surabaya sampai sekarang. Ada peringatan buat penonton yang dicetak tebal:

"Para penonton jang datang terlambat diminta dengan hormat menunggu di luar ruangan selama njanjian berlangsung. Diminta dengan hormat tidak merokok di dalam ruangan."

Wow, aturan yang masih sama dengan sekarang. Bedanya, saat ini selalu dibacakan peringatan keras: Dilarang menghidupkan HP dan alat elektronik lainnya selama konser berlangsung! Toh, setahu saya, larangan ini selalu dilanggar penonton zaman sekarang yang hidupnya tak bisa lepas dari ponsel dan sejenisnya.

Yang menarik bagi saya adalah lagu-lagu seriosa Indonesia. Miss Effie (waktu itu tentu masih gadis) membawakan tujuh lagu seriosa sebagai opening konsernya. Terima Salamku (karya Binsar Sitompul), Tempat Bahagia (Binsar Sitompul), Karam (Iskandar), Dewi Anggraini (Iskandar), Kenangan (C Simandjuntak), Oh Angin (C Simandjuntak), Widjaja Kusuma (C Simandjuntak).

Dari sini juga terlihat bahwa orang-orang Batak, Sumatera Utara, itu sudah sangat musikal. Bisa menciptakan komposisi musik berkualitas yang sangat berpengaruh di Indonesia. Makan apa sih orang-orang Batak ini sehingga bisa pintar musik meskipun kekayaannya tidak sehebat orang Tionghoa?

Binsar Sitompul dan Cornel Simandjuntak merupakan dua komponis lagu-lagu seriosa terkemuka di Indonesia yang masih sulit dicari gantinya.

Setelah seriosa Indonesia, Effie Tjoa membawakan lieder, semacam art song dari Jerman. Bagian ketiga lagu-lagu Spanyol yang ngepop.

Rehat sejenak, minum kopi, si penyanyi ambil napas baru, konser dibuka lagi dengan dua aria. Ini bagian yang berat dan menuntut kemampuan prima sang vokalis. Bagian kelima diisi lagu-lagu populer. Penonton yang sudah capek perlu dikasih asupan yang tidak terlalu berat. Ada lagu Irlandia, Tiongkok, Uni sovyet, Italia.

Sebagai penutup, Miss Effie membawakan empat lagu Indonesia. Dua lagu Batak: Butet dan Dago Inang Sarge, diakhiri dengan Nyiur Hijau dan Potong Padi. Lagi-lagi kita bisa membaca bahwa pada tahun 1960 itu lagu daerah Tapanuli alias Batak sudah sangat populer di Indonesia. Inilah kehebatan budaya musikal lapo tuak yang membuat saudara-saudara kita dari kawasan Danau Toba itu mampu membuat komposisi menarik.

Saya kurang tahu penyanyi-penyanyi seriosa lain di Surabaya yang juga rajin bikin konser atau resital pada era 1980-an dan 1990-an. Saya hanya kenal Pauline Poegoeh, soprano Tionghoa Surabaya, yang luar biasa di era 2000-an. Saya menyaksikan dua kali resital soprano yang suaranya tinggi, menggelegar, dan powerful ini.

Mungkin sayalah satu-satunya orang yang menulis profil sang soprano binaan Mr Solomon Tong, pendiri dan dirigen Surabaya Symphony Orchestra itu, satu halaman penuh di surat kabar. Saya pun jadi akrab dengan Pauline, yang kini jadi guru vokal di Surabaya. Dia sudah mencetak banyak vokalis baru dengan prestasi yang bagus pula.

Membaca program konser Effie Tjoa pada 29 Agustus 1960 ini, saya makin sadar dengan ungkapan "tak ada yang baru di kolong langit" ini. Atau, sejarah itu selalu berulang.

Susunan program konser Pauline Poegoeh di Hotel Shangri-La, Surabaya, ternyata sama dengan Effie Tjoa tempo doeloe. Ada lagu seriosa Indonesia, lieder, aria, lagu rakyat Tiongkok, Italia, Spanyol, dan ditutup dengan lagu-lagu populer. Kesamaan lain: resital vokal klasik ini sama-sama punya komunitas penggemar yang sangat terbatas, tapi sangat loyal dan apresiatif.

KOMENTAR2 LAMA

Kliping koran The Straits Times, Singapura, 17 Juni 1959.

Tionghoa Indonesia12:17 PM, December 14, 2013
Effie Tjoa lahir 7 Juni 1931, anak dari pasangan Tjoa Hin Hoey dan Kwee Yat Nio, merupakan cucu luar dari Kwee Tek Hoay, pelopor koran berbahasa Melayu di Indonesia dan pemimpin redaksi harian Sin Po (antara lain). Effie juga seorang ahli bahasa yang menguasai bahasa Prancis, Belanda, Jerman, Inggris, selain tentu saja Bahasa Indonesia dan sedikit Mandarin. Di jaman Bung Karno, dia sering diundang ke Istana untuk menyanyi. Karena ayah ibunya anggota Baperki yang dianggap berhaluan kiri, setelah Sukarno jatuh, seperti banyak orang Tionghoa lainnya Effie mengalami kesusahan, dan akhirnya pindah ke negeri Belanda. Di sana, penyanyi berbakat dan terkenal itu menjadi seorang perawat dan bagian dari masyarakat Indonesia di pengasingan. Effie meninggal dunia di bulan Maret tahun 2007.

Sumber: Obituary of Effie Tjoa by Kwee Hin Goan. http://www.unicas.ca/UNICAS_NL18_web.pdf halaman 15

Tionghoa Indonesia12:22 PM, December 14, 2013
Untuk kelanjutannya mengenai pentingnya harian Sin Po, coba baca kesaksian Kwee Hin Goan lagi di: 

http://www.unicas.ca/UNICAS_NL20_web.pdf halaman 12.

Harian Sin Po ialah tempat WR Supratman bekerja sebagai wartawan, dan merupakan harian pertama yang memuat Lagu Indonesia Raya secara lengkap lirik dan not, pada tanggal 10 November 1928. Sebelumnya, atas laporan WR Supratman, pemimpin redaksi Kwee Kek Beng memerintahkan pencetakan 5000 eksemplar Indonesia Raya untuk dibagikan kepada para anggota delegasi kongres pemuda 28 Oktober.

Tionghoa Indonesia12:50 AM, December 15, 2013
Effie Tjoa mah orang Bogor.

Lambertus Hurek8:14 AM, December 15, 2013
Terima kasih atas tambahan informasi dari Tionghoa Indonesia. God luck!


Tamabahan info2:25 PM, December 14, 2013
"Jakarta, at the start of the fifties, Effie Tjoa, daughter of the married couple Tjoa Hin Hoey, won at the International Competition in Milan the prize of “Best Dramatic Soprano!”.

She was often invited to sing at the concerts in the palace of then President Sukarno. And I have enjoyed with immense pleasure the richness of her magnificent arias in the Stadsschouwburg in Jakarta. She was a vibrant and sparkling soprano who has performed in Indonesia and the Netherlands, as well as in the United States, China, Japan, Korea, Singapore and Hong Kong.
She came to the Netherlands at the end of the sixties."


Rotterdam, March 23, 2007 
- Kwee Hin Goan.

http://www.unicas.ca/UNICAS_NL18_web.pdf

Anonymous9:06 AM, December 15, 2013
"....aku dulu pernah menjadi juri Kejuaraan Seriosa se-Jakarta, bersama Effie Tjoa, seorang penyanyi opera yang juga banyak menciptakan jenis lagu seriosa. Belakangan Effie banyak menggunakan nama Gita Dewi. 
Aku sangat menyayangkan mengapa lagu-lagu seriosa sudah sangat langka dan tidak mucul lagi kepermukaan."
SOBRON AIDIT

sharifah12:03 AM, November 05, 2014
Mas Hurek,
Dari mana didapati nota program Effie Tjoa ini? Ingin saya melihatnya jika boleh diakses. Terima kasih atas infonya.

Lambertus Hurek11:57 AM, November 06, 2014
Saya kebetulan menemukan dua lembar program resital Effie Tjoa itu saat membongkar gudang di rumah lama di Surabaya. Kebetulan si nenek pemilik rumah itu sangat suka seriosa dan dulu sering diundang menyaksikan konser2 macam ini. Terima kasih banyak Bu Sharifah di Kuala Lumpur atas atensi anda.