Jumat, 12 Juli 2019

Mampir ke Kelenteng Bangkalan

Sudah lama kita orang tidak pigi Madura. Tidak melintas di Jembatan Suramadu yang panjangnya 5,4 km itu. Maka saya pun memanfaatkan tanggal merah untuk jalan-jalan ke Bangkalan.

Mampir ke Kelenteng Eng An Bio Bangkalan. Ibu Yuyun alias Kho Yoe Nio sendiri di pelataran Kelenteng Eng An Bio. Menyaksikan televisi.

"Ni hao ma?" saya menyapa bio kong asal Salatiga itu.

"Selamat pagi. Ndak usah ni hao ma... Aku ndak bisa bahasa Mandarin," ujar Bu Yuyun lantas ketawa renyah.

Cukup lama saya tidak mampir ke kelenteng-kelenteng. Padahal dulu sangat sering. Eng An Bio di Jalan PB Sudirman Bangkalan ini termasuk favorit saya. Tempatnya luas dan bersih. Bio kong alias pengurus hariannya, Yuyun Kho, pun sangat terbuka. Akrab layaknya konco lawas.

"Saya bertugas di Eng An Bio Bangkalan ini sejak 1992," ujar Yuyun yang bahasa Indonesianya medhok Jawa Tengahan.

Saat itu Yuyun diminta pengurus TITD Bangkalan, Margono alias Sing Hien, untuk jadi bio kong. Sebab, kelenteng di kawasan pecinan ini tidak punya bio kong yang paham seluk beluk tradisi Tionghoa. Apalagi Yuyun ternyata seorang pelukis spesialias figur dewa-dewi Tionghoa.

"Yah... bekerja di kelenteng itu pengabdian saya untuk Yang di Atas. Bukan untuk cari uang dsb," kata Kho Yoe Nio yang dipelesetkan oleh seorang tokoh Tridharma menjadi Yuyun itu.

Semula Yuyun bertugas di TITD Lawang pada 1984-1992. Mengurusi kelenteng milik Ong Kie Tjay, pengusaha Surabaya, yang dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Mendiang yang juga pimpinan Kelenteng Dukuh Surabaya ini merupakan ketua Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia.

Anda masih ingat almarhum Ong Kie Tjay?

"Lupa," kata saya. "Saya tahu Ong Kie Kiong yang di Kelenteng Dukuh."

"Itu putranya. Keluarga mereka yang ngopeni kelenteng-kelenteng Tridharma," kata Yuyun.

Lalu, bio kong ini masuk mengambil foto mendiang Ong Kie Tjay. Lahir di Tiongkok tahun 1917, meninggal 1985.

Berarti Tionghoa totok?

"Totok banget. Kata-kata bahasa Indonesianya tidak jelas. Saya aja yang Tionghoa kesulitan nangkap. Yoe Nio dibilang Yuyun. Akhirnya saya dipanggil Yuyun sampai sekarang," tutur perempuan yang kerap mengikuti berbagai hajatan di kelenteng-kelenteng di Jawa itu.

Sudah 27 tahun lamanya Yuyun bertugas di TITD Bangkalan. Dibantu seorang bapak asli Madura yang menangani kebersihan kelenteng. Yuyun juga kerap ngobrol dengan beberapa tetangga asli Madura.

"Tapi saya sama sekali tidak bisa bahasa Madura. Sulit banget. Sama sulitnya dengan bahasa Mandarin," katanya.

Banyak suka duka menjadi bio kong di Bangkalan. Pada 1996 kelenteng ini diserang sekelompok orang tak dikenal. Begitu juga beberapa gereja. Satu rangkaian dengan kasus penyerangan gereja-gereja di Situbondo. Saat itu Yuyun sedang nyenyak tidur di kamarnya di kompleks kelenteng.

"Syukurlah, saya dilindungi sama Yang Kuasa," katanya.

Penyerangan itu dilakukan massa yang dikerahkan dari luar. Bukan warga Bangkalan. Apalagi yang tinggal di sekitar kelenteng. Sebab hubungan jemaat Eng An Bio dengan masyarakat setempat sangat baik. Pihak kelenteng juga rutin adakan bakti sosial.

"Kalau hubungan tidak baik pasti kelenteng ini tidak bisa bertahan. Buktinya, sekarang jadi lebih luas," katanya.

Namun, di sisi lain, Yuyun agak prihatin karena jemaat yang datang sembahyang atau mampir ke kelenteng berkurang. Khususnya setelah ada Jembatan Suramadu.

"Sembahyangan tanggal 15 Imlek barusan hanya ada 4 atau 5 orang saja. Padahal dulu bisa 20 sampai 30 orang," katanya.

Tersambungnya Surabaya dan Bangkalan membuat kebanyakan orang Tionghoa di Madura lebih suka ke Surabaya. Jalan-jalan, rekreasi, belanja, hingga sembahyangan. Bahkan arisan bulanan pun di Surabaya.

"Latihan pingpong dan karaoke juga ndak ada lagi. Mereka lebih suka pigi ndek Surabaya," kata Yuyun.

Lagu rohani vs lagu religi


Iseng-iseng saya ketik "lagu rohani" di YouTube. Dan keluarlah lagu-lagu gospel kristiani. Mulai lagu rohani lawas ala Ade Manuhutu, Victor Hutabarat, Grace Simon, hingga lagu-lagu praise and worship terbaru.

Lagu-lagu liturgi untuk misa rupanya tidak masuk kriteria lagu rohani YouTube. Apalagi yang pakai paduan suara atau kor atau koor atau choir.

Lalu, saya iseng lagi mengetik "lagu religi". Maka YouTube langsung memamerkan ratusan hingga ribuan lagu-lagu islami. Lagu-lagu yang menggunakan syair atau lirik islami.

Rupanya lagu-lagu religi ini tidak termasuk kasidah atau gambus. Lagu-lagu Nasida Ria, grup kasidah lawas yang sangat terkenal itu, sepertinya tidak masuk kriteria lagu religi. Apalagi lagu-lagu gambus yang berbahasa Arab.

Di jaman now, rupanya lagu-lagu religi itu yang ngepop, bisa jazzy.. dan islami. Band-band terkenal biasanya merilis single religi jelang bulan Ramadan. Dulu Ungu bikin album religi yang sangat sukses di pasaran. 

Penyanyi-penyanyi koplo yang biasanya tampil seksi dengan goyangan hot pun berubah religius di panggung. Nyanyikan lagu-lagu religi, busana muslimah, pakai hijab dsb.

Menarik juga perkembangan bahasa Indonesia hari ini. Kata rohani yang berasal dari bahasa Arab justru lebih banyak dipakai di kalangan kristiani. Ekaristi atau misa di Gereja Katolik selalu ada istilah "santapan rohani". Para romo, frater, dan bruder juga biasa disebut rohaniwan. Suster-suster disebut biarawati. Saya belum pernah dengar rohaniwati.

Kalau rohani atau ruhani (roh/ruh) dari bahasa Arab, kata religi jelas dari bahasa Latin. Religi, religare, religio, religium... Kata Latin ini kemudian diserap semua bahasa Eropa. Juga dipungut bahasa Indonesia menjadi religi dan religius.

Yang menarik dari lagu rohani vs lagu religi ya di sini. Orang Nasrani memakai bahasa Arab untuk istilah "lagu rohani", sementara orang Islam menyebut "lagu religi" yang notabene dari bahasa Latin. Seperti diketahui, bahasa Latin adalah bahasa resmi Gereja Katolik. Misa atau ekaristi sebelum 1979 selalu dan wajib pakai bahasa Latin.

Perlukah Gelar Haji di Depan Nama?



Di Nusa Tenggara Timur tidak banyak orang yang bergelar haji. Selain biaya naik haji mahal, sementara orang NTT kebanyakan miskin, umat Islam memang minoritas di NTT. Di kabupaten saya, Lembata, setiap tahun yang naik haji cuma 6 atau 10 orang saja. Dua puluh sudah banyak sekali.

Bandingkan dengan haji di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang ribuan orang setiap musim. Bahkan ada KBIH di Gedangan, Sidoarjo, yang bisa memberangkatkan satu sampai dua keloter. Satu kelompok terbang atawa keloter itu 450 orang.

Karena itu, haji-haji di NTT punya posisi yang sangat tinggi. Dengan naik haji, status sosianya yang sudah tinggi (karena berada) makin naik lagi. Maka, haji-haji di NTT, khususnya Flores Timur daerah saya selalu melekat di nama mereka. Haji Anwar. Haji Ibrahim. Haji Arsyad. Haji Payong. Haji Bala. Begitu pula hajah-hajah untuk yang wanita.

Seorang bapak yang baru pulang berhaji akan menolak dipanggil namanya yang lama. Dia tak akan menyahut kalau gelar haji yang mahal itu (butuh Rp 40-50 juta) diabaikan begitu saja meskipun tidak sengaja.

"Engkau harus panggil saya Bapak Haji X. Saya ini sudah pulang dari Mekah," katanya. Kisah Pak Haji X ini sering jadi bahan pelipur lara di kampung halaman saya.

Di Jawa populasi haji sudah telalu banyak. Yang antre naik haji jutaan orang, hingga lima hingga 10 tahun ke depan. Karena itu, haji-haji di Surabaya bukan gelar yang sangat khusus seperti di NTT. Mereka tidak merasa perlu mencantumkan gelar hajinya di depan nama.

"Haji itu salah satu rukun Islam, menunaikan ibadah haji. Yang penting mabrur, bukan gelarnnya," kata Eyang Siti yang tak pernah pakai gelar hajah meskipun sudah naik hajah pada awal 2000an.

Koran-koran di Surabaya, yang berpengaruh, pun tak pernah mencantumkan gelar di depan nama seseorang. Bahkan gelar profesor, dokter, dan sebagainya pun tidak perlu dicantumkan. Mantan ketua MPR hanya ditulis Amien Rais, bukan Prof Dr H Amien Rais MSi.

Mengapa? Karena di Jawa sudah terlalu banyak haji, profesor, doktor, sarjana ini itu, doktoranda, dan sebagainya. Akan sangat aneh kalau seorang pencuri sepeda motor atau mobil ditulis nama dengan gelarnya. Misalnya: Tersangka penggelapan mobil Drs H Bagong dicokok polisi.

Beda dengan di koran-koran di NTT yang sangat suka mencantumkan gelar akademis dan haji-hajah di depan nama seseorang. Misalnya Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya MSi membuka seminar pembangunan pertanian di Kupang.

Kita yang biasa membaca koran-koran Jakarta atau Surabaya pasti tergeli-geli melihat deretan gelar di depan nama orang. Bagaimana kalau seorang narasumber punya 5 atau 7 gelar? Apakah harus ditulis semua?

Ya, wartawan di NTT biasanya menuliskan semua. Amboi, betapa space koran dihabiskan untuk menulis gelar orang yang tidak jelas sumbangannya untuk dunia akademis di Indonesia.

Kembali ke gelar haji hajah. Bagi politisi atau pejabat, gelar haji sangat penting untuk menunjukkan siapa dia. Bukan saja sebagai penanda agama seseorang, tapi juga kualitas keimanannya. Paling tidak masyarakat diberi tahu bahwa orang itu sudah menjalankan lima rukun Islam secara lengkap.

Maka, jangan heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu menulis namanya begini: Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Pesannya jelas: beliau sudah hebat secara akademis, keislamannya pun jangan diragukan lagi.

Teman saya di Bojonegoro pun suka menulis namanya: H. Haryono di kartu nama dan artikel-artikel yang ditulisnya. Padahal si Haryono ini biasanya membahas masalah gereja dan kitab suci kristiani.

"H itu Hendrikus. Hendrikus Haryono," katanya sambil tertawa kecil.

Andaikan jadi caleg, si Haryono bisa dikira haji.

Rubrik Lampion di Radar Surabaya Tamat



Surabaya, 25 November 2013

"Lanjutan Kho Ping Hoo-nya mana? Ceritanya sudah seru nih! Kok diputus?" tanya seorang pengusaha Tionghoa di kompleks Masjid Cheng Hoo, Surabaya, kepada saya.

Dia ternyata sangat aktif membaca cerita silat lawas karya mendiang Khoo Ping Hoo dari Solo itu. Gaya bercerita Paman Kho ini memang luar biasa dahsyat. Deskripsinya begitu kuat. Seakan-akan dia sudah pernah tinggal di Tiongkok. Dia bisa membahasakan aneka jurus silat ala Tiongkok dengan sangat hidup.

Penggemar Kho Ping Hoo ini sempat kecewa karena beberapa kali ceritanya salah muat atau diulang. Saya sendiri terkejut. Tak menyangka Khoo Ping Hoo masih dibaca di era internet ini. Di era audio visual. Apa sih sulitnya masuk ke internet dan membaca versi online?

Amboi, surat kabar ternyata masih jadi rujukan... untuk membaca cerita silat Tionghoa. Syukur puji bagi Tuhan!

Kemudian datang pesan pendek (SMS) dari Su Laoshi, guru bahasa Mandarin di Surabaya, yang paling sering mengantar rombongan pelajar dan guru dari Jawa Timur ke Tiongkok. Su Laoshi baru saja pulang dari Guangdong. Tentu dia membawa cerita, reportase bagus, plus teh hijau khas Tiongkok alias zhongguo cha (baca: cungkuo cha). Itu lho teh sepet yang juga berfungsi sebagai jamu peluruh kolesterol... katanya.

"Kayaknya kamu butuh teh deh. Saya baru kembali dari negeri tirai bambu," katanya.

Sayang, dia kaget karena halaman khusus LAMPION tidak ada lagi di koran. Sudah dihentikan sejak 23 November 2013. LAMPION itu rubrik khusus seni, budaya, tradisi, komunitas, bahasa, dan semua yang berbau Tionghoa baik di Surabaya, kota-kota lain, hingga Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Singapura.

Su Laoshi alias Andrean Sugianto pun maklum bahwa hidup itu memang selalu berubah. Tiap hari kita berubah, tiap detik pun usia kita bertambah. Ada tantangan sekaligus peluang baru. Apalagi media massa yang tengah menghadapi tsunami informasi yang luar biasa.

Kalau tidak mau berubah, menyesuaikan irama zaman, ya, bisa jadi dinosaurus. Masih untung komodo-komodo di Flores yang masih sanggup bertahan ketika rekan-rekannya sudah musnah ribuan tahun lalu. Hebat benar engkau, wahai komodo, lambang Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak 20 Desember 1958. Si komodolah pemenang sejati hukum besi survival of the fittest!

Bagi saya, LAMPION memang rubrik yang luar biasa. Berkat LAMPION, saya mau tidak mau dipaksa untuk belajar, membaca, terjun langsung, ke komunitas Tionghoa. Saya pun akhirnya bisa menulis begitu banyak naskah berita, opini, kolom, andekdot.. tentang budaya Tionghoa. Entah sudah berapa tulisan karena saya tidak pernah hitung.

Bahkan, gara-gara tulisan saya di LAMPION pula, yang sebagian dimuat lagi di blog ini, saya sering dianggap sebagai "pemerhati dan pengamat budaya Tionghoa" oleh sejumlah orang. Ada saja yang bertanya ini itu tentang Tionghoa. Memangnya saya ini sinolog seperti almarhum Dr Ong Hok Ham?

Silakan googling wayang potehi di internet, kemungkinan besar nyasarnya ke blog ini. Karena dulu belum ada orang yang membahas wayang potehi di internet. Tradisi budaya Tionghoa dipinggirkan sejak Orde Baru, 1966, dan baru berkembang luas sejak era Gus Dur. Mau cari informasi kelenteng-kelenteng di Surabaya atau Sidoarjo, ya, nyasarnya ke sini.

Emangnya saya orang kelenteng?

Hehehe... ternyata tulisan saya tentang kelenteng-kelenteng itu dijiplak, di-copy paste naskah dan foto, kemudian diklaim sebagai tulisan sendiri di blognya orang Tionghoa. Begitulah di Indonesia. Orang Tionghoa sendiri malah minim informasi tentang tradisi budaya leluhurnya, kemudian membaca LAMPION dan blog ini, kemudian mau melacak kembali jejak leluhurnya yang sempat diharamkan Orde Baru.

Saya sedih tapi juga senang karena paling tidak tulisan-tulisan saya di LAMPION, yang sebagian besar dimuat lagi di blog ini, jadi referensi banyak orang. Saya dianggap "pakar masalah Tionghoa". Hehehe....

Rupanya rubrik LAMPION sudah berhasil membangun kesepahaman dan interaksi antaretnis yang beragam di Surabaya, bahkan Jawa Timur, bahkan Indonesia. Dan, setelah reformasi berjalan selama 15 tahun, isu-isu tentang Tionghoa sudah sangat biasa di media massa. Media massa malah seakan berlomba meliput perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh, sembahyang rebutan King Hoo Ping, Ceng Beng, perayaan bulan purnama alias Tiong Ciu Jie, dan acara-acara kelenteng.

Ki Subur, dalang wayang potehi yang dulu tinggal di Sidoarjo, kini menjadi SEHU alias dalang potehi paling populer di Indonesia. Setiap kali melihat liputan-liputan tahun baru Imlek di televisi, koran, majalah, internet... rupanya Ki Subur yang badannya memang subur ini paling sering muncul. Ki Subur selalu padat job di pusat belanja di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.

Say (mungkin) pertama kali membahas fenomena Ki Subur dan dalang potehi etnis Jawa di internet. Sebab, dulu, ketika saya mencari wayang potehi di internet baik yahoo, google, dan sebagainya, dalang unik macam Ki Subur dan wayang potehi belum ada. Saya lalu coba-coba menulis dan posting di blog pribadi. Eh, beberapa bulan kemudian, ketika perayaan tahun baru Imlek digelar besar-besaran naskah sederhana itu menjadi sangat laku.

Kembali ke LAMPION yang ditutup. Di satu sisi saya pribadi kehilangan, karena ikut merintis dan paling banyak menulis, tapi di sisi lain ada bagusnya. Sebab, liputan-liputan tentang budaya dan komunitas Tionghoa sudah begitu hebatnya di Surabaya.

Bahkan ada dua surat kabar harian berbahasa Mandarin di Surabaya, yakni GUOJI RIBAO (Jawa Pos Group) dan JIANTAO RIBAO. Sulit dibayangkan ada koran berbahasa Mandarin dengan begitu mendalamnya menurunkan berita dalam bahasa dan aksara Tionghoa. Aksara yang diharamkan rezim Orde Baru karena dianggap sebagai "aksara setan" yang hanya akan membuat orang Indonesia jadi komunis. Inilah kebodohan terbesar rezim Orde Baru selama 32 tahun.

Kini, zaman berubah, dunia terbalik. Semua penindasan itu ada karmanya. Bahasa dan aksara Tionghoa alias hanzhi (saya tahu hanzhi dan putonghua ini juga karena LAMPION) justru berkembang pesat di Indonesia saat ini. Bahasa Tionghoa alias Mandarin diajarkan di sekolah-sekolah. Pemerintah Tiongkok membuka Institut Konfusius di Surabaya dan banyak kota di Indonesia.

Sebaliknya, berapa banyak sih orang Jawa, yang berusia di bawah 40 tahun, yang bisa hanacaraka? Yang bisa krama inggil?

Pemerintah Kota Surabaya pernah membuat kebijakan hari wajib bahasa Jawa setiap Jumat, tapi tidak jalan karena diprotes setiap hari. Sekolah-sekolah negeri dan swasta malah lebih gencar mengajarkan bahasa Inggris dan Mandarin demi globalisasi.

Hidup Tionghoa!
Hidup LAMPION!

Yang pasti, meski rubrik LAMPION tidak ada lagi, berita-berita tentang Tionghoa tetap ada meskipun tidak lagi punya halaman khusus di Radar Surabaya. Dicampur dengan berita-berita lain tentang Surabaya dan sekitarnya. Apalagi, orang Tionghoa di Jawa Timur, dan Indonesia umumnya, sebetulnya sudah sangat membaur dengan penduduk setempat.

Sudah jadi arek Surabaya! Bicara bahasa Jawa ala Surabaya yang khas dan malah tidak bisa bahasa Hokkian, apalagi Mandarin standar Beijing alias Putonghoa. Arek Kapasan, Bibis, Kembang Jepun, Gemblongan, Blauran... yo podo-podo arek Suroboyo!

Buku Ling Tien Kung Karya Fu Long Swie

Oleh Lambertus Hurek
Surabaya, 05 DESEMBER 2013

Ling Tien Kung baru saja merayakan ulang tahun ke-8. Ada resepsi sederhana, makan-makan di restoran, plus launching buku. Sang guru besar dan penemu senam terapi ala Tiongkok ini, Fu Long Swee, merilis buku bersampul kuning dengan judul: Ling Tien Kung - Making People Healthy.

Fu Laoshi memang sejak dulu selalu menekankan bahwa Ling Tien Kung yang diperkenalkan kepada publik Surabaya sejak 2005 ini bukan olahraga atau senam biasa. Ia lebih tepat disebut terapi kesehatan.

Mantan atlet lompat jauh peraih medali emas Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) V di Bandung, 1961, ini menegaskan:

"Ling Tien Kung merupakan gerakan penyembuhan penyakit. Ling Tien Kung bukan olahraga gerak badan, bahkan justru tidak boleh diolahragakan. Jangan menggebu-gebu dan memacu jantung. Relaks, tapi bukan santai!"

Dalam buku yang ditulis bersama istrinya ini, Sie Ie Ai alias Ellia Bestari, Fu Long Swee menjelaskan secara detail prinsip-prinsip Ling Tien Kung yang biasa dikenal masyarakat luas sebagais enam empet-empet anus. Selama 20 tahun dia mengkaji kebajikan Tiongkok kuno, membaca banyak buku klasik Tiongkok, setelah mengalami kelumpuhan yang parah.

Perlahan-lahan penyakitnya hilang setelah menekuni Ling Tien Kung di rumah bersama istri. Pada Agustus 2004, Tuan Fu mengajak 30-an orang untuk berlatih Ling Tien Kung di Central Park, Surabaya. Mula-mula orang heran dengan senam yang tak biasa itu. Olahraga kok empet-empet anus? Jongkok, kocok-kocok?

Di luar perkiraan Fu Laoshi, Ling Tien Kung dengan cepat menyebar ke berbagai kawasasan di Kota Surabaya. Ini karena banyak orang yang mengklaim kondisi tubuhnya membaik atau sembuh dari sakit kronis. Cukup banyak kesaksian praktisi Ling Tien Kung bisa dibaca di buku ini.

Kini, setelah delapan tahun, ribuan orang di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur, luar Jawa Timur, luar Jawa, bahkan luar negeri setiap hari menekuni Ling Tien Kung. Fu Laoshi pun merasa perlu membuat standar untuk para instruktur agar khasiat Ling Tien Kung benar-benar bisa dirasakan. Sebab, kalau gerakannya asal-asalan, khasiat itu tak akan didapat.

Bagi saya, cerita paling menarik justru di bagian belakang, tepatnya Bab 6 tentang biografi singkat. Kita bisa mengikuti perjalanan hidup Fu Laoshi, yang lahir di Singaraja, Bali, 25 Oktober 1935, sekolah di Bali, pindah ke Surabaya, jadi jawara atletik di sekolah Tionghoa, jadi juara lompat jauh dan sprint di Jawa Timur, hingga mewakili Jawa Timur ke PON dan dapat emas.

Padahal, saat itu kaki kirinya sedang cedera. Fu muda memaksakan diri melompat dan juara. Lompatannya sejauh 6,67 meter. Rekor terbaiknya di Surabaya 6,9 meter. "Saya hanya melakukan empat kali lompatan dari enam kali kesempatan," katanya.

PON V di Bandung itu merupakan puncak sekaligus akhir karier Fu sebagai atlet nasional. Dia mulai membuka lembaran baru dalam hidupnya dengan menikahi Sie Ie Ai, teman SD-nya di Singaraja dulu. Cinta monyet yang terus berkembang dan berbuah hingga keduanya menjadi kakek-nenek sampai saat ini. Mereka dikaruniai lima anak yang sukses dalam karier.

Fu Laoshi menulis di halaman terakhir bukunya:

"Pada tahun 2004, kami memulai misi sosial kami, yakni making people healthy... hari ini dan seterusnya."

Belajar Improvisasi bersama Slamet Abdul Sjukur



Surabaya, 23 OKTOBER 2012

Belajar improvisasi bersama Slamet Abdul Sjukur


Andaikan semua guru musik di sekolah kayak Slamet Abdul Sjukur, pelajaran musik pasti sangat menyenangkan. Murid-murid dijamin ketagihan. Para murid tentu saja tak dicetak jadi pemusik atau komponis (kayak Slamet Sjukur), tapi setidaknya bisa menikmati musik dengan asyik.

Musik, apa pun jenisnya, memang perlu diapresiasi. Dan, agar bisa mengapresiasi, kita perlu guru yang benar. Guru yang tak hanya tahu musik, tapi juga tak mengajarkannya kepada awam. Banyak pemusik hebat, pintar main piano, gitar, violin, cello dsb, tapi belum tentu bisa membagikan kemampuannya.

Mendengarkan musik pun sebetulnya ada pelajarannya. Sayang, kita di Indonesia masih kekurangan orang-orang macam Slamet Abdul Sjukur, komponis, pianis, penulis, budayawan (entah apa lagi) asli Surabaya yang tak bosan-bosannya berbagi ilmu.

Selama 55 tahun SAS mengampu Pertemuan Musik Surabaya alias SAS. Isinya, ya itu tadi, apresiasi musik. Mulai anak kecil, mahasiswa, guru piano, pianis, dirigen, hingga komponis top dia kumpulkan di satu forum. Lalu, kita diajak nonton film atau menikmati permainan piano, gamelan, atau hanya sekadar bermain-main.

Ini penting karena SAS melihat semakin lama orang Indonesia kehilangan kegembiraan. Dus, sulit menikmati musik. Pemain piano kurang lepas main piano, kehilangan kegembiraan main piano, karena takut salah, takut dikritik, kurang percaya diri, dan sebagainya.

Saya ikut menikmati kegembiraan dan gaya Slamet A Sjukur (77 tahun) yang nyantai, tapi serius, pada PMS di halaman Perpustakaan C20, Jalan dr Cipto 20 Surabaya. Sekitar 20 peserta, termasuk saya, duduk santai di kebun yang dikelola Kathleen Azali itu. SAS duduk dekat pintu. Gemma, komponis muda lulusan Unesa, bertugas memutar rekaman HERBIE HANCOCK berjudul WATERMELON MAN. Manusia semangka, kalau diterjemahkan lurus.

Yah, Herbie Hancock salah satu legenda jazz dari USA. Kita diajak menikmati komposisi Watermelon yang sederhana tapi asyik. Dimulai pukulan drum, perlahan-lahan diikuti satu per satu instrumen, termasuk suara-suara manusia yang aneh, kemudian dilengkapi saksofon.

Setelah diperdengarkan, kita disuruh berimajinasi. Menghidupkan lagi musik Paman Hancock secara bebas. Menambahkan lagi dengan suara kita, bertepuk tangan, bunyikan lidah, menghentakkan sepatu, memukul apa saja (asal jangan memukul teman)....

"Kita bebas merusak komposisi yang ada itu agar lebih baik. Mau menambah apa saja silakan," pinta SAS.

Awalnya sih masih ragu, malu, takut, entah apa lagi. Maklum, orang Indonesia jarang mendapat pelajaran apresiasi musik jazz secara spontan dan bebas macam ini. SAS tahu betul itu. Tapi SAS, dengan guyonannya yang tetap nyelekit dan sengak, membuat kita mau tidak mau harus mau bikin improvisasi. Satu per satu, mulai dari yang duduk di pojok kanan, bergiliran hingga pojok kiri. Komposisi watermelonman diputar lagi.... dan mulailah improvisasi bebas (dan rada liar) ala petani semangka di Jawa Timur.

Saya kira Paman Hancock bakal kaget jika melihat komposisinya diblejeti, diobrak-abrik, oleh Slamet Abdul Sjukur dan arek-arek Surabaya. Slamet rupanya suka dengan improvisasi kami meskipun temponya ternyata tidak pas dengan ketukan pemain band Hancock. "Tidak apa-apa, kita ulangi lagi, kita main-main lagi," kata SAS yang rambutnya belum uban di usia mendekati 80 tahun itu.

Slamet Abdul Sjukur kemudian memberikan kesimpulan:

"Musik yang sehat itu terbuka buat siapa saja. Demikian sehatnya dan terbukanya,sehingga siapa pun bisa menikmatinya bahkan ikut terlibat aktif dalam proses pembuatan musiknya."

Di Indonesia sudah mulai sering diadakan festival musik jazz (meskipun tidak murni jazz, karena penyanyi koplo atau rock pun ikut). Tapi pelajaran dasar apresiasi jazz ala Slamet Abdul Sjukur boleh dikata tidak banyak. Bahkan belum ada.

Ah, andaikan guru-guru SD dan SMP kita punya wawasan musik seperti Slamet Abdul Sjukur!

80 Tahun Prof. Josef Glinka SVD Sang Antropolog Ragawi

KAMIS, 05 JULI 2012
80 Tahun Prof Josef Glinka

Oleh LAMBERTUS HUREK


Selama tiga hari FISIP Universitas Airlangga menggelar seminar bertajuk Celebrating Anthropology untuk merayakan hari jadi ke-80 Prof Dr Habil Josef Glinka SVD pekan lalu. Acara ini digagas dosen-dosen antropologi yang kebanyakan mantan murid Glinka. Mereka menilai sumbangsih profesor asal Polandia ini sangat besar bagi perkembangan antropologi di tanah air.

Di usia delapan dasawarsa, Prof Glinka masih terus berkarya baik sebagai akademisi maupun rohaniwan. Berikut petikan percakapan saya dengan Prof Glinka sembari ditunggui tujuh mahasiswi Antropologi Unair di ruang kerjanya.

Selamat ulang tahun Pater Glinka! Bagaimana perasaan Anda ketika genap berusia 80 tahun ini?

Terima kasih. Menurut tradisi Jawa, usia 80 tahun itu luar biasa. Kalau di Alkitab malah tertulis usia manusia rata-rata 70 tahun. Delapan puluh tahun itu kalau kita kuat. Hehehe.... Saya sendiri tidak pernah membayangkan akan dibuat acara besar-besaran (untuk merayakan ulang tahun) seperti kemarin. Tapi, kata panitia, sekalian untuk memperkenalkan Antropologi Unair kepada masyarakat luas.

Apa resepnya bisa panjang usia dan tetap produktif?

Saya tidak punya resep khusus. Tapi mungkin karena setiap hari saya selalu bertemu dengan orang-orang muda. Ini membuat saya lebih semangat. Nah, itu ada para mahasiswi Unair yang datang ke sini untuk membicarakan soal perkuliahan.


Barangkali Anda punya pantangan khusus?

Saya tidak diet, cuma tidak makan daging sapi. Kalau makan daging sapi, perut saya mules, tidak enak. Kalau makanan-makanan lain tidak ada masalah.


Apakah Anda punya rencana setelah berusia 80 tahun?

Rencana apa? Saya tetap bekerja seperti biasa. Belum lama ini saya diminta menguji calon doktor di IAIN Sunan Ampel. Saya juga masih menulis, ikut seminar. Sekarang saya amsih capek setelah mengikuti acara selama tiga hari itu.


Bagaimana ceritanya Anda mendalami antropologi mengingat latar belakang Anda seorang pastor?

Saya studi antropologi sejak usia 27 tahun. Saya selesaikan sampai doktoral di Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia. Waktu itu disertasi doktoral saya tentang Indonesia. Tapi waktu itu Polandia masih jajahan Rusia sehingga saya cari data untuk penelitian saya ke Indonesia sangat sulit. Mau keluar dari Polandia sulitnya minta ampun.


Sejak kapan mengajar di Unair?

Sejak 1984. Sebelumnya, selama 20 tahun lebih saya tinggal di Flores, mengajar di Seminari Tinggi Ledalero dan di Universitas Nusa Cendana, Kupang, jadi dosen tamu. Tahun 1984 itu saya diundang Pak Adi Sukadana (mantan dekan FISIP Unair) untuk pindah dan bantu mengajar di sini. Saya dipinjam mulai tahun 1984 sampai sekarang.

Sebagai antropolog, bagaimana Anda melihat orang Indonesia?

Indonesia itu punya 300 lebih suku dengan budaya dan bahasa berbeda-beda. Penelitian saya tentang dari mana suku-suku itu berasal dan bagaimana mereka memecah serta menyebar. Awalnya kan mereka satu. Ini dimulai dari imigrasi 10 ribu tahun silam setelah zaman es berakhir. Yang dari utara dan barat masuk ke nusantara, mereka bersifat Mongoloid. Yang dari timur lebih bersifat Austro-Melanoid. Dalam penelitian, saya sebut Proto-Malay karena mereka berbahasa Melayu dengan ras berbeda dari Melayu kebanyakan. Penelitian itu saya publikasikan jadi buku tahun 1977.


Sudah berapa banyak kader Anda hasilkan?

Cukup banyak. Selama 20 tahun lebih di Flores saya sudah hasilkan sekitar 800 pastor, 12 sudah jadi uskup. Di Unair lebih dari seribu mahasiswa. Doktor yang saya promotori sudah 13 orang, juga guru besar. Ada juga yang sudah pensiun.

Kenapa Anda begitu berminat bertugas di Indonesia?

Saya sendiri memang punya sentimen dengan Indonesia. Sejak umur enam tahun saya biasa mendengar kabar tentang Indonesia dari seorang sepupu dari bapak saya yang telah menjadi misionaris di Flores. Dari sepupu itu, saya sering mendengar cerita-cerita indah alam dan lingkungan sosial di Indonesia. Akhirnya, saya berangkat ke Indonesia, mendarat di Flores tahun 1965, untuk mengikuti kursus bahasa.


Apakah Anda mengalami kesulitan mempelajari bahasa Indonesia?

Tidak. Sebelumnya saya sudah biasa mempelajari bermacam bahasa. Bahasa Latin wajib kami kuasai semasa kuliah. Bahasa Jerman dekat dengan orang Polandia karena kami pernah dijajah oleh Jerman. Bahasa Inggris tentu saja harus dikuasai oleh mereka yang harus berangkat ke luar negeri. Bahasa Polandia sendiri mempunyai dialek yang paling banyak dari bahasa-bahasa besar Eropa. Banyak dialek kami yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lain. Jadi, belajar Bahasa Indonesia tidak ada masalah buat saya.


Sekarang ini Indonesia punya berapa profesor di bidang antropologi?

Dua orang (Prof Glinka dan Prof Etty dari UGM Jogjakarta). Polandia itu negara yang luasnya hampir sama dengan Pulau Jawa, tapi memiliki  120 profesor antropolog. Sementara Indonesia hanya punya 10-20 antropolog dan hanya dua profesor. Padahal, begitu  banyak fosil yang tersebar di seluruh Indonesia. (rek)