Sudah lama kita orang tidak pigi Madura. Tidak melintas di Jembatan Suramadu yang panjangnya 5,4 km itu. Maka saya pun memanfaatkan tanggal merah untuk jalan-jalan ke Bangkalan.
Mampir ke Kelenteng Eng An Bio Bangkalan. Ibu Yuyun alias Kho Yoe Nio sendiri di pelataran Kelenteng Eng An Bio. Menyaksikan televisi.
"Ni hao ma?" saya menyapa bio kong asal Salatiga itu.
"Selamat pagi. Ndak usah ni hao ma... Aku ndak bisa bahasa Mandarin," ujar Bu Yuyun lantas ketawa renyah.
Cukup lama saya tidak mampir ke kelenteng-kelenteng. Padahal dulu sangat sering. Eng An Bio di Jalan PB Sudirman Bangkalan ini termasuk favorit saya. Tempatnya luas dan bersih. Bio kong alias pengurus hariannya, Yuyun Kho, pun sangat terbuka. Akrab layaknya konco lawas.
"Saya bertugas di Eng An Bio Bangkalan ini sejak 1992," ujar Yuyun yang bahasa Indonesianya medhok Jawa Tengahan.
Saat itu Yuyun diminta pengurus TITD Bangkalan, Margono alias Sing Hien, untuk jadi bio kong. Sebab, kelenteng di kawasan pecinan ini tidak punya bio kong yang paham seluk beluk tradisi Tionghoa. Apalagi Yuyun ternyata seorang pelukis spesialias figur dewa-dewi Tionghoa.
"Yah... bekerja di kelenteng itu pengabdian saya untuk Yang di Atas. Bukan untuk cari uang dsb," kata Kho Yoe Nio yang dipelesetkan oleh seorang tokoh Tridharma menjadi Yuyun itu.
Semula Yuyun bertugas di TITD Lawang pada 1984-1992. Mengurusi kelenteng milik Ong Kie Tjay, pengusaha Surabaya, yang dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Mendiang yang juga pimpinan Kelenteng Dukuh Surabaya ini merupakan ketua Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia.
Anda masih ingat almarhum Ong Kie Tjay?
"Lupa," kata saya. "Saya tahu Ong Kie Kiong yang di Kelenteng Dukuh."
"Itu putranya. Keluarga mereka yang ngopeni kelenteng-kelenteng Tridharma," kata Yuyun.
Lalu, bio kong ini masuk mengambil foto mendiang Ong Kie Tjay. Lahir di Tiongkok tahun 1917, meninggal 1985.
Berarti Tionghoa totok?
"Totok banget. Kata-kata bahasa Indonesianya tidak jelas. Saya aja yang Tionghoa kesulitan nangkap. Yoe Nio dibilang Yuyun. Akhirnya saya dipanggil Yuyun sampai sekarang," tutur perempuan yang kerap mengikuti berbagai hajatan di kelenteng-kelenteng di Jawa itu.
Sudah 27 tahun lamanya Yuyun bertugas di TITD Bangkalan. Dibantu seorang bapak asli Madura yang menangani kebersihan kelenteng. Yuyun juga kerap ngobrol dengan beberapa tetangga asli Madura.
"Tapi saya sama sekali tidak bisa bahasa Madura. Sulit banget. Sama sulitnya dengan bahasa Mandarin," katanya.
Banyak suka duka menjadi bio kong di Bangkalan. Pada 1996 kelenteng ini diserang sekelompok orang tak dikenal. Begitu juga beberapa gereja. Satu rangkaian dengan kasus penyerangan gereja-gereja di Situbondo. Saat itu Yuyun sedang nyenyak tidur di kamarnya di kompleks kelenteng.
"Syukurlah, saya dilindungi sama Yang Kuasa," katanya.
Penyerangan itu dilakukan massa yang dikerahkan dari luar. Bukan warga Bangkalan. Apalagi yang tinggal di sekitar kelenteng. Sebab hubungan jemaat Eng An Bio dengan masyarakat setempat sangat baik. Pihak kelenteng juga rutin adakan bakti sosial.
"Kalau hubungan tidak baik pasti kelenteng ini tidak bisa bertahan. Buktinya, sekarang jadi lebih luas," katanya.
Namun, di sisi lain, Yuyun agak prihatin karena jemaat yang datang sembahyang atau mampir ke kelenteng berkurang. Khususnya setelah ada Jembatan Suramadu.
"Sembahyangan tanggal 15 Imlek barusan hanya ada 4 atau 5 orang saja. Padahal dulu bisa 20 sampai 30 orang," katanya.
Tersambungnya Surabaya dan Bangkalan membuat kebanyakan orang Tionghoa di Madura lebih suka ke Surabaya. Jalan-jalan, rekreasi, belanja, hingga sembahyangan. Bahkan arisan bulanan pun di Surabaya.
"Latihan pingpong dan karaoke juga ndak ada lagi. Mereka lebih suka pigi ndek Surabaya," kata Yuyun.