Rabu, 10 Juli 2019

Prof Gorys Keraf Pakar Bahasa dari Lembata

06 May 2006

Prof. Dr. Gorys Keraf [RIP] sangat dikenal di Flores, khususnya Lembata. Dia memang lahir di Lamalera, Lembata, pada 17 November 1936. kampung Lamalera ini sangat unik karena punya tradisi memburu ikan paus dengan fasilitas yang sangat sederhana: tombak (tempuling) naik peledang alias perahu bercadik ukuran kecil.

Gorys Keraf atau panjangnya Dr Gregorius Keraf merupakan sumber inspirasi sekaligus intelektualitas orang Lembata dan Flores umumnya. Maklum, pada 1980-an dan 1990-an masih sangat sedikit orang Flores yang bisa meraih gelar doktor, profesor, atau menjadi intelektual ternama di Indonesia.

“Kita, orang Lembata, layak bangga punya Gorys Keraf. Beliau doktor linguistik yang sangat langka di Indonesia,” kata Paulus Lopi Blawa, almarhum, bekas guru sekolah dasar saya di kampung Mawa, Ile Ape, Lembata.

Tak hanya Paulus, banyak lagi guru SD/SLTP/SLTA yang menyebut-nyebut nama Gorys Keraf untuk memompa motivasi anak-anak Lembata agar belajar rajin dan tekun.

Namanya juga anak kecil, saya hanya mendengar sambil lalu saja nama Gorys Keraf disebut-sebut. Baru pada 1980-an saya menemukan buku TATABAHASA INDONESIA terbitan Nusa Indah (Ende) lusuh di kamar rumah Bapak Gaspar Kotak Hurek di Lewoleba. Pengarangnya Gorys Keraf. Saya coba membaca uraian-uraian Pak Gorys yang sangat ilmiah dan sulit untuk anak desa belasan tahun seperti saya.

Oh, ini to buku karya Gorys Keraf, yang namanya banyak disebut-sebut di koran dan guru-guru sekolah itu?

Meskipun sulit, saya paksakan membaca buku itu. Sejarah bahasa Indonesia. Tatabahasa. Fonologi. Vokal/konsonan. Morfologi. Sintaksis. Saya membaca dan membaca terus meskipun tidak ada yang bisa diingat. "Jangan lupa dwilingga salin suara dan dwandwa," begitu guyonan teman saya, Johny, di Larantuka dulu.

Hehehe.... Dwilingga salin suara dan dwandwa merupakan istilah 'aneh' ciptaan Gorys Keraf.

Baru setelah masuk SMP San Pankratio [sore] di Larantuka, prinsip-prinsip tatabahasa ala Gorys Keraf diuraikan secara mendalam oleh pak guru, Bung Aldo. Guru-guru bahasa di Flores Timur umumnya memang pengagum Gorys Keraf. Apa boleh buat, pelajaran bahasa Indonesia di SLTP/SLTA pun cenderung berisi rumus-rumus seperti termuat dalam buku Gorys Keraf.

“Segala kata yang dapat mengambil bentuk se + reduplikasi + nya serta dapat diperluas dengan paling, lebih, sekali, adalah kata sifat”.

Penekan pada tatabahasa ala Gorys Keraf jelas saja membuat pelajaran bahasa jadi kering. Pelajaran mengarang atau menikmati bahasa sangat jarang diberikan. Tak heran, ketrampilan berbahasa anak-anak Lembata/Flores, kemampuan berwacana, kurang berkembang dengan baik. Toh, ilmu bahasa versi Gorys Keraf, guru besar Universitas Indonesia ini banyak membantu saya memahami berbagai fenomena kebahasaan di kemudian hari. Apalagi, saya wartawan, setiap hari bergelut dengan bahasa.



Gorys Keraf yang tamatan SMP Seminari Hokeng, kemudian SMA Syuradikara, Ende, ini juga dikenal sebagai penulis buku-buku bahasa yang produktif dan sangat ilmiah. Selain opus magnum-nya TATABAHASA INDONESIA, almarhum Gorys Keraf juga menulis buku-buku lain seperti KOMPOSISI, EKSPOSISI DAN DESKRIPSI, ARGUMENTASI DAN NARASI, kemudian diksi dan GAYA BAHASA. Buku-bukunya diterbitkan Nusa Indah (Ende) dan PT Gramedia (Jakarta).

Sebagai informasi tambahan, orang-orang Lamalera sejak dulu dikenal cerdas, otak encer, tekun, melahirkan pastor dan tokoh-tokoh terkenal. Fam Keraf di Lamalera ini pun banyak menelurkan orang-orang hebat. Begitu juga fam (marga) Beding.

Kita tentu ingat Dr. Sonny Keraf, ahli filsafat, bekas Menteri Lingkungan Hidup, kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Ia masih kerabat dekat almarhum Gorys Keraf. Di Surabaya ada Pastor Petrus Sonny Keraf SVD, kepala Paroki Sakramen Mahakudus Pagesangan. Pater Sonny ini suaranya tegas saat khotbah, ilmiah, dan runut… khas orang Lamalera. Pater ini juga secara spontan mengedit teks misa yang tata bahasanya buruk.

Kata teman-teman di kampung, orang Lamalera pintar-pintar karena sejak kecil makan daging ikan paus. Barangkali saja!

KOMENTAR DI BLOG LAMA

Anonymous
1:47 AM, February 22, 2008
benar, pak groys memang linguis besar, pakar bahasa, yang sangat luar biasa. salut!

freddy, kupang

Anonymous
1:51 AM, February 22, 2008
Sebagai tambahan, aku kutip tulisan Iskandar Siahaan,
Kepala Litbang Liputan 6, di www.liputan6.com tentang Gorys Keraf:

"Baiklah kita tengok sebuah buku bahan ajar di SLA. Menurut saya, ini buku terbaik — dan saya pun belajar kaidah bahasa dari sana. Ditulis Dr. Gorys Keraf (alm.), judulnya Tatabahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas (Ende, Flores: Nusa Indah, 1970)."

Reply

Lambertus L. Hurek
2:24 PM, March 27, 2008
Terima kasih kepada anaknya Pak Gorys (alm) yang menulis e-mail khusus untuk saya setelah membaca posting ini. Dia juga undang saya untuk ikut misa requiem mendoakan Bapak Gorys Keraf.
Sayang, saya tidak bisa ke Jakarta saat itu. Saya hanya bisa berdoa semoga jasa-jasa dan amal baik almarhum diterima di sisi Tuhan. Requescat in pace!

flosophia
7:57 PM, April 12, 2010
terima kasih reu, saya disini minta teman-teman team saya untuk baca buku-buku pak Gorys Keraf.

Anonymous
12:42 AM, October 10, 2010
Kesan saya, dalam pengalaman Anda buku Gorys Keraf sepertinya sulit dicerna. Kalau begitu, gagal dong dia sebagai guru bahasa.

Buat saya, yang beruntung dapat belajar tatap muka dengan Gorys, dialah guru bahasa Indonesia terbaik. Buku terbaiknya, menurut saya, adalah Komposisi. Dengan buku itulah saya bisa menulis lebih baik, mengembangkan alinea, memahami bacaan lebih cepat, dan menjadi wartawan seperti Anda.

Anonymous
1:55 AM, November 09, 2010 Namaku Yoga. saya sangat membutuhkan buku nya gorys keraf yang judulnya komposisi, kira - kira di mana saya bisa dapatkan buku itu..

Reply

Anonymous12:22 PM, April 12, 2012
Terimakasih Bp Gorys Keraf...
Ilmu yang begitu berharga

Kamar Banthe Sangat Sederhana

30 October 2012

Menengok Kamar Banthe yang Sederhana



Di pojok timur Vihara Majapahit dibangun asrama untuk para bhante atau rohaniwan Buddha. Setiap hari mereka bermeditasi, melakukan olah spiritual, serta melayani pengunjung dari berbagai daerah di tanah air.

Suasana Vihara Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ini sepi. Tapi menjadi sangat ramai saat hari raya Waisak atau acara buddhis lain. Bhante Ratanapanno mengajak saya melihat kamarnya. Wow, ternyata, kamar bhante-bhante Buddhayana ini sangat sederhana. Mirip kamar kos kelas menengah ke bawah.

Tapi, berbeda dengan kamar kos mahasiswa atau karyawan, yang dilengkapi televisi, tapi recorder, bahkan komputer atau laptop, kamar  para bhikku ini hanya berisi satu tempat tidur. Tak ada hiasan, aksesoris, atau barang-barang berharga. Hanya ada sebuah meja kecil yang ditumpuki buku-buku rohani.

“Kamar saya dan teman-teman, ya, seperti ini. Sebab, kebutuhan kami di sini juga tidak banyak,” ujar bhante asal Jawa Tengah ini.

Syukurlah, Bhante Ratanapanno dkk tak perlu memikirkan makan dan minum karena sudah disediakan Yayasan Lumbini, pengelola vihara yang diresmikan Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita dan Gubernur Jawa Timur Soelarso pada 31 Desember 1989 ini. Di sana tersedia ruangan makan yang luas.

Siapa yang mencuci pakaian banthe?

“Ya, kami mencuci sendiri. Toh, pakaian kami nggak banyak. Sederhana saja,” katanya.

Bhante Ratanapanno mengatakan, para rohaniwan Buddhayana ini setiap hari tak hanya berkutat dengan urusan meditasi dan olah spiritual. Mereka juga melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik seperti masyarakat biasa. Cuci piring, kerja kebun, budidaya tanaman, dan sebagainya.

Saat ini ada 24 banthe yang tinggal di kompleks Mahavihara Majapahit.  Namun, menurut Ratanapanno, para bhante yang selalu tampil dengan kepala pelontos ini sering ditugaskan ke berbagai kota untuk pembabaran dhamma. Memberikan pembekalan dan pendampingan rohani kepada umat.

“Kalau Waisak atau acara-acara besar lain baru kumpul semua di sini. Bahkan, beberapa banthe dari luar negeri pun datang bergabung,” ujar Bhante Ratanapanno.

Saya senang berada di kompleks vihara, ikut melihat dari dekat kamar para banthe, dan kegiatan rutin mereka. Pola hidup sederhana, asketis, berusaha menjauh dari hiruk-pikuk modernisasi yang membuat manusia semakin sibuk dan sibuk, sehingga sering lupa keutamaan hidup.

Nammo buddhaya!

KOMENTAR DI BLOG LAMA

Anonymous
4:21 PM, October 30, 2012

Kehidupan sederhana yang ayem tentrem seperti di Vihara Buddha, juga dilakoni oleh para biarawan atau biarawati penganut Gereja Katholik didalam biara ( Kloster, Stift ).
Petang hari sayup2 terdengar paduan suara mereka
menyanyikan Gregorian Choral yang sangat indah, tanpa bantuan alat musik atau pengeras suara.
Semua keperluan dikerjakan secara gotong royong,
jangan kaget jika bertemu seorang mengendarai traktor diladang, tampang seperti petani miskin, ternyata dia seorang pastor.
Wahai kalian para pendeta halleluja perlente, berapa jumlah babu dan jongos kalian dirumah ?
Berapa lama waktu dihabiskan oleh istri kalian, untuk menyasak rambutnya dan berhias. Berapa liter parfum kalian butuhkan setahun ?


Anonymous
6:53 PM, October 30, 2012

 Gregorian Choral, gara2 kata ini, saya terkenang kembali akan masa remaja.
Saya waktu muda sangat tambeng, mbeling, males, ndableg, sehingga oleh ibu, saya dibuang atau diasingkan kedalam sebuah asrama Katolik. Disana-pun saya sering di-straf dan digaplok oleh kepala asrama.
Di asrama, kita sering menyanyikan lagu2 Gregorian, misalnya: Asperges Me, Tantum Ergo Sacramentum, dan dimasa Advent, nyanyi Adeste Fideles. Dan banyak lagi yang saya sudah lupa.
Saya dan seorang teman, sering jalan2 kenegeri Ceko melancong kekota Krumau ( Cesky Krumlov ), karena teman itu bekerja di Austria dekat perbatasan Ceko. Selagi enak2 jalan melihat keindahan kota tua, mendadak berklebat dikepala-saya, kata Asperges Me. Lalu saya tanya kepada dia, Josef, apakah artinya asperges me ? Dia menerangkan, kata itu asalnya dari kata aspergere, yang artinya memercikkan. Astaga, jadi aku ber-tahun2 nyanyi dan sembahyang, tanpa mengerti artinya. Asperges me Domine, artinya Percikilah hamba, oh Tuhan.

Lambertus Hurek
8:31 PM, October 30, 2012

Asperges me! Itu lagu wajib untuk perarakan imam masuk ke gereja saat pembukaan misa, khususnya zaman dulu. Di Flores sudah pakai syair bahasa Indonesia, PERCIKILAH AKU. Ada juga lagu gregorian serupa namanya AKU MELIHAT AIR.

Sejak akhir 1990an di Indonesia ada semacam gerakan kembali untuk menghidupkan lagu2 Gregorian. Sehingga, Asperges Me jelas semua orang tahu, khususnya petugas liturgi dan aktivis gereja. Apalagi, buku Puji Syukur yang dipakai di Jawa menggunakan syair Latin dan Indonesia.

Terjemahan Puji Syukur ini sangat mendekati aslinya. Beda dengan terjemahan Gregorian di buku2 liturgi lama kayak Syukur Kepada Bapa yang pakai terjemahan bebas, bukan terjemahan kata per kata, tapi menerjemahkan maksudnya.

Saya tidak menyangka kalau Xiang Sheng punya pengalaman religius di asrama Katolik. Kalau orang Flores, meskipun tidak tinggal di asrama, hampir pasti tahu lagu2 Gregorian yang anda sebut karena itu termasuk lagu wajib sepanjang tahun liturgi. Demikian tanggapan saya.


Anonymous
10:54 AM, October 31, 2012

hidup sederhana, gak neko-neko, memang sangat penting utk tahu makna hidup.

Mengenang Bioskop Kelud di Malang yang Legendaris

Bioskop Kelud Riwayatmu Dulu
Oleh Lambertus Hurek
Ditulis: 21 Juni 2007

Akhir pekan lalu saya main-main di Malang. Kota ini sejuk, bagus untuk tetirah. Kota pensiunan, kata banyak orang. Dulu, saya sekolah di SMAN I Malang alias Mitreka Satata sehingga saya tahu [cukup] banyak kota tua ini.

"Apa kabar Kelud sekarang?" saya bertanya kepada teman lama, Hadi, di Jalan Suropati.

"Hehehe.. sudah lama tutup. Bioskop itu nggak ada lagi. Hampir semua bioskop lama di Malang tutup. Kelud tutup. Mutiara, Merdeka, Ria... gak ono maneh. Pokoke bisokop-bioskop lawas wis kabur kabeh," ujar alumnus SMAN 3 Malang alias Bhawikarsu itu lalu tertawa.

Dulu, hingga pertengahan 1990-an, Bioskop Kelud sangat dikenal di Malang Raya [Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu]. Berlokasi di kampung, kawasan Jalan Kawi, Kelud dirancang sebagai bioskop misbar, gerimis bubar. Warga Malang, kelas menengah-bawah, sangat suka melihat film di sini.

Tak peduli malam minggu, tanggal merah... setiap hari Biskop Kelud dijejali penonton. Film apa saja dilahap penonton. Film India, film Indonesia, film Barat, tak peduli. Mana ada wong cilik yang suka milih-milih?

Menurut pengamatan saya, pengelola Kelud biasanya memilih film India [karena banyak tarian, wanita berbusana minim], film Indonesia 'panas' [banyak buka-bukaan], atau film laga [koboi] Barat.

"Pokoke sing ono perang, tembak-tembakan, aku doyan banget. Asyik," ujar Prapto, tukang becak di kawasan bekas Bioskop Kelud, kepada saya. "Lha, kalo pilem londo akeh omonane gak enak. Wong awak-awak ini gak ngerti bahasa Inggris."

"Kan ada terjemahannya, Pak?"

"Kesuwen, Mas. Pokoke pilem koboi kayak Rambo iku paling disenengi penonton. Wong malang biyen kan golek hiburan. Gak golek pilem sing angel-angel," ujar pria berusia 60-an tahun ini.

Saya sendiri, waktu SMA, tergolong penonton setia Kelud. Jalan kaki dari Suropati ke Kelud tidak terasa karena Malang memang dingin. Apalagi, banyak teman remaja yang juga penggemar film-film di Kelud. Sambil berjalan, kami membahas betapa serunya adegan film-film di bioskop paling murah itu.

[Harga karcis di Bioskop Kelud sama dengan satu piring nasi di warung pinggir jalan. Bandingkan dengan karcis Mutiara atau Ria yang setara dengan 5-10 piring nasi di pinggir jalan. Hehehe..]

Karena berupa panggung terbuka, beratap langit, Bioskop Kelud baru mulai main film sekitar pukul 19.00 WIB. Tiap malam, Jalan Kawi dan sekitarnya dipenuhi ribuan orang. Tukang parkir, pedagang keliling, tukang sulap, pedagang obat [yang suka ngecap], pedagang kelontong.... Persis pasar malam.

Di depan bioskop antrean cukup panjang. Siapa bilang orang Indonesia sulit antre? Di Bioskop Kelud, meski hampir semua wong cilik, budaya antrenya layak dipuji. Ini karena banyak tentara berpakaian dinas [loreng] ikut mengawasi. Asal tahu saja, semua tentara boleh menonton film apa saja secara gratis di Kelud, kapan saja dia mau.

Imbalannya, ya itu tadi, dia menjaga keamanan dan ketertiban baik di dalam maupun di luar. Maka, jarang ada kasus kejahatan di tengah ribuan manusia yang berjejal di Bioskop Kelud setiap malamnya. Penjahat-penjahat takut sama tentara, bukan?



Beda dengan di bioskop kelas atas [sinepleks Grup 21], suasana di Kelud riuh rendah macam di stadion bola. Penonton bebas mengomentari adegan film, suit-suit, menyoraki sang jagoan, tepuk tangan, 'menggurui' aktor/aktris....

Bebas tapi tidak boleh terlalu ngawur. Misalnya, penonton yang tiba-tiba berdiri lama, menghalangi pandangan orang lain, pasti diteriaki, bahkan dicaci penonton.

Bagaimana kalau hujan? Ini memang persoalan besar bagi pengusaha bioskop misbar macam Kelud [Malang] atau Gebang [Jember]. Kalau sekadar gerimis, rintik-rintik, pemutaran film jalan terus. Sebagian penonton ngacir, sebagian lagi bertahan.

Kalau hujan deras? Otomatis bubar. Sia-sia putar film karena cahaya dari proyektor di bagian belakang tidak akan menembus layar [tembok] di depan sana. Toh, orang Malang sudah sangat mahfum bahwa Bioskop Kelud tidak mungkin memutar film saat hujan deras.

Di bagian belakang ada balkon. Tempat proyektor serta kursi khusus untuk penonton 'kelas satu'. Berdasar pengalaman saya, menonton dari balkon tidak seasyik di bawah, meski hanya duduk di bangku kayu jelek. Suasana demokratis dan kerakyatan kurang terasa di atas.

Enaknya, kalau gerimis, penonton di balkon tetap aman. Suara berisik pun tidak separah di bawah.

Sabtu, 16 Juni 2007.

Saya menapaktilasi Bioskop Kelud. Gedungnya sih masih ada, tapi suasananya sudah berubah 180 derajat. Sepi. Hanya ada delapan tukang becak. Ada beberapa gerai yang menjual barang-barang bekas.

"Wah, Bioskop Kelud sudah lama tutup. Sekarang jadi kafe, Mas," kata Pak Ahmad, abang becak yang parkir di pertigaan Jalan Kawi.

Benar. Saat saya ke sana tampak reklame minuman keras khas kafe. Gedung bioskop yang pernah sangat terkenal di Malang Raya itu kini tak ada apa-apanya. Hanya jadi bangunan tua, temboknya penuh lumut. Sampah berserakan di [bekas] ruang penjualan karcis [dulu jarang dipakai istilah 'tiket'].



"Iya, Mas, sekarang jadi kafe," ujar Ikhlas, pemuda berusia 20-an tahun kepada saya.

"Tapi layarnya masih ada?"

"Mari kita lihat bareng."

Saya diajak Ikhlas ke lantai dua, ya bekas balkon. Kondisinya masih lumayan bagus, cuma kuran terawat. Bagian tengah balkon ditembok dijadikan ruangan kafe yang rutin menyajikan musik dangdut.

Saya pandangi ruangan kosong yang dulu, tiap malam, riuh rendah dengan suara penonton bioskop. Layar lebar itu kini tak lebih dari tembok kosong berlumut. Bioskop Kelud pun tinggal catatan sejarah belaka. Waktu terus bergulir dan akhirnya menggilas Kelud serta bioskop-bioskop lama di Kota Malang.

Kini, saluran televisi sangat banyak. VCD murah meriah. Orang bisa menonton sendiri-sendiri di rumah. Kalau mau lihat film, ya, cukup datang ke sinepleks di Plaza Malang, Mandala Theatre, yang menawarkan beberapa film dengan fasilitas nyaman. Budaya nonton film pun berubah drastis, tidak saja di Malang, tapi juga di seluruh Indonesia.

Kapitalisme yang merasuk dunia hiburan, termasuk bioskop, telah mengubah paradigma hiburan mutakhir. Nonton film bersama, sambil bergurau, celometan, komentar, membeli kacang rebus, menggoda cewek yang lewat... tidak ada lagi.

Sekarang nonton film ya, nonton sendiri-sendiri i dalam gedung ber-AC, tapi pengap, dengan kadar privasi luar biasa. Lu lu.. gua gua!

Jangankan budaya nonton film, budaya nonton televisi pun berubah. Kalau dulu satu keluarga nonton tivi bersama-sama, sekarang di kamar anak-anak ada televisi sendiri-sendiri. Nonton, ya, sendiri-sendiri.

Bahkan, televisi sudah masuk ke telepon seluler sehingga orang bisa menonton televisi sambil jalan-jalan. Bukan main!

Oh, Bioskop Kelud, riwayatmu dulu!

KOMENTAR-KOMENTAR DI BLOG LAWAS:

Anonymous2:15 PM, February 07, 2008
wah, jadi inget malang 80an. suwun cak.

sayang anak8:21 PM, September 26, 2008
wuaduh aku jadi terharu, kalau ada buku sejarah khusus bioskop di malang pasti tak beli berapun harganya, asal sesuai gaji.....hayo konco-konco siapa lagi yang punya koleksi foto bioskop di malang? termasuk gedung flora tempat main ketoprak siswo budoyo? salam...hormat buat lambertus

kading2:39 PM, May 14, 2009
mas....
makasih atas infonya...
mau sekedar tanya...
mas punya alamat bioskop yang lama gak di malang???
seperti contoh diatas...
soalnya saya dapat project untuk memotret gedung bioskop yang lama di malang...
terima kasih sebelumnya mas atas infonya....
kalau tidak keberatan, infonya boleh di kirim ke
email saya. cocaine_bugs@yahoo.com
kading wijanarko


Anonymous9:43 AM, June 30, 2009
top banget dah .. thanks for sharing ...

dwi-

Lambertus L. Hurek12:44 PM, July 01, 2009
Salam hormat juga buat teman-teman "Sayang Anak", Kading, dan Dwi yang sudah tulis komentar.

Saya tidak punya data bioskop di Malang. Tapi saya yakin carinya gampang sekali karena Malang itu kota kecil dan hampir semua arek Malang ingat betul nama-nama bioskop yang pernah ada di kotanya.

Suwun

Anonymous12:45 PM, July 25, 2009
Bioskop Gadang Jl. Kol. Sugiono 383 Malang
Bioskop Garuda Jl. Raya Singosari 3 Singosari
Bioskop Irama Jl. Semeru Selatan 354 Dampit
Bioskop Jaya Jl. Jend. Gatot Subroto 69 Malang
Bioskop Kelud Jl. Kelud 9 Malang

Bioskop Merdeka Jl. Basuki Rahmad 10 Malang
Bioskop Mulia Jl. Laks. RE. Martadinata 12
Bioskop Kayu Tangan Pertokoan Kayutangan
Cinedex di gedung serbaguna Dinoyo
Bioskop President (Sekarang menjadi Mitra II)
Bioskop Mutiara Jalan trunojoyo
Bioskop Ria (Sekarang menjadi Bank Lippo), dulu ada di Alun-Alun sebelah timur.

MT (Malang Theater) di Jalan Ade Irma Suryani, sekarang menjadi pertokoan.
Bioskop RATNA sekarang dipakai Malang Plasa
Bioskop “GRAND” sekarang gedung Mitra 1
Bioskop Manunggal blkg Polsek Lowokwaru
Misbar Soekarno-Hatta

(dan masih ada beberapa lagi)

Cak wawan


MUST TO FIX's BLOG8:26 PM, February 01, 2011
Tambahan daftar gedung bioskop di Malang tempo doeloe

Bioskop Tenun, Janti (ini saudaranya Bioskop Kelud)

Bioskop/biskop Kelud dikelola oleh Polresta Kota Malang/Brimob dan memang berada di samping perumahan Polri/Brimob

Film India menjadi idola penonton semua lapisan terutama ibu-ibu, jika film India yg diputar yg banyak nonton bisa dipastikan kebanyakan sudah ibu-ibu, bahkan diantaranya nonton berkebaya (sewekan)...
Trima kasih sam Hurek, sudah memuatnya... mohon ijin saya ambil fotonya untuk saya gabung dengan lagu pembukaannya biskop Kelud, nggak akan dijual kok... pasti diijinkan... jika ingin ikut menikmati (kalau sidah saya upload lho) silahkan add Kimas To Piek... Salam Kota Malang

Tjak Bari12:29 AM, January 23, 2012
Onok siji meneh cak iki yo dulure bioskop kelud yoiku Bioskop Celaket (sakdurunge jenenge Surya Baru)

Cathy Sudira8:52 AM, July 31, 2017
Nontok film Le Mans nang bioskop iki.

Unknown10:23 PM, April 26, 2012
Trims mas ttg tlsnx,,saya jadi bs membayangkan lg gmn guyubx org malang saat itu.
Ibu saya slalu crita kpd saya ttg hebohnya bioskop dulu ini dan mungkin inilah salah satu kebanggaan warga malang..sayang hal itu tidak terawat skrg,,smoga pihak yg punya kuasa berkenan merawatnya agar saksi sejarah ini bs mnjadi suatu hal yg dpt diambil hkmahnya
kalo da tlsn ttg tmpt brsjarah d malang tlg di share y mas,SALAM MITREKA!!

Reply

Lambertus Hurek2:26 PM, April 27, 2012
suwun atas masukan konco2 ngalam. dulu suasana kota sangat guyub, tenang santai saling sapa n guyon. orang antre tiket kelud dgn santai, gak dorong2an krn pasti dapat. menikmati jagung bakar, ngopi sambil menunggu jam main kelud. nostalgia masa lalu memang indah banget.

salam mitreka juga mas. ah jadi ingat teman2 lama di mitreka satata yg sekarang entah di mana semua. sekali lagi suwun atas tambahan informasi dari teman2.

istiyarto11:17 AM, May 15, 2012
Nice posting, saya sendiri mulai tahun 1973 sampai dengan 2000 hidup di Asrama Polisi di sebelah barat bioskop Kelud, sampe sekarang saya masih di malang. Kalo pingin mengenang masa kecil ya main aja ke Asrama Polisi tersebut. kalo dulu yang berhak tinggal disana adalah bapaknya sekarang anaknya yang juga temanku SD yang berhak tinggal karena jadi polisi.
Salut habis two thumbs up buat postingnya kalo boleh tak copas ke FB :-)

Wasallam

Istiyarto arek Kelud Asli jess :-)

Mc Taufiq11:33 AM, September 19, 2012
oyi jes umak wes gak tau nang dulek blas...saiki d endi??

istiyarto11:30 AM, May 15, 2012
two thumbs up
dari

Istiyarto arek Kelud asli jes


Lambertus Hurek11:43 AM, May 15, 2012
Salam kenal untuk Sam Istiyarto, semoga tetap semangat! Silakan dicopas untuk mengenang masa2 indah di Ngalam jaman biyen.

Anonymous8:54 AM, May 16, 2012
saya jadi ingat iklan jamu dibintangi benyamin s sebelum pilem diputar. bener2 merakyat n khas wong cilik. kayaknya keguyuban ala wong kampung itu makin sulit ditemukan di era sekarang yg makin individualis di kota. salam nostalgia

Anonymous8:04 PM, June 21, 2012
saya siswa SMA angkatan 2010 , terkadang saya ingin hidup di era tersebut

Prima Aquino8:50 AM, November 04, 2015
Satu lagi Bioskop Lodalem, desa Arjowilangun, kecamatan Kalipare Malang selatan.

Anonymous12:37 PM, November 05, 2015
hehehe kelud misbar legend di malang.

Anonymous4:36 PM, November 19, 2015
aku sudah di sby...tapi masa sekolah di arema...bermukim di asrama brimob pahlawan trip...jadi kalau mau nonto di keldu kenal dengan yang jaga tiket....masuknya gratis...heheheh

sakuntalafatima1:24 AM, June 01, 2016
Sam siapa yang tahu judul lagu pembuka di bioskop kelud.

Nuwus. SaSaji.

e-voel 9991:13 AM, August 26, 2016
Aku biyen nang DuleK Nontok film "ARI ANGGARA" sekitar taon 80'an... wess jan mesakno disikso ambek ibuk Tiri'e sampek ARI almarhum... sing nontok podo Nangis Kabbeh....
NB: Onok Etas 02 ndek pojok sisih etan... hahahahaha

Anonymous1:00 AM, April 10, 2017
Still got the blues....Keluuuud

Nostalgia Bioskop Mutiara di Malang

Ngopi di warkop kampung seni, Pondok Mutiara Sidoarjo, menikmati hawa sejuk di bawah rumpun bambu. Amdo Brada, pelukis dan ketua kampung seni, telaten merawat bambu kuning itu sejak kampung seni diproklamasikan pada 2005.

Sayang, Cak Amdo yang asli Surabaya itu masih berada di Jakarta. Dia baru saja pameran tunggal di ibu kota selama sembilan hari. "Saya masih temu kangen teman-teman lama. Mampir ke Bengkel Teater Rendra dsb," kata Amdo via ponsel.

Syukurlah, ada seorang bapak yang sedang asyik main ponsel. Sambil ngisi baterai. "Saya yang dampingi Amdo di Jakarta. Mulai persiapan sampai selesai pameran," katanya.

Bapak yang selalu tampak serius, kurang guyon, ini bernama Sugiyono. Saya pun mulai ngobrol sekadar perintang waktu. Sebab anak-anak muda punkers di sebelah itu terlalu serius main HP. Pak Giyono yang bukan orang milenial tentu lebih muda diajak omong-omong ngalor ngidul.

Wow, ternyata Sugiyono ini bukan orang sembarangan. Dulu punya bioskop di Lawang dan Malang. "Saya berkecimpung di usaha bioskop mulai 1968 sampai 2005," katanya.

Tahun 2005 itulah akhir kejayaan bioskop-bioskop mandiri di Indonesia. Satu per satu tutup. Ditinggalkan penonton. Masa panen raya pada era 80an pun tidak bakal terulang lagi. Pahit rasanya bagi orang-orang bioskop macam Sugiyono ini.

Yang bikin saya terkejut, ternyata Sugiyono pemilik Bioskop Mutiara di Malang. Dia ambil alih dari pengusaha lain pada 1985.

Begitu menyebut Bioskop Mutiara, ingatan saya pun melayang ke masa lalu. Ketika hampir setiap minggu saya nonton film di Mutiara. Bahkan kadang dua kali seminggu.

Bioskop Mutiara terletak di dekat Terminal Patimura yang sekarang mangkrak itu. Juga dekat stasiun kereta api Malang. Dekat pula kompleks SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4. Tidak jauh dari sekolah Kolese Santo Yusuf alias Hua Ing. Dekat studio Radio TT 77 yang dulu sangat terkenal.

Di Bioskop Mutiara inilah saya terpukau dengan film-film Amerika. Yang paling berkesan adalah Dirty Dancing. Film yang mirip pelajaran atau kursus dansa nan rumit. Lagu-lagu sound track-nya sangat indah dan asyik.

Saya menyenandungkan Time of My Life... kalau tak salah judulnya. Pak Sugiyono langsung tanggap. Tak lagi murung karena sedang punya sengketa perdata.

"Oh ya... itu masa yang luar biasa di Malang. Bioskop-bioskop penuh dengan penonton. Zaman itu Malang jadi rajanya hiburan. Mulai hiburan yang sehat sampai yang gak sehat," katanya.

Lalu, obrolan pun mulai fokus ke bioskop-bioskop lawas di Kota Malang. Mutiara, Merdeka dekat Gereja Kayutangan, Ria dekat alun-alun, Mandala di Malang Plaza....

Jangan lupa Dulek alias Kelud Theatre? Pak Giyono tertawa kecil mendengar Kelud. Bioskop misbar yang sangat ramai dengan segmen wong cilik.

Pak Giyono menceritakan berbagai persoalan yang mencekik pengusaha bioskop pada 1980an. Tata niaga yang dikontrol anaknya penguasa orde baru. Sampai kemudian muncul grup 21 taipan Sudwikatwono.

Dan... tamatlah riwayat bioskop-bioskop mandiri di tanah air. Bioskop Mutiara kemudian jadi rumah biliar. Terakhir saya lihat jadi minimarket. "Bangunan itu milik PJKA. Kita hanya kontrak aja," katanya.

Sayang, saya harus pamit karena segera ngantor. Obrolan nostalgia bioskop lawas bakal disambung lagi suatu ketika. Malamnya saya mutar lagu-lagu OST Dirty Dancing di Youtube.

Ciamik tenan!

Soesijanto GM Luminor Sidoarjo Doyan Golf

Dulu saya sering mampir di Luminor Hotel, Jalan Jemursari Surabaya, kalau ada live music. Kebetulan GM-nya, Soesijanto, senang musik. Sesekali dia bikin jazz night. Yang paling saya ingat, Ucok, saksofonis terkenal di Surabaya, mengajak anggota komunitas jazz-nya ke Luminor.

"Asyik banget kalau di hotel ada event jazz secara rutin. Apalagi tamu-tamu kami banyak yang suka," ujar Soesijanto.

Tak banyak percakapan tentang jazz, musik, okupansi dsb saat menikmati live music di Luminor Jemursari. Maklum, general manager yang satu ini sibuk meladeni tamunya yang banyak. Diajak bicara satu per satu. "Kalau ada live music, silakan datang lagi," kata arek Suroboyo itu.

Eh, tak lama kemudian Soesijanto pindah ke Sidoarjo. Jadi GM Luminor Hotel di Jalan Pahlawan. Tak jauh dari mulut jalan tol, Stadion Gelora Delta, dan RS Delta Surya. Lokasi Hotel bintang 3 milik Waringin Hospitality itu memang sangat strategis. Membuat wajah Sidoarjo lebih modern.

Maka, diskusi atau lebih tepat ngobrol bareng GM Soesijanto jadi lebih sering. Ada-ada saja idenya untuk memeriahkan hari jadi Kabupaten Sidoarjo.

"Kita bikin semacam pesta kuliner khas Sidoarjo. Libatkan semua hotel yang ada di Sidoarjo. Kita harus ciptakan event untuk menarik wisatawan," katanya.

Ide ini kemungkinan baru bisa dieksekusi tahun depan. Saat hari jadi Sidoarjo kemarin Luminor Hotel bikin event sepeda sehat ke sejumlah objek wisata di Kabupaten Sidoarjo. Di antaranya candi-candi dan Pabrik Gula Toelangan (yang sudah dua tahun tidak beroperasi). Peserta sepeda sehat ini umumnya pengusaha dan relasi Luminor Hotel di Surabaya.

Soesijanto menilai Kabupaten Sidoarjo punya banyak potensi yang bisa diangkat ke tingkat nasional. Bandara Internasional Juanda berada di Sidoarjo. Terminal Purabaya di Bungurasih, Kecamatan Waru. Hotel-hotel berbintang juga mulai banyak. Tidak lagi terkonsentrasi di kawasan Bandara Juanda, tapi sudah masuk ke tengah kota.

Selain Luminor Hotel di Jalan Pahlawan, belakangan ada Favehotel di Jalan Jenggolo dan Neo+ di Jalan Raya Waru. Ada pula The Sun Hotel yang lebih dulu beroperasi pada 2005. Tamu-tamu hotel ini perlu "ditahan" agar bisa jalan-jalan dan berwisata di Kota Delta.

"Makanya, belum lama ini kami juga support acara jambore sepeda tua nasional di Gelora Delta. Kami tampilkan menu-menu khas Sidoarjo yang lezat," katanya.

Omong punya omong, akhirnya saya tahu kalau GM Soes ini penggemar berat golf. Bukan cuma hobi, golf sudah jadi kebutuhan hidupnya. "Saya sudah coba hampir semua olahraga. Sampai sekarang masih main bulutangkis. Tapi tidak ada olahraga yang nikmatnya melebihi golf," ujarnya seraya tersenyum.

Golf? Apanya yang nikmat? "Wuihhh... sulit diceritakan. Kenikmatan golf itu hanya bisa dirasakan. Sekali merasakan nikmatnya golf, kita akan jatuh cinta selamanya," tuturnya.

Kalau sudah bicara golf... GM Soesijanto tampak sangat bahagia. Wajahnya berseri-seri. Soesijanto kemudian memberi semacam kursus kilat cara memukul bola golf. "Mukulnya gak asal. Gak boleh pakai power. Ada seni dan teknik khusus. Kalau Anda memakai power, ya pasti gagal."

Soesijanto kemudian memperlihatkan video di ponselnya. Hampir semuanya tentang permainan golf kelas dunia. Padang golf dengan rumput hijau yang sangat terawat. "Coba Anda perhatikan orang tua ini. Teknik memukulnya luar biasa. Gerakannya seperti hipnotis," katanya.

Sebagai orang yang sangat awam golf, saya sulit memahami permainan golf. Olahraga yang mirip klangenan pengusaha-pengusaha dan para veteran yang purnatugas. Nikmatnya di mana?

"Waduh, luar biasa golf itu. Kapan-kapan kita bikin turnamen golf biar Anda bisa melihat langsung di lapangan," ujar sang GM lantas tertawa kecil.

Soesijanto juga menyebut golf ini punya banyak filosofi. Salah satunya adalah bagaimana melawan diri sendiri. Musuh terbesar golfer itu sejatinya bukan pemain lain tapi dirinya sendiri. Dia harus bisa kontrol emosi, tetap tenang menghadapi berbagai handicap dsb dsb.

"Jadi, kita tidak gampang stres. Beban pekerjaan seberat apa pun bisa kita hadapi dengan tenang," kata GM Soes ala motivator Mario Teguh yan



Kapan Adonara Jadi Kabupaten?

Orang Adonara rupanya sudah kebelet punya kabupaten sendiri. Memisahkan diri dari Kabupaten Flores Timur yang ibukotanya Larantuka. Seperti Lembata yang sudah lama jadi kabupaten sendiri.

Dari dulu ada grup-grup media sosial yang menyuarakan pentingnya Kabupaten Adonara. Agar pembangunan lebih cepat. Agar rakyatnya tidak "melarat" lagi ke Sabah atau Serawak di Malaysia Timur. Melarat dalam bahasa Lamaholot artinya merantau.

Selasa kemarin, kemendagri sampai bikin klarifikasi terkait hoaks 57 daerah otonomi baru. Termasuk Kabupaten Adonara. Raya Seran Goran, nama khas Adonara, bikin heboh medsos. "Hoaks itu. Tidak benar," kata Humas Kemendagri Bahtiar Baharudin.

Wacana Adonara jadi kabupaten memang sudah berlangsung lama. Persisnya setelah era otoda 2001. Politisi dan tokoh-tokoh Adonara (sebagian besar) merasa sudah waktunya jadi kabupaten. Sumber daya manusia (SDM) oke.
Gubernur NTT dua periode, Frans Lebu Raya, orang Adonara. Banyak sekali politisi dan birokrat NTT yang asli Adonara. Di Pemkab Flotim (Flores Timur) apalagi.

"Sudah waktunya Ama," kata seorang tokoh Adonara di Jatim.

"Silakan Ama-Ama Adonara berjuang. Kita orang pasti dukung," kata saya basa-basi ala Lamaholot.

Semua laki-laki Lamaholot (Adonara, Solor, Lembata, Flotim daratan) dipanggil Ama. Mulai anak-anak sampai kakek-kakek. Ama bisa berarti bapak, om, kakak, adik, kakek, atau teman laki-laki. Orang perempuan dipanggil Ina.

Sayang, rupanya perjuangan ama-ama dan ina-ina di Adonara belum berhasil. Adonara belum siap berdikari sebagai kabupaten. Beda dengan Lembata yang sudah disiapkan sejak orde baru. Begitu reformasi ya Lembata langsung dinaikkan status menjadi kabupaten.

Lalu, kapan Adonara naik status?

Ama Raya dan ama-ama lain harus sabar... sabar... dan tunggu. Sebab pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium daerah otonomi baru. Belum lagi banyak sekali kabupaten dan kota yang baru dinilai gagal atau kurang berhasil.

"Kalau jadi kabupaten baru kan kita orang tidak perlu ke Larantuka untuk sekolah di SMA negeri," kata Ama Payong yang sudah puluhan tahun "melarat" di Jawa.

"Nah, kalau itu soalnya, ya desak pemerintah untuk bangun 4 SMA negeri di Pulau Adonara. Bangun rumah sakit umum yang kualitasnya sama dengan RSUD Larantuka," kata Ama Lusi, orang Lembata.

Kalau bisa sih bikin lapangan terbang juga macam di Larantuka atau Lembata. Agar ama-ama dan ina-ina dari Adonara tidak perlu jauh-jauh ke Larantuka atau Lembata.

Mampir Ngombe di Kelenteng Bangkalan

Sudah lama kita orang tidak pigi Madura. Tidak melintas di Jembatan Suramadu yang panjangnya 5,4 km itu. Maka saya pun memanfaatkan tanggal merah untuk jalan-jalan ke Bangkalan.

Mampir ke Kelenteng Eng An Bio Bangkalan. Ibu Yuyun alias Kho Yoe Nio sendiri di pelataran Kelenteng Eng An Bio. Menyaksikan televisi.

 "Ni hao ma?" saya menyapa bio kong asal Salatiga itu.

"Selamat pagi. Ndak usah ni hao ma... Aku ndak bisa bahasa Mandarin," ujar Bu Yuyun lantas ketawa renyah.

Cukup lama saya tidak mampir ke kelenteng-kelenteng. Padahal dulu sangat sering. Eng An Bio di Jalan PB Sudirman Bangkalan ini termasuk favorit saya. Tempatnya luas dan bersih. Bio kong alias pengurus hariannya, Yuyun Kho, pun sangat terbuka. Akrab layaknya konco lawas.

"Saya bertugas di Eng An Bio Bangkalan ini sejak 1992," ujar Yuyun yang bahasa Indonesianya medhok Jawa Tengahan.

Saat itu Yuyun diminta pengurus TITD Bangkalan, Margono alias Sing Hien, untuk jadi bio kong. Sebab, kelenteng di kawasan pecinan ini tidak punya bio kong yang paham seluk beluk tradisi Tionghoa. Apalagi Yuyun ternyata seorang pelukis spesialias figur dewa-dewi Tionghoa.

"Yah... bekerja di kelenteng itu pengabdian saya untuk Yang di Atas. Bukan untuk cari uang dsb," kata Kho Yoe Nio yang dipelesetkan oleh seorang tokoh Tridharma menjadi Yuyun itu.

Semula Yuyun bertugas di TITD Lawang pada 1984-1992. Mengurusi kelenteng milik Ong Kie Tjay, pengusaha Surabaya, yang dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Mendiang yang juga pimpinan Kelenteng Dukuh Surabaya ini merupakan ketua Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia.

Anda masih ingat almarhum Ong Kie Tjay?

"Lupa," kata saya. "Saya tahu Ong Kie Kiong yang di Kelenteng Dukuh."

"Itu putranya. Keluarga mereka yang ngopeni kelenteng-kelenteng Tridharma," kata Yuyun.

Lalu, bio kong ini masuk mengambil foto mendiang Ong Kie Tjay. Lahir di Tiongkok tahun 1917, meninggal 1985.

Berarti Tionghoa totok?

"Totok banget. Kata-kata bahasa Indonesianya tidak jelas. Saya aja yang Tionghoa kesulitan nangkap. Yoe Nio dibilang Yuyun. Akhirnya saya dipanggil Yuyun sampai sekarang," tutur perempuan yang kerap mengikuti berbagai hajatan di kelenteng-kelenteng di Jawa itu.

Sudah 27 tahun lamanya Yuyun bertugas di TITD Bangkalan. Dibantu seorang bapak asli Madura yang menangani kebersihan kelenteng. Yuyun juga kerap ngobrol dengan beberapa tetangga asli Madura.

 "Tapi saya sama sekali tidak bisa bahasa Madura. Sulit banget. Sama sulitnya dengan bahasa Mandarin," katanya.

Banyak suka duka menjadi bio kong di Bangkalan. Pada 1996 kelenteng ini diserang sekelompok orang tak dikenal. Begitu juga beberapa gereja. Satu rangkaian dengan kasus penyerangan gereja-gereja di Situbondo. Saat itu Yuyun sedang nyenyak tidur di kamarnya di kompleks kelenteng.

"Syukurlah, saya dilindungi sama Yang Kuasa," katanya.

Penyerangan itu dilakukan massa yang dikerahkan dari luar. Bukan warga Bangkalan. Apalagi yang tinggal di sekitar kelenteng. Sebab hubungan jemaat Eng An Bio dengan masyarakat setempat sangat baik. Pihak kelenteng juga rutin adakan bakti sosial.

"Kalau hubungan tidak baik pasti kelenteng ini tidak bisa bertahan. Buktinya, sekarang jadi lebih luas," katanya.

Namun, di sisi lain, Yuyun agak prihatin karena jemaat yang datang sembahyang atau mampir ke kelenteng berkurang. Khususnya setelah ada Jembatan Suramadu.

 "Sembahyangan tanggal 15 Imlek barusan hanya ada 4 atau 5 orang saja. Padahal dulu bisa 20 sampai 30 orang," katanya.

Tersambungnya Surabaya dan Bangkalan membuat kebanyakan orang Tionghoa di Madura lebih suka ke Surabaya. Jalan-jalan, rekreasi, belanja, hingga sembahyangan. Bahkan arisan bulanan pun di Surabaya.

"Latihan pingpong dan karaoke juga ndak ada lagi. Mereka lebih suka pigi ndek Surabaya," kata Yuyun.