Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta rupanya memilih lagu ordinarium Misa Lauda Sion untuk misa kudus bersama Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno, Kamis 5 September 2024. Saya lihat sedikit cuplikan latihan paduan suara di media sosial.
Tidak salah kalau Misa Lauda Sion yang dipilih. Pada Misa Paus Yohanes Paulus II di Stadion Jogjakarta, 1989, pun Misa Lauda Sion yang dipakai sebagai ordinarium. Umat Katolik menyanyi dengan penuh semangat karena sudah hafal nada dan kata-katanya.
Misa Lauda Sion diciptakan oleh Romo AS Dirjoseputro pada 1967. Inilah tahun-tahun awal komponis musik liturgi sedang bergairah menciptakan lagu-lagu baru. Sebab Konsili Vatikan II baru saja usai.
Perayaan ekaristi yang sebelumnya memakai doa-doa dan nyanyian dalam bahasa Latin kini diganti jadi bahasa setempat. Umat mulai antusias ikut misa berbahasa Indonesia.
Misa Lauda Sion ini rupanya sangat populer di Jawa tapi tidak dikenal di NTT atau luar Jawa. Waktu itu buku Madah Bakti belum ada. Buku-buku nyanyian liturgi Jawa pun tidak beredar di Flores dan pulau-pulau lain di NTT.
Karena itu, waktu pertama kali datang ke Jawa, tepatnya Kota Malang, saya heran sekali karena Misa Lauda Sion dinyanyikan hampir setiap misa hari Minggu. Khususnya di Gereja Kayutangan paroki saya saat itu. Misalnya, dari 10 kali misa, mungkin 7 kali dinyanyikan Misa Lauda Sion.
Ketika pindah ke Paroki Jember, juga masuk Keuskupan Malang, lagi-lagi Lauda Sion selalu dinyanyikan. Lagu-lagu ordinarium misa yang lain malah jarang bahkan tidak pernah dinyanyikan.
Misa Hardjowardojo yang saya nilai sangat bagus malah hampir tidak pernah dinyanyikan oleh paduan suara bersama umat. Setahun tidak sampai empat kali. Begitu juga Misa Sunda yang bagus dan khas.
Apalagi Gregorian I yang memang sulit. Gregorian VIII pun sangat jarang dibawakan di Jawa. Padahal di pelosok Pulau Lembata lagu-lagu Gregorian VIII ini dibawakan hampir setiap Minggu. Saking seringnya saya sampai hafal lagu dan syairnya meski tidak pernah melihat notasinya di buku
Tahun 1990-an akhir, Romo Kelik Mursodo OCarm, mantan pastor paroki di Kayutangan, Malang, pindah ke Paroki Jember. Pastor ini sangat serius, tegas, disiplin dalam segala hal. Dia tidak segan-segan menghentikan kor yang dia anggap membawakan lagu liturgi yang tidak sesuai kriteria liturgi.
Nah, suatu ketika ada kor yang menggunakan lagu ordinarium yang tidak ada di Madah Bakti. Umat Katolik di Jember belum pernah dengar. Pastor Kelik langsung menghentikan kor itu. Lalu menggantinya dengan Misa Lauda Sion.
Saya sendiri awalnya asing dengan Lauda Sion. Lagunya panjang sesuai dengan teks liturgi resmi. Beda dengan lagu-lagu misa di Flores yang pendek-pendek dengan pola refrein + solo.
Aneh, lagu Misa Lauda Sion itu pada tahun-tahun awal saya di Jawa Timur. Tapi karena sangat sering dinyanyikan, saya jadi terbiasa dan lama-lama sangat senang. Bahkan jadi lagu misa favorit saya sampai sekarang. Ordinarium misa favorit saya yang lain adalah Misa Te Deum.
Sekitar 10 tahun terakhir saya perhatikan Misa Lauda Sion tidak lagi populer di Jawa. Kor-kor sekarang lebih senang Misa Kita IV yang dianggap lebih rumit dan sulit. Misa Lauda Sion terlalu gampang, kata seorang aktivis kor di Surabaya.
Maka, kalau kita ikut misa hari Minggu atau hari raya di Pulau Jawa saat ini hampir pasti kor membawakan Misa Kita IV ciptaan Pastor Antonius Soetanta SJ (1971). Lagu ini paling banyak variasi di buku Puji Syukur dan Madah Bakti.
Karena itu, saya senang Komisi Liturgi KAJ memilih Misa Lauda Sion untuk perayaan ekaristi bersama Paus Fransiskus. Umat Katolik di Pulau Jawa pasti semangat menyanyi karena hafal semua. Umat Katolik di NTT pasti tidak hafal.
Sebaiknya dalam Misa Agung Paus Fransiskus di era live streaming ini lagu ordinarium yang dipakai adalah Gregorian VIII dalam bahasa Latin. Sebab lagu itu paling populer di kalangan umat Katolik di seluruh dunia.