Pendeta Alex Abraham Tanuseputra baru saja berpulang. Dipanggil Bapa di surga. Menyusul Pendeta Leonard Limanto yang lebih dulu menghadap dua minggu sebelumnya.
Bukan karena Covid-19 tapi faktor usia. Usia pendiri Gereja Bethany itu memang jelang 80 tahun. Selama ini tidak ada riwayat penyakit serius yang diidap pendeta terkenal itu.
Alex dan Leo sama-sama tokoh utama Bethany. Awalnya mereka kompak merintis gereja beraliran karismatik haleluya haleluya itu. Dimulai dari gereja kecil di Manyar, berkembang jadi gereja terbesar di Jawa Timur. Bahkan mungkin terbesar di Indonesia.
The Successful Bethany Family!
Itulah semboyan Pak Alex dan para pembantunya. Sukses itu memang terlihat dari gereja-gerejanya yang besar dan mewah. Tak beda dengan hotel berbintang.
Tapi kesuksesan itu ternyata ada harganya. Harus bayar harga, istilah karismatiknya. Harganya ya gereja yang besar pecah jadi banyak gereja. Saking banyaknya sampai sulit dihitung, kata teman protestan yang tahu perkembangan Bethany di Surabaya sejak 1980-an.
Bukan saja pecah. Konflik internal Bethany berujung ke pengadilan. Selama bertahun-tahun. Alex lapor Leo. Leo lapor Alex. Kadang Alex menang, kadang Leo yang menang. Sampai-sampai media massa malas menulisnya.
Akankah kematian dua sahabat sekaligus musuh bebuyutan itu mengakhiri pertengkaran yang berlarut-larut di pengadilan? Kita lihat saja.
Yang pasti, di sisa usianya, Gereja Bethany bukan lagi milik Pendeta Alex Tanuseputra. Yang berkuasa justru Aswin Tanuseputra, anaknya. Yang karisma dan kemampuannya di bidang homilitika, dogmatika dsb jauh dari Alex.
Hanna Tanuseputra yang dekat papanya. Bersama suaminya, Yusak Hadi Siswantoro, Hanna bikin gereja baru bernama YHS: Yakin Hidup Sukses. Alirannya sama dengan Bethany. Hanya beda namanya saja.
Hanna bersama jemaat Gereja YHS yang justru jadi tuan rumah persemayaman mendiang Pendeta Alex Tanuseputra di Gedung Adi Jasa, Surabaya.
Selamat jalan Bapak Pendeta Alex Tanuseputra, The Father of Bethany!
Rest in peace!
Ooh, dua teman pecah kongsi. Hal yang lumrah lah, jika perusahaannya sudah menjadi besar. Dua saudara kandung pun sering pecah kongsi, jadi musuh bebuyutan, gara-gara bagi keuntungan atau bagi warisan.
BalasHapusKedua almarhum tersebut adalah orang2 jagoan, sangat pandai. Bayangkan barang dagangan mereka; Tidak bisa dilihat, Tidak bisa raba, Tidak bisa dicium, Tidak bisa dirasa, Tidak bisa didengar. Apa-nya yang mau dicacat ? Sungguh-sungguh lihay memilih barang dagangan.
Mungkin orang2 yang berjualan barang serupa atau sejenis, tertawa terpingkal-pingkal dalam hatinya atau tertawa terbahak-bahak bersama-sama dengan istri- dan anak2-nya. Koq ada pembeli yang sedemikian dungu.
Kasihan teman bule-ku, Pastor SVD yang bertugas di Flores, berjerih-payah disana tidak dapat duit, hanya kulitnya yang gosong kena terik matahari. Mangkanya setiap 5 tahun sekali dia minta cuti pulang ke kampungnya pada musim dingin, untuk main ski. Saya pernah bertanya kepada nya: Lu koq tidak cuti musim panas, seperti orang2 eropa ? Dia tertawa menjawab dengan nada heran; di Flores sudah kebanyakan teriknya matahari.
Kamsia atas komentar xiansheng yang bagus dan dalam. Begitulah. Pecah kongsi dagang juga terjadi di gereja. Sudah sering.
BalasHapusPater2 SVD di Pulau Flores dan pulau2 lain di NTT memang beda jauh misinya dengan pendeta2 teologi kemakmuran di amerika atau kota2 besar di Jawa.
Pater2 eropa atau amerika itu umumnya anak orang kaya. Tapi mereka dapat bisikan Tuhan untuk menyampaikan kabar gembira ke pelosok dunia kayak NTT. Pater2 itu yang keluar duit banyak untuk bikin kapela, pastoran, pompa air, irigasi.. dsb. Bahkan ke mana2 bawa aneka macam obat untuk umat yang sakit.
Makanya Bethany dan gereja2 aliran haleluya teologi sukses tidak mungkin buka cabang di daerah2 minus hehe.
Benar sekali Lambertus. Gereja Bethany dan yg mengemas teologi kemakmuran itu banyak mentarget kalangan Tionghoa yg memang berhaluan wang. Pdhal oleh Yesus sudah diperingatkan: tidak bisa kau memuja Allah dan Mammon scr bersamaan.
HapusPater Hermann sudah kembali ke Eropa, setelah bertugas di Flores dan Timor selama 16 tahun. Sekarang dia ditugaskan di Italy Utara, dan usianya juga sudah 79 tahun. NTT sudah tidak memerlukan Missionaris Eropa, semua keperluan gereja sudah ditangani 100 % oleh para Romo Bumiputra. Justru sebaliknya, banyak Paroki di Eropa sekarang dipimpin oleh Pastor2 asal NTT.
BalasHapusPater Hermann mengutamakan DIALOG dalam paham Agama Katholik, sesuai dengan Epistula Encyclica Paus Johannes Paul II, Fides et Ratio .
Dialog antara Pastor dan Umat. Bukan Ceramah-Ocehan dari Pseudo-ahli-agama, yang lantas ditelan mentah2 oleh para pendengarnya.
Intellego ut credam, pakai akal sehat untuk mau percaya.
Kalau mau rasional, seharusnya para Romo NTT menjadi Missionaris di negeri sendiri, dari Sabang sampai Merauke, bukannya malah ke Eropa, supaya tidak lagi ada mantan-mantan biarawati-suster macam Sr. Irene Handoyo dan Sr. Dewi Purnamawati yang jadi muallaf, men-jelek2-kan agama katholik.
Gara-gara ocehan muallaf Sr-Dewi-P. di Youtube, aku jadi ingat mendiang Ibu-ku. Ibu melahirkan 12 anak, 9 putra dan 3 putri. Putra terkecil meninggal setelah dilahirkan. Jadi selama 20 tahun Ibu selalu manak, dari tahun 1933 sampai tahun 1953. Nyonya-nyonya Eropa selalu menggerutu: Die arme Frau ( Perempuan malang ), kalau mereka dengar saya bilang punya 11 saudara. Lalu mereka selalu bertanya: dari satu ayah dan satu ibu ? Emangnye kite orang cine lu kire, seperti kalian bangsa kulit putih, yang suka gonta-ganti partner, seperti celeng !
Di kebun belakang rumah kami ada sebatang pohon mangga harum-manis dan sebatang pohon jeruk-bali. Ibu dulu selalu bilang kepada anak2 yang laki, kalau kebelet kencing, disuruh ngencingi kedua pohon tersebut.
Sekarang muallaf Sr. Dewi Purnamawati bilang, sesuai Hadist Al Quran : Haram Hukumnya ngencingi pohon mangga harum-manis. Dia juga bilang: Upah melacur Halal menurut Bible !
Scheiss Haram und Scheiss Halal, kalau ketemu pohon mangga, akan aku kencingi, persetan dengan Mbak Dewi.