Kamis, 31 Maret 2022

Gedung Tua Cagar Budaya di Kembang Jepun yang Wingit

Mama tua asal Madura jualan kopi di emperan Kembang Jepun. Dekat Bank Mega d/h Bank Karman. Gedung-gedung tua di kawasan kota lama Surabaya itu memang banyak yang tutup. Ada tukang becak dan pengelana istirahat.

Saya pesan kopi tubruk. Pisang rebus dua biji. Mama asal Madura, tinggal di Pesapen, bicara dalam bahasa Madura. Selalu semangat dan bersyukur atas rezeki saban hari meski tidak banyak. Alhamdulillah, katanya.

Di depan mata ada Kya Kya. Gapura Kembang Jepun. Kawasan pecinan yang pernah jaya di masa lalu. Pernah dihidupkan jadi semacam pasar malam tapi kini lengang setelah magrib.

Di sebelah selatan jalan raya ada beberapa gedung tua. Kembang Jepun 165 ditempeli tanda bangunan cagar budaya. Bangunan kolonial yang masih lestari dan dianggap jadi penanda kawasan. Tidak boleh diubah, kata aturan undang-undang.

Dulunya gedung apa? Tak oneng, kata mama tua Pesapen itu. Meskipun sudah puluhan tahun jualan di situ, dia tak oneng (tahu) gedung apa di depannya. Dari dulu tutup terus, katanya.

Di Google pun tak ada keterangan. Cuma ditulis bangunan cagar budaya di Surabaya. "Pintu depan tutup terus sejak dulu. Biasanya ada pegawai masuk dari belakang," kata Suryadi yang bekerja di Kembang Jepun sejak pertengahan 1980-an.

Lumayan, Cak Sur tahu sedikit. Kembang Jepun 165 itu semacam kantor administrasi bangunan di kawasan Oud Soerabaia. "Orangnya selalu ngetik pakai mesin ketik lawas. Manual," kata lelaki asli Kaliasin itu.

Sembari nyeruput kopi tubruk, saya iseng periksa buku daftar telepon Surabaya tahun 1954. Perusahaan-perusahaan Tionghoa, Belanda, Arab, India, hingga pribumi masih eksis di Surabaya. Kembang Djepun, Kalimati, Petjinan Kulon, Tepekong, Kalimas, Bakmi.. dan nama-nama jalan gaya lawas lainnya.

Wow... akhirnya ketemu di buku telepon lawas koleksi orang Belanda itu. Bond van Huiseigenaren Jalan Kembang Jepun 165. Direkturnya Poeh Toeng Chan.

Kalau diartikan secara bebas: asosiasi para pemilik rumah. Mungkin itu yang dimaksud Suryadi sebagai kantor urusan administrasi untuk Surabaya Utara.

Gedung di sebelahnya, Kembang Jepun 163, juga sudah lama tutup. Puluhan tahun. Tapi banyak orang lama yang pernah tahu. Dulunya pabrik es balok. Pabrik es Kalimalang. Jalan pendek di selatan Kembang Jepun itu memang bernama Jalan Kalimalang.

Suasana kawasan itu memang jauh berbeda dengan di foto-foto Kembang Djepoen tempo doeloe yang meriah. Kini sudah meredup dimakan waktu. The glory is over! 

Mama tua pun berkemas-kemas. Mau kembali ke Pesapen.

Jangan mandi Kali Pesapen
Kali Pesapen banyak lintahnya
Jangan kawin noni Pesapen
Noni Pesapen banyak tingkahnya

Ayun ayun ayun in die hoge klapperboom...

Rabu, 30 Maret 2022

Libur Tsing Bing, HUT Khonghucu, HUT Sun Yat Sen

Minggu ini banyak sekali orang yang nyekar di makam. Bawa kembang kirim doa ke ahli-ahli kubur. Maklum, bulan Ramadan segera tiba.

Orang Tionghoa juga ramai-ramai nyekar. Bukan dalam rangka bulan puasa tapi Ceng Beng. Acara nyekar khas Tionghoa itu tempo doeloe disebut Tsing Bing. Setiap 5 April.

Yang menarik, dulu Tsing Bing jadi hari libur nasional hingga 1949. Setelah Belanda kembali ke negaranya, Tsing Bing pun tenggelam. Orang pribumi bahkan tak pernah tahu yang namanya Ceng Beng atawa Tsing Bing itu.

Daftar hari libur tahun 1949 sangat menarik. Kita jadi tahu bahwa dulu, era Hindia Belanda, ada empat hari Tionghoa yang dijadikan tanggal merah atawa libur nasional. Yakni Tahun Baru Tionghoa, Tsing Bing 5 April, Hari Lahir Khonghucu, dan Hari Lahir Sun Yat Sen.

Hari lahir raja, ratu, dan pangeran Belanda juga libur nasional.

Dari daftar hari libur nasional itu terlihat sekali betapa masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda doeloe punya tempat khusus. Meski statusnya oosterlingen, warga negara asing, orang Tionghoa dapat tempat khusus di mata pejabat-pejabat Belanda.

Saya tidak punya daftar hari libur pada tahun 1960-an atawa Orde Lama. Yang pasti, di masa Orde Baru semua yang berbau Tionghoa dihapus. Jangankan libur Tsing Bing, tahun baru Tionghoa alias Imlek pun dihapus. Apalagi Hari Lahir Confucius dan Hari Lahir Sun Yat Sen.

Libur tahun baru Imlek baru muncul lagi setelah Gus Dur jadi presiden. Libur Tsing Bing cuma ada di Tiongkok sana.

Puisi Pater Fritz Menyentuh Hati Gubernur NTT

Manusia tak hanya hidup dari roti tapi juga puisi. Mazmur adalah salah satu antologi 150 puisi. Belum Amsal, Kidung Agung, hingga Lamentasi atau Ratapan.

Karena itu, pater-pater senang puisi. Banyak sekali pastor asal NTT yang jadi penyair. Salah satunya Pater Fritz Meko SVD. Di sela kesibukannya sebagai imam katolik, Pater Fritz rajin menulis puisi. Juga main musik dan menulis lagu-lagu melankolis. 

Bahkan pater asal Timor ini juga bikin rekaman musik. Saya punya beberapa CD pater yang tinggal di Biara Soverdi Surabaya itu. Enak juga menikmati sajak dan lagu-lagunya. Mengajak manusia untuk metanoia. Kembali kepada Beliau.

Selama pandemi Pater Fritz kelihatannya sibuk berkarya. Dan kemarin meluncurkan buku puisi. Launching dilakukan di Kupang bersama Gubernur NTT Victor Laiskodat.

"Rencananya, waktu audiensi 30 menit, tetapi ternyata molor menjadi satu jam karena keasyikan bicara bersama beliau yang juga seorang Intelektualis. Beliau sungguh "Broad minded. Gayung pun bersambut. Kami hanyut dalam diskusi panjang," tulis pater yang lama bertugas di Kalimantan itu.

Menarik. Saya baru tahu Gubernur Laiskodat antusias dengan puisi. Selama ini ia dikenal sangat keras (dan kasar) saat pidato di depan rakyat. Blak-blakan dan kurang bijaksana ala pejabat.

"Dengar baik-baik, saya ini profesor penjahat. Jangan coba-coba lawan saya," begitu kira-kira ucapan Gubernur Laiskodat di Sumba.

Laiskodat sangat marah karena terlalu banyak pencuri sapi di Pulau Sumba. Sudah berkali-kali operasi tapi rupanya maling-maling lebih pintar. Polisi kelabakan. Laiskodat turun tangan.

Bukalah YouTube. Gaya bicara Laiskodat memang meledak-ledak. Tidak ada kalimat diplomasi, bahasa isyarat, apalagi puisi. Marah-marah melulu di NTT. Apakah NTT bisa maju dengan marah-marah?

 "Orang itu politisi keras yang kepala batu," kata seorang NTT di Jawa Timur. 

Karena itu, saya kaget gubernur yang juga kader Partai Nasdem itu ternyata senang puisi. Sajak-sajak Pater Fritz rupanya menyentuh hati sang pejabat. Haleluyaaaa!!!

Selasa, 29 Maret 2022

Kangen sarapan bentoel rebus di Malang

Kisruh minyak goreng sudah hampir empat bulan. Sudah banyak upaya pemerintah. Operasi pasar. HET nasional. Sidak pabrik. Buru mafia dan kartel.

Tapi hasilnya belum juga cespleng. Situasi makin rawan karena mau masuk bulan puasa. Goreng-gorengan laris manis. Permintaan migor, nama populer minyak goreng, naik drastis.

Presiden Megawati punya cara sederhana untuk mengatasi masalah migor. Cara khas ibu-ibu di dapur. Bikin lomba memasak aneka menu tanpa minyak goreng. Boleh masak apa saja asal enak rasanya.

"Telur kan tidak harus digoreng. Bisa direbus atau dikukus," kata Bu Mega di koran pagi ini.

Bukan hanya telur. Nasi pun tidak perlu digoreng. Ikan bakar, ikan panggang, daging bakar atawa sate juga enak.

Sebagai politisi, pimpinan partai berkuasa, omongan dan tindakan Megawati tentu menimbulkan pro kontra. Dianggap tidak menyelesaikan masalah pokok. Akar masalah migor langka apa?

Terlepas dari politik, tata niaga dsb, saya sudah lama menyoroti kebiasaan goreng-menggoreng yang berlebihan. Begitu sulit cari pisang rebus atau singkong rebus di warung-warung di Jawa Timur saat ini. 

Apalagi bentoel rebus atawa kukus. Padahal dulu di Malang di mana-mana ada bentoel yang bukan rokok. Ada semua di warkop-warkop Klojen, Kota Lama, Gadang, Blimbing, Lawang dsb.

Saya sering nostalgia ke warkop-warkop yang tempo doeloe punya andalan bentoel rebus. Tidak ada. Bahkan pemilik warung rupanya tidak kenal umbi yang jadi merek rokok buatan Malang itu.

Yang ada di warkopnya ya gorengan macam-macam. Ote-ote paling laris. Pisang goreng jarang karena mahal. "Saiki gak ono bentoel. Ada tapi kukus sendiri di rumah," kata Hadi arek Malang di kawasan belakang rumah sakit.

Bentoel ini enak sekali. Dulu biasa dijual di lapak PKL Barata Jaya bersama duren, alpukat, mangga dsb. Tidak banyak tapi biasanya tersedia. Saya biasa beli saat tinggal di Ngagel Jaya Selatan. 

Setelah lapak-lapak PKL dibongkar, normalisasi sungai, hilanglah bentoel itu. Para PKL itu entah ke mana. Apalagi di musim pageblug ini.

Bu Mega yang makin tua ingatkan kita, yang juga makin tua, untuk memasak tanpa minyak. Kurangi gorengan. Bikin menu sehat seperti pasien kencing manis.

Hidup bentoel (bukan rokok)!

Senin, 28 Maret 2022

Blog mati karena inersia

Blognya kok tidak aktif? 
Sudah mati ya?
Kok gak ada tulisan baru?

Banyak sekali pertanyaan seperti itu. Memang cukup lama saya tak bikin catatan ringan di laman ini. Catatan berat yang panjang barang laka di era media sosial yang padat, singkat, menarik.

Selama pandemi, dua tahun jalan, minat menulis catatan harian di blog memang sangat rendah. Pagebluk itu terlalu ngeri. Begitu banyak kenalan, teman, hingga keluarga dekat jadi korban keganasan virus corona.

Saya sendiri pernah kena dua kali atau tiga kali. Tidak tes swab tapi gejala-gejalanya sudah jelas covid. Gairah menulis untuk guyon, refleksi, jadi sangat berkurang. Lebih banyak ikut misa online lewat HP.

Karena itu, kadang sebulan cuma dua naskah, tiga, empat paling banyak. Blog yang baik minimal seminggu sekali ada update. Lebih bagus dua naskah seminggu.

Kita orang jadi malu dengan Mr Yu yang tiap hari menulis catatan menarik dan panjaaang.. dan viral. Padahal bos 70-an tahun itu sangat sibuk. Kita orang cuma sibuk nonton video di YouTube, nostalgia tempo doeloe di media sosial, atau piknik ke hutan.

Kebiasaan untuk menulis catatan harian jadi hilang. Inersia, istilah lawas di pelajaran fisika kelas A1 dulu. Kalau sudah inersia, kakaknya malas, maka sangat sangat sulit memulai lagi kebiasaan lama itu.

Inersia harus dilawan meski sulit. Bertahun-tahun tidak jalan kaki pasti tidak akan mau jalan kaki meski hanya satu dua kilometer. Padahal dulu tiap hari jalan kaki ke mana-mana di kampung halaman. Belum ada motor, mobil, sepeda pancal pun tak sampai 10 biji.

Bulan Maret ini saya coba lawan inersia itu. Lumayan, naskahnya sudah bisa di atas 20 biji. Tidak lagi dua atau tiga biji. 

Hapus Perang, Hapus Putin

Tsar Putin ingin hapus Ukraina. Lewat perang. Entah sampai kapan invasi sejak 24 Februari 2022 itu berakhir. Hanya Tuhan dan Putin yang tahu.

Paus Frans pun tak tahu. Pausnya Rusia, Patriarkh Kirill, mungkin tahu karena jadi penasihat spiritual sang tsar.

Paus Frans pekan lalu bikin upacara khusus. Penyucian dan penyerahan Ukraina dan Rusia kepada Bunda Maria, sang ratu damai. Semoga ada intervensi dari Mater Dei agar warga Ukraina kembali hidup dalam damai. Bersama tetangganya, Rusia.

Paus Frans kemarin kembali menyerukan agar perang segera dihentikan. Berita dari Vatikan berjudul:

Pope: Abolish war now, before war erases humanity from history

Hapuslah perang sekarang!
Sebelum perang menghapus manusia!

Hapus perang? Mungkinkah itu?

 Invasi Rusia ke Ukraina kembali menunjukkan betapa tidak mudahnya menghapus perang. Apalagi ada tsar haus kuasa dan darah macam Putin. Satu Putin saja sudah bikin NATO dan Amerika Serikat kalang kabut.

Bagaimana kalau ada tiga atau lima Putin? Bisa jadi manusia terhapus oleh perang di mana-mana.

Paus Frans:

"Before the danger of self-destruction, may humanity understand that the moment has come to abolish war, to erase it from human history before it erases human history!"

"Enough! Stop it! May the weapons be silenced. let us be serious about peace!"

Tsar Putin, Anda sudah tahu, tidak akan baca dan dengar seruan Paus di Vatikan. Ia punya paus sendiri di Moskwa yang selalu senada seirama. Paus Kirill malah pernah bilang Putin merupakan berkat Allah untuk Rusia.

Maka, tidak mudah menghapus perang dan menghapus Putin. Tapi tidak ada yang mustahil bagi Allah.

Minggu, 27 Maret 2022

Ngaji roso pawang hujan di Jolotundo

Semalam ada acara Ngaji Roso di Seloliman, Trawas. Dekat petirtaan Prabu Airlangga, Jolotundo, yang terkenal itu. Ngaji rasa di padepokan Mbah Gatot diikuti beberapa penghayat kepercayaan. Kejawen dan semacamnya.

Rumah panggung Mbah Gatot memang selalu jadi jujukan kawan-kawan dari Sidoarjo, Surabaya, dan sekitarnya. Ngobrol di situ biasanya ngalor ngidul tak ada habisnya. Mbah Gatot kelihatannya tidak terganggu meski fisiknya rentan karena usia.

Topik bahasan kali ini soal pawang hujan. Masih ada kaitan dengan Rara pawang hujan di Pulau Lombok. Yang action saat balapan MotoGP di Mandalika. Yang bikin heboh media sosial. Pro kontra luar biasa.

Mbah Gatot ternyata sudah bicara panjang lebar di YouTube. Di channel Ngaji Roso. Tentang kearifan lokal hingga ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pawang hujan janganlah dilihat sebagai klenik atawa spiritual kejawen. 

"Itu bisa dikaji secara ilmiah," kata Mbah Gatot, pensiunan panitera PN Sidoarjo, penulis beberapa buku sejarah lokal.

Alumnus FH Universitas Brawijaya ini tidak tertarik menanggapi serangan gencar terhadap Rara si pawang hujan. Khususnya dari kalangan agamawan yang menganggap sirik, takhayul, klenik, dsb. Sebab sudut pandangnya berbeda. 

Wong itu ritual kejawen. Di mana-mana ada pawang hujan di Nusantara ini. Mana ada hajatan besar yang tidak pakai pawang hujan? Bedanya, Mbak Rara ini beraksi ala pertunjukan teater atau kesenian tradisional. 

Padahal lazimnya pawang hujan bekerja di balik layar. Antara ada dan tiada. Kalau pamer atau show malah kesaktiannya bisa berkurang. "Pawang hujan biasanya tidak menonjolkan diri," komentar saya sekenanya saja.

Rupanya ada penghayat kejawen dari Sidoarjo yang tidak terima. Ia justru sangat bangga dengan Rara yang mau tampil secara terbuka. Diliput luas di media massa. "Inilah saatnya kejawen tampil di depan umum," katanya.

Bapak itu bilang selama ini kejawen dan aliran-aliran kepercayaan malah dilecehkan di negerinya sendiri. Orang kejawen jadi minder. Ruang geraknya dibatasi. Urus KTP pun susah karena agama lokal tidak diakui oleh negara.

Obrolan pun berlanjut ke aliran kepercayaan, kejawen, sapta darma, pangestu, dsb. Juga nostalgia akan kejayaan Majapahit. Kemudian kalah secara politik dan budaya oleh kerajaan-kerajaan baru.

Saya tak kuat lagi mengikuti pengajian rasa budaya tempo doeloe. Ngantuk.