Sabtu, 25 Mei 2024

RESMI! Pater Budi Kleden SVD Ditunjuk Jadi Uskup Agung Ende

Di akhir pekan ini, Sabtu 25 Mei 2024,  ada kabar menarik. Paus Fransiskus akhirnya memilih Pater Paulus Budi Kleden SVD sebagai Uskup Agung Ende. 

Dengan demikian, takhta lowong di Keuskupan Agung Ende terisi. Pater Budi Kleden menggantikan Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota yang meninggal dunia pada 19 November 2023 di Jakarta pada usia 72 tahun.

Saat ini Pater Budi Kleden yang asli Waibalun, Flores Timur, menjabat  Superior General SVD di Vatikan, Roma. Dialah orang Indonesia pertama yang menjabat superior general kongregasi di Vatikan.

Pater Budi telah menjabat sebagai Superior  General SVD satu periode (enam tahun). 

"Karena sudah terpilih sebagai Uskup Agung Ende, maka tentu di akhir jabatannya sebagai Superior SVD nanti bulan Juli 2024, ia akan kembali ke Indonesia dan mengemban tugas baru sebagai Uskup Agung Ende," kata Pater Fritz Meko SVD di Surabaya.

Selamat untuk Pater Budi Kleden SVD sebagai Uskup Agung Ende yang baru.

Sembahyang Ama Dewa Lera Wulan - Bapa Kami Bahasa Lamaholot

Tite ata Lamaholot toi sembahyang Pater Noster bahasa Latin, Bapa Kami bahasa Indonesia, Rama Kawula bahasa Jawa, Our Father Who Art In Heaven bahasa Inggris.

Bapa Kami bahasa Lamaholot? 

Go hapal hala. Go koi hala. 

Tuan-tuan pater, katekis rae lewo nolo ajar ribu ratu sembahyang bahasa Melayu (Indonesia). 

Koda kiring sembahyang lohumen pe take. Ata Jawa Katolik nong misa bahasa Jawa. Ata Batak misa bahasa Batak. 

Ata kiwanen Lamaholot misa bahasa Lamaholot? Ehhh... take paera.

Versi Bahasa Indonesia:

Kita orang Lamaholot (Flores Timur dan Lembata) saban hari sembahyang Bapa Kami pakai bahasa Indonesia. Dulu biasa disebut bahasa Melayu oleh orang-orang tua di kampung.

Selain bahasa Indonesia, orang Katolik di seluruh dunia hafal Pater Noster bahasa Latin. Kalau tidak hafal bisa baca di buku Puji Syukur atau Madah Bakti. Di internet lebih gampang menemukan teks Pater Noster.

Saya yang sudah lama di Jawa pun sudah biasa berdoa Rama Kawula di misa bahasa Jawa. Our Father Who Art in Heaven - Bapa Kami bahasa Inggris - pun saya hafal. 

Tapi Bapa Kami bahasa Lamaholot?

Saya tidak hafal. Bahkan saya tidak pernah tahu ada Bapa Kami dalam bahasa Lamaholot. Di buku-buku pun tidak ada. Angkatan bapak dan kakek saya pun tidak tahu sembahyang pakai bahasa daerah.

Belakangan baru ada beberapa orang Lamaholot yang mengarang sendiri sembahyang Bapa Kami dalam bahasa Lamaholot. Ada Lamaholot versi Ile Boleng (Adonara), Ile Mandiri (Larantuka), Ile Ape (Lembata), Solor dan sebagainya.

Tidak ada Bapa Kami versi resmi dalam bahasa Lamaholot. Misa dalam bahasa daerah Lamaholot pun tidak ada. Semuanya dalam bahasa Melayu, kemudian bahasa Indonesia.

 Tempo doeloe semua misa pakai bahasa Latin.

Karena itu, saya kagum dengan orang Katolik di Jawa yang ada liturgi dalam bahasa Jawa. Semua doa-doa resmi Katolik ada versi bahasa Jawa. 

Bulan Mei ini bulan Maria. Sebulan penuh ada sembahyang rosario. Saya jadi teringat sembahyang Bapa Kami dalam bahasa Lamaholot.

Saya sendiri tidak hafal meski pernah berusaha mengulang-ulang Bapa Kami ratusan kali. Selain faktor usia yang kian menua, daya ingat berkurang, kata-kata Lamaholot yang dipakai dalam doa Ama Dewa Lera Wulan bukan bahasa sehari-hari tapi bahasa sastra kelas tinggi. Semacam krama inggil di Jawa.

Yang jelas, doa Bapa Kami versi Latin, Indonesia, Inggris, Jawa, Batak, Lamaholot dsb sebenarnya sama saja. Yesus dan murid-muridnya dulu pun tidak berdoa dan berkomunikasi dalam bahasa Latin atau Inggris.

Anehnya, kita tidak pernah diajari teks doa asli Bapa Kami dalam bahasa asli yang diucapkan Yesus Kristus saat mengajarkan doa itu kepada para muridnya. Makanya dulu waktu masih usia SMP saya mengira Yesus berbahasa Latin.


Selasa, 21 Mei 2024

Nostalgia Surabaya: Viaduk Pengampon, Stasiun Semut, Pasar Turi

Cukup banyak viaduk warisan Hindia Belanda di Surabaya. Salah satunya di Jalan Pengampon. Persis di perlintasan kereta api ke Jalan Bunguran.

Sejumlah sumber menyebut Viaduk Pengampon dibangun pada 1926. Resmi beroperasi pada 28 Oktober 1926 - dua tahun sebelum Soempah Pemoeda.

Viaduk atau jembatan di atas jalan ini merupakan proyek dari perusahaan Staatssporweegen (SS), perusahaan kereta api pada masa Hindia Belanda.

Viaduk Pengampon dibangun untuk menghubungkan Sidotopo dengan Kalimas. Pada 1920-an juga dibangun viaduk-viaduk lain di Surabaya.

Meski sudah sangat tua, hampir satu abad, Viaduk Pengampon masih kuat. Bangunannya juga masih original. Karena itu, ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasar SK Wali Kota Surabaya No.188.45/505/436.1.2/2013.

Tak jauh dari Viaduk Pengampon terdapat Stasiun Kereta Api Surabaya Kota. Biasa disebut Stasiun Semut. Sayang, stasiun itu sudah lama digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia.

Bangunan Stasiun Semut juga ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun sampai sekarang mangkrak. Bahkan, ada yang bilang sudah dijual ke pihak ketiga.

Penutupan Stasiun Semut berdampak luar biasa pada bisnis perhotelan dan wisata di kawasan Surabaya Utara. Puluhan losmen, hotel kelas melati, bintang dua atau tiga jadi lesu dan akhirnya gulung tikar.

Padahal, dulu ketika Stasiun Semut masih aktif ada banyak hotel di dekat stasiun, Pasar Turi, Kapasan, Cantian, Bongkaran, hingga Ampel dan Nyamplungan.

Bangunan Hotel Slamet di Jalan Bongkaran sedang dibongkar. Hotel-hotel lain di kawasan itu pun kelihatan merana. Masih lumayan ada hotel baru di Slompretan yang lumayan berhasil bisnisnya.

Senin, 20 Mei 2024

Merokok Mati, Tidak Merokok juga Tetap Mati - Budaya Golo Bako di Lamaholot NTT

Merokok itu sudah jadi budaya di Nusantara sejak zaman purbakala. Laki-laki Lamaholot di NTT kalau tidak merokok dianggap aneh. Setiap tamu yang datang ke rumah pertama kali disuguhi rokok klobot atau lintingan.

"Ama, pai golo bako ki," begitu sapaan orang kampung di Lembata Island, NTT, yang lewat di depan rumah, pondok, gubuk dan sebagainya.

"Golo bako ki" (ngelinting tembakau dulu) menjadi sapaan santun. Semacam unggah-ungguh. Bako arti awalnya tembakau tapi bisa juga rokok.

Siapa saja yang lewat diajak "golo bako" meski orang baru atau belum kenal. Kita dianggap tidak sopan di Lembata (dulu) kalau tidak mengajak orang laki untuk merokok sejenak di rumah.

Bagaimana kalau tidak ada "bako" di rumah? Jangan khawatir. Bisa minta atau pinjam di tetangga sebelah. Nanti dikembalikan atau tidak urusan belakang.

Begitu berakarnya "budaya golo bako" sehingga sulit melarang orang-orang kampung untuk berhenti merokok. Meskipun dikasih tahu ada banyak racun, bahaya nikotin, tar dsb, orang kampung sulit percaya. 

Karena itu, peringatan pemerintah di bungkus rokok, gambar orang yang mulutnya rusak, kena kanker dsb dianggap angin lalu. Golo bako (merokok) dianggap sudah dilakukan nenek moyang.. dan bukan masalah.

Para perantau Lamaholot yang mudik biasanya didatangi orang kampung. Pertanyaan pertama, "Bako tega nai?" (rokoknya mana?)

Kalau lupa membawa oleh-oleh rokok, ya, terpaksa beli rokok di kios. Budaya golo bako (ngelinting rokok) tidak lagi harfiah seperti dulu. Sekarang rokoknya kebanyakan buatan pabrik di Kediri atau Kudus atau Surabaya. 

Golo bako koli - ngelinting daun siwakan - sudah jarang dilakukan generasi muda. Sebab, Gudang Garam, Wismilak, 234, Djarum jauh lebih nikmat dan nagih, katanya.

Saya teringat budaya golo bako di Lembata setelah ngobrol dengan Dukut Imam Widodo di Surabaya. Lelaki asal Malang ini sangat terkenal sebagai penulis buku-buku berbau tempo doeloe. Soerbaia Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe... dan masih banyak lagi.

Dukut sedang mempersiapkan buku berjudul Ngrokok Matek, Gak Ngrokok Matek". Judul yang menarik meski berlawanan dengan peringatan pemerintah.

"Saya memang sengaja memilih judul yang kontroversial," katanya enteng.

Dukut Imam Widodo kemudian menulis:

"Saya sudah berhenti merokok sejak usia 50 tahun.

Lantas melalui buku ini apakah saya akan menganjurkan Sampeyan untuk berhenti merokok? Nggak blas!

Sampeyan katene ngrokok, yoo sak karepmu. Gak katene ngrokok, yoo sak karepmu.

Masalahnya, saya punya saudara sepupu perokok berat. Ia meninggal di usianya yang relatif masih sangat muda 40 tahun. Padahal kariernya sedang menanjak.

Di samping itu saya pun mempunyai saudara sepupu pula yang meninggal pada usia 40 tahun juga. Padahal dia sama sekali bukan perokok.

Mbah Sumo, mbahnya kerabat saya, sepanjang hidupnya adalah perokok berat. Rokoknya klobot, mbakonya rajangan yang dibeli di Pasar Bandar.

Suatu ketika salah seorang cucunya, menemukan Mbah Sumo sudah wafat di gubug sawah. Jari-jarinya masih menjepit sebatang rokok klobot yang masih menyala.

Usia beliau ketika meninggal menginjak 80 tahun. Sudah jelas kiranya bahwa: Hidup dan matinya manusia itu hanya ada di tangan Tuhan.

Kesimpulannya: "Ngrokok Matek, Gak Ngrokok yoo Tetep Matek".

Minggu, 19 Mei 2024

Gereja Katolik Bebas St Bonifacius dan Perhimpunan Theosofi di Surabaya

Di Surabaya, dekat Taman Bungkul, ada Gereja Katolik Bebas St Bonifacius. Bangunannya khas gereja zaman Hindia Belanda. Tidak besar tapi menarik.

Banyak orang Katolik Roma heran ada Gereja Katolik Bebas? 

Apakah ada hubungan dengan Katolik biasa (yang tidak bebas)? 

Liturginya bagaimana? 

Kolom agama di KTP jemaatnya ikut agama apa? Katolik atau Kristen Protestan?

Dulu saya pernah menulis agak panjang Gereja Katolik bebas. Tapi hilang di blog lama. Saya pernah dua atau tiga kali ikut misa di Katolik Bebas itu. Ingin tahu liturginya seperti apa.

Ternyata secara umum hampir sama dengan ekaristi di Katolik Roma. Bahkan sama dengan misa di Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan II. Pastornya membelakangi umat. Ada pagar pembatas area altar dengan jemaat.

Kata-kata liturgi pun boleh dikata 11/12 dengan Katolik Roma. Cuma beda terjemahan saja. Lagu-lagunya tenang, meditatif, banyak pendarasan Mazmur macam di biara-biara.

Bedanya, Gereja Katolik Bebas tidak mengakui Paus di Vatikan. Pusat gerejanya di Belanda kalau tidak salah. Gereja ini sangat mirip Katolik Roma meski di Indonesia digolongkan sebagai Kristen (Protestan). Sebetulnya kurang cocok disebut Protestan.

Gak nyangka, Stefanus Nuradhi, anggota komunitas tempo doeloe, ternyata tahu banyak tentang Gereja Katolik Bebas. Bahkan, dia pernah jadi misdinar alias putra altar di GKB St Bonifacius.

"Berkunjung ke dua bangunan berdampingan di Jalan Serayu 9 dan 11  sama saja kembali ke kenangan waktu remaja dulu. Bagaimana tidak, karena waktu itu saya aktif sebagai anggota PPTI (Perhimpunan Pemuda Theosofi Indonesia Cabang Surabaya "JYOTI", dan juga misdinar di GKB St. Bonifacius," tulis Stefanus.

Gereja Katolik Bebas St Bonifacius Surabaya dibangun tahun 1923. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Loji Mason St Germain, dibangun oleh Nedam dan didesain oleh Jo & Sprey.

Tahun 1926 Gereja Katolik Bebas St Bonifacius diresmikan oleh Bishop (Uskup) regional Hindia Belanda waktu itu J.L. Mazel. Gedung itu secara terus-menerus dipakai untuk ibadah hingga sekarang.

"Bentuk bangunan gereja sendiri sepertinya terinspirasi gereja kecil distrik di Eropa," kata Stefanus yang kini anggota Gereja Katolik (Tidak Bebas) di Jalan Kepanjen, Surabaya.

Di sebelahnya, pada tahun 1929 dibangun gedung loji  St. Germain. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh C.W. Leadbeater pada hari Sabtu 3 Agustus 1929. Peresmiannya oleh A.G. Vreede pada 23 Agustus 1930.

"Dua gedung ini merupakan warisan heritage buat Surabaya, yang sarat dengan sejarah gerakan Theosophical Society yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky dan Col. Olcott di NY 1875 dan menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Tahun 1882 pusat pindah ke Adyar, India."

Dalam perkembangannya Theosofi memiliki dua sanggar. Satunya di Jalan Kedungdoro 4 dengan status sewa untuk kegiatan organisasi dan gathering.

Sedangkan gedung di Jalan Serayu 9 untuk pendalaman esoteris theosofi. Saat ini Perhimpunan Theosofi Tjabang Indonesia (PTTI) telah berubah jadi Perhimpunan Warga Theosofi Indonesia Sanggar Penerangan. 

Jumat, 17 Mei 2024

Dr Daniel Rohi Gagal Pertahankan Kursi di DPRD Jawa Timur

Tidak banyak orang NTT yang berhasil duduk di kursi DPRD Jawa Timur. Khususnya di era reformasi yang pakai pemilihan langsung. Beda dengan pemilu lama yang cuma tusuk gambar partai.

Salah satu dari sedikit orang NTT yang mampu menembus Indrapura - gedung DPRD Jawa Timur - adalah Dr Daniel Rohi. Politikus PDI Perjuangan itu tercatat sebagai anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024. Daerah pemilihannya Malang Raya.

Karena itu, dulu Daniel Rohi sering blusukan ke Malang Raya. Salah satunya kawasan Malang Selatan yang umat kristennya banyak. Itu yang membuat dosen UK Petra ini lolos.

Sebagai petahana mestinya Daniel bisa mempertahankan kursinya di Malang Raya. Lebih muda ketimbang caleg-caleg muka baru.  Tapi kali ini Daniel Rohi gagal. Kursinya hilang.

"Saya masuk rangking 5, sementara PDI Perjuangan hanya dapat tiga kursi. Berkurang satu kursi," katanya.

Perolehan suara Bung Rohi sebetulnya  meningkat 24,80% dibanding tahun 2019.

Tahun  2014 mendapat 20.400
Tahun 2019 mendapat  34.749
Tahun 2024 mendapat  43.366

Namun caleg lain lebih unggul perolehan suara. Kalaupun PDIP dapat empat kursi pun Daniel tetap terpental.

"Dengan demikian, saya tidak mendapat kursi/tidak lolos dalam Pileg 2024," kata lelaki asal Kupang, NTT, itu.

"Mohon maaf atas segala kesalahan/kekilafan  dalam proses tersebut. Saya percaya bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik bagi saya," tulis Dr. Ir. Daniel Rohi, M.Eng.Sc, IPU dalam surat elektroniknya.

Gagalnya Daniel Rohi masuk parlemen berarti tak akan ada lagi baliho besar dipajang di kawasan Jalan Basuki Rahmat, Kayutangan, pusat Kota Malang. Biasanya saban jelang Natal, Tahun Baru, Paskah ada saja baliho Daniel Rohi di tengah kota.

Apa rencana Tuhan untuk Daniel Rohi? Kembali lagi ke kampus? Bersiap maju lagi pada pileg mendatang?

Yang pasti, saya lihat DPRD Jawa Timur selama ini antara ada dan tiada. Ada atau tiada sama saja.

Monggo Dipun Badhog bersama Dukut Imam Widodo - Nostalgia Kuliner Surabaya

Sesekali Ayas nyambangi Dukut Imam Widodo di Wiguna Tengah, Gunung Anyar, Surabaya. Kera Ngalam asli ini dikenal sebagai penulis buku-buku tempo doeloe di Jawa Timur. Kebetulan dia menguasai bahasa Belanda, Inggris, Arab (pernah kerja di Saudi), sedikit Prancis.

Sam Dukut ini kebetulan satu alumni dengan Ayas di Mitreka Satata alias SMAN 1 Malang. Ayas kasih tau ada acara Uklam Tahes - jalan sehat - semacam reuni tipis di Oud School van Ngalam. Sam asli Lowokwaru ini biasanya males ikut uklam tahes atawa reuni-reunian.

Obrolan pun apa lagi kalau bukan buku-buku karangan Dukut Imam Widodo. Salah satunya MONGGO DIPUN BADHOG. Ayas dulu kaget dengan kata badhog. Banyak orang bilang kasar. Tidak sesuai dengan tata krama dan unggah-ungguh Jowo.

Tapi bukan Sam Dukut kalau tidak bisa membuat alasan yang tokcer. Pertanyaan soal "badhog" juga disampaikan saat peluncuran buku itu di CCCL Surabaya.

Ada seorang ibu komplain. Mengapa judul bukunya kok kurang sopan? Kata badhog atau mbadhog itu gimana gitu.

Sam Dukut mengenang:

"Saya tanya ke Ibu itu: Buk, Sampean pernah blusukan di kampung-kampung Suroboyo? Ibu itupun njawab, ndak pernah. Itulah masalahnya.

Untuk soal 'makan', Wong Suroboyo ndak ada yang bilang 'dahar'. Lazimnya mereka bilangnya 'mbadog'. Yang agak kasar sedikit 'nyosrop', atau 'njeglak'. Jadi, itulah alasannya mengapa buku ini judulnya Monggo Dipun Badhog yg nyritakan kuliner tempo doeloe di Surabaya."

Kata-kata bahasa Jawa memang banyak sinonimnya. Dan rasa bahasanya beda. Ada yang netral, biasa, kasar, kasar banget, halus, hingga halus bangeeet. Badhog ini termasuk kata kasar banget, kata ibu itu dan banyak orang Jawa umumnya.

Dukut Imam Widodo menceritakan dengan gaya khas jenaka aneka makanan khas Suroboyo. Bikang, onde-onde, nogosari, kucur, getas, klepon, lopis, klanting, gethuk.

Ada lagi badhogan berkuah seperti soto, rawon, tahu campur, lontong balap, kupang lontong.

"Tapi, Dulur, pernahkah Sampèyan mendengar nama mageli, santinet, gempo, kulpang, klethikan, juwawut, roti benthel, bubur manggul, bongko, selong, lempang-lempung, srebe, kompolan, bledus, bobohan, kreco, jemunek, srinthil, gebedel, dumbleg, grobyak, dan masih banyak lagi nama-nama aneh lainnya.

Bisa jadi Sampean sudah pernah dengar bahkan sudah pernah merasakannya. Tapi bagi yang belum, mungkin akan bertanya-tanya dalam hati: Iki ngono jenenge badhogan opo limbah pabrik?"