Sabtu, 01 Juli 2023

Misa di Kayutangan - Cerita Romo Yohanes Bhaha OCarm tentang Bapak Pemabuk

Setelah ngopi dan baca-baca di Toko Oen, Ayas beralih ke bangunan kolonial di depannya. Gereja HKY Kayutangan, Malang. Sebentar lagi misa kudus. Ayas memang lebih sering misa Sabtu petang ketimbang hari Minggu.

Gereja tua di Kayutangan ini selalu ramai. Masih prokes wajib pakai masker meski pandemi covid sudah berubah jadi endemi. Pastornya juga pakai masker. Romo Yohanes Sirilus Bhaha, O.Carm. Nama bernuansa Flores, NTT.

Logat romo memang sulit ditutupi meski sudah lama di Jawa. Kalau bukan Ende ya Ngada atau Nagekeo. Tidak mungkin dari Lembata atau Adonara. ,,Saya berasal dari Ende," kata Romo Yohanes Bhaha menjawab pertanyaanku.

Romo Bhaha lahir di Ende, 14 Agustus 1986. Tahbisan imamat 15 Oktober 2014. Usia pastor masih muda, 37 tahun. Usia tahbisan belum genap 10 tahun. Tapi homilinya cukup menarik.

Pater Bhaha menceritakan pengalaman mahasiswa STFT melakukan live in di sebuah kampung. Ada seorang cewek, mahasiswi, ketakutan lantaran tuan rumahnya seorang pemabuk. Setiap pulang malam mabuk berat. Omongannya jadi tidak karuan.

Mahasiswi itu mengadu ke Romo Bhaha. Minta segera dipindahkan ke rumah lain. Dia takut bapak tukang mabuk itu. Romo lalu bicara hati ke hati dengan bapak itu. ,,Saya tidak bisa lepas dari itu (arak)," kata sang bapak macam mengaku dosa.

Sentuhan pater karmelit rupanya membuat bapak itu agak luluh. Mabuknya masih tapi dia tidak lagi masuk rumah. Tidur di pondok kecil di halaman rumah. Mahasiswi filsafat teologi itu pun tidak lagi stres. Hingga masa KKN selesai.

Bapak itu tampaknya sangat terkesan dengan mahasiswi yang perlahan-lahan mengubah tabiatnya. Dari seorang pemabuk menjadi manusia yang mulai normal perlahan-lahan. 

,,Ada orang yang dari luar kelihatan kasar tapi hatinya baik. Dan sebaliknya,"  itu kira-kira pesan moral yang dibagikan Romo Bhaha.

Pater ini sama sekali tidak menyebut alamat atau lokasi KKN mahasiswa filsafat yang ada bapak pemabuk itu. Ayas curiga di NTT. Khususnya Flores atau Lembata. Sebab pater kasih semacam clue bahwa yang diminum itu miras tradisional. 

Karena itu, setelah misa Ayas mendatangi Romo Yohanes Bhaha untuk salaman. Sekaligus menanyakan cerita saat homili tadi. Apakah cerita tentang bapak yang mabuk itu di Flores?

,,Di Papua," ujarnya seraya tersenyum.

Wkwkwk... Bukan Flores tapi Papua. Tapi kebiasaan ngombenya mirip-mirip alias 11/12. Sayang, Ayas tidak bisa bicara lebih banyak karena tidak sedikit jemaat, khususnya OMK, yang antre untuk salaman dengan pastornya.

Londo Ireng Makan Biefstuk van de Haas di Toko Oen Malang

Suasana di Toko Oen Malang, Jalan Basuki Rahmat Nomor 5, Kayutangan, Kota Malang.


Hampir saban pekan ada anggota grup tempo doeloe yang posting Toko Oen di Malang. Sesekali juga diunggah di grup Malang Djaman Lawas, Indonesia Tempo Doeloe, Jatim Tempo Doeloe dan sebagainya.

,,Toko Oen die sinds 1930 aan de gasten gezelligheid geeft" begitu tulisan besar yang dipasang sejak dulu. 

Orang senang karena ketuaan Toko Oen. Beda dengan wanita atau manusia umumnya yang makin tua makin kedaluwarsa atawa tidak laku. Oen ini makin tua makin laku.

Doeloe Toko Oen dikenal sebagai toko roti dan es krim. Kemudian meluas jadi resto bernuansa kuliner Hollands. Beef salad 50 (Rp 50.000), chicken salad 50, bakmi 45, fuyunghai 60, nasi ayam 45, hotdog 35, hamburger 35, lumpia 20.

Makanan paling mahal 100, yakni Londoner biefstuk met gebakken ei. Bistik daging lapis 95. Paling murah air mineral cup 220 ml cuma Rp 1.000. 

Kopi hitam tubruk 20. Teh panas 10. Kopi susu 25. Kopi Oen 30. Es buah 25. Es apokat 30.

Ayas tidak asing lagi dengan Toko Oen sejak lama. Betapa tidak. Toko legendaris itu persis berhadapan dengan Gereja HKY Kayutangan. Ayas dulu ikut paroki itu. Saban minggu misa di situ. Bahkan sering mampir baca-baca di toko buku dan perpustakaan Paroki Kayungan.

Ayas dulu juga sering ngobrol dengan seorang pastor Karmelit asal Flores yang bertugas di Gereja Kayutangan. Khotbahnya sangat menarik dan bersemangat. Romo itu juga jago musik, pinter bikin lagu, suaranya bagus sekali. Top banget lah!

Persis di samping Toko Oen ada Toko Buku Gramedia. Dulu hampir semua pelajar dan mahasiswa di Malang jujukannya ke Gramedia di Jalan Basuki Rahmat Nomor 5 itu. Toko Oen Jalan Basuki Rahmat Nomor 3.

Meskipun hampir saban hari lewat di depan Toko Oen, Ayas tidak pernah mampir. Sebab kesannya harga makanan dan minuman di situ mahal. Dan, kita orang sebagai pelajar belum punya penghasilan. Uang di kantong pas-pasan. Kiriman weselpos lebih sering terlambat.

Ayas doeloe tidak tertarik dengan gedung-gedung tua eks Belanda. Rasa nasionalisme yang dipompakan lewat pelajaran PMP, sejarah, PSPB, hingga penataran P4 membuat kita orang jadi sangat antikolonialisme Belanda, Jepang dsb.

Karena itu, Ayas sewaktu remaja tidak terkesan dengan arsitektur Toko Oen, Gereja Kayutangan, Gereja Katedral Ijen, GPIB Imanuel, Biara Ursulin dan Sekolah Cor Jesu Jalan Celaket 55, Frateran BHK di Celaket 21 dsb. 

,,Lebih baik mati berkalang tanah ketimbang dijajah Belanda," kata jargon lama.

Baru 10 tahun belakangan Ayas baru mulai mengapresiasi bangunan-bangunan kolonial. Kokoh, kuat, artistik, superlatif lah! Termasuk mengagumi Toko Oen (bangunannya), Gereja Kayutangan, GPIB di dekat Alun-Alun Malang dan sebagainya.

Karena itu, setiap kali ke Malang Ayas biasanya mampir di Toko Oen. Biasanya cuma pesan teh panas atau kopi panas yang Rp 20 ribu itu. Lalu duduk membaca komen-komen anggota grup bangunan kolonial yang terkait dengan Oud Malang alias Malang tempo doeloe.

Kopi tubruk di Toko Oen ini rasanya sama saja dengan kopi tubruk di warkop pinggir jalan yang Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Tapi nuansa tempo doeloe ,,die sinds 1930" ini yang mahal.

Sabtu, 1 Juli 2023.

 Ayas mampir di Toko Oen. Pesan teh panas aja 10 ribuan. Ramai sekali sore itu. Ada enam atau tujuh turis bule ngomong cas-cis-cus dalam Hollands spreken. Ik begrijp niet.

Di Toko Oen Malang ini setidaknya kita orang bisa mencicipi sedikit gaya dan selera para meneer en mevrouw tempo doeloe. Belajar jadi Londo Ireng!

Koran Tidak Boleh Mati - 74 Tahun Jawa Pos

The Chung Sen mendirikan koran Java Post pada 1 Juli 1949. Ada resepsi meriah di bekas gedung Bank Taiwan, Jalan Kembang Jepun 166 Surabaya. Bangunan bersejarah itu sudah tak ada lagi.

Kantor administrasinya di NV New China, Jalan Kembang Jepun 167-169 Surabaya. Gedung eks Unie Bank era Hindia Belanda itu masih berdiri kokoh. Jadi salah satu bangunan cagar budaya di Surabaya. Eks kantor Jawa Pos itu kini jadi kantor Radar Surabaya, koran lokal anaknya Jawa Pos.

The Chung Sen bukan wartawan tapi semacam rekanan gedung bioskop. The punya tugas mengantar materi iklan untuk koran-koran di Surabaya. Lama-lama The paham rahasia bikin surat kabar.

The berpikir, lebih baik bikin koran sendiri ketimbang terus-terusan jadi tukang antar materi iklan ke koran-koran. Mentaliteit dan kwaliteit khas orang Tionghoa umumnya memang lebih suka jadi juragan atau laopan ketimbang jadi karyawan atau buruh.

The lalu bikin koran sendiri. Java Post. Koran harian berbahasa Melajoe Tionghoa. Terbit perdana pada 1 Juli 1949. 

Java Post ganti nama jadi Djawa Post. Ganti lagi jadi Djawa Pos. Kemudian Jawa Pos. Sampai hari ini. 

Oom The punya anak sekolah di Inggris. Oom makin tua. Tak ada anak atau keluarga yang meneruskan. Akhirnya Jawa Pos diambil alih manajemen majalah Tempo, PT Grafity Press. Sejak 5 April 1982.

Koresponden Tempo di Jatim Dahlan Iskan ditugaskan sebagai pimpinan Jawa Pos. Kerja keras untuk menghidupkan koran lawas yang hampir mati. Oplahnya cuma sebecak alias di bawah 3.000.

Cerita selanjutnya, Anda sudah tahu, Jawa Pos jadi besar. Punya anak dan cucu di mana-mana. Dan masih hidup sampai sekarang. Di era digital. Ketika banyak media cetak mati.

"Koran tak boleh mati," kata mantan Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra.

Selamat hari jadi ke-74, Jawa Pos!

Jumat, 30 Juni 2023

Bahasa Melayu Larantuka (Nagi) Dibawa Pengungsi dari Melaka Malaysia

Oleh Datin Asima Hj Abd Latiff
Penulis/Satrawan Malaysia

Orang Melayu Konga, Flores, 1915 (foto). Moyang mereka dari Melaka lari sesudah Belanda merebut kota dari Portugis, 1641. 

Menurut Boxer (1947), perjalanan mereka dari Melaka, ke Makassar, lalu menyebar ke tempat² lain di timur. Waktu Portugis datang di Semenanjung Melayu, Portugis melakukan kebijaksanaan kahwin campur dengan orang-orang tempatan. Yakni dengan orang-orang Melayu, Cina peranakan, Chetty peranakan, di Melaka, dengan ketentuan mereka masuk agama Katolik. 

Setelah lebih dari 100 tahun, datanglah Belanda menggempur Melaka, banyak orang² peranakan Portugis ini lari ke berbagai penjuru seperti Goa, Koromandel, Ceylon, Macao, Jepun, Makassar, dan Maluku. 

Saat Belanda menaklukkan Makassar, banyak keturunan Portugis ini melarikan diri ke Flores Timur, yakni ke Larantuka, desa Wureh & desa Konga. 

Selain membawa agama Katolik Roma, mereka juga membawa Bahasa Melayu, yang lalu berkembang menjadi Bahasa Nagi, yaitu Melayu Larantuka. 

Orang Flores Timur sendiri sayangnya sudah pun jarang menyebut Bahasa Melayu Larantuka sebagai bahasa Melayu, lebih sering disebut bahasa Nagi, bahasa orang kota. Disebut bahasa orang kota karena  berkembang di Kota Larantuka, selain desa Wureh & Konga. Di luar daerah itu, bahasa yang dipakai adalah bahasa Lamaholot. 

Kamis, 29 Juni 2023

Lembu di Malaysia, Sapi di Indonesia, Lembu Sapi di Alkitab

Hari ini banyak lembu dikurbankan. Warga miskin dapat jatah daging segar. Bagus untuk menambah asupan protein hewani. Lembu adalah sumber protein yang bagus. Kecuali barangkali di Bali.

Ayas sudah lama tidak dengar kata "lembu" di Jawa. Yang dipakai "sapi". Lembu, eh, sapi sumbangan Presiden Jokowi sudah tiba di Masjid Al-Akbar Surabaya. 

Sebaliknya, kalau kita nonton televisi Malaysia, Astro Awani, misalnya, maka tak akan ada kata "sapi" di Malaysia tapi selalu lembu, lembu, lembu, lembu. Apakah "lembu" berbeda (Malaysia: berbeza) dengan "sapi"? Atau sinonim?

Kamus bahasa Melayu Malaysia mencatat:

<< sapi :  sj binatang yg rupanya spt lembu dan berwarna hitam, Bos indicus. >>

Oh, begitu penjelasan tentang "sapi" versi Malaysia. Sapi itu sejenis binatang seperti lembu dan berwarna hitam.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

<< sapi : mamalia berkuku genap yang termasuk ke dalam kelompok ruminansia, bertubuh besar, bertanduk, berkaki empat, dipelihara untuk diambil daging dan susunya; lembu〔Bos spp.〕>>

<< lembu : sapi >>

Kata "sapi" dan "lembu" sama saja di Indonesia. Sinonim. Entah warnanya hitam, putih, cokelat, belang-belang, putih hitam, dsb tetap disebut sapi atau lembu. 

Alkitab bahasa Indonesia terjemahan baru (TB) tahun 1974 yang digunakan hampir semua gereja di Indonesia malah selalu menggunakan kata "lembu sapi". Kata "sapi" jarang bahkan tidak dipakai. 

Karena itu, Ayas dulu pernah bertanya kepada guru agama di sekolah. Lembu sapi itu binatang sapi atau binatang lain? Sama saja, kata Bapa Guru. Sapi ya lembu. Lembu ya sapi.

<< Kejadian 18 : 7
Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, ia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan memberikannya kepada seorang bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya. >>

Bahasa memang selalu berubah seiring perkembangan masyarakat, kemajuan teknologi, interaksi dengan bahasa dan budaya lain dan sebagainya. Begitu juga bahasa Indonesia. 

Bahasa Indonesia tempo doeloe sangat dekat dengan bahasa Melayu yang dipakai di Malaysia. Lama-lama bahasa yang akarnya sama ini berkembang dan akhirnya terasa sedikit berbeda nuansa dan rasa. Orang Malaysia sekarang (hampir) tidak pernah sebut "sapi". Sebaliknya, orang Indonesia pun tidak pernah menyebut "lembu" untuk binatang mamalia Bos indicus itu.

Selamat Idul Adha 1444 Hijriah!

Selasa, 27 Juni 2023

Citra Scholastika Bawakan Mazmur Tanggapan di Gereja Matraman Jakarta

Paroki Santo Yoseph, Matraman, Jakarta, baru saja merayakan hari jadi ke-144, pada Sabtu 24 Juni 2023. Sudah cukup tua gereja itu. Cukup banyak orang Flores yang membagikan gambar dan video perayaan HUT ke-144 Gereja Katolik Matraman di Jakarta Timur.


Paroki Matraman sejak dulu memang kental dengan suasana Flores. Gereja yang sangat Flores. Maklum, romo-romo yang bertugas di Matraman dari Societas Verbi Divini alias SVD alias Soverdi. Dan 90 persen, bahkan lebih pater-pater SVD itu berasal dari NTT, khususnya Flores dan Lembata.

Ada lomba poco-poco, tarian Gemu Famire dari Maumere, pakaian adat NTT dan sebagai. Seru banget, kata teman dari Ngada yang sudah karatan di Paroki Matraman. "Ucapan syukur 144 tahun paroki, Bung!" katanya.

Ayas lebih terkesan dengan Skolastika Citra Kirana Wulan alias Citra Scholastika alias Citra Idol. Artis top yang melejit lewat Indonesia Idol itu jadi bintang tamu di pesta paroki. Bukan bintang tamu biasa penyanyi asal Jogja yang jago membawakan nomor-nomor jazz, swing, blues dan pop kelas berat itu.

"Citra yang menyanyikan Mazmur Tanggapan," kata teman itu.

Wow, luar biasa! 

Artis atau penyanyi yang beragama Katolik sih lumayan banyak. Tapi jarang atau hampir tidak ada yang terlibat langsung dalam liturgi ekaristi. Apalagi jadi pemazmur. Biasanya artis-artis itu cuma menyanyi saat resepsi di luar gereja.

Ayas perhatikan gaya menyanyi Citra saat membawakan Mazmur Tanggapan. Apakah ada improvisasi ala penyanyi jazz atau blues? Ternyata tidak ada. Gayanya sangat klasik khas musik liturgi. Kualitasnya memang di atas rata-rata pemazmur yang bukan artis.

Citra Scholastika rupanya bukan sekali ini saja dipercaya sebagai pemazmur. Saat misa Malam Natal di Gereja Katedral Jakarta tahun lalu pun Citra tampil menyanyikan lagu Mazmur yang resitatif itu. "Deg-degan kalau menyanyikan Mazmur di depan ribuan umat di dalam gereja. Beda dengan menyanyikan lagu-lagu pop di konser," katanya.

Melihat latar belakang keluarganya di Jogjakarta, Citra Idol ini memang sejak kecil sudah aktif di liturgi. Katolik beneran! Karena itu, dia kerap menulis catatan yang reflektif tentang makna Natal, Paskah, dan sebagainya. 

Citra Scholastika pernah menulis:

"Bahwa keyakinan dan kepercayaan Maria akan kehendak Bapa lebih besar daripada ketakutan Maria diawali tiba tiba mengandung dan tiba tiba harus kehilangan anak dengan cara yg menyakitkan.

Teladan inilah yg mau mengingatkan stiap kali saya takut menghadapi hari ini atau esok, namun biarlah "terjadi padaku menurut kehendak Bapa" ."

Deo gratias!
Berkah Dalem!

Sabtu, 24 Juni 2023

Maestro Paduan Suara FX Arie Soeprapto Bahagia di Surga

Ada tiga orang pelatih paduan suara pelajar dan mahasiswa top di Surabaya pada era 80-an dan 90-an. Ketiganya masih berkiprah dan berprestasi pada awal tahun 2000-an. Theys Watopa, FX Arie Soeprapto, dan Musafir Isfanhari.

Ayas dulu sering ngobrol, wawancara, sekaligus menimba ilmu dari ketiga maestro tersebut. Ayas yang pernah aktif di paduan suara mahasiswa dan kor mudika di gereja akhirnya jadi paham rahasia membina paduan suara yang baik. Teorinya sederhana tapi praktiknya sangat tidak mudah.

Karena itu, tidak banyak paduan suara mahasiswa dan pelajar SMA/SMK yang benar-benar bagus di Indonesia. Kuncinya di teknik produksi suara, blending, harmonisasi, dinamika dsb. Ilmu paduan suara itu diketahui hampir semua dirigen atau pelatih.

Theys Watopa yang asli Papua sudah lama berpulang. Hampir semua tim paduan suara pelajar yang dilatih Theys pasti dapat medali emas. Kalau apes ya dapat perunggu. Di tangan Theys Watopa, Gitamsala Choir dari SMAN 5 Surabaya sering jadi juara di Jawa Timur dan tingkat nasional.

Musafir Isfanhari tak hanya pelatih paduan suara tapi juga arranger kor kelas wahid. Tata suara SATB (sopran, alto, tenor, bas) yang dibuat Isfanhari sangat menarik. Ayas paling terkesan dengan aransemen kor Bukit Kemenangan yang dibuat Isfanhari.

Sampai sekarang Pak Isfan masih sesekali melatih paduan suara pelajar di Surabaya. Tapi biasanya kor-kor besar untuk upacara 17 Agustus bersama Gubernur Jatim di halaman Grahadi. Isfan juga sering memimpin paduan suara masyarakat Tionghoa di Pasar Atom.

FX Arie Soeprapto sangat identik dengan SMAK St Louis I alias Sinlui Surabaya. Pak Yapi, sapaan akrabnya, seakan tidak boleh melatih tim-tim lain yang bakal jadi kompetitor. Maklum, Yapi juga guru SMAK Sinlui. Beda dengan Theys yang bisa melatih sekolah apa saja karena tidak punya ikatan khusus dengan sekolah atau komunitas tertentu.

Di tangan Pak Yapi alias Aryono, Sinlui Choir berhasil menjadi tim paduan suara yang sulit dikalahkan di Surabaya, Jatim, bahkan Indonesia. Ia punya trik dan teknik latihan khusus untuk membentuk suara muda-muda SMA yang aslinya masih mentah. Dibuat bulat dan enak oleh Pak Yapi.

,,Harus telaten dan sangat disiplin," katanya suatu ketika.

Belakangan Ayas sering bertemu Pak Yapi saat misa di Gereja Roh Kudus, Purimas, Gununganyar. Kebetulan satu paroki yang digembalakan imam-imam SVD asal NTT. Pak Yapi lebih sering bicara soal fotografi. Dia ternyata jawara sejati fotografi. Maestro fotografi di Surabaya.

Di kalangan wartawan-wartawan di Surabaya, Pak Yapi ini lebih dikenal sebagai master atau suhu fotografi. Mungkin cuma Ayas yang tahu kiprah dan prestasi Pak Yapi di bidang paduan suara. Maklum, Pak Yapi hanya memberikan biodata berupa daftar prestasi di bidang fotografi sejak 1970 sampai tahun 2000 sekian.

,,Itu pun tidak lengkap. Kalau ditulis semua (prestasi/penghargaan) jadi panjang sekali," kata lelaki kelahiran Kediri 20 April 1946 itu.

Kembali ke paduan suara. Sejak medio 2000-an, Pak Yapi agak mundur sebagai pembina Sinlui Choir. Tongkat estafet diserahkan ke Maya Widyaningrum, alumnus Sinlui dan ITS, serta Onni Prihantono, putra Pak Yapi. Oni mewarisi bakat ayahnya.

Sinlui Choir masih stabil prestasinya di berbagai festival paduan suara. Di sisi lain, kualitas kor-kor pelajar di Jawa Timur makin bagus dan merata. Sinlui dan Smala tak lagi dominan. Ini setelah makin banyak anak muda yang jago musik klasik dan piawai membina paduan suara.

Sejak awal pandemi covid, Ayas tak pernah bertemu dengan Pak Yapi. Hingga akhirnya mendapat kabar bahwa maestro fotografi dan paduan suara itu berpulang ke pangkuan Sang Pencipta pada 4 Juni 2023.

Selamat jalan, Pak Yapi!
Matur nuwun!