Rabu, 03 Mei 2023

Pigi ziarah cari ketenangan di Gunung Kawi

"Gunung tidak perlu tinggi asal ada dewanya."

Kata-kata ini sering dikutip Tuan Yu Shiguan pengusaha media dan mantan menteri. Taipan Mochtar Riyadi juga sering kutip pepatah ini.

"Laut tidak perlu dalam asal ada naganya," sambungan pepatah lawas itu.

Gara-gara membaca tulisan Tuan Yu tentang Gunung Kawi, Ayas pun ingin mampir ke sana. Tuan Yu memuji habis perubahan kompleks Gunung Kawi yang makin bersih, teratur, nyaman, aman, dan sebagainya. Itu karena ada renovasi besar saat pandemi covid.

Ayas sudah lama sekali tidak pigi lihat Gunung Kawi. Kali terakhir 2007 - kalau tidak salah ingat. Waktu itu ada pengalaman buruk. Ayas merasa diperas oleh komplotan di tempat ritual yang disebut keraton. Padahal, Ayas cuma ingin wawancara dengan bapak kuncen alias juru kunci.

Sejak itu minat ke Gunung Kawi di kawasan Wonosari, Kabupaten Malang, hilang. Jangan-jangan, jangan-jangan... terulang lagi. Apalagi Gunung Kawi ini dianggap tempat pesugihan, klenik, kuasa gelap dsb yang harus dijauhi. 

"Ngapain ke Gunung Kawi? Apanya yang menarik?" kata kawan penganut aliran karismatik haleluya. 

Tapi Ayas lebih manut Tuan Yu yang santri dan punya pemahaman mendalam tentang budaya dan tradisi Tionghoa. Tuan Yu bahkan membawa kembang untuk Dewi Kwan Im di Kelenteng Gunung Kawi. Kemudian mampir ke Rumah Ciamsi. Lalu nyekar di makam utama alias pesarean paling atas yang terkenal itu.

"Gunung Kawi itu perpaduan Tionghoa, Jawa, dan Islam," kata Yu.

Ayas pun mampir ke Gunung Kawi saat libur Lebaran lalu. Kondisi jalan raya sudah jauh lebih baik ketimbang belasan tahun lalu. Hanya beberapa ruas jalan di kawasan Ngajum yang jelek. Jalan raya di Kecamatan Wonosari, lokasi Gunung Kawi, sangat mulus.

Meski disebut gunung, kawasan wisata religi atau pesarean ini tidak serasa di gunung. Suhu udara hampir sama dengan di Malang. Ayas bahkan bisa mandi sekitar pukul 7 malam. Tidak perlu mandi air hangat. 

"Suhu di Kawi sekarang memang beda dengan dulu," kata seorang ibu pemilik penginapan. "Perubahan suhu karena climate change," kata Koh Ming dari Surabaya.

Koh Ming ternyata pelanggan setia Gunung Kawi sejak puluhan tahun lalu. Kali ini dia membawa rombongan istri, anak, menantu, cucu. Ayas banyak cakap dengan baba yang rajin pigi sembahyang di kelenteng itu.

"Saya punya anak ada yang Katolik, ada Pentakosta, tapi sering ke Gunung Kawi juga. Kita orang dateng ke sini untuk wisata. Bukan cari pesugihan, minta ini, minta itulah," katanya.

"Ayas juga datang untuk wisata. Mau lihat-lihat kondisi Gunung Kawi setelah direnovasi. Ternyata lebih bersih dan bagus. Gak ada lagi pedagang-pedagang dan pasar tumpah di jalan," komentar Ayas.

Koh Ming: "Bersih tapi gak ada cuan, buat apa? Sekarang sepi pengunjung. Orang dagang dapet duit dari mana?"

Ayas: "Tapi sekarang aman, gak ada copet, pengemis. Gak ruwet kayak dulu. Suasananya bagus untuk foto-foto, media sosial, selfie..."

Koh Ming: "Cuannya dari mana? Dulu penuh ini jalan. Sekarang Sampean lihat cuma berapa orang saja."

Siansen ini memang senang bicara. Ngobrol dengan dia tak akan habisnya. Maka, Ayas pamit jalan ke atas. Mampir sejenak di Kelenteng Kwan Im lalu Ciamsi di sebelahnya. Ada tiga orang Tionghoa yang sedang antre melakukan ritual ciamsi. Menanyakan peruntungannya kepada dewa.

Ketika dapat nomor yang dianggap kurang hoki, diulang. Sampai ketemu ramalan yang dirasa positif. Lama sekali wanita 60-an itu bermain-main ciamsi. Semoga dia orang dapat banyak rezeki.

Puncak wisata religi Gunung Kawi ya di pesarean. Makam Eyang Djoego kalau tidak salah. Ayas lihat tidak banyak peziarah yang masuk. Hanya 5 atau 7 orang saja petang itu. Sekitar 20 pengunjung duduk merenung di bangku dekat Makam Eyang.

Suasana hening. Tidak ngobrol ngalor ngidul macam di warung dekat penginapan yang ada Koh Ming itu. Bukan karena sibuk sembahyang, meditasi, wiridan, tapi asyik dengan ponsel masing-masing. Beda banget dengan dulu ketika belum ada HP android dan media sosial.

Menjelang magrib, Ayas turun. Ketemu lagi dengan Koh Ming. Ngobrol lagi soal perkembangan Gunung Kawi, minat warga Tionghoa Surabaya dateng ziarah ke Gunung Kawi, hingga ciamsi, Kelenteng Kwan Im, hingga kuliner di Gunung Kawi.

"Makanan di sini buanyaaaak dan murah. Rasanya juga lezat," kata Koh Ming.

Dui, dui, dui... ciamik!

Selasa, 02 Mei 2023

Roh memang penurut, tapi daging lemah

Ayas ketemu Pak Tan di Bangkalan, Madura, kemarin. Siansen Tionghoa itu dulu sangat aktif di gereja katolik setempat. Dulu Tan rajin ikut retret karismatik di Ngadireso, Tumpang, Malang. 

Karena itu, dia kenal dan kagum Romo Yohanes Indrakusuma, bapak rohani gerakan karismatik di Indonesia, yang sekarang hijrah ke kawasan Bogor. Romo Yohanes bahkan mendirikan ordo baru, CSE. Beliau memang punya magnet luar biasa di Pulau Jawa. Khususnya warga menengah atas yang rindu bahasa roh, kuasa penyembuhan, pengusiran kuasa kegelapan dsb. 

"PDKK itu yang membuat imanku jadi kuat. Kalau nggak ada karismatik mungkin banyak orang Katolik yang hanyut ke gereja lain," kata Tan Siansen.

Sekarang Siansen masih ikut karismatik?  Masih pigi retret ke Tumpang? Masih ikut retret PDKK (Persekutuan Doa Karismatik Katolik)?

"Saya ini sudah tua. Sudah jarang pigi-pigi," kata Tan.

Siansen ini malah lebih sering pigi kelenteng. Nguri-uri tradisi budaya Tionghoa. "Orang Katolik itu tidak kaku. Bisa pigi kelenteng, pigi Sai Baba, dan sebagainya. Semua itu menuju ke Tuhan," katanya.

Ayas jadi ingat Romo SHS di Bangkalan akhir 1990-an. Ayas sempat wawancara agak panjang saat magang di majalah mingguan katolik, HIDUP. 

Ayas dulu kagum banget dengan SHS,  pastor yang sangat intelektual. Rajin baca buku-buku tebal dan berat. Dulu SHS sering menulis artikel untuk koran-koran dan majalah di tanah air. Khotbahnya juga enak dan berisi.

Di mana Romo SHS sekarang? Ayas sudah 25 tahunan gak ketemu. Jejak digitalnya juga tidak disimpan Mbah Google.

"Anda belum tahu ya? SHS sudah lama lepas jubah. Tidak jadi romo lagi. Anda ketinggalan informasi rupanya," kata baba Tionghoa Madura itu.

Ayas kaget betul. Gak nyangka SHS lepas jubah. Maklum, ordonya dikenal ketat, disiplin dalam soal spiritualitas.

Hem... apakah beliau menikah atau..?

"Kawin sama janda kaya punya perusahaan otomotif. Ya, namanya juga perjalanan hidup orang beda-beda. Eman-eman, proses jadi romo itu sangat panjang dan sulit," kata siansen yang biasa antar jemput pastor di Paroki Bangkalan itu.

Ayas tak lagi bertanya soal imam yang lepas jubah. Sebab masalah ini sensitif dan tidak elok dibicarakan secara terbuka. Biasanya diomongkan bisik-bisik di internal jemaat. 

"Kita doakan agar semua pastor, bruder, frater, suster setia pada panggilannya sampai ajal," kata Siansen itu.

Ayas jadi ingat bacaan Injil saat Minggu Palem bulan April lalu. Yesus menasihati para muridnya: 

"Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (Matius 26 : 41)

Yuyun Kho, Biokong Kelenteng Bangkalan, bahagia bersama para dewa

Ayas manfaatkan libur Hari Buruh 2023 dengan ngelencer sejenak di Madura. Sebab unjuk rasa ribuan buruh saban May Day membuat macet di berbagai kawasan.

Di Pulau Madura tidak ada unjuk rasa. Jalan raya dari Jembatan Suramadu hingga tengah kota Bangkalan agak sepi. Maklum, tanggal merah.

Ayas, seperti biasa, mampir di Eng An Bio, kelenteng terkenal di Jalan Panglima Sudirman. Hendak ketemu Tante Yuyun Kho. Biokong asal Salatiga itu sudah jadi pengurus TITD Bangkalan sejak 1990-an. Ayas lama kenal betul Tante Yuyun karena sering ngobrol santai, wawancara, atau sekadar leyeh-leyeh di aula yang luas itu.

"Bu Yuyun sudah nggak ada. Meninggal dunia di Salatiga tanggal 6 Maret 2023 yang lalu. Kita doakan semoga beliau bahagia di surga," kata Tan Siansen yang rupanya jadi pengganti mendiang Yuyun Kho.

Ayas sempat mampir dan ngobrol dengan Tante Yuyun awal Februari lalu. Kondisi fisik wanita yang juga seniman lukis dinding itu agak merosot. Capek dan lambat. Maklum, usianya sudah di atas 70. Kalau tidak salah kelahiran tahun 1945. 

Meski terlihat capek, Tante Yuyun masih menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana tentang ciamsi, kertas sembahyang, hingga cara bertanya kepada dewa-dewi Tiongkok. Juga tentang suguhan yang harus dihidangkan kepada para dewa saban hari di altar masing-masing. 

"Kelenteng Bangkalan ini punya 7 altar. Tuan rumahnya dewa bumi Hok Tik Ceng Sing. Itu dewa yang bawa rezeki. Makanya banyak orang dari jauh dateng sembahyangan ndek sini," kata Yuyun Kho.

Biokong sepuh itu tidak bisa berbahasa Tionghoa. Saban hari berbahasa Jawa campur Melayu Tionghoa khas orang-orang tempo doeloe. Meski sudah 30-an tahun bertugas di Bangkalan, Yuyun ternyata sama sekali tidak bisa berbahasa Madura.

"Bahasa Madura iku angele luar biasa. Kita orang ndak bisa," katanya. 

Yuyun Kho tergolong biokong yang telaten. Saban hari ia menyeduh teh tawar untuk disajikan kepada para dewa.  Tidak sembarang teh tentu saja. Ada doa-doa dan ritual yang diamalkan biokong seperti Tante Yuyun.

Selepas ritual sesajen, Yuyun Kho menggarap aneka hiasan dari kertas emas untuk sembahyangan. Wanita yang mengurus Kelenteng Bangkalan sejak kerusuhan pada 1996 itu (kalau tidak salah) memang seorang seniwati. 

Tante Yuyun biasa melukis figur-figur khas Tiongkok untuk hiasan dinding kelenteng. Membuat kertas keemasan ini jelas pekerjaan enteng buat dia. "Ini ada yang pesan kertas twa kim," katanya.

Satu bunga kertas biasa dijual Rp 30 ribu. Model yang ruwet dibanderol Rp 50 ribu. Cukup mahal karena harga kertas di Kapasan, Surabaya, naik. Belum lagi skill dan ketelatenan yang tidak dipunyai sembarang orang.

"Pesenan rodo seret karena covid," katanya.

Itulah obrolan terakhir dengan Tante Yuyun di Kelenteng Eng An Bio, Bangkalan. Sekarang beliau sudah bahagia bersama para dewa di jagat nirwana nan abadi.

Selamat jalan, Tante Yuyun!
Kamsia! Matur nuwun! 

Kamis, 27 April 2023

Selamat jalan, Rahima Mado, teman sekelas di SMA tempo doeloe

Suasana Idul Fitri 1444 Hijriah ini terasa sendu. Hari kemenangan itu diwarnai dukacita. Ayas rasakan sekali di grup alumni satu kelas Mitreka Satata alias SMAN 1 Malang.

Ipong, juragan warkop Koppen di Klojen dan Jalan Ijen, membagi informasi:

"Kepada saudara2 yang kami hormati, InshaAllah acara kirim doa 100 hari Alm. Ratno Aryo Wicaksono, akan diadakan pada 23 April 2023 pk 19.00 (bada' isya) bertempat di rumah Sengkaling Indah 2 Jalan Kemuning nomor 2 Dau, Malang."

Ratno alias Daker, yang jago main drum, aktif di band rock sejak SMP sampai tutup usia, ternyata sudah berpulang 100 hari lalu. Ratno yang ceria dikenal sebagai aktivis pemberdayaan wong cilik di Pujon dan sejumlah kawasan Malang Raya. 

Lima hari setelah Idul Fitri (versi pemerintah dan NU), Rudi Kristianto membagi berita dukacita. 

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun... Kawan kita Rahima Mado telah meninggal dunia tadi pagi (27/4/2023).  Di rumah beliau di Jogja krn sakit (kanker)"

Lalu muncullah doa-doa untuk almarhumah Rahima Mado di grup. Nawak-nawak (kawan-kawan) yang selama ini tidak aktif berkomentar di grup eks satu kelas Fisika itu membagikan doa-doa khas era digital. Ayas yang kurang aktif juga menulis doa pendek.

"Selamat jalan, Rahima Mado. RIP," Ayas menulis.

Ira Rachmasari, teman sekelas yang jadi dokter di Jogja, dapat amanah untuk taksiah ke rumah duka. Ira sendiri ternyata tidak tahu kalau teman sekelasnya di Smansa Malang itu tinggal di Jogjakarta. 

"Anaknya Rahima tinggal di Jogja sejak tahun 2010. Alhamdulillah, di akhir hayatnya banyak menyebut nama Allah,  semoga akhir yg baik, husnul khatimah," tulis dr Ira.

Rahima ini termasuk alumni sekelas yang sulit terlacak. Karena itu, dia tidak masuk grup. Ada beberapa kawan yang seperti itu. Fokus dengan urusan dan kesibukannya. Apalagi di masa pandemi covid. Masa lalu zaman persekolahan ya sudah lewat. Jauuuh!

Tahun 2023 ini ada dua kawan sekelas yang berpulang ke alam baka. Ratno dan Rahima. Beberapa tahun sebelumnya Sri Astuti lebih dulu berpulang.

Semoga Rahima, Ratno, dan Astuti tenang dan bahagia bersama Sang Pencipta. RIP! 

Minggu, 23 April 2023

Rumah pemalaman tempo doeloe di Kota Lama Malang

Musim libur Lebaran 2023 ini Ayas sempat jalan-jalan di Kota Lama, Malang. Kawasan pecinan yang ada Eng An Kiong, kelenteng terkenal. Ayas tidak asing dengan kawasan itu. Dulu biasa tinggal di paman punya rumah di Jalan Martadinata alias Kota Lama itu.

Ayas sempat tengok hotel bergaya tempo doeloe. Orang lama biasa bilang Losmen Mansion. Nama resminya sekarang Losmen Megah MS. Turis-turis ransel atawa backpackers, komunitas sepeda pancal yang touring, rombongan dari kampung biasa nginap di losmen ini.

 Maklum, tarifnya murah. Apalagi yang kamar mandinya di luar. Tidak ada kipas angin, apalagi AC. Tapi hawa Malang yang sejuk memang tidak perlu AC segala.

Ayas tidak bahas losmen atau hotel tapi istilah tempo doeloe. Di losmen itu terpasang tulisan: Perusahaan Rumah Pemalaman Losmen Mansion.

Wow... rumah pemalaman!
Ayas baru kali ini baca kata bentukan "pemalaman". Apalagi "rumah pemalaman". Orang tempo doeloe memang punya banyak istilah sederhana yang aneh untuk selera masa kini. Khususnya baba-baba Tionghoa yang terbiasa berbahasa Melayu Tionghoa.

Ayas langsung periksa kamus. Apakah ada kata "pemalaman"? Ternyata memang ada. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

<< permalaman: n rumah dan sebagainya tempat bermalam; penginapan >>


Kamus Bahasa Melayu Malaysia:

<< pemalaman, permalaman ark tempat (rumah dll) bermalam, penginapan >>

Kata "pemalaman" ada di KBBI tapi dianggap tidak baku. Yang baku "permalaman".

Di kamus bahasa Malaysia kata "pemalaman" tapi diberi keterangan sebagai kata arkaik. Kata tempo doeloe, old school, yang tidak dipakai lagi.

Rumah Pemalaman Mansion di Jalan Martadinata 15 Malang ini mendapat izin dari Kotamadya Malang pada 24 Februari 1977 alias 46 tahun lalu. Tapi bangunannya yang model kolonial diyakini sudah ada sebelum kemerdekaan.

"Zaman Londo sudah ada kayaknya. Sampai sekarang masih relatif asli," kata Mas Kus, pegawai rumah pemalaman kepada Ayas. "Sampean bisa bedakan mana bangunan baru dan bangunan era kolonial," tambah pria asli Malang itu.

Tahun 1977 istilah "rumah pemalaman" ternyata masih digunakan di Kota Malang. Sekarang istilah itu terasa janggal. Bahkan kata "losmen" pun sudah jarang dipakai. Sekarang losmen, inn, pemalaman, homestay disebut hotel. Pemalaman Mansion di Malang ini mungkin lebih cocok disebut hotel melati. 

Jumat, 21 April 2023

Lebaran "dore pemerenta" atau "dore heku" (ikut siapa)?

Satu agama, beda mazhab, beda denominasi dsb. Semua aliran, mazhab, sekte punya hujah dan dalil-dalil. Semuanya punya klaim paling benar. Itu berlaku di agama mana pun. 

BBC Indonesia menulis:

"Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syattariyah, dan An Nadzir meyakini Idul Fitri jatuh pada Hari Kamis 20 April 2023. Sementara pemerintah masih menunggu sidang Isbat, dan Muhammadiyah menentukan Lebaran pada 21 April 2023."

Ada kawan bagi informasi di grup media sosial rekapan 1 Syawal dan Idul Fitri 1444 H di Indonesia:

✅ Rabu, 19 April 2023 = Jemaah al-Muhdhor, Wates, Tulungagung. 

✅ Kamis, 20 April 2023 = Jemaah Nasqabandiyah, Sumut dan Tarekat Sattariyah, Aceh

✅ Jumat, 21 April 2023 = Muhammadiyah

✅ Sabtu, 22 April 2023 = Pemerintah RI, NU, PERSIS, LDII

✅ Ahad, 23 April 2023 = Jemaah Aboge, Purbalingga, Jateng.

Lalu kapan hari raya Lebaran di NTT, khususnya Pulau Lembata? Beta sempat tanya kepada seorang Ama Watanen, tokoh muslim di kampung.

"Kame dore pemerenta!" katanya dalam bahasa daerah Lamaholot.

Artinya, "Kami ikut pemerintah!" 

Ata Watanen, sebutan orang Islam di daerah pelosok Lembata, memang dari dulu "dore pemerenta" (ikut pemerintah) untuk penentuan awal puasa, Lebaran, dan Idul Adha.

Karena itu, dulu, waktu beta masih kecil, Ama Ansyar Paokuka, imam masjid kampung, selalu nguping radio transistor. Memantau hasil sidang isbat pemerintah pusat di Jakarta. Apa pun keputusan "pemerenta" (pemerintah) selalu diikuti.

Setelah merantau ke Jawa baru beta tahu ternyata penentuan awal puasa, Idul Fitri, Idul Adha tidak harus ikut pemerintah. Juga tidak harus meneropong hilal macam model Muhammadiyah. 

 Jemaah Nasqabandiyah di Sumut, Tarekat Sattariyah di Aceh,  Jemaah Aboge di Purbalingga punya metode lain lagi. Semuanya punya hujah dan dalil. 

"Riyoyo gak bareng adalah bukti bahwa ajaran syariat iku gak mutlak. Gak mutlak dalam artian syariat itu gak harus kaku, luwes, dan bisa disesuaikan.  Syariat gak harus memaksakan kehendak dan keyakinan pada orang lain," kata Fathur Rojib, seniman dan santri asal Buduran, Sidoarjo, dalam diskusi enteng-entengan, Jumat 21 April.

Selamat Idul Fitri untuk semua orang Islam di Indonesia dan seluruh dunia.

Minal aidin wal faidzin! 

Kamis, 20 April 2023

Mengenang Teror Kepala Manusia di Kantor Koran SI Tahun 1984 di Malang

BBC Indonesia pekan lalu memuat liputan tentang kasus penembakan misterius (Petrus) pada 1982-1985. Salah satu kota yang jadi target operasi Petrus adalah Malang. Sebab banyak preman alias korak alias bromocorah berkeliaran di kota dingin itu.

Wartawan BBC Heydar Afan menulis:

"Pada Rabu dini hari, 16 November 1984, sekitar pukul 03.00, kantor redaksi SI dikirimi paket berisi potongan kepala manusia. Potongan kepala yang ditengarai potongan kepala korban 'petrus' ini diletakkan persis di pintu masuk kantor redaksi.

"Peter Rohi menjadi salah satu saksi mata teror akibat sejumlah berita dan tajuknya," ungkap Stanley, mantan komisioner Komnas HAM asal Malang. 

Atas kejadian tersebut, SI memutuskan untuk tidak terbit keesokan harinya. "Itulah teror terdahsyat yang pernah dialami pers pada masa rezim Orde Baru. Namun tundukkah Suara Indonesia?

"Ternyata Peter Rohi dan kawan-kawan justru terus melawan dan memberitakan soal 'petrus'," ungkap Stanley. 

Beta jadi ingat mendiang Peter A. Rohi. Juga Suara Indonesia alias SI. Koran sangat terkenal di Malang pada 1980-an. Aku beberapa kali menanyakan kasus teror kepala manusia saat bertemu Bung Peter di Kampung Malang, Surabaya.

Wartawan kawakan asal Pulau Sabu, NTT, itu antusias bercerita tentang liputan-liputan investigasi di SI tempo doeloe. Salah satunya tentang kasus Petrus di Malang. 

"Beta sonde takut dengan itu teror. Beta malah perintahkan semua wartawan untuk bikin reportase soal Petrus tiap hari," kata mending yang logat Kupangnya yang khas.

"Sonde ada tekanan dari pemerintah atau ABRI-kah?" Beta pancing sedikit biar Bung Peter tambah semangat. 

 "Pasti ada lah. Tapi kita tetap laporkan kasus Petrus. Pers tidak boleh gentar dengan intimidasi, tekanan dsb. Kita kerja jadi wartawan itu vivere pericoloso. Nyerempet-nyerempet bahaya maut. Tapi hidup mati ada di tangan Tuhan. Kalau takut mati ya jangan jadi tentara atau wartawan," kata Bung Peter yang pernah jadi anggota KKO (sekarang Marinir).

Cerita mendiang Peter A. Rohi sama persis dengan liputan BBC Indonesia itu. Termasuk soal kematian petinju Johny Mangi secara misterius. Johny aslj Sumba, NTT, tapi besar di Malang. Dia juga diduga jadi korban operasi penumpasan premanisme era 80-an.

Minggu lalu beta blusukan di Jalan Hasyim Ashari Nomor 7 Malang. Alamat kantor redaksi Suara Indonesia era 1980-an. Peter Rohi jadi pemimpin redaksi (meski di boks redaksi ditulis redaktur pelaksana). Hampir tak ada bangunan lama yang tersisa. Kantor redaksi SI jadi ruko jualan kaos olahraga, sepatu dsb. 

Ada seorang abang becak mangkal di dekat situ. Beta sempat pancing itu bapak tua. Apakah dia tahu eks kantor koran SI di Jalan Hasyim Ashari?

"Kulo mboten ngertos," jawabnya halus. Yo, wis!