Senin, 21 November 2022

Kadaver Hermawan Kartajaya Arek Kapasari Gang V



Kata ini tak pernah saya dengar selama 10 atau 20 tahun. Juga tidak pernah baca di koran atau majalah baik cetak maupun digital. Kadaver atau cadaver.

Tapi saya ingat kadaver ada kaitan dengan mayat atau jenazah manusia. Minggu ini kata kadaver sering muncul di koran. Saya juga sempat sunting naskah mentahan tentang kadaver ini.

Maka saya cek lagi kamus bahasa Indonesia. Cadaver tak ada. Kadaver ada. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menulis:

ka.da.ver /kadavêr/
jenazah, biasanya digunakan mahasiswa kedokteran untuk praktikum anatomi

Kata kadaver (banyak media pakai "cadaver") jadi hidup gara-gara Hermawan Kartajaya. Begawan marketing ini berulang tahun ke-75. Begitu banyak acara digelar untuk memaknai perjalanan arek Kapasari Gang V Surabaya itu.

Salah satunya nostalgia ke rumah masa kecil di gang sempit yang sudah dijual. Kemudian dijual lagi oleh yang membeli dulu. Hermawan yang kondang banget itu ternyata anak kampung.

Hermawan juga pesan sembahyang misa di SMAK St Louis I Surabaya. Dulu ia sempat mengajar matematika di situ. "Setahun cuma misa satu kali! Rupanya Hermawan masih Katolik," canda kenalannya. 

Acara paling spesial ya kadaver itu. Pada 18 November 2022, tepat hari jadi ke-75, Hermawan Kartajaya datang ke kampus FK Universitas Airlangga. Menandatangani wasiat penyerahan jenazahnya saat berpulang kelak. Kadaver Hermawan untuk praktik atau riset mahasiswa kedokteran.

Banyak orang yang tercengang. Pihak keluarga pun awalnya keberatan. Tapi bukan Hermawan kalau tidak mampu me-marketing-kan idenya. Akhirnya sepakat.

Hidup kadaver!
Hidup Hermawan!
Dirgahayu! 

Minggu, 20 November 2022

Tak ada lagi sate kelinci di Jolotundo Trawas

Sudah lama tak ada sate kelinci di kawasan Jolotundo, Trawas. Tepatnya sejak pandemi covid melanda tanah air. Virus corona juga bikin mati kelinci? Tidak juga.

"Tapi serangan penyakit kelinci datangnya bersamaan dengan covid," kata Surani kepada Ayas. 

Ayas dulu memang sering mampir di warung tengah hutan itu. Di Desa Kedungudi, Kecamatan Trawas. Surani membuka warung dengan menu andalan kelinci. Sate kelinci, bakso kelinci, rica-rica kelinci.. serba kelinci lah.

Pak Rani kerja lama jadi koki di salah satu hotel terkenal di Tretes. Hotel Surya. Karena itu, ia paham betul cara mengolah daging kelinci jadi sate yang enak. Kuncinya di jenis kelinci, kemudian bumbu-bumbu.

"Silakan Anda bandingkan sate kelinci punyaku dengan di Tretes atau tempat lain," kata pria yang tidak tamat SMA itu.

Surani bilang kelinci yang bagus untuk sate atau kuliner itu jenis NZ: New Zealand. Besar badannya, dagingnya empuk, enaaak. Beda dengan kelinci-kelinci lokal yang makan rumput. "NZ itu makan pelet. Saya sudah paham banget bahan-bahan untuk pelet makanannya kelinci NZ."

Surani tak hanya jago masak kelinci tapi juga beternak kelinci. Awalnya sedikit, lama-lama jadi banyak. Jenis NZ. Dialah yang paling banyak memasok kelinci untuk disate di Tretes, Trawas, dan beberapa tempat lain.

Malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba datang serangan penyakit misterius itu. Kelinci-kelinci peliharaannya mati semua. Kecuali kelinci lokal yang tidak laku untuk sate atau rica-rica. "Kerugian jangan ditanya lagi. Wuakeeeh," katanya.

Itulah sebabnya tak ada lagi sate kelinci, bakso kelinci, rica kelinci di warung lesehan yang disebut Winnova. Banner di pinggir jalan itu pun sudah diturunkan. Sekarang hanya ada sate ayam.

Ayas duduk mendengar Surani bercerita tentang suka duka angon kelinci di Trawas. Labanya luar biasa karena permintaan sangat tinggi. Apalagi ada embel-embel daging kelinci bisa kurangi kolesterol jahat dsb. "Tapi begitu kena penyakit ya habis," kata lelaki yang senang nonton wayang kulit di YouTube itu.

Ada rencana beternak kelinci dan jualan sate kelinci lagi? Surani menggeleng. Sebab saat ini belum aman dari virus aneh itu. "Kalau kelinci lokalan sih tahan penyakit. Tapi dagingnya alot dan kurang enak," katanya.

Surani sepertinya kapok memelihara kelinci NZ dalam jumlah besar seperti dulu. Namun ia punya rencana beternak kelinci lokal dengan pakan khusus yang sudah dimodifikasi. Agar rasa satenya lebih enak dan empuk.

Mudah-mudahan sate kelinci khas Trawas ini bisa muncul lagi. Orang Surabaya kayaknya tidak peduli kelinci NZ, Australia, Jerman, Belanda, Rusia, Jawa, dsb. Pokoke sate kelinci aja, titik! 

Menikmati Orkes Koplo Bojo Loro


Orkes-orkes koplo dengan biduanita kampung manggung lagi. Ngamen di pinggir jalan. Mulai Krian, Balongbendo, Mojosari, Trawas dan sekitarnya.

Empat pemusik - kibod, bas, gitar, kendang - sudah lebih dari cukup. Ditemani dua biduanita kampung. Ada yang rada nom, STW (setengah tuwek), semok, gendut.

Makin bening kulit penyanyi sekarang. Tak kalah dengan di televisi atau YouTube. Teknologi dan obat-obatan untuk perawatan kulit sudah lama masuk ke kampung-kampung. "Suara nomor dua. Sing penting ayu, bodinya bagus," kata Cak T juragan orkes di Wonoayu dekat Krian.

Akhir pekan ini saya nikmati live music kelas kampung di kawasan Mojosari. Orkes asal Krian. Dua penyanyi wanita juga dari Krian. Wajah standar. Agak seksi khas artis koplo.

Lagu Bojo Loro (bukan Lara) rupanya digemari penonton paman-paman dan mbah-mbah. Lagu ini aslinya Mandarin. Kalau tak salah dari film Pendekar Ulat Sutra. Tian Can Bian alias Thien Chan Pien. 

<< Abang biru lampune disko
Awak kuru dek, mikir bojo loro
Bojo sing enom njaluk disayang
Sing tuwo njur wegah ditinggal

Telung dino mulih rono
Telung dino bali neng kene
Sing sedino kanggo sopo
Sing sedino kanggo wong liyo >>

Entah kenapa setelah diadaptasi ke Indonesia, khususnya Jawa, jadi Bojo Loro. Syair agak slengekan. Jenaka. Pusing karena harus membagi kasih untuk dua istri. Apalagi bojo papat atawa bojo telu. Bojo paling banyak papat kata ahli syariat.

Cukup meriah ngamen musik kelas kampung ini. Meski belum seramai sebelum pandemi 2020. Penonton terhibur menikmati goyangan biduanita nan aduhai. Mbak-mbak biduanita juga senang dapat saweran dari om-om.

Di sini senang, di sana senang
Di mana-mana hatiku senang

Anwar Ibrahim klaim menang pilihan raya umum

Pilihan raya umum (PRU) atawa pemilihan umum di Malaysia langsung diketahui hasilnya. Tidak perlu menunggu sampai satu bulan macam di sini. Karena itu, lembaga-lembaga survei atau quick count tidak laku di negara jiran itu.

Nurul Izzah dari Pakatan Harapan (PH) kalah. Padahal, putri Anwar Ibrahim dan Wan Azizah ini saya jangka bakal jadi perdana menteri (PM) suatu ketika kelak. Bapak ibunya menang.

Hasil PRU-15 Malaysia ini sudah bisa ditebak. Tak ada koalisi yang dapat mayoritas 112 - syarat minimal untuk membentuk pemerintahan. Parlemen tergantung, istilah di Malaysia. Karena itu, koalisi Pakatan Harapan dan Perikatan Nasional (PN) yang berhak lobi-lobi dagang sapi agar dapat kursi mayoritas di parlemen.

Anwar Ibrahim langsung jumpa pers. Mengklaim PH sudah punya angka (minimal 112) untuk bentuk kerajaan. Artinya Anwar bakal jadi perdana menteri.

Sebaliknya, Muhyiddin Yasin dari PN juga mengklaim menang sehingga berhak membentuk pemerintahan. UMNO bersama Barisan Nasional kalah telak. Padahal UMNO merupakan partai terbesar sejak Malaysia merdeka hingga 2018. 

Pakatan Harapan pimpinan Anwar Ibrahim, bersama DAP yang dominan Tionghoa, mengubah peta politik Malaysia. Oh ya, Tun Mahathir Mohamad kali ini kalah telak di Langkawi. Isyarat kuat bahwa Tun M harus tetirah dari politik. Usianya jelang 98 tahun.

Siapa yang bakal jadi PM Malaysia? Kalau bukan Anwar, ya Muhyiddin. Saya pernah jabat tangan kedua tokoh ini. Muhyiddin yang pernah jadi timbalan (deputi) PM Malaysia, kemudian PM Malaysia, bahkan pernah diskusi cukup lama dengan awak redaksi media di Surabaya.

Saya ikut diskusi itu. Cukup menarik Datok Muhyiddin ini. Datok Sri Anwar Ibrahim lebih menarik lagi. Pernah jadi timbalan PM, kemudian dijebloskan ke penjara beberapa kali. Disiksa, dihina, dilecehkan, tapi kemudian jadi ikon perjuangan reformasi di Malaysia. Anwar Ibrahim (dulu) sangat sering berkunjung ke Indonesia. Tampil di Mata Najwa dan sebagainya.

Saya pernah bertanya kepada ketua dan komisioner KPU di Jawa Timur. Apakah mungkin tahapan pemilu dan pilkada di Indonesia dipercepat? Disederhanakan?

Tahapan pemilu cuma satu bulan atau dua bulan macam di Malaysia? Hasil pemilu bisa langsung diketahui? Tidak perlu menunggu satu minggu atau satu bulan?

"Sulit, Cak," kata mantan ketua KPU di daerah. "Tahapan pemilu legislatif, pilkada, pemilihan presiden di Indonesia berbeda jauh dengan di luar negeri. Belum lagi faktor geografis. Indonesia ini luas banget, Cak!"

Benar, Indonesia luas banget. Tapi hasil pilkada di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik pun perlu waktu seminggu lebih sebelum diumumkan secara resmi. KPU di Indonesia perlu belajar bergadang sampai pukul 5 pagi ke Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) di Malaysia. 

Jumat, 18 November 2022

Pemilu Malaysia - Kesempatan Terakhir Anwar Ibrahim

Pemilihan umum atau pilihan raya umum (PRU) di Malaysia sangat menarik. Sabtu 19 November 2022, rakyat Malaysia yang berusia 18 tahun ke atas ramai-ramai turun mengundi anggota parlemen.

Pemilu di Malaysia sangat berbeda dengan di Indonesia. Malaysia sistem parlementer. Distrik murni. Caleg yang menanglah yang mewakili daerah pemilihan (dapil).

Sebanyak 945 calon bersaing untuk mengisi 222 kursi parlemen. Gabungan atau koalisi yang menguasai 112 kursi berhak memerintah. Jadi perdana menteri (PM). Kalau tak ada gabungan yang dapat 112 kursi, maka harus negosiasi dengan partai lain agar bisa "menubuhkan kerajaan" alias membentuk pemerintahan.

Saya lumayan hafal sistem politik di Malaysia sejak Tun Mahathir Mohammad, 97 tahun, terpilih sebagai perdana menteri tertua di dunia pada 2018. Saat itu Dr Mahathir jadi pimpinan koalisi Pakatan Harapan (PH).

Mahathir dan PH ambruk. Diganti Muhyiddin sebagai PM setelah keluar dari PH. Muhyiddin pun tak lama menjabat PM karena koalisinya tumbang setelah UMNO menarik dukungan. Otomatis tidak dapat angka 112 kursi parlemen.

Muhyidin digantikan Ismail Sabri dari UMNO sebagai perdana menteri. Itu pun tak lama juga. PM Ismail bubarkan parlemen pada 10 Oktober 2022 sehingga harus ada pemilu dipercepat. Kalau normal seharusnya PRU 15 baru diadakan tahun depan.

Inilah hebatnya Malaysia. Setelah parlemen  bubar, maka harus ada pemilu paling lambat 60 hari. Tapi KPU di sana memutuskan pemilu atau pilihan raya umum diadakan sebulan lebih sedikit setelah parlemen vakum. 

Bagaimana persiapan logistik, kertas suara, daftar pemilih tetap dsb? 

Malaysia sangat canggih. KTP elektronik itu sudah sah sebagai kartu pemilih. Siapa pun yang sudah berusia 18 berhak mengundi (memilih) caleg di kawasan tempat tinggalnya. Tidak bisa di kawasan lain. 

Orang Sabah yang tinggal di Kuala Lumpur harus pulang kampung  untuk nyontreng. Karena itu, orang Malaysia yang tinggal di luar negeri ramai-ramai balik kampung untuk PRU 15. Khususnya warga Tionghoa yang hampir semuanya pendukung DAP, partai aliran progresif, modern, dan agak sekuler. Tionghoa sangat kuat di Malaysia karena populasinya banyak.

Saya tidak bisa bayangkan Indonesia mampu mengadakan pemilu secepat itu. Persiapan hanya satu bulan. Saat ini KPU di Indonesia sudah sibuk ngurus pemilu meski baru diadakan tahun 2024. Artinya, Indonesia butuh persiapan dua tahun. KTP di Indonesia pun tidak bisa digunakan sebagai syarat sebagai calon pemilih.

Lantas, siapa yang bakal jadi PM Malaysia?

Sulit ditebak. PH tidak sekuat tahun 2018. Barisan Nasional (BN) yang didominasi UMNO pun tak lagi solid. Apalagi pimpinannya, mantan PM Najib Razak, masuk penjara gara-gara korupsi. Koalisi Perikatan Nasional (PN) masih menyuarakan sentimen anti-Tionghoa, kontra DAP, cenderung menyudutkan bukan Islam dan bukan Melayu.

Tun Mahathir bikin koalisi Gerakan Tanah Air (GTA) yang dianggap pupuk bawang. Apalagi usia Tun M sudah 98 tahun. Tidak lagi garang seperti tahun 80-an dan 90-an. 
 
"Nampaknya tiada gabungan yang akan menang cukup kerusi untuk bentuk Kerajaan," tulis Mahathir yang pernah jadi PM Malaysia selama 22 tahun.

Apakah Anwar Ibrahim bakal jadi PM Malaysia?

Tergantung hasil Pakatan Harapan besok. Kalau tidak mampu meraih 112 kursi, ya wassalam. Mahathir pun wassalam. Ismail Sabri dari Barisan Nasional pun belum tentu kembali ke Putrajaya.

Muhyiddin Yasin dari PN? Belum pasti juga. Dan.. kabinet di Malaysia bakal jatuh bangun lagi seperti era parlementer di Indonesia tahun 50-an. 

Minggu, 06 November 2022

Kompas makin tipis kian menghilang

Sudah lama saya tak baca Kompas. Kali terakhir di Malang.. kalau tak salah. Jelang Lebaran awal Mei 2022. Di kafe nuansa tempo doeloe di Kayutangan.. kalau tidak salah.

Dulu baca Kompas saban hari. Sebab dilanggan kantor. Kompas ini koran paling penting di Indonesia karena jadi kompas bahasa jurnalistik sekaligus bahasa Indonesia. Kata petahana untuk incumbent, misalnya, dimulai Kompas.

Meskipun koran terbitan Jakarta, tak ada kata-kata cakapan Melayu Betawi di Kompas. Apalagi kata-kata bahasa Jawa. Omongan narasumber dengan bahasa cakapan, spoken language, diubah jadi bahasa baku yang baik dan benar.

 Ini berbeda dengan ratusan koran Jawa Group yang selalu memberi ruang luas untuk bahasa cakapan lokal dalam tulisan-tulisan berita atau analisis. Khususnya dalam kutipan langsung - direct quotation. 

Contoh: "Arek-arek kudu sinau sing serius ben iso lulus kabeh," kata Wawali Armudji. 

Sabtu 5 November 2022, saya tidak sengaja ketemu Kompas di Porong, Sidoarjo. Rupanya emak tua di dekat kantor polisi masih jual Kompas. "Ono ae sing tuku,"  katanya. "Tapi sing laku yo tetep ae JP."

Disway laku gak? "Wis gak dol. Dulu aku jual banyak tapi gak laku. Kapok," katanya.

Panjebar Semangat? "Alhamdulillah, lumayan."

Radar Surabaya? "Ada aja yang beli," kata emak pengecer koran itu.

Saya pun beli Kompas untuk melihat perkembangan koran yang pernah jadi surat kabar nomor satu di Indonesia itu. Makin tipis sekarang. Tinggal 16 halaman. Kalah tebal dengan Radar-Radar di daerah. Jawa Pos masih mantap 24 halaman.

Mirip melihat koran cetak yang makin tipis digempur teknologi digital, media sosial, dsb. Dulu Kompas identik dengan koran super tebal. Bisa 80 halaman, bahkan edisi khusus bisa 100 halaman. Ketika masih ada Kompas Jatim, koran Kompas ini bisa 36 halaman saban hari.

Karena itu, doeloe, Kompas sangat disukai tukang-tukang loak. Timbangannya naik tajam. Sekarang Kompas berubah seperti koran-koran kota kecil alias kelas Radar. Sama-sama sulit mencetak koran tebal dalam oplah yang banyak.

Berapa oplahnya? Rahasia perusahaan. Yang penting, iklannya masih lumayan. Bisa untuk menggaji karyawan-karyawan yang tersisa.

Di halaman 16 ada tulisan ringan alias boks tentang Bre Redana. Lelaki kelahiran Salatiga, 27 November 1957, itu dulu wartawan Kompas dengan tulisan yang nyastra, kritis, tajam, paling enak dibaca. Saya sering hanya membaca kolom Bre Redana dan melewatkan tulisan-tulisan lain yang kurang menarik.

Bre sudah lama pensiun. Sekarang fokus jadi penulis fiksi. "Sebab saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis," kata Bre kepada Putu, wartawan senior yang nyastra juga.

Bre masih saja bicara soal analog vs digital. Kita orang sudah meloncat jauh ke budaya digital ketika budaya membaca analog (cetak) belum terbentuk. Budaya digital yang visual mengepung kita dari berbagai penjuru.

Karena itulah, koran makin lama makin tipis dan hilang di pasar. 

Senin, 24 Oktober 2022

Sembahyang Rosario Primitif di Era Digital

Bishop Robert Barron dari USA menulis:

"Friends, October is the Month of the Rosary. Through the prayers of the Rosary, we meditate upon the great Christian mysteries of Jesus' birth, life, death, and resurrection."

Bapa Uskup Barron ini salah satu pembicara dan penulis masalah kekatolikan yang cukup terkenal di USA. Ia juga aktif sekali di media sosial, YouTube, dan sebagainya sehingga dikenal di seluruh dunia. Saya sering ikuti homili dan kuliahnya di Youtube.

Yah.. Uskup Barron mengingatkan kita semua, orang Katolik, tentang Bulan Rosario. Selama bulan Oktober harus selalu berdoa rosario. Orang Flores Timur dan Lembata dulu bilang sembahyang kontas. Orang Katolik di Jawa bilang sembahyang tasbeh.

Sembahyang Kontas ini tidak sulit. Rosario itu doa sederhana. Paling sederhana. Tinggal mengulang-ulang Salam Maria sampai 50 kali. 

"Kalau tidak kuat ya cukup 30 kali saja," pesan bapaku dulu.

"Kalau tidak kuat 30 kali ya 10 kali Salam Maria saja," pesan guru sekolah dasar di kampungku dulu.

Saya perhatikan orang Katolik di Jawa selalu sembahyang tasbeh lengkap 5 peristiwa atawa 50 kali Sembah Bekti Kawula alias Salam Maria. Tidak pakai diskon jadi 30 kali atau 10 kali macam di kita orang punya kampung.

Di buku Finding God karya Father Ken Kaisch, yang barusan saya baca, ada sembahyang rosari primitif. Disebut juga The Psalter of The Blessed Virgin. Doa rosario primitif ini hanya mendaraskan 150 kali Salam Maria tanpa Bapa Kami, Kemuliaan, Terpujilah, Doa Fatima dsb.

"Going back to the primitive rosary, you are able to move more directly into the monologistic aspects of this great prayer," tulis Pater Ken Kaisch.

Cukup banyak variasi sembahyang kontas atau rosario ini. Teorinya sudah sering kita dengar dan baca. Namun, praktiknya sering tidak mudah di era disrupsi digital ini.

Ave Maria, gratia plena...