Minggu, 06 November 2022

Kompas makin tipis kian menghilang

Sudah lama saya tak baca Kompas. Kali terakhir di Malang.. kalau tak salah. Jelang Lebaran awal Mei 2022. Di kafe nuansa tempo doeloe di Kayutangan.. kalau tidak salah.

Dulu baca Kompas saban hari. Sebab dilanggan kantor. Kompas ini koran paling penting di Indonesia karena jadi kompas bahasa jurnalistik sekaligus bahasa Indonesia. Kata petahana untuk incumbent, misalnya, dimulai Kompas.

Meskipun koran terbitan Jakarta, tak ada kata-kata cakapan Melayu Betawi di Kompas. Apalagi kata-kata bahasa Jawa. Omongan narasumber dengan bahasa cakapan, spoken language, diubah jadi bahasa baku yang baik dan benar.

 Ini berbeda dengan ratusan koran Jawa Group yang selalu memberi ruang luas untuk bahasa cakapan lokal dalam tulisan-tulisan berita atau analisis. Khususnya dalam kutipan langsung - direct quotation. 

Contoh: "Arek-arek kudu sinau sing serius ben iso lulus kabeh," kata Wawali Armudji. 

Sabtu 5 November 2022, saya tidak sengaja ketemu Kompas di Porong, Sidoarjo. Rupanya emak tua di dekat kantor polisi masih jual Kompas. "Ono ae sing tuku,"  katanya. "Tapi sing laku yo tetep ae JP."

Disway laku gak? "Wis gak dol. Dulu aku jual banyak tapi gak laku. Kapok," katanya.

Panjebar Semangat? "Alhamdulillah, lumayan."

Radar Surabaya? "Ada aja yang beli," kata emak pengecer koran itu.

Saya pun beli Kompas untuk melihat perkembangan koran yang pernah jadi surat kabar nomor satu di Indonesia itu. Makin tipis sekarang. Tinggal 16 halaman. Kalah tebal dengan Radar-Radar di daerah. Jawa Pos masih mantap 24 halaman.

Mirip melihat koran cetak yang makin tipis digempur teknologi digital, media sosial, dsb. Dulu Kompas identik dengan koran super tebal. Bisa 80 halaman, bahkan edisi khusus bisa 100 halaman. Ketika masih ada Kompas Jatim, koran Kompas ini bisa 36 halaman saban hari.

Karena itu, doeloe, Kompas sangat disukai tukang-tukang loak. Timbangannya naik tajam. Sekarang Kompas berubah seperti koran-koran kota kecil alias kelas Radar. Sama-sama sulit mencetak koran tebal dalam oplah yang banyak.

Berapa oplahnya? Rahasia perusahaan. Yang penting, iklannya masih lumayan. Bisa untuk menggaji karyawan-karyawan yang tersisa.

Di halaman 16 ada tulisan ringan alias boks tentang Bre Redana. Lelaki kelahiran Salatiga, 27 November 1957, itu dulu wartawan Kompas dengan tulisan yang nyastra, kritis, tajam, paling enak dibaca. Saya sering hanya membaca kolom Bre Redana dan melewatkan tulisan-tulisan lain yang kurang menarik.

Bre sudah lama pensiun. Sekarang fokus jadi penulis fiksi. "Sebab saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis," kata Bre kepada Putu, wartawan senior yang nyastra juga.

Bre masih saja bicara soal analog vs digital. Kita orang sudah meloncat jauh ke budaya digital ketika budaya membaca analog (cetak) belum terbentuk. Budaya digital yang visual mengepung kita dari berbagai penjuru.

Karena itulah, koran makin lama makin tipis dan hilang di pasar. 

Senin, 24 Oktober 2022

Sembahyang Rosario Primitif di Era Digital

Bishop Robert Barron dari USA menulis:

"Friends, October is the Month of the Rosary. Through the prayers of the Rosary, we meditate upon the great Christian mysteries of Jesus' birth, life, death, and resurrection."

Bapa Uskup Barron ini salah satu pembicara dan penulis masalah kekatolikan yang cukup terkenal di USA. Ia juga aktif sekali di media sosial, YouTube, dan sebagainya sehingga dikenal di seluruh dunia. Saya sering ikuti homili dan kuliahnya di Youtube.

Yah.. Uskup Barron mengingatkan kita semua, orang Katolik, tentang Bulan Rosario. Selama bulan Oktober harus selalu berdoa rosario. Orang Flores Timur dan Lembata dulu bilang sembahyang kontas. Orang Katolik di Jawa bilang sembahyang tasbeh.

Sembahyang Kontas ini tidak sulit. Rosario itu doa sederhana. Paling sederhana. Tinggal mengulang-ulang Salam Maria sampai 50 kali. 

"Kalau tidak kuat ya cukup 30 kali saja," pesan bapaku dulu.

"Kalau tidak kuat 30 kali ya 10 kali Salam Maria saja," pesan guru sekolah dasar di kampungku dulu.

Saya perhatikan orang Katolik di Jawa selalu sembahyang tasbeh lengkap 5 peristiwa atawa 50 kali Sembah Bekti Kawula alias Salam Maria. Tidak pakai diskon jadi 30 kali atau 10 kali macam di kita orang punya kampung.

Di buku Finding God karya Father Ken Kaisch, yang barusan saya baca, ada sembahyang rosari primitif. Disebut juga The Psalter of The Blessed Virgin. Doa rosario primitif ini hanya mendaraskan 150 kali Salam Maria tanpa Bapa Kami, Kemuliaan, Terpujilah, Doa Fatima dsb.

"Going back to the primitive rosary, you are able to move more directly into the monologistic aspects of this great prayer," tulis Pater Ken Kaisch.

Cukup banyak variasi sembahyang kontas atau rosario ini. Teorinya sudah sering kita dengar dan baca. Namun, praktiknya sering tidak mudah di era disrupsi digital ini.

Ave Maria, gratia plena... 

Nyandu HP, Lupa Sembahyang

Telepon seluler alias HP alias ponsel sering bikin nyandu. Kita orang berlama-lama memelototi layar HP, baca komen-komen di media sosial, nonton video di YouTube, baca berita, artikel dsb.

Kalau dulu bangun pagi langsung ke belakang, cuci muka, sembahyang pagi, kini bangun pagi langsung buka HP. Siapa tahu ada pesan-pesan penting di grup WA dan sebagainya. Maklum, sebagian besar informasi tentang pekerjaan ada di WAG.

Saya pernah meluncur pagi sekali dari luar kota ke kawasan Kalimas Surabaya. Maklum, setiap Selasa pagi ada pertemuan atawa weekly meeting. HP belum aktif. Saya cuma baca koran di warkop, ngopi, sarapan roti kayak orang bule.

Sampai di kantor ketemu dek admin di front office. "Ngapain ke sini, Pak? Rapatnya kan diundur hari Kamis. Gak tau ya?" katanya sambil ketawa sedikit.

Masak sih? "Makanya, jangan lupa cek info update di grup."

Begitulah lika-liku hidup di era digital. Terlalu aktif, nyandu ponsel, kurang baik. Tapi kurang aktif pun bisa ketinggalan informasi. 

Apa boleh buat,  saya pun kabur ke Pulau Madura. Rekreasi sejenak ke Bangkalan, mampir di kelenteng, cari makanan khas Meduro dsb.

Sudah lama saya setel HP agar mati dan hidup sendiri. HP aktif mulai pukul 08.00 dan mati pukul 23.59. Lewat pukul 00.00 tidak boleh main HP, nonton YouTube, dan sebagainya.

Sayang sekali, disiplin diriku tergolong rendah. Apalagi sejak ada pengalaman salah informasi soal rapat Selasaan itu. Maka sebelum pukul 08.00 pun HP lebih sering dihidupkan. Bahkan kadang jam lima pagi sudah on. Hanya untuk mengetahui hasil-hasil Liga Inggris,  Liga Spanyol, dan Liga Italia.

Liga Jerman kurang menarik karena Bayern Muenchen terlalu kuat. PSG di Liga Prancis pun tak punya lawan seimbang.

Disiplin mematikan HP di bawah pukul 24.00 pun sering dilanggar. Yah.. karena faktor YouTube. Rekaman pertandingan bola, gol-gol cantik, lagu-lagu lawas, lawakan Kartolo, ludruk, Mak Lampir, hingga kampanye Pilihan Raya Umum (PRU) di Malaysia sangat menarik untuk diikuti. Apalagi pidato Anwar Ibrahim, Mat Sabu, atau Anthony Loke dari Pakatan Harapan sangat keras menghantam Barisan Nasional, khususnya UMNO.

Kalau terlalu asyik nonton Youtube, main ponsel pinter ya tahu-tahu sudah tidur pulas. Data internet pun terkuras banyak.

Dan.. kita orang sudah lupa kebiasaan sembahyang malam sebelum tidur. Mea culpa! Mea maxima culpa! 

Kamis, 13 Oktober 2022

Bekas Bankgebouw Nuts Spaarbank di Pojok Jalan Karet

Bangunan tua di pojok Jalan Karet Nomor 85 itu tampak kusam. Begitu juga Nomor 83. Bangunan kolonial itu dekat Sungai Kalimas, tepat di stren kali sebelah barat. Nyaris dempet Jembatan Merah.

Tempo doeloe zaman Hindia Belanda gedung apa?

Saya sering bertanya ke orang-orang lawas yang kerja di Kembang Jepun. Termasuk beberapa wartawan Jawa Pos era 80-an yang ngantor di Kembang Jepun 167-169. Hanya berjarak sekitar 50 meter saja. Tapi tak ada yang tahu persis.

"Jelas bangunan penting lah," kata Cak Sur, karyawan Jawa Pos sejak 1982 sampai pensiun di musim pandemi covid.

 "Kita gak punya catatan atau dokumen. Anda cari sendirilah." 

Umi Bangkalan yang kerja di pojokan Jalan Karet pun tak oneng (tahu). Padahal umi ini kerja di kawasan Karet dan Kembang Jepun sejak awal 80-an hingga berpulang di musim covid. Anaknya, Taufik, lebih tak oneng lagi.

Saya beberapa kali mampir dan ngobrol dengan karyawan di Jalan Karet 85. Tak oneng juga. Mas Jowo ini hanya tahu bangunan itu punya sejarah penting. Kantor dagang atau notaris atau advokat tempo doeloe.

Sudah lama gedung di pojok Jalan Karet 85 ditempati Daiki & Co, kantor ekspedisi. Daiki pernah jaya tempo doeloe tahun 1950-an dengan laopan Liem Joe Tjie. Luar biasa dulu pengiriman barang-barang atau dokumen ke kota-kota di Nusantara.

Sekarang Daiki hanya melayani ekspedisi jarak pendek macam Surabaya-Malang. Sudah turun kelas jadi skala UKM dari perusahaan besar. Karena itu, gedungnya kurang terawat. Banyak debu di dalam kantor itu.

Apa ada rencana dijual? 

"Waduh, bosnya gak mau karena semacam warisan sejak dulu kala," kata Mas Jowo. Meskipun bisnis ekspedisi lesu betul di era pandemi, Daiki tetap mencoba bertahan di gedung tua itu.

Sebelum menempati Karet 85, kantor Daiki & Co menempati gedung di Jalan Petjinan Kulon 102. Hanya beberapa langkah dari kantor sekarang. Gedung lama itu kemudian diambil alih perusahaan ekspedisi dan perkapalan terkenal Salam Pacific Indonesia Lines alias SPIL.

"Malah dulu Daiki ini satu kantor dengan SPIL," kata karyawan Daiki.

Bagaimana dengan gedung di sebelahnya, Karet 83? 

Sekarang jadi semacam sekretariat perkumpulan lansia suku Hakka. Sesekali mereka adakan pertemuan atau kongkow-kongkow di situ.

Tak heran, gedung tua di Karet 83 Surabaya itu seperti rumah tinggal biasa. Ada jemuran terlihat di lantai 2. Penghuninya baba Tionghoa dan istrinya yang sudah tua.

Sayang, baba ini juga tidak banyak tahu riwayat gedung itu pada zaman Belanda. "Yang penting, kita orang tetep sehat," kata baba itu suatu ketika.

Syukurlah, Bintoro Hoepoedio sempat bagi informasi di grup bangunan tempo doeloe. Ia tampilkan foto lama dengan keterangan: 

"Dulu, Bankgebouw Nuts Spaarbank Soerabaja, ca 1925.  Kini, bangunan di Jl Karet - Jl Kembang Jepun, Surabaya, bagian kanan tinggal separuh, jadi jalan inspeksi."

Ouw.. ternyata itu bangunan jadi kantor bank di era Hindia Belanda.

Tahun 1950-an bangunan di Petjinan Kulon 83 (sekarang Jalan Karet 83) ditulis di buku telepon sebagai kantor Advocaat & Procurreur a.n. Tjoa Soe Tjen.

Senin, 10 Oktober 2022

Teman Punya Anak Mati di Stadion Kanjuruhan

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Malang, menelan korban tewas 130 orang. Itu versi polisi dan pemerintah. Versi lain di media sosial bisa lebih banyak dari angka itu.

Nasi sudah jadi bubur. Yang mati tidak akan hidup lagi. Tim investigasi sedang bekerja kumpulkan informasi dan data dari banyak pihak.

Yang bikin saya tak habis pikir: pemerintah daerah, kepolisian, tentara dsb sepertinya lupa bahwa pandemi covid masih ada. Stadion Kanjuruhan dibuka lebar-lebar seakan tak ada covid. Bahkan lebih parah ketimbang sebelum ada penyakit aneh yang disebut covid itu.

Jumlah penonton di dalam Stadion Kanjuruhan lebih dari 100 persen. Belum lagi ribuan orang di luar stadion saat Arema vs Persebaya. Orang Ngalam, khususnya forkopimda, lupa dengan covid.

Di masa pandemi, saat ini, mestinya penonton bola dibatasi. Paling banyak 70 persenlah. Tidak boleh kapasitas penuh. Apalagi sampai 150 persen kayak di Kepanjen itu.

Sambil mikir covid dan pertandingan bola, tiba-tiba datang pesan WA dari Gabriel Hokon. Teman lama satu kelas di SMAN 1 Larantuka itu bilang ada orang Flores Timur jadi korban di Kanjuruhan. Oh, Tuhan! 

"Korban meninggal di antaranya anak teman kita Daniel Doweng Kumanireng dan pacarnya. Sudah dimakamkan," tulis Gabriel yang tinggal di kawasan Kenjeran.

Daniel Doweng.. sudah 30-an tahun tidak ketemu. Saya cuma satu tahun sekelas di A1-1 - jurusan fisika di SMAN satu-satunya di Kabupaten Flores Timur itu. Setelah itu saya merantau ke Jawa. Minggat ke Malang dan seterusnya.

Daniel menyusul setelah tamat SMAN 1 Larantuka. Begitu juga Gabriel. Tapi kami tak pernah ketemu muka. Bahkan, saya tidak pernah tahu bahwa Daniel sudah lama jadi dosen di Malang. Dan.. gila bola, khususnya Arema FC - seperti saya dulu gila Arema Galatama di Stadion Gajayana.

Hobi nonton sepak bola itu kemudian menurun ke Philip, anaknya. Pemuda itu (hampir) selalu nonton Arema bertanding di Kanjuruhan. Bersama pacarnya yang juga Aremanita. 

Begitulah kalau orang terlalu fanatik. Fanatik bola, fanatik capres, fanatik ormas, fanatik agama dsb! 

"Kalau fanatik di kampung paling hanya baku pelungku terus bubar. 
Di sini gas airmata, diinjak sampe mati," kata kawan Gabriel yang asli Tanjung Bunga, dekat Larantuka, itu.

Nasi sudah jadi bubur.
Philip sudah pulang bersama 130 suporter Arema lainnya.

Semoga semuanya bahagia di surga.

Semoga Tragedi Kanjuruhan menjadi titik balik mereformasi tata kelola sepak bola di Indonesia. Jangan ada lagi nyawa-nyawa melayang hanya karena sepak bola. 

212 Tahun Gereja Kepanjen, Paroki Kelsapa Surabaya

Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria  (Kelsapa), Surabaya, baru saja merayakan hari jadi ke-212. Dua abad lebih. Gereja di Jalan Kepanjen 9 ini disebut-sebut sebagai gereja katolik tertua di Surabaya. Mungkin tertua di Jawa Timur juga.

Tidak ada perayaan besar 212 tahun Paroki Kelsapa. Bukan hanya karena masih ada sisa-sisa pandemi covid, tapi memang itu sudah jadi kebiasaan umat Katolik di Indonesia. Pesta atau perayaan besar hanya digelar orang Katolik  lima tahun sekali alias Lustrum.

Pesta hari jadi paroki atau gereja hanya dirayakan pada ulang tahun kelipatan lima. Misalnya, ulang tahun ke-50, 55, 70, 75, 100, 200, 205, 210, 215, dst. 

"Terlalu capek, buang energi, buang duit, kalau dirayakan tiap tahun," kata seorang pater tua yang sudah tiada. 

Perayaan ekaristi atau misa HUT ke-212 Paroki Kelsapa Surabaya dipimpin Romo Martinus Paryanto, CM. Saya ikut misa daring alias live streaming - habitus baru sejak awal pandemi covid. 

Saya lihat banyak jemaat mengenakan busana adat Nusantara. Orang-orang Flores, NTT, tak ketinggalan memakai busana tenun ikat khas Flores, Lembata, Adonara, Solor, Timor dsb.

Sejak dulu Gereja Kepanjen memang jadi jujukan perantau-perantau asal NTT yang katolik untuk misa mingguan. Maklum, dulu perhubungan hanya mengandalkan kapal-kapal kayu yang sandar di Kalimas. Kos-kosan atau kontrakan orang NTT (dulu) pun hampir semuanya di kawasan Surabaya Utara. 

Gerejanya ya cuma di Kepanjen ini. Belum ada Paroki Santo Mikael di Jalan Tanjung Sadari yang kini digembalakan imam-imam SDB alias Selesian itu. Juga belum ada paroki di Pogot, dekat Kedungcowek, dan Paroki Marinus Yohanes di Kenjeran Perum AL.

Maka, saya dulu pun pertama kali misa di Surabaya ya di Gereja Kepanjen yang legendaris itu. Orang-orang Flores dan Lembata dulu saya lihat sudah banyak sekali. Jadi dirigen, paduan suara, pastor, lektor, pengurus lingkungan, hingga juru parkir. 

Setiap kali lewat di kawasan Indrapura, kita orang biasanya mampir ke Jalan Kepanjen. Ngombe es teh, mangan mi, di depan gereja lalu masuk untuk sembahyang tasbeh alias doa rosario meski sering tidak genap 5 peristiwa. Apalagi di bulan Oktober yang disebut bulan rosario ini. 

Selamat hari jadi ke-212 Paroki Kelsapa Surabaya.

Berkah Dalem.

Kamis, 06 Oktober 2022

Ikut senang teman sekelas jadi jenderal


Kanca lawas, teman sekelas di Mitreka Satata Malang, ternyata sudah bintang satu. Kepala Pusat Perbekalan dan Materiil TNI Angkatan Udara alias Kapusbekmatau Marsma TNI Nur Surachman. 

Ah, Ayas jadi sungkan dengan Nur. Biasanya panggil nama saja tanpa kata sandang Mas, Sam, Cak.. sekarang kudu sapa Pak Nur, Pak Komandan, Siap Ndan... 

Lama nian Ayas tidak bertemu muka dengan Nur dan kawan-kawan sekelas di Smansa, A1-3,  tempo doeloe. Ayas pun tak pernah ikut reuni, jalan sehat, anjangsana, halal bihalal dsb. Juga baru dimasukkan grup oleh Heru dan Edwin yang jadi admin.

Karena itu, Ayas tidak mengikuti perkembangan karir kanca-kanca lawas. Ayas cuma tahu yang dekat-dekat saja macam Ipong yang juragan kafe di Klojen dan Ijen. Begitu juga Edwin dan Jokpram di Jakarta.

Pekan lalu, Ayas iseng-iseng baca berita di laman TNI AU. Ada nama Nur Surachman, pangkat marsma. Nur dari Ngalam? Yang pendiam dan sopan itu? Jadi pati TNI?

Luar biasa!

 Saat di Smansa, Nur ini bukan tipe siswa yang punya bakat jadi tentara. Kurang suka main basket atau olahraga lain. Beda dengan Jokpri atau Yanuar yang main basket saban hari.

 Badannya pun tidak kekar dan berotot. Beda dengan Jokpram, Yanuar, Tanuki, yang atletis. Karena itu, Ayas tidak menyangka Nur menempuh jalur militer hingga jenjang yang tinggi.

Ayas ikut senang Nur sudah jadi jenderal bintang satu.  Selamat! 

Dirgahayu TNI.