Umat Katolik di Pulau Lembata, NTT, baru saja merayakan pesta syukur 100 tahun kehadiran Societas Verbi Divini (SVD) di pulau yang tempo doeloe disebut Lomblen. Kongregasi SVD inilah yang berhasil meng-Katolik-kan masyarakat Lembata satu abad lalu.
Pulau Lembata tidak jauh dari Larantuka di ujung timur Pulau Flores. Cuma satu jam perjalanan laut dengan kapal cepat. Pulau Lembata tetangga dekat Pulau Adonara dan Pulau Solor. Adat istiadat, bahasa, ras dsb sama-sama Lamaholot meski ada sedikit nuansa yang beda.
Tapi rupanya pater-pater Portugis yang berkarya di Kota Reinha, Larantuka, dulu tidak sempat mempermandikan orang Lembata. Pernah ada imam misionaris yang ke Lomblen tapi pulang karena beratnya tantangan alam, tantangan adat leluhur, hingga tantangan fisik. Nyawa pater asal Eropa jadi taruhannya.
Karena itu, Pulau Lembata sangat terlambat dapat kabar gembira pewartaan Injil. Padahal Kerajaan Larantuka di sebelah barat itu sudah diserahkan kepada Tuan Ma alias Bunda Maria pada tahun 1510. Larantuka ini dikenal sebagai wilayah Katolik tertua di Indonesia.
Pulau Lembata ketinggalan 400 tahun dari Larantuka kota di ujung timur Pulau Flores.
Adalah Pater Bernard Bode SVD yang babat alas firman Allah di Pulau Lomblen (belum pakai nama Lembata). Meski sebelumnya ada pater Jesuit alias SJ yang buka pelayanan selama 13 tahun di Lomblen. SJ mundur karena satu dan lain hal.
Pater Bode mulai bermisi di kawasan Lamalera, kampung nelayan di pantai selatan. Orang-orang Lamalera dikenal sebagai nelayan paling berani. Biasa memburu ikan paus hingga ke perairan Australia. Tuan Bode yang asli Jerman menyapa dan berusaha menghayati kehidupan orang kampung.
Pater Lukas Jua SVD pimpinan tertinggi Provinsial SVD Ende memberikan kata sambutan dan perayaan 100 Tahun SVD di Lembata. Uskup Larantuka Monsinyur Frans Kopong Kung yang pimpin misa agung itu.
Pater Lukas Jua SVD bercerita Pater Bernard Bode tiba di Lamalera dalam kondisi sulit. Namun masyarakat antusias menyambut sang misionaris dengan peledang, perahu khas Lamalera untuk memburu ikan paus.
Tuan Bode juga belajar bahasa Lamaholot logat Lamalera agar bisa mengajar agama baru itu. Tuan Bode bahkan menyusun misa dalam bahasa Lamaholot. Padahal gereja-gereja di seluruh dunia masih wajib pakai bahasa Latin. Misa bahasa Latin mulai diganti bahasa-bahasa lokal setelah Konsili Vatikan II tahun 1965.
Luar biasa memang imam-imam SVD tempo doeloe. Mereka selalu jeli melihat peluang untuk bagi kabar gembira dari Tuhan Allah. Nelayan-nelayan Lamalera yang saban hari menjala ikan dijadikan penjala manusia.
"Penyebaran agama Katolik berkembang pesat di Lembata karena dibantu oleh para guru waktu itu. Luar biasa, para guru pagi mengajar di sekolah dan malam hari mengajar agama di rumah," tutur Pater Lukas Jua.
Begitulah.
Benih-benih sabda Allah yang ditabur Tuan Bode (juga pater SJ sebelumnya) di Pulau Lembata tumbuh subur, berbunga, dan berbuah. Lalu lama-lama menggeser agama nenek moyang Lera Wulan (Matahari Bulan) yang sangat kuat di Lomblen tempo doeloe. Khususnya kampung-kampung kami di kawasan utara yang dulu lebih senang Tula Gudung, bikin ritual adat, sesaji di rumah adat, lebih percaya klenik dan dukun ketimbang pigi sembahyang di kapela atau gereja.
Sejak 1980an panggilan imam di Lomblen pun subur betul. Tuan-tuan pater dari Eropa perlahan-lahan diganti romo-romo asli Lembata atau Adonara, Solor, Flores. Pater-pater SVD asal Lembata pun tersebar ke mana-mana. Tidak saja di NTT tapi ke Bali, Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga banyak negara.
Saat mudik tahun 2019 di Lomblen alias Lembata, paroki-paroki yang pastornya SVD sudah hampir tidak ada lagi. Setahuku ya cuma di Waikomo yang jadi tempat perayaan 100 tahun SVD di Lembata itu. Sedangkan 95 persen paroki digembalakan imam-imam praja alias Reverendus Dominus (RD).