Saya pernah dapat kiriman buku dari seorang profesor di USA: Surabaya, City of Work, karya Howard W. Dick. Kajian yang mendalam tentang perkembangan ekonomi di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya.
"Kamu perlu baca buku itu. Kamu punya bahasa Inggris tidak terlalu buruk," kata profesor botak yang pandai berbahasa Indonesia itu.
Sayang, buku tebal itu hilang entah ke mana. Beberapa kali dipinjam mahasiswa yang mau skripsi, difotokopi, dibaca.. tapi tidak dikembalikan.
Nah, salah satu yang dibahas HW Dick adalah pabrik paku di kawasan Kedungrejo, Waru, Sidoarjo. Yang bersebelahan dengan Terminal Purabaya.
Gara-gara membaca buku itu, meski agak berat karena pakai academic English, saya jadi kenal nama Madjid Asnoen, pengusaha top, crazy rich Surabaya tempo doeloe. Madjid importer terkemuka sejak zaman Hindia Belanda. Tidak kalah dengan tauke-tauke dan kongsi-kongsi Tionghoa yang sangat merajalela saat itu.
Madjid Asnoen, Rahman Tamin (Ratatex), Moesin Dasaad (Kantjil Mas), dan beberapa lagi dianggap sebagai pengusaha pribumi dan industriawan yang hebat. Karena itu, mereka diharapkan jadi lokomotif perekonomian Indonesia setelah tahun 1950. Belanda baru benar-benar minggat pada akhir Desember 1949.
Nah, Madjid Asnoen yang sudah konglomerat itu kemudian diberi dukungan penuh, insentif, dsb untuk mendirikan pabrik paku di Waru, Sidoarjo. Sebab, Presiden Soekarno menganggap bahan-bahan bangunan sangat dibutuhkan rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Pabrik Paku Madjid Asnoen itu memang berkembang pesat. Didukung rantai distribusi Firma Madjid Asnoen yang memang sudah mapan sejak era kolonial Belanda. Beda dengan taipan-taipan Tionghoa yang bisnisnya kocar-kacir setelah ditinggal meneer-meneer Belanda.
Saking terkenalnya, pabrik paku jadi land mark atau tetenger di kawasan Waru dekat perbatasan Surabaya. Seluruh kawasan Bungurasih, Kedungrejo, hingga Kureksari biasa disebut pabrik paku. Terminal Purabaya di Desa Bungurasih belum ada. Dulu orang cuma kenal Terminal Joyoboyo.
"Bungurasih dulu masih hutan, sawah-sawahnya banyak," kata Eni Rosada, Kades Bungurasih, yang baru saja lengser. "Pabrik paku itu sudah ada di Waru jauh sebelum saya lahir," Bu Kades menambahkan.
Berbeda dengan pabrik Ratatax di Balongbendo yang sudah lama rata tanah, pabrik paku di Waru masih bertahan meski tidak lagi pakai nama Pabrik Paku Madjid Asnoen. Manajemennya sudah berbeda.
Informasi yang beredar di media sosial, pemerintah daerah mengubah peruntukan lahan di kawasan Kedungrejo, Waru, dan sekitarnya. Tidak lagi untuk pabrik seperti era 1950-an hingga 1980-an tapi permukiman dan perdagangan. Maka izin HGB tak akan diperpanjang lagi.
Kalaupun pabrik paku di Waru itu tutup (atau relokasi), sepertinya kawasan itu akan tetap disebut pabrik paku. Sama dengan Ratatex yang juga jadi land mark di Balongbendo.