Jumat, 03 Juni 2022

Eyang Hartini Mochtar 92 Tahun Belum Pensiun

 


Hartini Mochtar Kasran merayakan ulang tahun ke-92 di Hotel Elmi Surabaya pada 1 Juni 2022. Sekaligus peluncuran bukunya berjudul "92 Tahun Belum Pensiun". Berisi tulisan apresiasi berbagai kalangan. Termasuk Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Eyang Hartini, sapaan akrabnya, memang belum pensiun di usia 92 tahun. Masih jadi ketua umum Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Surabaya. Sudah 28 tahun tanpa jeda. 

Eyang sebetulnya ingin diganti pengurus yang lebih muda. Tapi tak ada yang bersedia. Lebih tepatnya: sungkan. 

"Jangan bahas itu, Bu," kata pengurus BANI ketika Hartini Mochtar meminta pergantian ketua umum. 

Eyang Hartini memang tipe Neli: nenek lincah. Selalu ada aktivitasnya selain mengurus arbitrase alias sengketa bisnis perusahaan. Wanita kelahiran Pare Kediri ini aktif ikut line dance, senam pagi bersama para senior.

 Lagu favoritnya Fly Me To The Moon dari Frank Sinatra. Begitu musik lawas ini terdengar saat perayaan hari jadi di Hotel Elmi, Eyang Hartini langsung bergerak. Berdansa. Line dance bersama kawan-kawannya yang jauh lebih muda. Pakai sepatu hak tinggi. 

Sedikit banyak saya kenal beliau dan keluarga besarnya. Lima tahun saya tinggal di Ngagel Jaya Selatan, rumah almarhum Eyang Tubagus Mochtar, yang tak lain suami Eyang Hartini ini.

Eyang Hartini tinggal di rumah yang satunya di Ketintang bersama Eyang Mochtar. Model rumah bangsawan tempo doeloe yang modelnya sama persis.

Eyang Mochtar seorang anggota TNI AD yang cukup terkenal di Surabaya di masa lalu. Ia dipercaya menjadi direktur 6 atau 7 perusahaan eks Belanda di kawasan Ngagel. Ada pabrik karet, pabrik sabu, pabrik kimia, dan beberapa lagi. Saya pernah bahas di blog lama.

Meskipun tentara tulen, Eyang Mochtar punya kemampuan manajerial untuk mengelola pabrik-pabrik eks Belanda yang dinasionalisasi itu. Sebelumnya tentara-tentara yang dikaryakan ikut kursus atau diklat intensif di Bandung. Tentara-tentara itu yang kemudian jadi bos-bos pabrik. 

Bagaimana kondisi pabrik-pabrik itu? Cukup bagus di awal. Begitu yang saya baca di catatan lawas. Namun, makin lama makin kedodoran hingga mati suri. Eyang Mochtar kemudian mundur setelah berbeda pandangan soal manajemen perusahaan-perusahaan eks kolonial di Jawa Timur 

Nah, Eyang Hartini ini dulunya sekretaris Eyang Mochtar, direksi perusahaan daerah Jatim. Tresna jalaran saka kulina. "Saya nyambi kerja dapat bonus suami," kata Eyang Hartini.

Eyang Mochtar ketua Kadin pertama di Jawa Timur telah meninggal dunia pada 15 Maret 2002. Dimakamkan di Pemakaman Delta Praloyo Sidoarjo. 

Eyang Hartini pun sudah lama memesan makam nomor 594 di samping makam suaminya nomor 595.

''Sehingga pihak pengelola pemakaman sudah mengetahui bahwa tanah di samping makam suami saya sudah di-booking," tulis Eyang Hartini di bukunya. 

Biasanya orang Indonesia tabu membicarakan kematian. Apalagi booking makam segala. Tapi eyang yang jago Hollands spreiken ini punya pandangan lain. "Kapan saja kita harus siap dipanggil-Nya," kata Eyang Hartini.

Selamat ulang tahun, Eyang Hartini! 

Rabu, 01 Juni 2022

Ucok AKA Harahap dilarang konser di Lumpur Lapindo



Kenangan 16 Tahun Lumpur Lapindo di Sidoarjo


Jadi ingat almarhum Ucok AKA Harahap. Kebetulan baru saja ada postingan di Perpustakaan Nasional tentang AKA Band. Saat tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1973.

Ucok Harahap adalah pendiri, pimpinan, pentolan, master mind band legendaris yang dikenal dengan AKA Group itu. AKA: Apotek Kali Asin di Jalan Kaliasin, sekarang pojokan Jalan Basuki Rahmat, Surabaya. Apotek itu milik Ismail Harahap, Ucok punya papa. 

Ucok punya mama orang Prancis. Perawat yang jadi relawan penolong korban perang revolusi fisik di Jawa Timur. Ismail Harahap kawin dengan itu wanita Prancis sehingga Ucok pun dilahirkan ke dunia fana ini. 

Di masa tuanya Ucok ngelaku spiritual semacam paranormal atawa wong pinter. Sering bertapa dan menyepi di kawasan Gunung Klotok dan beberapa petilasan lain. 

Di awal semburan lumpur Lapindo, sekitar Juni - Juli 2006, saya sempat ikut diskusi bersama Ucok and His Gang. Ucok ingin konser di dekat pusat semburan. Sekaligus melakukan aksi spiritual untuk menutup semburan yang bermula pada 29 Mei 2006.

Saya: "Apa mungkin, Bang Ucok? Ahli-ahli dari ITB saja tidak mampu. Sudah ribuan bola beton dimasukkan tapi gak ada efeknya."

Ucok: "Tidak ada yang mustahil bagi Yang Mahakuasa. Kebetulan saya ini kan ada sedikit kemampuan (spiritual). Makanya Anda perlu ikut saya minta izin ke Bupati Sidoarjo."

Saya: "Wah, wah... Angel angel iku. Minggu lalu ada beberapa paranormal sudah lempar kepala kambing di dalam semburan lumpur. Sekarang sudah dilarang sama PPLS."

Singkat cerita, Bupati Win Hendrarso tidak memberikan izin kepada Ucok and His Gang untuk main musik di dekat pusat semburan. Sebab risikonya terlalu tinggi. Selain itu, ada unsur klenik yang irasional. 

Ojo lali, Sidoarjo ini kota santri! 

Kita orang selalu diceramahi untuk menjauhi klenik, takhayul, perdukunan, paranormal dsb. Berimanlah semata-mata kepada Allah Yang Mahakuasa.

Ucok AKA Harahap tetap tersenyum. Lalu pulang dengan motor trail kesayangannya ke rumah istrinya di Pagesangan, Surabaya. Itu istri nomor ke-9.

Sebulan kemudian Ucok mengirimi saya CD. Lagu khusus bertema lumpur Lapindo. Sayang, CD itu hilang entah ke mana.

Bung Ucok, salam bahagia di alam baka! 

Selamat nyanyi dan konser di sana!

Selasa, 31 Mei 2022

Patung korban lumpur sudah lama tenggelam

 Patung karya Dadang Christanto  ini sudah lama hilang. Tenggelam bersama lumpur Lapindo. 

Mas Dadang seniman asli Jowo tapi tinggal di Australia. Kerasan di benua kidul asyik menikmati kanguru-kanguru liar.

Meski jauh di negara orang, mereka ikut peduli dengan ribuan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Dadang bikin ratusan patung korban lumpur yang merana. Minta perhatian Lapindo Brantas, pemerintah, dan siapa saja agar ganti rugi segera dibayar.

"Negara harus hadir," kata Dadang mengutip omongan Jokowi di atas tanggul lumpur sebelum jadi presiden.

Minggu 29 Mei 2022, semburan lumpur genap 16 tahun. Sudah cukup lama. Tapi persoalan ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dsb belum tuntas.

Jokowi memang tunaikan janjinya. Setelah resmi jadi presiden, ia langsung bikin keputusan untuk menalangi dulu utang Lapindo. Agar ganti rugi desa-desa utama korban lumpur bisa dibayarkan. Biarlah negara yang berurusan dengan Lapindo. 


Minggu, 29 Mei 2022

16 Tahun Lumpur Lapindo Ada Segenggam Harapan



Tak terasa sudah 16 tahun lumpur Lapindo menyembur di Porong Sidoarjo. Sampai sekarang menyembur.  Nonstop. Entah sampai kapan.


Minggu 29 Mei 2022, tepat hari jadi lumpur Lapindo, saya mampir sejenak di pematang waduk lumpur. Sepi. Tak ramai wisatawan seperti biasanya. "Sejak corona memang sangat jarang ada pengunjung," kata Minto, warga Siring yang jadi tukang ojek wisata lumpur. 


Biasanya di pasang tarif 50K putar-putar hingga dekat pusat semburan. Melihat potonganku khas luar pulau, tarifnya dinaikkan. Minto rupanya tidak tahu kalau aku dulu sering dolan ke Siring, Mindi, Jatirejo, Renokenongo, Perumtas Kedungbendo. 


Itu 5 desa pertama yang tenggelam. Kemudian ditambah desa-desa lain yang terdampak. Ada yang habis sama sekali seperti 5 desa itu, ada yang separo, ada yang sepertiga habis. Total ada 15 desa. Dan bisa bertambah lagi meski BPLS sudah bikin tanggul raksasa itu. 


Banyak kenangan bersama kawan-kawan lama di onggokan lumpur Lapindo. Makam Gus Luqman pelukis top yang kerap diskusi sudah jadi waduk. Ada pula rumah tua keramat milik Mas Totok Napak Tilas Jtv  di samping rumah Gus Luqman. 


Hampir setiap hari ada seniman, budayawan, sejarawan, wartawan, penghayat kejawen kumpul di rumah model Belanda itu. Sesekali ada dosen ISI Jogja yang kasih kuliah seni budaya, apresiasi kesenian, hingga latihan musik keroncong. 


Mas Totok ternyata musisi keroncong kawakan. Dia punya perangkat musik yang lengkap. Aku sering nongkrong mendengarkan latihan keroncong di Siring itu. Hanya terpaut 200-an meter dari pusat semburan lumpur beberapa tahun kemudian. 


Lagu yang paling aku ingat: Segenggam Harapan. Lagu keroncong yang bagus tapi punya tingkat kesulitan tinggi. Berkali-kali saya coba nyanyikan tapi keliru terus. "Itu lagu wajib BRTV. Gak gampang memang," kata Mas Totok yang sempat jadi presenter acara Napak Tilas di JTV Surabaya. 


Apakah ribuan korban lumpur sudah ayem tentrem di tempat baru?


"Apanya yang ayem? Sampai sekarang masih banyak yang belum lunas," kata Minto tukang ojek.


Tapi hidup harus jalan terus. Kawan-kawan korban lumpur kini hidup new normal. Selalu ada segenggam harapan untuk korban lumpur karena "anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya".


Di atas pematang waduk lumpur itu aku coba menyanyi sendiri Keroncong Segenggam Harapan versi Toto Salmon.


"Di ufuk timur manakala sinarmu redup tertutup awan. 

Hari cerah tiada menjelang bagaikan punah harapan..."

Rabu, 18 Mei 2022

Melepas Romo Dominikus Beda Udjan SVD di Soverdi hingga Kembang Kuning


Rumah Soverdi di samping SMAK Sint Louis 1 Surabaya selalu jadi ajang silaturahmi warga Nusa Tenggara Timur di perantauan di Jawa. Khususnya dari Pulau Flores, Pulau Lembata, Pulau Solor, Pulau Adonara. 

Juga dari Pulau Timor yang Katoliknya banyak macam Kabupaten Belu, Kabupaten TTU, dan Kabupaten Malaka. Orang Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote sangat jarang kelihatan karena pulau-pulau itu basis Kristen Protestan. Orang Katolik hampir tidak ada. 

Di bangunan kolonial ini saya kembali dengar kata-kata bahasa daerah berhamburan. Bahasa Ende, Lio, Manggarai, Maumere, Bajawa, Lamaholot, ada Nagi Larantuka. Ada yang bicara Lamaholot dijawab Nagi plus bahasa Indonesia yang tidak "baik dan benar" versi guru-guru di sekolah. 

Selasa 17 Mei 2022, warga NTT kembali berkumpul di Soverdi. Tak ada moke, tuak, tongseng RW, rumpu rampe.. tapi ikut Misa Kebangkitan. Melepas Pater Domi Udjan ke peristirahatan terakhir di Kembang Kuning. 

Romo Domi Pastor Kepala Paroki Roh Kudus, Rungkut, Gunung Anyar, Surabaya, berpulang dalam usia 45 tahun. Pastor itu lemas, ambruk, hilang tenaga saat hendak pimpin misa pagi hari Minggu 15 Mei 2022 di gereja pukul 10.00. Dibawa ke RKZ, meninggal dunia sore hari jelang matahari tenggelam. 

Romo Domi Udjan asli Pulau Lembata seperti saya. Bukan sekadar satu pulau, satu kabupaten tapi satu stasi. Meski asli dari Desa Kalikasa, Kecamatan Atadei, bapaknya dulu guru kepala SD di Desa Atawatung  di desa tetanggaku di Kecamatan Gunung Api. 

Umat Katolik di desa-desa di  NTT, khususnya Flores dan Lembata, tidak mengenal sistem gereja paroki macam di Jawa, Bali, dsb. Setiap desa ada gereja yang dinamakan gereja stasi. Ketua stasi malah lebih berpengaruh ketimbang kepala desa, bahkan camat. 

Desa saya tidak punya gereja tapi punya masjid lumayan besar meski penduduknya mayoritas Katolik. Karena itu, kami harus pigi sembahyang misa atau ibadat sabda tanpa imam di desanya Romo Domi Udjan SVD itu. 

Ayahnya Romo Domi, mendiang Bapa Yosef  Nuba Udjan, jadi ketua Gereja Stasi Atawatung. Tidak tergantikan hingga meninggal dunia. Meskipun bukan romo, saya nilai kualitas homili (khotbah) beliau tidak kalah dengan romo beneran. 

Tak kusangka bakat khotbah itu menurun ke anak-anaknya. Dua anaknya sekaligus jadi romo. Pater Paulus Udjan SVD di Timor Leste dan Pater Dominikus Udjan SVD di Surabaya (sebelumnya di Matraman, Jakarta).

 Eh, gak nyangka lagi Romo Domi Udjan ditugaskan di Paroki Roh Kudus, Rungkut Gunung Anyar, gereja tempat saya misa sejak 5 tahun terakhir. Sebelumnya saya di Gereja SMTB Ngagel Madya Surabaya yang pernah dibom itu. 

Senang tapi juga sungkan. Domi Udjan  kecil dulu biasa saya teriaki di jalan, "Domi.. Domiiii.. Domiiii.. mo pai ki! Menu wai ki!"

Artinya, "Domi, mampir ke rumah dulu. Minum air dulu!" 

Domi selalu sopan, terlalu sopan ukuran anak Flores yang kebanyakan suka bicara keras-keras dan lepas kontrol. Omongannya halus. Tak pernah teriak atau marah-marah. Atau bilang "pukimai" dan sejenisnya. 

Gak nyangka Domi jadi pastor. Harus disapa Pater Domi atau Romo Domi.  Atau Ama Tuan kata orang Flores Timur dan Lembata. Tuan Domi. 

Sungkan dan kagok memang menyapa teman lama, adik kelas, dengan sapaan Pater, Romo, Ama Tuan. Lalu membungkukkan badan, cium tangan dsb. Tapi begitulah.. Domi Beda Udjan yang dulu di kampung sudah beda kedudukan dan derajat di lingkungan Katolik. 

Kini semua tinggal kenangan.  Ama Tuan Domi sudah istirahat dengan tenang di Makam Kembang Kuning, Surabaya.  

Ama Tuan Domi.. peten kame!

Senin, 16 Mei 2022

Pater Dominikus Udjan SVD Bahagia di Surga

Jumat pagi saya masih sempat bertemu Pater Dominikus Beda Udjan SVD di halaman pastoran. Pastor asal Pulau Lembata, NTT, ini kelihatan sehat. Biasa saja.

Minggu petang, 15 Mei 2022, beredar kabar duka di WA. Pater Dominikus Beda Udjan SVD sudah istirahat dalam damai. Resquescat in pace! RIP.

Begitu cepat Pater Domi pergi. Tanpa sakit, dirawat lama di rumah sakit, pakai ventilator, infus dsb. Pagi masuk rumah sakit, sorenya sudah menghadap Bapa di surga.

Minggu pagi itu, Pater Domi bersiap memimpin misa. Pakai jubah, siapkan buku-buku liturgi, dsb. Hendak ke sakristi. Gereja hampir penuh jemaat. Tiba-tiba saja pater berusia 45 tahun ini ambruk.

"Napasnya ngos-ngosan, lemes, gak ada tenaga. Sempat nanya di mana HP-nya," kata seorang staf di Paroki Roh Kudus, Purimas, Gunung Anyar, Surabaya. 

Umat yang di dalam gereja tidak tahu kejadian ini. Yang di luar yang panik. Lalu segera membawa Pater Domi ke RKZ, Jalan Diponegoro, Surabaya. Misa sempat tertunda 30-an menit. Diganti pastor lain. 

Lalu muncul berita duka seperti di atas. Saya kaget bukan main. Seakan tak percaya. Tapi sudah kehendak-Nya. Pater Domi kembali ke pangkuan Bapa dalam tugas pelayanan pastoral. 

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil...

Minggu tengah malam ada doa arwah. Saya ikut lewat online. Untaian rosario dan litani menemani pater yang istirahat abadi dalam peti.

Senin pagi, Hari Waisak, saya tidak jadi piknik ke luar kota. Langsung meluncur ke Gereja Roh Kudus. Ikut sembahyang bersama umat paroki. Ketemu Pater Goris Kaha SVD, orang Solor yang kini jadi Provinsial SVD Regio Jawa. Ketemu juga Agnes Swetta, wartawan Kompas, yang ternyata aktif sebagai pengurus di dewan paroki. 

Tidak banyak kata-kata yang diucap di majelis perkabungan itu. Selain doa-doa rosario 5 peristiwa, litani, dan sebagai. Umat dari berbagai lingkungan, wilayah, komunitas datang bergantian menemani Sang Gembala untuk terakhir kali. 

Sudah sering saya ceritakan Pater Domi Udjan di laman ini. Bukan sekadar sama-sama berasal dari Pulau Lembata, ayahnya, Bapa Yosef Udjan (RIP), dulu ketua stasi di gereja kampungku. Bapaku, Niko Hurek (RIP), wakil ketua stasi. 

Bapa Yosef kepala SDK Atawatung yang pandai berkhotbah. Tidak kalah dengan frater atau pastor. Tak heran kalau dua anaknya jadi pastor: Pater Paulus Udjan SVD di Timor Leste dan Pater Dominikus Udjan di Surabaya.

Lama sangat saya tak jumpa Paulus dan Domi. Cuma dengar kabar keduanya jadi pater SVD. Eh, Pater Domi Udjan dapat tugas sebagai pastor paroki di kawasan Rungkut dan Gunung Anyar. 

Satu kenangan tak terlupa. Pagi itu, 22 Juli 2019, saya ngopi dan ngobrol dengan Pater Domi di pastoran. Nostalgia tentang kampung halaman. Ada bumbu-bumbu cerita lucu. 

Tiba-tiba saya dapat telepon dari kampung. Isak tangis. Isinya: Bapa Niko Hurek meninggal dunia 5 menit yang lalu. Pater Domi terdiam, berdoa, dan menenangkan saya. Memberi kekuatan agar saya menghadapi kenyataan ini.

Setelah itu, Pater Domi Udjan juga yang pimpin misa 40 hari dan 100 hari untuk arwah Bapa Niko. Sayang, pandemi covid membuat pertemuan tatap muka tak ada lagi. Bahkan misa pun secara daring. 

Prokes di lingkungan gereja sangat ketat sehingga saya lebih banyak duduk di halaman. Atau masuk ke Gua Maria untuk sembahyang singkat. 

Kini, Pater Domi telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Sudah selesai. Wis rampung. Pater Domi telah bahagia di surga. 

Selasa, 03 Mei 2022

Cak Misdi setia jadi tukang becak di Kota Malang

Ayas uklam-uklam di Ngalam saat Lebaran lalu. Lelaki asal pelosok NTT itu sudah tak asing lagi dengan Kota Malang. Termasuk kebiasaan bahasa walikan alias kata terbalik.

Kata-kata dibaca dari belakang. Malang jadi Ngalam. Mlaku-mlaku: uklam-uklam. Tidak makan: kadit nakam. Kota Lama: Atok Amal. Manis: sinam.

Dulu Ayas biasa jalan kaki ke berbagai kawasan di Malang. Khususnya di kawasan Klojen, Kayutangan, Rampal, Kota Lama, Alun-Alun Bundar, Alun-Alun Kota, hingga uklam-uklam nonton konser di GOR Pulosari Jalan Kawi.

Nah, saat libur Lebaran lalu Ayas jalan kaki di Jalan Pajajaran, Trunojoyo, Thamrin, Suropati, Alun-Alun Bundar, Stasiun KA, dan seterusnya. Jalanan sangat sepi. Orang sibuk berlebaran di rumah masing-masing. Toko-toko tutup.

Namun beberapa tukang becak terlihat mangkal di pojokan Pajajaran dan Suropati. Ayas samar-samar masih ingat Cak Misdi. Tukang becak ini biasa mangkal di Jalan Suropati. Depan markas militer topografi Brawijaya. 

Bertahun-tahun silam Ayas biasa lihat tukang becak itu keliling di kompleks SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4. Waktu itu masih muda pak becak ini. Ayas pun ucapkan "Selamat Lebaran, minal aidin wal faidzin."

Kadit kidum? (Tidak mudik?)

"Mboten. Di sini saja," kata tukang becak bernama Misdi asal Desa Gelam, Candi, Sidoarjo.

Misdi lahir tahun 1951 di Sidoarjo. Sejak muda sudah pindah ke Malang. Sempat kerja serabutan lalu jadi tukang becak. Sudah 40 tahunan jadi tukang becak.

"Sudah lama banget saya mbecak di sini. Sudah banyak teman yang meninggal dan pensiun," kata Misdi seraya tersenyum.

Penghasilan Misdi jauh lebih banyak angka nolnya ketimbang pada tahun 1980-an. Tapi cuma menang angkanya thok. Nilai tukar uangnya sangat rendah. Tidak sebagus tempo doeloe.

"Dulu uang 500 sudah bisa makan enak pakai daging, es teh, joss lah. Sekarang uang 500 gak payu," katanya.

Ayas terlihat takjub mendengar cerita-cerita nostalgia Ngalam tempo doeloe. Salah satunya warung di gang dekat kantor militer yang biasa menyediakan bentoel rebus/kukus. Bentoel yang bukan rokok ini berasa agak manis. Cocok sekali untuk menemani kopi hitam.

Ayas pernah mencari warkop-warkop yang menyediakan bentoel kukus. Tapi tidak ketemu. "Sebetulnya masih ada yang jualan bentoel tapi jarang banget," katanya.

Ayas bersalaman lalu melanjutkan jalan kaki. Sambil merenungi ketanguhan Cak Misdi. Puluhan tahun jadi tukang becak. Dari muda hingga 71 tahun. Masih kuat mancal meski jangkauannya tidak seluas tahun 80-an dan 90-an.

Misdi tidak mau memasang mesin motor pada becaknya seperti becak-becak lain. Kakinya yang sudah kewut (tuwek, tua) itu rupanya masih kuat. Misdi itu tipe wong cilik yang konsisten. Bukan tipe politisi yang mencla-mencle.