Semalam Mas Tri Ongko bagi-bagi berkat akikah. Menu daging kembang yang lezat. Ada sate, gula, krengsengan. Sangat jarang ada acara makan enak seperti ini.
Awalnya saya ragu dengan kuliner kambing. Tapi akhirnya sikat saja. Sudah sekian tahun tidak makan daging kambing meski sangat sering lihat orang angon kambing di tambak-tambak dekat Bandara Juanda.
Bukan apa-apa. Setiap lihat sate kambing, gulai kambing, krengsengan kambing.. saya jadi teringat kampung halaman. Jauh di pelosok Pulau Lembata, NTT. Ada semacam hukum adat nenek moyang yang wajib dipatuhi.. di kampung.
Salah satunya pantang makan daging kambing. Dulu saya pikir semua jenis kambing diharamkan adat Lewotanah. Setelah saya cek ulang, ternyata hanya kambing jenis wedhus gembel atau domba atau biri-biri yang bulunya lebat itu.
Aturan itu hanya berlaku untuk suku (marga) Hurek Making. Juga beberapa suku yang masih satu tungku atau rumpun.
Selain domba, daging anjing dan ikan lumba-lumba juga haram untuk suku Hurek. Babi malah tidak haram. Mulai babi kampung, babi belanda, babi putih kuping lebar, babi hutan, celeng dsb. Babi rusak tidak dikenal.
Tidak ada marga di kampung yang mengharamkan babi. Kecuali mereka yang beragama Islam tentu saja. Macam keluarga besar Ama Hasan Hurek atau keluarga besar Ama Haji Tadong, Ama Imam Paokuma dsb dsb. Mereka-mereka ini golongan Watan Lolon atau orang Islam sejati yang amat taat rukun-rukun agamanya.
Marga-marga lain juga punya pantangan yang berbeda. Ada yang pantang bebek atau sapi. Ada yang haramkan ikan paus. Ini karena setiap marga punya legenda atau riwayat sendiri.
"Ikan lumba-lumba dulu yang tolong kita punya nenek moyang," kata kakek tokoh adat di desa dulu.
"Anjing juga yang menolong kita punya suku lango (keluarga besar) dari bala bencana," begitu tuturan turun temurun.
Bagaimana dengan domba? Ada ceritanya juga tapi saya lupa.
Bagaimana kalau kita melanggar pantangan adat?
Ada sanksinya. Ada juga ritual untuk penghapusan kesalahan. Waktu SD saya pernah diruwat di rumah adat karena ketahuan makan RW alias krengsengan anjing.
Ketika makan sate kambing, di tanah rantau, apalagi di Jawa, kita tidak tahu pasti itu kambing atau domba. Maka sebaiknya dihindari. Kecuali terpaksa karena tak ada pilihan lain.
Karena itulah, saya biasanya menghindari konsumsi daging kambing. Tapi alasannya sengaja dibuat agak ilmiah: daging kambing bikin darah tinggi. Tekanan darah naik dsb. Kebanyakan makan daging kambing bisa stroke.
Semalam saya anggap menu akikah kambing dari Mas Tri bukan domba. Kalaupun wedhus gembel ya tetap saya anggap wedhus kambing. Agar tidak melanggar nasihat-nasihat adat Lamaholot di Pulau Lembata sana.
Enak sekali ternyata daging kambing itu. Bumbu-bumbunya pas. Jeroannya boleh juga. Alhamdulillah!
Nasi kotak yang dikirim Tri ternyata masih bersisa. Semua orang dapat bonus satu lagi untuk dibawa pulang. Dimakan besok pagi pun masih bisa. Belum basi.
Jumat pagi ini saya sarapan nasi gule kambing, sate kambing, krengsengan kambing. Sedap sekali. Tidak takut darah tinggi atau aturan adat di kampung nan jauh di mata.
Belakangan baru saya sadar. Jumat ini hari pantang. "Jangan makan daging pada hari pantang," begitu bunyi salah satu butir Lima Perintah Gereja.
Mea culpa, mea culpa!
Mea maxima culpa!