Satu lagi kawan pamit. Mas Tri purnatugas. Tuntas sudah pengabdiannya di perusahaan media. Enggan diperpanjang kontraknya.
"Sudah cukup. Saya sudah bertahun-tahun ngelaju dari Mojokerto ke Surabaya pakai motor. Sekarang waktunya istirahat. Badan sudah capek," kata Tri Ongko Imam Juhanis, nama penuh kawan lama ini.
Cukup jauh jarak Mojokerto-Surabaya. Sekitar dua jam naik sepeda motor. Bisa lebih. Tapi karena dilakoni enam hari seminggu ya jadi kulino. Malah terasa seperti rekreasi setiap hari.
Pekerjaan apa pun, kalau dinikmati, jadi asyik. Sebaliknya, kalau tidak dinikmati rasanya berat. Meskipun jarak kantor dengan rumah mungkin tidak sampai lima kilometer. Saking nikmatnya, Mas Tri berhasil menuntaskan tugasnya di bagian pracetak.
Karyawan di belakang layar macam Mas Tri ini memang tak dikenal orang luar. Nama-nama dan wajah mereka tak muncul di atas kertas koran atau majalah. Tapi betapa pentingnya Mas Tri dkk dalam memastikan tidak ada salah ketik di judul atau tubuh berita. Keliru satu huruf saja bisa gawat.
Mas Tri ini, karena pengalamannya, punya kecermatan dan ketelitian tingkat tinggi. Dia bisa menemukan huruf atau kata yang 'aneh' atau kathut yang lolos dari pengamatan redaktur dan copy editor.
"Apa gak keliru kalimat ini? Naskah ini kan sudah muat kemarin. Kok bisa muncul lagi?" begitu antara lain peringatan Mas Tri. Dan, setelah dicek ulang ternyata benar. Om redaktur sudah ngantuk atau kelelahan sehingga tidak fokus.
Mas Tri lulusan STM bagian grafika. Jadi, sangat paham proses printing atau percetakan surat kabar, majalah, buku, undangan pernikahan, dsb. Mulai separasi warna, pembuatan plat, dan tetek bengek urusan teknis lainnya.
Tri Juhanis ini juga generasi transisi. Ia mengalami proses cetak model lawas yang masih banyak manualnya hingga sistem cetak jarak jauh. Awalnya Tri dan kawan-kawan harus berkutat dengan film. Huruf-hurufnya terbalik macam di stempel. Tapi orang macam Tri ini sangat lancar membaca tulisan-tulisan terbalik bayangan cermin. Jangan-jangan malah lebih lancar ketimbang membaca tulisan normal.
Karena itu, Tri gampang saja menemukan kata yang salah ketik atau judul yang dianggap "gak bunyi". Kalau sudah begitu ya filmnya digunting. Redaktur revisi naskah itu. Lalu cetak film lagi. Hasilnya dilem di film yang besar tadi.
Nah, setelah semua halaman rampung, film-film itu dibawa ke percetakan. Pakai sepeda motor. Lumayan jauh. Paling lama 30 menit kalau macet. Bagaimana kalau film koran itu hilang atau dicuri di jalan? Alhamdulillah, belum ada kejadian seperti itu.
Jadi masalah besar ketika percetakan pindah ke kawasan Wringinanom, Gresik. Bukan lagi di Karah Surabaya. Apa boleh buat, film itu tetap diboyong ke Gresik. Pakai motor, bukan helikopter. Berat memang tapi kalau dinikmati jadi asyik kayak rekreasi saja.
Syukurlah, teknologi printing lawas pun berlalu. Diganti cetak jarak jauh. Tidak perlu lagi pakai film yang ribet itu. Juga sangat mahal. Halaman-halaman bisa dikirim secara digital lewat komputer. Tidak sampai satu menit sudah tiba di percetakan di Gresik. Pekerjaan jadi sangat enteng berkat jasa teknologi.
"Semua itu pengalaman yang harus kita lalui. Ke depan teknologi pasti semakin maju," katanya.
Kini Mas Tri sudah tidak lagi ribet memelototi kata-kata hingga titik koma atau membaca naskah bayangan cermin. Toh, naskah terbalik itu bisa dinormalkan hanya dengan sekali sentuhan. Tri ingin istirahat karena sudah capek wira-wiri atau riwa-riwi Mojokerto-Surabaya.
Salam sehat dan tetap gembira!