Kamis, 02 September 2021

Njamoek Pers, Koeli Tinta, Kuli Kalimas

Tempo doeloe wartawan biasa disebut njamoek pers. Makhluk kecil, terbang ke sana kemari, tidak punya otot tapi bisa bikin orang tidak bisa tidur nyenyak. Si nyamuk bisa ngang-nging-ngung di kuping atau mencokot kaki manusia.

Wartawan juga sering diumpamakan watch dog. Anjing penjaga yang menggonggong keras ketika ada orang tak dikenal atau mencurigakan punya niat jahat. Watch dog ini penting agar orang tidak kebablasan.

Sebelum nyolong, si maling sudah dicokot sama si asoe. Malingnya ketahuan tapi barang-barang tidak sampai hilang dicuri.

Di Surabaya Raya ini sering sekali terjadi pencurian sepeda motor, sepeda pantjal, dan burung kicauan. Malingnya terekam kamera pengawas atau CCTV - bagi yang punya. Tapi kadang maling-maling ini terus berkeliaran. Ditangkap kalau sedang apes saja.

Masalahnya, 99 persen orang Jawa Timur ini tidak punya watch dog. Tidak ada anjing penjaga yang menyalak dan menggigit pencuri atau maling. Andaikan ada watch dog, pelaku-pelaku kejahatan akan lari terbirit-birit. Dan majikannya akan bangun.

Kembali ke pers atau media massa.

Setelah era njamoek pers datanglah era koeli tinta. Lama benar istilah koeli tinta beredar meski para wartawan sudah pakai komputer.

Istilah koeli tinta kemudian diganti kuli disket. Sebab saat itu wartawan ke mana-mana bawa disket untuk simpan data. Maklum, belum ada USB yang bisa menyimpan hingga giga bita.

Lalu datanglah ponsel pintar, smartphone. Data digital bisa disimpan dengan mudah dan banyaaaaak... unlimited.

Istilah kuli tinta, kuli disket, kuli USB, apalagi njamoek pers, otomatis hilang. Tak ada lagi istilah khusus untuk wartawan, reporter, jurnalis, pewarta, pemberita dan sebagainya. Apalagi saat ini semua orang bisa bikin berita di media sosial, blog, dsb.

Tapi saya masih sering pakai istilah "kuli tinta" sekadar guyon. Atau menyamarkan diri biar tidak ketahuan sebagai njamoek pers.

"Sampean kerja di mana?" tanya Ning Sih, pemilik warung di Rungkut Menanggal.

"Di daerah Kalimas sana."

"Tanjung Perak?"

"Yah.. dekat pelabuhan itulah," jawabku enteng.

Kantor saya memang di pinggir Sungai Kalimas. Tidak jauh dari Pelabuhan Kalimas. Dekat Tanjung Perak memang.

"Sampean bagian apa di Kalimas?"

"Bagian kuli tinta aja," kata saya enteng. Kata "tinta" saya rendahkan. Sehingga yang terdengar hanya kuli di Kalimas.

Begitulah. Selama empat atau lima tahun ini Ning Sih mengenal aku sebagai kuli di Kalimas. Tukang angkat barang di pelabuhan tua di muara Sungai Kalimas tersebut.

Karena itu, Ning Sih ini selalu heran melihat saya begitu rajin baca koran di warungnya. Saya baca detail, khususnya berita-berita kota. "Lapo awakmu kok doyan moco koran kayak wong pinter ae," ujar ibu yang senang guyon ini.

"Iku tukang becak yo moco koran ben gak ketinggalan berita. Tukang rombeng iku yo doyan koran," kata saya merujuk beberapa pelanggan warungnya.

Pagi tadi saya mampir lagi di warkopnya Ning Sih sehabis nggowes dari kawasan tambak sekitar Bandara Juanda. Baca koran Jawa Pos, seperti biasa, lalu mulai main HP. Bukan main-main game atau media sosial, tapi unggah konten.

Salah satu tugas saya memang upload berita-berita di laman atau website. Sedikitnya 10-15 naskah sehari. Kelihatannya gampang tapi jelimet. Apalagi upload pakai HP. Beda kalau pakai komputer atau laptop yang lebih cepat dan enak.

Ning Sih melihat saya terlalu sibuk main HP. Tidak ikut nimbrung guyon bersama jemaah warkop lainnya. "Ngapaian sampean itu? Kok senang main medsos kayak arek nom ae," katanya.

"Ini lagi kerja Mbak. Rada ruwet ini."

"Halah... kerja di Kalimas aja kok gayanya serius banget," semprot Ning Sih lagi.

Hehehe... Memang susah jadi kuli pelabuhan, kuli bangunan, kuli tinta, dan kuli apa saja.

Bung Karno tidak mau kita orang jadi bangsa koeli en koeli di antara bangsa-bangsa. o

Sabtu, 28 Agustus 2021

Selamat untuk Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Keuskupan Surabaya mendapat tambahan satu paroki baru. Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo.

Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono memimpin langsung peresmian Paroki Santa Monika, Krian, Jumat 27 Agustus 2021. Bapa Uskup yang asli Tanjung Perak, Surabaya, itu didampingi sejumlah pastor dari Surabaya, Mojokerto, dan sekitarnya.

Selama puluhan tahun umat Katolik yang ada di Krian dan sekitarnya bergabung dengan Paroki St Yosef, Mojokerto. Meskipun Krian berada di Kabupaten Sidoarjo, lokasinya memang lebih dekat Mojokerto.

Perjuangan umat Stasi Krian untuk memiliki gereja sendiri, sekaligus paroki mandiri, sudah sangat lama. Perjuangan yang melelahkan, penuh cucuran keringat, air mata.. dsb. Mungkin Krian ini yang paling berat di Jawa Timur.

Sampai sekarang masih ada bangunan mangkrak yang jadi saksi bisu perjuangan itu. "Umat di Katolik di Krian ini memang sangat sabar, sabar, tidak putus asa," kata Uskup Sutikno.

Penantian dan kesabaran selama 30 atau 40 tahun itu akhirnya berbuah manis. Stasi Krian resmi melepaskan diri dari Paroki Mojokerto. Jadi paroki sendiri bernama Paroki Santa Monika, Krian, Sidoarjo.

Paroki terbaru di Keuskupan Surabaya ini memiliki 2.440 jiwa umat Katolik yang aktif. Ada lima wilayah, 23 lingkungan, dan dua stasi.

Stasi Mojosari, Mojokerto, sekarang ikut Paroki Krian. Stasi Citra Harmoni, Taman, yang sebelumnya masuk wilayah Paroki Karangpilang, Surabaya, juga resmi gabung ke Paroki Krian. Jauh lebih dekat ketimbang ke Karangpilang.

Sebagai paroki baru, tentu saja dewan pastoral paroki yang baru dilantik Uskup Surabaya perlu melengkapi sejumlah fasilitas standar sebuah paroki. Uskup Sutikno sempat menyebutkan beberapa pekerjaan rumah. Termasuk pastoran atau tempat tinggal pastor.

Profisiat untuk umat Paroki Krian!
Selamat melayani Tuhan dengan iman, harapan, dan cinta!

Rabu, 25 Agustus 2021

Tak Ada Lagi Umi di Jalan Karet dan Kembang Jepun

Dia lebih suka disapa Umi. Bukan Ibu atau Mak atau Bu.

Kalau disapa Umi, lekas banget dia menyahut. Sebaliknya, kalau dipanggil Mak atau Ibu, dia pura-pura tuli. Kurang suka sapaan Mak atau Ibu.

Maklumlah, Umi ini sudah lama pigi haji ke tanah suci. Hajah Umi.

Dan.. tidak gampang bagi wanita yang sehari-hati bekerja sebagai juru parkir (jukir) di pojokan Jalan Karet, Surabaya. Persimpangan Jalan Karet, Kembang Jepun, Jalan Panggung, Jembatan Merah, Kalimas Timur.

Ke mana Umi? Kok gak kelihatan mengatur kendaraan-kendaraan yang sering semrawut di dekat gedung perusahaan perkapalan dan gedung tua Jawa Pos?

Seorang kerabat Umi, sesama orang Bangkalan, Madura, mendekat kepada saya. Lalu bicara setengah berbisik, "Umi sudah gak ada. Sudah hampir dua minggu ini," katanya.

Innalilahi...
Selamat jalan, Umi!

"Apakah beliau meninggal karena sakit? Covid atau apa?" gantian saya yang bisik-bisik karena covid itu sensitif.

Umi ini tergolong orang yang kurang percaya covid. Mbak Kholifah, pemilik warkop di pojok Jalan Karet juga sama. Kholifah meninggal sekitar tiga bulan lalu. "Bukan covid lho. Pencernaannya terganggu," kata Umi kepada saya.

"Sampean itu jangan kaitan dengan covid," kata Umi dalam logat Madura yang kental. Meskipun Umi sudah puluhan tahun tinggal di Surabaya Utara.

Umi berpulang karena kecelakaan lalu lintas. Dibonceng suaminya, Abah, mudik ke Madura. Saat melintas di Jembatan Suramadu, entah mengapa, motor ambruk. Tubuh Umi terlempar membentur aspal jembatan.

Sempat dibawa ke rumah sakit tapi Tuhan berkehendak lain. Abah selamat meski kakinya cedera. "Sudah takdir Allah. Kita ikhlaskan kepergian Umi," kata putra Umi yang meneruskan usaha warkop almarhumah Umi dan Kholifah.

Cukup lama saya mengenal Umi dan Kholifah. Persisnya sejak pindah kantor dari Ahmad Yani ke Kembang Jepun. Saya selalu mampir ngopi sambil melancarkan bahasa Madura saya. Maklum, sebagian besar pelanggan Umi dan Kholifah berbahasa Madura.

Umi itu narasumber yang akurat untuk jalan-jalan di Surabaya Utara. Khususnya kawasan Pecinan macam Jalan Karet, Gula, Kopi, Cokelat, Kembang Jepun, Samudera, Pasar Bong, Bibis, hingga Ampel, Nyamplungan, sampai ke laut di kawasan Kalimas.

Tukang-tukang ojek sering kesasar karena Google Maps tidak selalu akurat. Biasanya mereka turun dan bertanya ke Umi. Dan.. Umi pun bisa memberi tahu posisi jalan tersebut. "Gimana gak tau, wong sejak masih perawan saya sudah di sini," katanya.

Sejak belum menjadi suami pria sesama Madura yang kemudian jadi Abah (haji), Umi bekerja di kantor Jawa Pos. Kerja serabutan, bersih-bersih, seksi repot dsb. Saat itu koran Jawa Pos masih dikelola pendirinya The Tjoeng Sen.

Karena itu, Umi ingat betul nama-nama wartawan dan karyawan Jawa Pos tempo doeloe. Ketika Jawa Pos diambil alih majalah Tempo pada 5 April 1982, Umi pun masih bekerja di surat kabar terkenal tapi nyaris bangkrut itu.

Jawa Pos kemudian membesar dan membesar. Lalu pindah kantor dan percetakan di Karah Agung 45, dekat hamparan sawah yang luas tahun 1989. Bu Umi tidak ikut boyongan ke Karah. "Saya kerja serabutan di sini saja. Rezeki itu ada di mana-mana," katanya.

Maka, jadilah Umi tukang parkir perempuan pertama di kawasan Surabaya Utara. Bahkan, sampai sekarang pun saya tidak melihat jukir-jukir lain di kawasan Pecinan, Jembatan Merah, Kapasan, dan sekitarnya yang perempuan.

Profesi sebagai jukir dijalani dengan tekun. Abah juga usaha serabutan. Sedikit demi sedikit menabung, akhirnya pasangan suami istri itu bisa pigi naik haji. Pulangnya jadi Abah dan Umi.

Umi ini benar-benar hajah yang mabrur. Ibadahnya kuat betul. Di sela-sela jaga parkir dan atur lalu lintas di pojokan Jalan Karet, Umi selalu ngaji, ngaji, ngaji. Juga sembahyang dengan duduk. Umi menyediakan tempat khusus untuk salat dan ngaji di areal parkiran dekat depot terkenal.

Kemarin saya mampir ngopi di tempat yang biasa dipakai ngaji Umi. Sepi. Tidak ada lagi suara Umi yang keras mengatur lalu lintas dan pengendara mobil atau motor yang hendak memarkir kendaraannya.

Jalan Karet dan Kembang Jepun terasa sepi tanpa Umi yang biasanya cerewet.

Sabtu, 21 Agustus 2021

Perjuangan melawan Covid-19 belum usai

Kuenya sudah habis. Tapi kotaknya masih ada. Kue legit untuk Tasyakuran RT 05 RW 03 merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sudah dua tahun ini tak ada acara kumpul-kumpul tasyakuran pada malam 17 Agustus. Surabaya masih PPKM 4 alias level paling tinggi. Lonjakan pasien covid sejak awal Juli lalu masih terasa hingga ulang tahun ke-76 RI.

Karena tidak boleh kumpul-kumpul, jaga jarak, prokes 5M, maka Pak RT mengirim kue tasyakuran ke rumah-rumah penduduk. Lengkap dengan tulisan ini:

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai.
Semoga dengan perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-76 nanti masyarakat bisa semakin kuat dan Indonesia semakin jaya!
MERDEKA!"

Kita orang masih simpan kertas berisi tulisan Pak Eko, ketua RT 05, di kawasan Rungkut Barata, Surabaya. Kata-katanya sangat relevan dengan kondisi yang kita orang rasakan akhir-akhir ini.

Dua pekan sebelum Hari Merdeka Nusa dan Bangsa, ada seorang tetangga meninggal dunia. Positif Covid-19. Dimakamkan di atas pukul 01.00. Paginya baru kita dengar beliau sudah tiada.

Dan... masih dalam suasana "dirgahayu Indonesia", Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan, guru besar FK Unair, meninggal dunia. Jenazah tidak pulang ke rumahnya yang megah di RT 5, RW 3. 

Dari RSUD dr Soetomo geser ke sebelah di kampus FK Unair untuk penghormatan terakhir dari civitas academica. Lalu langsung ke TPU Keputih. Permakaman khusus para korban Covid-19 di Surabaya.

Saya lagi asyik menikmati lagu-lagu perjuangan tempo doeloe di rumah Bapak Prof Trijono. Tidak dapat informasi dokter spesialias radiologi itu berpulang. Asyik-asyik aja nikmati lagu-lagu Ismail Marzuki macam Selendang Sutra, Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, Kopral Djono dll.

Eh.. tak lama kemudian datanglah karangan bunga. Susul menyusul. Oh, Tuhan, Pak Prof Trijono berpulang.

Makin lama makin banyak karangan bunga. Dari kampus, kerabat, rumah sakit, organisasi profesi, dsb. Saya pun harus piket hingga jelang pukul 00.00 untuk menerima dan mengatur posisi karangan-karangan bunga dukacita itu.

Malam itu, seperti biasa, saya sulit tidur. Kita orang punya otak melayang ke mana-mana. Betapa rentannya manusia di hadapan virus yang renik itu. Kita orang masih kewalahan mengatasi pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun itu.

"Perjuangan melawan Covid-19 belum usai," kata Ketua RT Pak Eko.

Masih panjaaaaaaang, Pak Eko!

Rabu, 18 Agustus 2021

Dedikasi Prof Dr dr Trijono Karmawan untuk FK Unair hingga Akhir Hayat


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga kembali kehilangan guru besarnya karena Covid-19. Prof. Dr. dr. Trijono Karmawan Sukana Prija, Sp.Rad(K), guru besar Departemen Radiologi, tutup usia pada Rabu 18 Agustus 2021 pukul 10.55 di Ruang Isolasi Khusus (RIK) 1 RSUD dr Soetomo Surabaya setelah dirawat selama empat hari.

Dekan FK Unair Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG(K) menuturkan, meninggalnya Prof Trijono menambah daftar guru besar FK Unair yang gugur karena Covid-19. Sepanjang pandemi, sudah tujuh guru besar FK Unair meninggal dunia. Enam di antaranya karena Covid-19.

Kehilangan banyak guru besar menjadi keprihatinan bagi FK Unair. Apalagi, para guru besar ini masih produktif dan melakukan pelayanan, pendidikan, dan penelitian.

"Tentu kehilangan guru-guru terbaik yang ada di FK Unair, termasuk Prof Trijono, adalah duka mendalam bagi FK Unair. Karena ilmu-ilmu beliau masih kami butuhkan sebenarnya di FK Unair. Lewat jasa Prof Trijono juga, banyak banyak ahli radiologi dari FK Unair lahir dan sudah tersebar di seluruh Indonesia," katanya.

Prof Budi menegaskan bahwa mencetak guru besar yang ahli tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan proses yang panjang dan sulit. Karena itu, ia meminta masyarakat untuk terus berupaya agar pandemi ini segera berlalu.

Prof Trijono semasa hidup dikenal sebagai sosok yang berdedikasi pada ilmu pengetahuan. Ia telaten dalam mentransfer ilmu kepada para calon dokter spesialis radiologi dari FK Unair.

Semangat guru besar yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Radiologi FK Unair dalam menegakkan penelitian juga sangat tinggi. Banyak jurnal penelitian tentang radiologi lahir lewat tangan dinginnya.

Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Digitalisasi, dan Informasi Universitas Airlangga, Dr. dr. Miftahussurur, M.Kes, SpPD-KGEH, Ph.D menuturkan meninggalnya guru besar merupakan pukulan yang mendalam bagi Fakultas Kedokteran.

"Beliau bukan hanya profesor, namun bapak dan guru kami yang sangat berjasa pada pengembangan ilmu pengetahuan di Unair," terangnya.

Tak hanya dalam akademis, Prof Trijono juga penuh dedikasi mengabdi untuk merawat pasien. Atas pengabdian hingga akhir hayatnya, kami memberikan penghargaan setinggi-tingginya. Semoga semangat kni diteruskan oleh dokter yang tengah berperang melawan pandemi saat ini," katanya.

Prof Trijono lulus dokter dari FK Unair tahun 1978. Ia kemudian menyandang gelar sebagai ahli radiologi pada 1983. Di tahun 1988, ia menamatkan pendidikan S-3 dan menyandang gelar doktor.

Ia mulai mengabdi di FK Unair tahun 1979 dan diangkat menjadi guru besar di tahun 2000.

Guru besar kelahiran Purwokerto, 2 Januari 1952, itu gugur meninggalkan istri Ratna Nuryani Rasoel dan tiga orang putra, yakni Andri Setiawan, Bagus Massyanto dan Aswin Syaferial.

Matur Sembah Nuwun Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan

Betapa sedih hatiku hari ini.
Bapak Prof Dr dr Trijono Karmawan menghadap Allah SWT.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!

Lebih sedih lagi karena kita tidak bisa mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Pemakaman dilakukan dengan lekas. Jenazah guru besar radiologi Universitas Airlangga itu tidak bisa dibawa ke rumahnya di Rungkut, Barata, Surabaya. Langsung dibawa ke TPU Keputih. Pelepasan di Unair pun secara virtual.

Kita hanya bisa dengar kabar, "Bapak sudah gak ada!"

Kita tak bisa berkata apa-apa. Selain berdoa agar Pak Tri mendapat tempat yang bahagia di sisi Allah. Dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan iman, tabah menghadapi ujian ini.

Bu Ani, Mas Andri, Mas Bagus, Mas Aswin... keluarga besar Pak Tri semoga selalu mendapat rahmat dan kekuatan dari Tuhan.

Pak Tri dan Bu Ani sudah seperti keluarga sendiri. Saya lama tinggal bersama mereka. Bapak Trijono dan Ibu Ani di rumah sebelah barat, saya di sebelah timur. Pak Tri memang punya tiga rumah berdempetan yang dijadikan satu.

Pak Tri tak banyak bicara, murah senyum, dan bijaksana. Hanya sesekali bicara. Yang perlu-perlu saja. Bicara banyak saat membimbing dokter-dokter yang ingin maju ke S3.

Sejak siang tadi karangan bunga terus berdatangan. Saya ikut bantu menerima dan memasang karangan bunga dukacita itu.

Sambil mengetik catatan ini, tak terasa mata saya basah. Ingat jasa-jasa dan kebaikan Pak Tri.

Selamat jalan Pak Tri!
Matur sembah nuwun!

Senin, 16 Agustus 2021

Jokowi terlambat sadar biaya tes PCR kita selangit

Kita orang sudah lama komplain soal tes PCR yang sangat mahal. Sekitar Rp 1 juta atau 900 ribu sekali tes. Tes antigen juga mahal. Di atas 200-an.

 Ya, kalau tes gratisan dari pemerintah untuk melacak kontak erat dsb. Bagaimana kalau bayar sendiri? Bisa mati berdiri. Bukan mati karena corona tapi kelaparan.

Penghasilan karyawan di Indonesia, khususnya Jawa Timur, rata-rata di bawah Rp 5 juta. UMK di bawah Rp 4 juta. Kalau harus tes PCR maka uang di saku tinggal Rp 2 juta. Bisa tidak makan dua minggu.

Sayang, seperti biasa para wakil rakyat tidak peka soal biaya PCR ini. Sama sekali tidak ada keluhan atau protes dari anggota parlemen. Apalagi pemerintahnya. Seakan biaya PCR yang seribu itu, Rp 1 juta, dianggap wajar.

Gara-gara PCR yang biayanya sekitar 30% dari penghasilan, maka selama ini banyak banget orang Indonesia yang enggan dites covid. Padahal punya gejala-gejala kena virus corona. Dianggap sakit selesma (istilah flu di Lembata sana), influenza, flu, atau demam biasa.

Banyak karyawan yang suspek covid, gejala ringan, tetap kerja seperti biasa. Cangkrukan di warkop. Antar pesanan atau penumpang karena dia orang tukang ojek. Seakan-akan orang itu cuma flu ringan yang bisa sembuh sendiri.

"Ndak kuat kita orang kalau harus tes covid pakai duit sendiri. Tes antigen sih agak murah. Tapi kalau reaktif kan kudu pigi tes PCR yang satu juta. Apa negara yang bayar," kata Cak Fulan. 

 Kenalan saya ini wong Jowo tapi pernah ke NTT. Dia suka pakai "kita orang" kalau omong-omong dengan saya. Maka saya pun mulai terbiasa pakai kita orang, kitorang, dia orang, dorang, khas omongan Melayu Pasar di NTT.

Fulan tidak cuma omong atau guyon. Bulan lalu dia kena gejala covid. Taruhlah ada 10 ciri-ciri orang terpapar covid, bung itu dapat 8. Alias sudah hampir pasti positif kalau dites antigen dan PCR.

"Tapi kita orang tidak mau tes-tesan. Langsung isoman aja," tuturnya setelah sehat kembali.

Buat apa tes antigen dan PCR yang makan biaya sekitar Rp 1.500 kalau kita sudah tahu positif? Begitulah jalan pikirannya. Dan... banyak banget orang Indonesia yang berpikir dan bertindak seperti itu.

Maka,  Fulan dan banyak orang lain ini tidak tercatat sebagai penderita Covid-19. Meskipun sejatinya bisa dipastikan covid. Covid ibarat gunung es. Data-data konfirmasi dsb cuma permukaan gunung es saja. Di bawahnya masih banyak.

Dan... salah satu biang keroknya adalah biaya tes yang sangat mahal.

Syukurlah, Presiden Jokowi akhirnya angkat bicara. Bapa Presiden bilang kita orang punya biaya tes PCR kemahalan. Tidak masuk akal kalau sampai 900 atau 1000 atau di atas itu.

Jokowi minta biaya PCR diturunkan jadi 450. Maksimal Rp 550. "Saya sudah bicara dengan menkes," katanya.

Presiden jelas terlambat. Sangat terlambat. Sudah 17 bulan pandemi baru sadar ada masalah serius dalam testing & tracing di Indonesia. Menkes dan kepala daerah lebih parah lagi karena seakan tidak tahu bahwa harga PCR itu bisa menyedot habis penghasilan rakyat yang masih di bawah Rp 3 juta.

Mengapa biaya tes PCR di India hanya Rp 100 ribu? Toh, India juga bukan negara kaya. "Kulakan di mana alat PCR di India itu?" tanya seorang pendengar Radio Suara Surabaya.

Tidak ada salahnya kalau Bapa Menkes pigi ke India untuk studi banding PCR test. Sambil pesiar dan bertemu artis-artis Bollywood.