Kamis ini Lebaran. Bersamaan dengan Hari Kenaikan Yesus Kristus.
Mau misa di Gereja Kayutangan, Malang, tapi tidak bisa karena bukan jemaat setempat. Protokol kesehatan di gereja-gereja memang sangat ketat (dan kaku).
Tak apa-apa. Toh bisa misa daring. Libur Lebaran di Malang tapi ikut misa dari Gereja Katedral Larantuka, Flores Timur. Dipimpin Romo Edy Saban orang Lembata.
Misa di gereja tua peninggalan Portugia ini ibarat nostalgia mengenang masa kecil di Larantuka. Saat jadi misdinar atau putra altar Pater Paulus Due SVD dan Romo Gorys Kedang Pr -- keduanya sudah rest in peace.
Suasana Kota Malang di hari raya ini lengang. Tak banyak kendaraan lewat. Hampir tidak ada warung atau depot yang buka. Aku pun jalan kaki ke kawasan Kayutangan. Mampir dulu ke gereja yang sepi gara-gara Covid-19.
Oh, Toko Oen persis di depan Gereja Kayutangan ternyata buka. Pesan kopi dan roti tawar. Nongkrong, baca koran Jakarta Post yang disiapkan pengelola Toko Oen, sambil mendengarkan lagu-lagu nostalgia. Beatles, Roberta Flack, dan artis-artis lawas lainnya.
Suasana Toko Oen tidak banyak berubah. Meja dan kursi model tempo doeloe. Bangunannya juga khas tahun 1930-an. Hanya roti, kue, camilan yang disesuaikan dengan lidah wong Jowo. Maka tidak akan ada roti gandum di sini. Keju khas Hindia Belanda pun zonder ada.
Saya sudah tahu sejak dulu bahwa harga kopi dan aneka minuman di sini memang mahal. Karena itu, saya cuma pesan secangkir kopi hitam + sedikit gula. Harganya Rp 20 ribu. Roti tawar Rp 15 ribu.
Bagaimana rasanya kopi hitam ala Toko Oen?
Sama saja dengan kopi di warkop-warkop pinggir jalan di Surabaya dan Sidoarjo yang Rp 3.000-an itu. Malah lebih gurih yang di warkop kaki lima.
Bedanya, di sini kita bisa melihat beberapa turis londo yang sedang nostalgia di toko tempo doeloe. Kita juga bisa membayangkan sensasi noni-noni dan mevrow tempo doeloe yang cakep-cakep beraroma keju.
Als de orchideen bloeien...