Minggu, 13 Desember 2020

Cristina Duque, Seniman Ekuador Cinta Budaya Nusantara

Cukup banyak seniman asing yang jatuh cinta pada seni budaya Nusantara. Salah satunya Cristina Duque. Perempuan asal Ekuador itu belum lama ini tampil dalam Festival Panji Nusantara 2020 di Malang. Cristina berkolaborasi dengan  Sri Mulyani, koreografer dan penari senior asal Surabaya, serta para seniman yang tergabung dalam Pusat Olah Seni Budaya Mulyo Joyo, menampilkan karya berjudul Alap-Alap Anggraeni.

Sri Mulyani mengaku terkesan dengan ketekunan Cristina Duque mempelajari seni tari khas Jawa. Juga tembang-tembang tradisional Jawa yang mirip mantra itu. "Cristina mampu menyerap dan menguasai secara cepat," kata Sri Mulyani kepada saya di kawasan Rungkut Surabaya.

Sayang, saya tak sempat menemui Cristina karena sudah keburu pulang ke Jogjakarta. Dia memang tengah menyelesaikan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI). Namun, Cristina yang sudah bisa berbahasa Indonesia dan Jawa itu mau diwawancarai secara tertulis.

Pertanyaan berbahasa Indonesia dijawab dalam bahasa Inggris oleh seniman asal Kota Quito yang sehari-hari berbahasa Spanyol itu.

Sudah berapa lama belajar di Indonesia? Sudah tampil berapa kali di festival kesenian?

"Since a year ago, I already have 17 performances in many places in Indonesia including festivals, exhibitions and video shootings."

Bagaimana ceritanya Anda mengenal Sri Mulyani dari Surabaya kemudian berkolaborasi di Festival Panji Nusantara?

"Mbak Sri and I, we met at the Bedog 2019 Yogyakarta Art Festival, so last year in December I was in Surabaya and I started collaborating with her and we talked about the history of Panji. We had rehearsals, but then we couldn't continue our process, because of covid, so this November 2020 mba Sri invited me to do our collaboration since he had this invitation to participate in the Panji festival, and finally we are doing it in Malang."

Bagaimana pendapat Anda tentang seni budaya Indonesia?

"Well, for me, Indonesia is incredible because its culture, it is a very rich country, and I am here to dance and perform and also play my Buddha. But the main thing is that I am here to study traditional Indonesian dances.

I really love this culture even sometimes it is very difficult for me to learn these traditional dances, and budaya, because I am from the other side of the world, but these difficulties make me find new semangat every time, I love your country, I love your budaya."

Bagaimana kesan Anda tampil di Festival Panji Nusantara di Malang?

"For me, it is really memorable to do this collaboration because we are working with a dalam that makes this mixture of the traditional with the contemporary, magical.

On the other hand we talk about Panji but it is very interesting for me to see these traditional stories, until now they exist, that is, their topics in depth, they are alive.

We worked a week full time, we had a rehearsal, then because of the crown we have to follow protocol and take care of our lives, but I think we have to start living together in this condition.

Humans have a really easy way of adapting our lives to conditions."

Terima kasih, Cristina! 

Gracias!

Senin, 07 Desember 2020

Majalah Jaya Baya genap 75 tahun

Majalah Jaya Baya baru merayakan AMBALWARSA ke-75, Sabtu 5 Desember 2020. Usia yang terbilang panjang untuk ukuran media cetak di Indonesia.

Begitu banyak majalah dan koran yang terbit sejak era kemerdekaan, 1945, sampai era reformasi. Tapi tidak banyak yang bertahan. Bukan karena dibredel pemerintah seperti saat orde baru, tapi dibredel pasar. Media-media konvensional kehilangan banyak pembaca sehingga terpaksa tutup.

Era digiral yang menghadirkan media sosial dan online semakin membuat media cetak goyang. Informasi kini bisa diperoleh dengan mudah kapan saja. Tidak perlu menunggu besok atau minggu depan.

Karena itu, saya mengucapkan selamat hari jadi kepada Jaya Baya. Majalah berbahasa Jawa yang masih bertahan di era milenial. Selain Jaya Baya, di Surabaya ada satu lagi majalah bahasa Jawa, yakni Panjebar Semangat. Usianya lebih tua ketimbang Jaya Baya.

"Kami bisa bertahan karena didukung pembaca setia yang sepuh-sepuh," kata Widodo Basuki, redaktur senior yang mengelola Jaya Baya.

Di masa jayanya, menurut Widodo, oplah Jaya Baya pernah mencapai 95 ribu eksemplar. Luar biasa untuk majalah yang sangat segmented Jawa. Oplah setinggi itu boleh dikata mustahil terulang di era internet. Jangankan media berbahasa Jawa, majalah atau koran berbahasa Indonesia pun sangat sulit.

Karena itu, banyak budayawan, seniman, pengamat, berbagai komunitas ramai-ramai mangayubagya. Ikut berbahagia dan senang. Majalah berbahasa Jawa ternyata masih bisa eksis di tanah air.

Widodo Basuki.:
"Matur nuwun untuk semua sahabat, sesepuh pinisepuh yang telah memberi dukungan penuh doa pada ulang tahun Majalah Jaya Baya. Semoga ini menjadi berkah kekuatan untuk nguri - uri budaya melalui bahasa Jawa. Rahayu rahayu untuk kita semua. Jaya jaya wijayanti nir ing sambekala."

Minggu, 06 Desember 2020

Erupsi Berlanjut, Romo Ajak Pulang

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata sudah berlangsung selama tujuh hari. Puncak erupsi sepertinya sudah terjadi pekan lalu. Saat itu semburan material vulkanik menjulang hingga 5.000-an meter.

Saya pantau terus kondisi Ile Ape. Maklum, kampung halaman tempat saya dilahirkan. Ribuan warga dari 26 desa juga masih berada di tenda-tenda pengungsian.

Minggu pagi ini, 6 Desember 2020, pukul 07:36 Wita dilaporkan erupsi masih terjadi di Gunung Lewotolok. Tinggi kolom abu teramati ± 900 m di atas puncak (± 2323 meter di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna putih hingga kelabu dengan intensitas tebal ke arah timur.

Bagaimana dengan kondisi pengungsi? Media-media online tidak lagi melaporkannya. Mungkin dianggap sudah aman. Tidak segawat pekan lalu yang benar-benar mengerikan.

Tapi rupanya ada masalah dalam tanggap darurat. Pemkab Lembata sepertinya kewalahan menangani pengungsi dari dua kecamatan itu: Ile Ape dan Ile Ape Timur. Bisa dimaklumi karena pemkab tidak punya pengalaman menangani ribuan pengungsi.

Kelihatannya Romo Laurensius Yatim Muda berang. Melihat penanganan para pengungsi yang tak lain umat parokinya sengsara di lokasi pengungsian.

Romo Laurens Yatim Muda menulis:

"SAYA... RM LORENS YATIM MUDA PR. PASTOR PAROKI TOKOJAENG MEMINTA UMAT SEPAROKI TOKOJAENG UNTUK KEMBALI KE TEMPAT ASAL KITA MASING2. BIAR KITA MATI TERTIMPA GUNUNG DALAM WAKTU SEKEJAP DARI PADA KITA HARUS MATI PERLAHAN-LAHAN ATAS CARA SEPERTI INI."

Kaget juga membaca kata-kata yang sangat keras ini. Kelihatannya Romo Laurens memandam amarah selama sepekan ini. "Semoga ada solusi yang baik," kata saya menanggapi pernyataan Romo Laurens.

Tidak hanya di Lembata. Di mana-mana selalu begitu. Pemerintah pasti kewalahan menyediakan dapur umum, makanan minuman, dan sebagainya. Di lokasi bencana alam di Jawa pun sama saja.

Dulu pengungsi semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo juga unjuk rasa hampir tiap hari. Ada saja keluhannya. Karena itu, semua pihak perlu membantu Pemkab Lembata dan instansi terkait.

Mengecam keras pemerintah yang dinilai tidak becus menangani ribuan pengungsi tak akan menyelesaikan masalah. Apalagi nekat pulang kampung di saat erupsi masih terjadi.

Sabar... sabar... sabar... dan tunggulah petunjuk pihak vulkanologi kapan waktu yang tepat. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.

Salus populi suprema lex!

Sabtu, 05 Desember 2020

Bapa Niko, Maradona, Radio Conion

Seandainya masih hidup, hari ini ayahku genap berusia 80 tahun. Bapa Niko lahir di Desa Bungamuda, salah satu kampung yang sekarang terdampak erupsi Gunung Lewotolok, Pulau Lembata, 6 Desember 1940.

Tanggal dan bulan lahirnya sebetulnya tidak akurat. Seorang pater asal Belanda yang memilihkan tanggal 6 Desember. Pesta nama Santo Nikolaus atau Nikolas. Orang-orang kampung di Lembata saat itu buta huruf sehingga tidak punya catatan tanggal lahir yang akurat.

Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia tahun lalu di Lewoleba. Tepatnya 22 Juli 2019.

Meskipun sudah 1,5 tahun berpulang, saya masih merasa seakan-akan beliau masih ada. Beberapa kali Bapa Niko datang dalam mimpi dengan wajah yang selalu tersenyum. Wajah saat masih muda dan kuat. Bukan Bapa Niko yang lansia dan rapuh.

Ada kenangan tak terlupakan di kampung Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, saat aku masih kecil. Ada kaitan dengan Diego Maradona, megabintang asal Argentina yang baru saja meninggal dunia. Yakni partai final Piala Dunia 1986 di Meksiko.

Argentina yang dikapteni Maradona melawan Jerman Barat yang diperkuat pemain-pemain top seperti Matthaeus, Rummenigge, Voeller. Inilah partai final paling berkesan dalam hidup saya meskipun saya tidak melihat dengan mata, tapi telinga.

Saat itu Pulau Lembata belum ada listrik. Lewoleba sebagai ibu kota (calon) kabupaten saja belum ada jaringan PLN. Apalagi desa-desa pelosok seperti di Ile Ape. Bahkan, Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur pun listrik PLN hanya tiga jam. Pukul 18.00 sampai 21.00.

Karena itu, Bapa Niko dan beberapa orang kampung sangat doyan mendengarkan siaran pandangan mata lewat RRI Kupang dan RRI Ujungpandang. Kualitas suara RRI Ujungpandang di gelombang pendek (SW) sangat bagus.

RRI Kupang hanya bagus pada malam hari. RRI Stasiun Nasional Jakarta selalu kemeresek suaranya. Biasanya pertandingan-pertandingan yang bagus seperti tim nasional direlai oleh RRI stasiun regional di seluruh Indonesia.

Nah, Bapa Niko Hurek punya radio kecil merek Conion khusus gelombang pendek SW1 dan SW2. Aslinya pakai dua baterai, tapi dimodifikasi jadi empat baterai. Baterai-baterai lama yang sudah suak dijemur lalu digandeng. Agar bisa hemat katanya.

Luar biasa kecintaan Bapa Niko pada radio. Khususnya warta berita, sandiwara Butir-Butir Pasir di Laut, siaran pendidikan, Forum Negara Pancasila, hingga berita dukacita. Beliau yang selalu mengabarkan berita kematian sanak famili yang tinggal di Kupang setelah nguping RRI Kupang malam hari.

Kembali ke Piala Dunia 1986.

Siaran langsung Argentina vs Jerman Barat berlangsung dini hari. Saat "manuk gokok moan telo", ayam berkokok tiga kali. Bapa Niko sudah siapkan radio di atas meja. Biasanya radio kecil itu ditaruh di atas lemari.

Saya pun bangun untuk menemani ayah mengikuti siaran pandangan mata di radio. Meski tidak melihat gambarnya seperti di TV, suasana yang dilaporkan penyiar RRI saat itu sangat hidup. Match reporting, suasana di stadion, keriuhan... benar-benar hidup.

Rupanya Bapa Niko penggemar Maradona dan Argentina meskipun--itu tadi--tidak pernah lihat orangnya karena memang belum ada televisi. Wajahnya berseri-seri mendengar Maradona mampu mengecoh dua tiga pemain lawan. Kemudian kirim umpan yang berbuah gol dicetak Jose Brown. Turun minum, kami pun minum teh sembari mendengar komentar penyiar RRI. Bapa Niko makin kagum dengan Diego Maradona.

Saudara-saudara... bola dikuasai Maradona, utak-atik dia melewati dua tiga empat pemain.. sayang... Maradona terjatuh. blablabla. Bapa Niko makin senang Argentina unggul 2-0 lewat sepakan Valdano.

Saya yang awalnya biasa-biasa saja jadi pendukung Jerman Barat. Ini setelah Karl-Heinz Rummenigge mencetak gol pada menit 74. Enam menit kemudian Rudi Voeller cetak gol.

Saya girang luar biasa. Mama Yuliana akhirnya terbangun. Mendiang Mama ini kelihatannya heran melihat saya dan Bapa Niko khusyuk menghadap radio transistor kecil itu.

Skor 2-2 membuat pertandingan makin seru. Penyiar RRI pun makin semangat melaporkan jalannya pertandingan. Kedua kesebelasan berusaha kill the game.

Akhirnya... Jorge Burruchaga mencetak gol pada menit ke-83. Skor 3-2 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan wasit. Argentina juara. Nama Diego Maradona sejak itu makin berkibar di jagat sepak bola dunia.

Karena itu, ketika Maradona meninggal dunia dua pekan lalu air mataku jatuh. Mengenang momen bahagia bersama Bapa Niko mendengarkan siaran langsung sepak bola di kampung asalku 34 tahun lalu.

Selamat ulang tahun Bapa Niko!
Semoga damai bersama Bapa di surga!

Donasi untuk Korban Erupsi Ile Lewotolok

Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, meletus pada Minggu 29 November 2020. Semburan material vulkanik setinggi 5.000-an meter itu membuat belasan ribu warga dari 26 desa diungsikan ke Lewoleba.

Banyak pihak langsung merespons dengan mengadakan aksi penggalanan dana. Mahasiswa Lembata dan Adonara di Surabaya juga membuka posko donasi. Begitu juga keluarga besar NTT di Jawa Timur.

Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, juga sudah membuka posko. "Kami menerima bantuan baik berupa makanan, sembako, juga uang tunai," ujar Romo Kristo Soge, koordinator Posko Dekenat Lembata.

 Dompet bencana alam untuk korban erupsi Gunung Lewotolok dibuka hingga 14 Desember 2020. 

Jumat, 04 Desember 2020

Romo Laurens Yatim Muda bersama ribuan pengungsi

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, menjadi konsen keluarga besar Flobamora di Jawa Timur. Khusus para perantau asal Kabupaten Lembata. Lebih khusus lagi yang berasal dari Ile Ape.

Saya jadi makin sering mengecek laporan pemantauan Ile Ape di laman Kementerian ESDM. Erupsi masih ada tapi tidak sedahsyat hari pertama, Minggu 29 November 2020, yang mencapai ketinggian 5.000-an meter itu.

Pagi tadi, Jumat, 4 Deswmber 2020, ketinggian sekitar 500 meter. Satu dua hari lalu 800-an meter. Artinya, erupsi gunung di kampung halamanku itu berangsur menurun. Atau akan ada letusan susulan yang besar? Pakar vulkanologi sekaliber Prof Surono pun tak bisa memastikan.

Yang pasti, ribuan penduduk dari 26 desa dan 2 kecamatan dan 2 paroki masih berada di tenda-tenda pengungsian di Lewoleba. Banyak pula yang menumpang di rumah-rumah famili. Termasuk Kristofora Tuto, adik kandungku, dari Desa Lewotolok.

"Kame ia sot-sot," kata Kristofora. "Kami di sini sangat takut ada erupsi susulan. Informasinya simpang siur," katanya.

Tenang saja. Banyak berdoa dan sabar. Tunggulah sampai situasi aman baru pulang. Ikuti petunjuk pemerintah. Begitu antara lain nasihatku kepada si bungsu yang mudah nelangsa itu.

Saya pun memantau situasi pengungsi letusan Ile Ape lewat Romo Laurentius Yatim Muda. Pastor Paroki Tokojaeng itu cukup aktif membagikan imformasi tentang situasi Gunung Lewotolok. Lengkap dengan foto-foto terkini.

Sebagai seorang pastor, gembala umat, Romo Laurens pun ikut mengungsi. Bersama ribuan domba-dombanya di tenda-tenda. Romo Laurens selalu menguatkan umat agar berserah diri kepada Tuhan.

Romo Laurens menulis (huruf besar semua, ciri khasnya):

"SEBAGAI SALAH SATU PENGUNGSI DARI BELASAN RIBU PENGUNGSI, SAYA MENGUCAPKAN SYUKUR KEPADA TUHAN KARENA TELAH MENJAGA DAN MELINDUNGI KAMI HINGGA SAAT INI. 

SAYA JUGA BERTERIMA KASIH KEPADA SAUDARA/I SEKALIAN KARENA SUDAH... SEDANG DAN AKAN MEMBERI PERHATIAN KEPADA KAMI BAIK SECARA MORIL MAUPUN MATERIL SEHINGGA KAMI TETAP KUAT DAN SEMANGAT SAMPAI SAAT INI.

SEMOGA TUHAN MEMBERKATI ANDA KALIAN DENGAN SEGALA BERKAT SURGAWI DAN DUNIAWI OLEH ALLAH YANG MAHA KUASA."

Saya juga melihat foto-foto patung Bunda Maria di lokasi pengungsian. Ada seorang mama tua memeluk Bunda Maria erat-erat sambil menangis. Minta perlindungan sang Mater Dei agar para pengungsi yang jumlahnya ribuan itu sehat dan selamat.

Kalau ada bencana alam gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi dsb, pertanyaan pertama saya kepada wartawan di lapangan adalah: "Berapa korban yang meninggal? Berapa korban luka? Berapa orang yang hilang?"

Maka, saya pun mengecek di laman internet dan kontak langsung beberapa kenalan. Ada lima anak yang hilang. Foto-fotonya sempat viral di media sosial.

Roma Laurens Yatim Muda akhirnya membagi informasi yang menyenangkan. Kelima anak itu sudah kembali.

"TUHAN, DENGARKANLAH DOA SEMUA ORANG YANG MEMOHON BELAS KASIH DAN PENGAMPUNANMU," tulis Romo Laurens.

Rabu, 02 Desember 2020

Puisi di Tengah Erupsi Ile Ape

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, Minggu pagi 29 November 2020 memang sangat dahsyat. Tinggi semburan bisa mencapai 5.000 meter.

Ribuan penduduk dari 26 desa panik. Buru-buru mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Tak bawa bekal apa pun. Asal selamat nyawa. ''Tidak sempat bawa baju. Baju di badan saja,'' kata seorang wanita asal Desa Lewotolok.

Erupsi Ile Ape ini juga menjadi inspirasi bagi sejumlah seniman Lamaholot untuk menulis syair, puisi, lagu-lagu, hingga oreng (lagu ratapan tradisional).

Ama Paulus Latera di Sidoarjo, yang asli Adonara Barat, membagi puisinya yang berjudul Duka Lembata, Dukanya Lewotanah. ''Ini bentuk simpati saya untuk saudara-saudari di Lembata,'' katanya.

Yang sangat menyentuh hatiku adalah puisi berbahasa Lamaholot karya Kristiani Claris. Wanita asal Honihama, Adonara, itu memotret kepulan awan yang membubung tinggi di atas puncak Ile Ape. Menyemburkan abu vulkanik ke Adonara, Solor, hingga Larantuka. Kawasan yang jauh dari Lembata pun kebagian abu hangat. Biar sama-sama dapat pupuk alam gratis dari langit.

Bagi kami yang berbahasa Lamaholot, puisi itu sangat mengharukan. Apalagi para korban bencana alam itu keluarga sendiri. Hujan abu, material panas, dsb menimpa kampung halaman kita.

''Go louk loranga,'' komentar seorang teman dari Ile Ape. Artinya, air mataku jatuh (membaca puisi itu).


DUKA LEMBATA - DUKANYA LEWOTANAH

Ketika dentuman gelegar di puncak ile ape
Asap membumbung tinggi
Panas lahar membara
Bikin heboh tanah Lembata
Orang berlari tak tentu arah
Yang penting selamat dulu
Kali ini Ile Lewotolok
Bikin cerita
Untuk ribu ratu
Lembata berduka
Torang po iko menangis

Tuan Deo
Dengarkan jerit tangis anak2mu di sana
Ke mana lagi air matanya ditampung
Tuhan
Jeritan ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Kami berdoa
Kami berharap
PadaMu Ema Lera Wulan
Biar Lembata kembali damai
Sama damainya hati kami 
di masa Natal ini
Oh nuba pulo dan nara lema
Jaga lapak lewo tana kami
Kami cinta lewo tana
Air mata ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Duka Lembata, dukanya lewotana 
Dukanya anak Lamaholot

----------- 
Puisi Kristiani Claris

Doan pia lewo honihama
Doan go belelen lile....
Belelen kaan onek te kerudun
Lile kaan yonhek te menange.
Lela pia suku lein laka matan
Lela go peroin marin....
Turun aku tou nuanen.
puken aku tou musinen...
Na tula luga, soron sera, nuru nonin,naan nuluyen te beleku naan manonen te geridin...
sape naan tube dop,
ribhun rathun ina wae ama lake kesin belen pelae gerame , todok walet ,goka lengat.
Naku..
Koda ake taan odun
kirin ake taan pute..
Pai tite hama-hama..
tobo golen pae gole..
pupu uku, tutu tapan, marin holo koda usu, kirin asa...
hobe boke puin holo koda di belaga laga, kirin dimeneso peso..
Ti koda ake nai data doan..
kirin ake nai hoan lela....
Doan hulen te perohon...
Lela lile te menange...