Sabtu, 19 September 2020

Naik Angkot dari Jembatan Merah ke Rungkut

Bagaimana rasanya naik angkot di Surabaya? Sulit diceritakan karena sebagai besar orang Surabaya dan sekitarnya menggunakan kendaraan pribadi. Sepeda motor atau mobil.

Belakangan pakai ojek online. Pengguna angkot atau bus kota saat ini kurang dari 10 persen. Beda dengan tahun 1990-an. Ketika bus kota masih jadi primadona.

Saya pun sudah lama tidak naik angkot. Makanya, ketika ditanya orang NTT yang baru datang ke Surabaya tentang jalur-jalur angkot atau lin, tarif, kenyamanan dsb, saya tak bisa jawab.

Saya malah minta bantuan Mbah Google. Itu pun tidak banyak informasi yang bagus. "Sudah hampir empat tahun saya tidak naik angkot," kata saya. "Tapi angkot-angkot itu ngetemnya lama."

Malu juga sama sesama orang NTT itu. Saya hanya mengarang-ngarang jawaban. Lebih berbau asumsi atau dugaan. Bisa salah bisa benar. Sebab bukan berdasarkan pengalaman.

Maka, Sabtu pagi, 18 September 2020, saya jajal angkot. Start dari Jembatan Merah yang dekat Jembatan Merah tujuan Rungkut. Jaraknya sekitar 17 kilometer. Dari Surabaya Utara ke Surabaya Tenggara.

(Di Surabaya atau Jawa Timur sejak dulu saya tidak pernah dengar istilah tenggara. Orang Jawa hanya pakai empat mata angin: utara, selatan, timur, barat. Tidak ada north-east atau south-east alias tenggara.)

Sudah pasti harus ganti angkot beberapa kali. Tidak ada yang langsung dari titik A ke B atau C. Terminal Joyoboyo di dekat Kebun Binatang Surabaya jadi hub semua angkutan kota alias lin. Angkot-angkot tidak masuk terminal besar seperti Purabaya atau Osowilangun.

Dari Jembatan Merah, angkot hijau itu berputar di Tugu Pahlawan, Pasar Turi, Jalan Semarang, Wonokromo KBS, dan finish di Joyoboyo. Terminal tua yang sedang dipermodern menjadi Terminal Intermoda Joyoboyo. Bayar Rp 5.000.

Dari Joyoboyo sebenarnya afa angkot jurusan SIER alias Rungkut Industri. Tapi saya telanjur salah masuk. Ambil jurusan Sidoarjo. Turun di pabrik paku sebelah timur Bungurasih alias Terminal Purabaya. Bayat Rp 5.000.

Di kawasan pabrik paku yang diresmikan Presiden Soekarno di awal kemerdekaan ada banyak angkot yang ngetem. Tapi tidak ada jurusan Rungkut. Terpaksa naik jurusan Wadungasri, dekat pasar yang semrawut itu. Bayar Rp 5.000. Padahal jaraknya sangat dekat ketimbang Joyoboyo ke Bungurasih.

Nah, di situ sudah menunggu angkot hijau daun. Angkot itu lewat perbatasan Surabaya-Sidoarjo, Rungkut Menanggal, SIER, Jemursari, Ahmad Yani, finish Joyoboyo. Bayar lagi Rp 5.000.

Sopir angkot menurunkan saya di pertigaan KH Abdul Karim. Becak sudah menunggu. Tapi saya pilih jalan kaki. Sebab tulang becak biasanya minta Rp 10 ribu. Lima ribu tidak akan mau.

Begitulah. Dari Jembatan Merah, bangunan bersejarah Internatio, hingga ke Rungkut Menanggal harus naik EMPAT angkot. Total bayar Rp 20 ribu.

Mahal atau murah? Relatif. Yang pasti, lebih murah ketimbang naik Gojek sepeda motor yang tarifnya Rp 40 ribu.

Karena itulah, saya bisa mengerti orang Surabaya (Indonesia umumnya) lebih suka pakai kendaraan pribadi. Khususnya sepeda motor. Cukup isi bensin Rp 10 ribu, kita bisa meluncur pergi pulang Jembatan Merah-Rungkut. Bahkan bensinnya masih bersisa.

Kamis, 03 September 2020

Doris Twin Sisters Jadi Sarjana Teologi

"Terima kasih Tuhan Yesus... akhirnya lulus juga jadi Sarjana Theologi (S.Th.). Sungguh penyertaan-Mu luar biasa."

Begitu tulisan singkat Doris Sunardi di Sidoarjo.

Gak nyangka kalau mantan artis terkenal era 80an itu sudah jadi sarjana teologi. Bahkan sudah lama jadi pelayan di Gereja Allah Baik (GAB) Sidoarjo.

Saya pun baru tahu Doris sudah lama tinggal di Sidoarjo. Tapi saya pernah melihat wanita mirip artis lawas Twin Sisters di Sidoarjo. Mirip banget.

Eh... ternyata benar. Doris Sunardi. Salah satu Twin Sisters itu. Kembarannya bernama Dagmar Sunardi. Keduanya diorbitkan oleh Deddy Dores. Jadi artis terkenal. Bolak-balik tampil di TVRI.

Dagmar bahkan punya hubungan dekat dengan Deddy Dores. Lanjut jadi istri. Lalu bercerai. Lalu jadi viral di media sosial itu.

Doris justru tenang-tenang saja di Sidoarjo. Tetap nyanyi tapi khusus di gereja. Bikin album rohani. Jadi guru sekolah minggu untuk anak-anak.

Di sela-sela pelayanan itu, Doris kuliah teologi di Surabaya. Menimba ilmu layaknya para calon pendeta.

"Inilah satu bagian cerita terindah dalam hidupku, ketika Tuhan ijinkan aku semakin dekat dengan-Nya, semakin lebih lagi mengenal-Nya...lewat kesempatan yang diberikan-Nya untukku bisa kuliah di STT Parakletos Surabaya. Sungguh merupakan sebuah pengalaman yang tak terbayangkan, tak terpikirkan, tak terkatakan," katanya.

Mengapa kuliah lagi meski sudah sarjana hukum?

Jawaban Doris khas pendeta:

"Kasihku pada Tuhanku melebihi segalanya maka aku akan selalu belajar dan belajar. Belajar itu harus terus karena pemahaman tentang Tuhan dan ajaran-Nya bukan sekedar untuk kita cari tahu, bukan sekedar karena ingin meraih gelar kesarjanaan (apapun itu) tetapi lebih kepada bagaimana kita memahami dan mampu untuk mengimplementasikannya dengan benar dan dapat menjadi berkat bagi sesama," tulisnya.

Seperti kembarannya di Jakarta, Dagmar, Mbak Doris juga punya masalah jantung. Bolak-balik periksa dan dirawat di salah satu rumah sakit di Sidoarjo. Tapi mbak artis cum pendeta ini selalu tersenyum.

"Karena Allah itu baik dan selalu baik," katanya.

Pagi ini, Doris menemani suaminya di RS Suwandi Surabaya. Mau operasi pemasangan ring keempat. Ada penyumbatan sekitar 95 persen, kata dokter.

"Aku percaya Tuhan pasti tolong suamiku... semua akan baik-baik saja. Amin. God is good all the time," tulis Doris.

Semoga Tuhan mendengarkan doa-doa Mbak Doris!

Menyendiri di sudut kota ini

Suara Vanny Vabiola melengking tinggi. Melantunkan lagu-lagu lawas. Tembang melankolis ciptaan Pance Pondaag, Rinto Harahap, dan sejenisnya.

"Biarlah yang hitam menjadi hitam
Biarlah rembulan di atas sana.."

Orang NTT di perantauan Jawa atau Malaysia tak asing dengan lagu-lagu beginian. Merintih. Memelas. Berurai air mata.

Sejak kecil orang NTT mengonsumsi lagu-lagu begini. Diputar di truk yang dimodifikasi jadi angkutan pedesaan. Diputar di kapal feri dari Kupang ke Larantuka atau Lembata. Selama 8 atau 9 jam.

Pagi ini lagu-lagu kesayangan orang NTT (dan Batak) itu diputar di sebuah warkop di Rungkut, Surabaya. Masuk agak jauh. Saya baru tahu ada warkop yang doyan lagu-lagu Pance atau Rinto.

"Biarlah hanya di dalam mimpi
Kita saling melepaskan rindu..."

Mas penjaga warung bilang langganannya memang cukup banyak asal Flores, Batak, wilayah Indonesia Timur. Orang-orang yang fisiknya kelihatan sangar tapi melankolis. Suka lagu-lagi mellow nan sendu.

"Mereka selalu request lagu-lagu Pance," ujar mas itu.

Ah... ini lagu Pance sedang on. "Mungkin lebih baik begini. Menyendiri di sudut kota ini," begitu antara lain syair Pance yang dibawakan Vanny.

Asyik memang bernostalgia. Mengenang masa lalu yang manis-manis melodinya. Masa sekarang terlalu berat. Pandemi korona benar-benar merusak tatanan ekonomi, sosial, budaya, agama dsb.

"Biarkan aku sendiri
Menyendiri tanpa dirimu lagi"

Ah.... lagu-lagu Pance, Obbie, Rinto, Dores bagaikan pil ekstasi atau sabu buat orang NTT. Makin dinikmati makin nagih. Dan... bisa makin gila.

Selasa, 01 September 2020

Tidak Ada Korona di Jolotundo

Situasi semakin gawat! Begitu penilaian Dr Zubairi, ketua satgas covid-19 IDI. Wabah korona yang terjadi sejak awal Maret 2020 bukannya menurun tapi menaik.

Pasien covid naik terus. Termasuk tenaga kesehatan. Banyak dokter yang meninggal akibat covid. Sudah 102 dokter. Belum perawat dan nakes-nakes lainnya.

Ironisnya, masih banyak warga yang tidak percaya covid. Masih menganggap virus korona sebagai mainan orang-orang besar di atas sana. Konspirasi global. Jualan obat, vaksin, dsb.

Di tengah situasi yang 'semakin gawat' itu, aktivitas warga di Surabaya dan sekitarnya biasa-biasa saja. Warkop-warkop tetap penuh. Tidak ada yang namanya jaga jarak.

Sebagian warga juga jarang pakai masker. Apalagi cuci tangan pakai sabun dsb. Guyonan-guyonan yang meremehkan covid masih ramai di warkop dan media sosial.

"Di sini tidak ada korona. Korona itu cuma ada di Surabaya," kata Bu Nur Hasanah, pemilik warung di kawasan Jolotundo, Trawas, pekan lalu.

Karena itu, Nur dan warga setempat tidak mau pakai masker. Tidak ada jaga jarak di warkop, rumah, dsb. "Pakai masker kalau turun ke Mojosari atau Mojokerto. Biar nggak ditangkap," kata langganan lamaku itu lantas ketawa.

Klaim Nur Hasanah bahwa korona tidak ada di desanya memang ada benarnya. Sejak wabah covid diumumkan Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, belum ada satu pun warga Desa Seloliman, Trawas, yang positif covid.

Bagaimana dengan wisatawan yang datang ke sini? Sebagian besar dari Surabaya dan Sidoarjo? Kawasan zona merah di Jawa Timur.

"Alhamdulillah, semakin banyak yang datang semakin bagus. Biar warung-warung di Jolotundo ini ramai lagi," kata Nur.

Nur dan kawan-kawan tak habis pikir mengapa kawasan wisata candi dan petirtaan Jolotundo sempat ditutup selama 4 atau 5 bulan. Padahal tidak ada korona di kampungnya yang asri dan sejuk itu.

Bagi orang-orang desa itu, air sumber di petirtaan Jolotundo itu ibarat obat mujarab yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit.

Rahayu! Rahayu! Rahayu!

Senin, 31 Agustus 2020

28 Rumah Adat di Kampung Napaulun Lembata Terbakar


SEBANYAK 28 rumah adat hangus dilalap api setelah terjadi kebakaran di kampung Napaulun, Desa Buga Muda, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Minggu (30/8/2020) sekitar pukul 14.00 Wita.

Beruntung, 8 buah rumah adat dapat diselamatkan warga yang datang membantu memadamkan api. Warga yang berasal dari dua Desa yakni Desa Bunga Muda dan Desa Napasabok tampak sigap membantu memadamkan Kebakaran tersebut, meski dengan peralatan seadanya.

Warga menduga, api berasal dari arah timur kampung adat tersebut. Api yang terus menjalar karena hempasan angin yang kencang di wilayah Gunung Ile Lewotolok, ditopang udara terik di siang bolong, memudahkan api melahap puluhan bagunan tradisional itu dalam tempo singkat.

Upaya pemadaman dilakukan warga dengan menggunakan ranting tanaman. Sedangkan upaya mencari bantuan mobil pemadam kebakaran yang berada di Kota Lewoleba, tidak membuahkan hasil. Api lebih cepat menghanguskan bangunan rumah adat tersebut.

''Belum ada mobil pemadam kebakaran, api sudah makan rumah adat banyak. Dari 34 rumah adat, yang terbakar ada 24 buah. Untung ada 8 buah rumah berhasil diselamatkan warga,'' ujar Tedi, warga Desa Bunga Muda.

Setelah menghanguskan 28 unit rumah adat, api terus mengarah ke bagian barat Gunung Ile Ape.

Kampung Napaulun adalah kampung adat milik dua desa, yakni Desa Bunga Muda dan Desa Napasabok, Kecamatan Ile Ape. Kampung adat tersebut selalu menjadi lokus ritual pesta kacang setiap tahun.

Kampung Napaulun memiliki arti penting bagi warga karena menjadi sumber kekuatan spitirual dalam tradisi warga setempat. (Media Indonesia)

Minggu, 30 Agustus 2020

Misa Pagi di Warkop Juanda


Nggowes pagi di dekat Bandara Juanda. Mampir ke warkopnya Mbak Wati langganan lama. Sudah lama tak ketemu mbak gemuk yang ramah itu. Tepatnya sejak pandemi korona.

Warkopnya buka. Ada dua langganan asyik ngopi dan main ponsel. Memanfaatkan wifi gratis. Saya pesan kopi kapal api.

Lalu baca koran Jawa Pos yang pagi ini terlihat cakep dengan versi tabloid. Makeup jaksa cantik Pinangki dibahas panjang lebar. Termasuk kebiasaan mbak jaksa yang senang pelesir ke USA.

Duit dari mana? Berapa sih gaji seorang jaksa? Kok bisa bergaya hidup mewah? Operasi plastik dsb? Menarik.

Oh... ini hari Minggu. Saya belum misa. Gereja belum buka. Masih pakai misa live streaming sejak 25 Maret 2020.

Saya akhirnya masuk YouTube. Rupanya dia tahu apa yang saya cari. Video teratas Sunday Mass dari Amerika Serikat. ST. THOMAS THE APOSTLE PARISH, West Springfield, Massachusetts, United States.

Channel ini favoritku sejak tiga bulan lalu. Pastornya Romo Jack Sheaffer. Saya paling suka karena misanya sangat padat dan efisien. Tidak lebih dari 20 menit. Daily Mass atau misa harian cuma 18 menit.

Misa streaming gereja-gereja di Surabaya juga ada. Dan bagus. Hanya saja terlalu panjang. Seperti misa biasa di luar masa pandemi. Bisa 70 menit atau sejam lebih.

Minggu lalu saya ikut streaming mass di salah satu gereja di Sidoarjo. Khotbahnya sangat panjang. Sang pastor kurang sadar homili panjang membuat misa jadi lama. Boros data.

Belum lagi lagu-lagu liturgi yang lengkap ala misa normal. Ditambah banyak petugas, lektor, pemazmur yang tentu saja makan waktu saat ganti mikrofon, gosok mikrofon pakai tisu dsb.

Nah, misa di Amerika, khususnya di West Springfield ini sangat efisien. Pastor sendirian. Tidak ada misdinar. Tak ada pemazmur, lektor, penyanyi dsb.

Lagunya cuma tiga:

Opening: Come Thou Almighty King
Lamb of God: Agnus Dei
Communion: Panis Angelicus

Itu pun pakai rekaman. Agnus Dei pakai Gregorian 8 yang sangat terkenal di Flores dan Lembata. Begitu juga Panis Angelicus.

Homili pater juga sangat padat. Tidak banyak bumbu-bumbu. Tentang barangsiapa yang mengikuti Aku harus menyangkal dirinya dsb.

Mbak Wati dan orang-orang di warkop (semuanya muslim) tidak tahu bahwa saya sempatkan diri mengikuti misa pagi Hari Minggu. Bahkan dari Amerika pula. Teknologi komunikasi memang luar biasa. Kita bisa WFH, kerja dari rumah, bisa juga MFH, mass from home.

Bahkan bisa misa dari warkop. Kapan saja. Di mana saja. Tuhan ada di mana-mana. Gereja ada di HP.

Sabtu, 29 Agustus 2020

Gus Ipul makin turun kelas


Gus Ipul sudah pernah jadi wakil gubernur Jawa Timur. Dua periode. 10 tahun.

Lalu maju dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Jadi calon gubernur. Pasangannya Puti Guntur sebagai calon wakil gubernur.

Hasilnya? Kalah telak oleh Khofifah Indar Parawansa. Sama-sama mantan menteri dan kader nahdliyin. 

Saifullah Yusuf, nama asli mantan wartawan tabloid Detik, yang dibredel rezim Orde Baru, lalu mundur ke desa. Pulang ke kampung halamannya di Prigen, Pasuruan.

"Saya mau jadi petani," katanya di internet.

Gus Ipul lalu membuka tempat wisata di kawasan Ledug, dekat Tretes. Sudah banyak peminat yang berkunjung ke sana. Termasuk komunitas sepeda pancal dari Surabaya dan Sidoarjo.

Tadinya saya pikir Gus Ipul leren dari dunia politik dan pemerintahan. Agar fokus mengurus tempat wisata dan pertanian di Prigen.

Eh, ternyata saya salah. Kemarin Gus Ipul dapat rekomemdasi dari DPP PKB. Untuk maju sebagai calon wali kota Pasuruan. Siap bertarung pada 9 Desember 2020.

Waduh...

Gus Ipul kok turun kelas? Habis jadi menteri di Jakarta lalu wakil gubernur Jatim. Lalu turun jadi wali kota Pasuruan (kalau jadi)?

Sangat banyak komentar di media sosial ihwal pencalonan Gus Ipul sebagai cawali Pasuruan. Pro kontra khas warganet. "Maklum, sudah ketagihan jabatan," komentar salah satu anggota grup Suara Surabaya.

Bagaimana peluang Gus Ipul di Pasuruan?

Tidak mudah... meskipun ia sudah lama jadi pejabat di pusat dan provinsi. Pilkada di kabupaten/kota punya kekhasan sendiri. Mereka yang kuat di pusat bukan jaminan bakal menang di daerah.

Peluang Gus Ipul sedikit di atas 50 persen, kata teman di Pasuruan. Apalagi kalau logistik lancar. Gizinya juga bagus. Gus Ipul itu politisi kawakan, katanya.

Orang yang asyik-asyik aja turun jabatan kayak Gus Ipul ini tidak banyak. Biasanya mantan wali kota yang maju lagi sebagai calon wakil wali kota. Bambang DH contoh terbaik di Surabaya. Itu memang dimungkinkan oleh aturan undang-undang.

Gus Ipul turunnya jauh. Kalau maju sebagai calon wali kota Surabaya masih bisa dimaklumi. Sebab Kota Surabaya levelnya sudah provinsi meskipun resminya kota/kabupaten.  Tapi Kota Pasuruan yang sempit?

Saya khawatir suatu saat Gus Ipul ikut maju dalam pemilihan kepala desa di kampungnya.