Bagaimana rasanya naik angkot di Surabaya? Sulit diceritakan karena sebagai besar orang Surabaya dan sekitarnya menggunakan kendaraan pribadi. Sepeda motor atau mobil.
Belakangan pakai ojek online. Pengguna angkot atau bus kota saat ini kurang dari 10 persen. Beda dengan tahun 1990-an. Ketika bus kota masih jadi primadona.
Saya pun sudah lama tidak naik angkot. Makanya, ketika ditanya orang NTT yang baru datang ke Surabaya tentang jalur-jalur angkot atau lin, tarif, kenyamanan dsb, saya tak bisa jawab.
Saya malah minta bantuan Mbah Google. Itu pun tidak banyak informasi yang bagus. "Sudah hampir empat tahun saya tidak naik angkot," kata saya. "Tapi angkot-angkot itu ngetemnya lama."
Malu juga sama sesama orang NTT itu. Saya hanya mengarang-ngarang jawaban. Lebih berbau asumsi atau dugaan. Bisa salah bisa benar. Sebab bukan berdasarkan pengalaman.
Maka, Sabtu pagi, 18 September 2020, saya jajal angkot. Start dari Jembatan Merah yang dekat Jembatan Merah tujuan Rungkut. Jaraknya sekitar 17 kilometer. Dari Surabaya Utara ke Surabaya Tenggara.
(Di Surabaya atau Jawa Timur sejak dulu saya tidak pernah dengar istilah tenggara. Orang Jawa hanya pakai empat mata angin: utara, selatan, timur, barat. Tidak ada north-east atau south-east alias tenggara.)
Sudah pasti harus ganti angkot beberapa kali. Tidak ada yang langsung dari titik A ke B atau C. Terminal Joyoboyo di dekat Kebun Binatang Surabaya jadi hub semua angkutan kota alias lin. Angkot-angkot tidak masuk terminal besar seperti Purabaya atau Osowilangun.
Dari Jembatan Merah, angkot hijau itu berputar di Tugu Pahlawan, Pasar Turi, Jalan Semarang, Wonokromo KBS, dan finish di Joyoboyo. Terminal tua yang sedang dipermodern menjadi Terminal Intermoda Joyoboyo. Bayar Rp 5.000.
Dari Joyoboyo sebenarnya afa angkot jurusan SIER alias Rungkut Industri. Tapi saya telanjur salah masuk. Ambil jurusan Sidoarjo. Turun di pabrik paku sebelah timur Bungurasih alias Terminal Purabaya. Bayat Rp 5.000.
Di kawasan pabrik paku yang diresmikan Presiden Soekarno di awal kemerdekaan ada banyak angkot yang ngetem. Tapi tidak ada jurusan Rungkut. Terpaksa naik jurusan Wadungasri, dekat pasar yang semrawut itu. Bayar Rp 5.000. Padahal jaraknya sangat dekat ketimbang Joyoboyo ke Bungurasih.
Nah, di situ sudah menunggu angkot hijau daun. Angkot itu lewat perbatasan Surabaya-Sidoarjo, Rungkut Menanggal, SIER, Jemursari, Ahmad Yani, finish Joyoboyo. Bayar lagi Rp 5.000.
Sopir angkot menurunkan saya di pertigaan KH Abdul Karim. Becak sudah menunggu. Tapi saya pilih jalan kaki. Sebab tulang becak biasanya minta Rp 10 ribu. Lima ribu tidak akan mau.
Begitulah. Dari Jembatan Merah, bangunan bersejarah Internatio, hingga ke Rungkut Menanggal harus naik EMPAT angkot. Total bayar Rp 20 ribu.
Mahal atau murah? Relatif. Yang pasti, lebih murah ketimbang naik Gojek sepeda motor yang tarifnya Rp 40 ribu.
Karena itulah, saya bisa mengerti orang Surabaya (Indonesia umumnya) lebih suka pakai kendaraan pribadi. Khususnya sepeda motor. Cukup isi bensin Rp 10 ribu, kita bisa meluncur pergi pulang Jembatan Merah-Rungkut. Bahkan bensinnya masih bersisa.
Belakangan pakai ojek online. Pengguna angkot atau bus kota saat ini kurang dari 10 persen. Beda dengan tahun 1990-an. Ketika bus kota masih jadi primadona.
Saya pun sudah lama tidak naik angkot. Makanya, ketika ditanya orang NTT yang baru datang ke Surabaya tentang jalur-jalur angkot atau lin, tarif, kenyamanan dsb, saya tak bisa jawab.
Saya malah minta bantuan Mbah Google. Itu pun tidak banyak informasi yang bagus. "Sudah hampir empat tahun saya tidak naik angkot," kata saya. "Tapi angkot-angkot itu ngetemnya lama."
Malu juga sama sesama orang NTT itu. Saya hanya mengarang-ngarang jawaban. Lebih berbau asumsi atau dugaan. Bisa salah bisa benar. Sebab bukan berdasarkan pengalaman.
Maka, Sabtu pagi, 18 September 2020, saya jajal angkot. Start dari Jembatan Merah yang dekat Jembatan Merah tujuan Rungkut. Jaraknya sekitar 17 kilometer. Dari Surabaya Utara ke Surabaya Tenggara.
(Di Surabaya atau Jawa Timur sejak dulu saya tidak pernah dengar istilah tenggara. Orang Jawa hanya pakai empat mata angin: utara, selatan, timur, barat. Tidak ada north-east atau south-east alias tenggara.)
Sudah pasti harus ganti angkot beberapa kali. Tidak ada yang langsung dari titik A ke B atau C. Terminal Joyoboyo di dekat Kebun Binatang Surabaya jadi hub semua angkutan kota alias lin. Angkot-angkot tidak masuk terminal besar seperti Purabaya atau Osowilangun.
Dari Jembatan Merah, angkot hijau itu berputar di Tugu Pahlawan, Pasar Turi, Jalan Semarang, Wonokromo KBS, dan finish di Joyoboyo. Terminal tua yang sedang dipermodern menjadi Terminal Intermoda Joyoboyo. Bayar Rp 5.000.
Dari Joyoboyo sebenarnya afa angkot jurusan SIER alias Rungkut Industri. Tapi saya telanjur salah masuk. Ambil jurusan Sidoarjo. Turun di pabrik paku sebelah timur Bungurasih alias Terminal Purabaya. Bayat Rp 5.000.
Di kawasan pabrik paku yang diresmikan Presiden Soekarno di awal kemerdekaan ada banyak angkot yang ngetem. Tapi tidak ada jurusan Rungkut. Terpaksa naik jurusan Wadungasri, dekat pasar yang semrawut itu. Bayar Rp 5.000. Padahal jaraknya sangat dekat ketimbang Joyoboyo ke Bungurasih.
Nah, di situ sudah menunggu angkot hijau daun. Angkot itu lewat perbatasan Surabaya-Sidoarjo, Rungkut Menanggal, SIER, Jemursari, Ahmad Yani, finish Joyoboyo. Bayar lagi Rp 5.000.
Sopir angkot menurunkan saya di pertigaan KH Abdul Karim. Becak sudah menunggu. Tapi saya pilih jalan kaki. Sebab tulang becak biasanya minta Rp 10 ribu. Lima ribu tidak akan mau.
Begitulah. Dari Jembatan Merah, bangunan bersejarah Internatio, hingga ke Rungkut Menanggal harus naik EMPAT angkot. Total bayar Rp 20 ribu.
Mahal atau murah? Relatif. Yang pasti, lebih murah ketimbang naik Gojek sepeda motor yang tarifnya Rp 40 ribu.
Karena itulah, saya bisa mengerti orang Surabaya (Indonesia umumnya) lebih suka pakai kendaraan pribadi. Khususnya sepeda motor. Cukup isi bensin Rp 10 ribu, kita bisa meluncur pergi pulang Jembatan Merah-Rungkut. Bahkan bensinnya masih bersisa.