Jumat, 05 Juni 2020

Banyak Orang Takut Dites Corona

Dulu orang ramai-ramai minta dites masal. Kalau bisa semua warga Surabaya, Sidoarjo, Gresik... seluruh Jatim dites. Biar ketahuan siapa yang kena corona dan siapa yang sehat walafiat. Tapi peralatan tes cepat dan swab masih sedikit.

Maka yang dites hanya warga di kampung-kampung zona merah. Itu pun sebatas di sekitar rumah pasien Covid-19. "Kalau pemerintah serius mestinya semua orang dites," begitu omongan sebagian warga di media sosial.

Sejak dua minggu lalu peralatan rapid test makin banyak. Tes masal dilakukan di berbagai kawasan Surabaya Raya. Mulai pasar-pasar hingga kampung-kampung padat.

Pemerintah pusat juga mengirim mobil lab untuk tes swab. Hasilnya cepat diketahui. Tak perlu menunggu seminggu atau 10 hari. Sebab Surabaya Raya sudah lama merah. PSBB sudah tiga jilid.

Anehnya, belakangan warga malah takut dites cepat. Ada saja alasannya. Ada yang tutup kios lalu lari. Seperti di Pasar Taman Sidoarjo. "Aku sehat kok. Gak mau tes," kata seorang pedagang.

"Rapid test gak oleh sangu," kata pedagang yang lain.

Mengapa warga takut dites?

Sebab, khawatir hasil tesnya reaktif. Lalu diisolasi selama 14 hari oleh pemkab atau pemkot. Lalu diswab dan sebagainya.

"Bagaimana dengan anak-anak dan istrinya di rumah? Makan apa kalau kepala keluarga diisolasi dua minggu?" kata ibu pemilik warkop di Gunung Anyar Surabaya.

Wanita asal Madura ini menolak ikut rapid test masal gratis di puskesmas. Sebab, itu tadi, takut reaktif atau positif corona. Bukan takut mati, tapi takut tidak bisa memberi makan anak-anaknya.

Sampean gak takut corona?

"Hidup dan mati kita di tangan Allah. Kalau memang sudah ajal ya meninggal," katanya enteng.

Ibu Madura itu serta hampir semua pengunjung warkop bahkan menjadikan corona sebagai bahan guyonan. Sakit jantung mati dibilang corona. Pasien TBC mati corona. Diabetes, komplikasi dsb pun dianggap corona.

"Aneh-aneh aja pemerintah itu," kata seorang bapak asal Segoro Tambak, Sidoarjo.

Sudah tiga bulan kita bergulat dengan corona. Tapi belum ada tanda-tanda virus aneh itu segera dijinakkan. Angka pasien justru naik naik naik terus. PSBB pun diperpanjang entah sampai kapan.

"Pasien naik itu karena tes masal makin banyak. Coba kalau gak ada tes ya gak ada yang sakit corona," kata pria Segoro Tambak itu.

Jumat Batik yang Makin Redup

Sejak ada corona kayaknya orang Indonesia, khususnya Jawa Timur, makin jarang pakai batik. Bahkan sebelum covid pun semangat pakai baju batik sudah sangat berkurang. Kecuali pegawai-pegawai yang memang diwajibkan oleh manajemennya pakai batik sebagai dresscode setiap Jumat.

Jumat pagi ini saya amati selintas jalan raya di Surabaya. Kawasan perbatasan Surabaya-Sidoarjo dari Rungkut Menanggal, Pondok Candra, hingga Juanda Sedati. Sangat sedikit yang pakai batik. Tidak sampai 50 persen.

Padahal, dulu Jumat identik dengan batik. Euforia batik luar biasa setelah PBB mengakui batik sebagai warisan dunia asal Indonesia. Sampai-sampai si kera pemain topeng monyet pun dipakaikan seragam batik.

Saya sendiri berusaha pakai batik setiap Jumat karena memang imbauan manajemen. Tapi lama-lama makin banyak yang tidak pakai batik. Berkurang terus terus terus... hingga di bawah 50 persen.

Suatu ketika saya jadi aneh sendiri karena pakai batik. Sebab teman-teman lain berpakaian bebas. Banyak yang pakai kaos oblong. Terlalu formal kalau batikan, kata teman.

Apa boleh buat, saya pun tak lagi pakai batik setiap Jumat. Cuma ke gereja saja yang pakai batik. Tapi sudah tiga bulan tidak pigi misa. Ekaristi cukup live streaming atau rekaman english mass via telepon seluler. Karena itu, saya tidak ingat kapan terakhir kali pakai batik.

"Batik itu kebanggaan bangsa Indonesia. Kita harus lestarikan dan mengembangkan terus," kata Dr Lintu Tulisyantoro, dosen UK Petra sekaligus ketua komunitas batik Jatim.

Lintu paling antusias meneliti dan mengembangkan batik di Jatim. Koleksi batiknya di Larangan, Sidoarjo, memang luar biasa. Sering ia pamerkan di pendopo kabupaten dan tempat-tempat mentereng di Surabaya.

Meskipun euforia batik sudah lama berlalu, Lintu selalu kampanye batik batik batik. Di masa pandemi ini dia bahas batik lewat webinar, seminar online dsb.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang mencintai batik?" katanya.

Biasanya kalau sudah diklaim negara sebelah baru kita ngamuk. Sama dengan lagu Rasa Sayang yang sudah lama hilang di Indonesia. Orang sekarang lebih suka Pamer Bojo Anyar, Suket Teki, Bojo Galak, Banyu Langit...

RIP! Kades Katolik yang Bangun Masjid di Lembata


Ama Kepala Keluli mataya kae. Akeng lupa sembahyang nong tutung lilin.

(Bapa Kepala Keluli sudah tidak ada. Jangan lupa sembahyang dan bakar lilin.)

Begitu pesan pendek yang beredar di media sosial dan ponsel orang-orang Lembata, khususnya dari Desa Mawa dan Bungamuda di Kecamatan Ile Ape, belum lama ini. Ada foto Ama Kepala Keluli semasa hidup. Tampak masih kokoh di usia yang lanjut.

Saya pun tertegun sejenak dan berdoa. Semoga Ama Kepala Keluli beristirahat dengan tenang bersama Bapa di surga.

Requiem aeternam!
Resquescat in pace!

Carolus Keluli Nimanuho nama lengkap almarhum yang rumahnya paling dekat dengan pantai di Desa Mawa Napasabok, Kecamatan Ile Ape, Lembata, NTT, itu. Ama Keluli pernah jadi kepala desa. Karena itu, ia selalu disapa Ama Kepala Keluli meskipun sudah puluhan tahun tidak menjabat.

Memang ada kebiasaan di Lembata dan Flores Timur atau etnis Lamaholot untuk menghargai pemimpin desa atau kampungnya. Tetap dipanggil ama kepala (desa) meskipun sudah mantan. Maka, ama-ama kepala ini banyak sekali.

Saya paling ingat Ama Kepala Keluli Nimanuho dan Ama Kepala Philipus Hurek. Sebab keduanya menjabat saat saya berada di Lewotanah atau kampung halaman. Kepala-kepala desa lain juga pasti kenal, ada ikatan darah, tapi saya tidak sempat jadi rakyatnya.

Saya sempat bertemu dan ngobrol sejenak bersama Ama Kepala Keluli di Desa Mawa pada Juli 2019. Masih dalam suasana dukacita terkait kematian Ama Nikolaus Nuho Hurek, ayah kandung saya. Urusan adat istiadat khas kampung.

Saat itu kami, keluarga besar suku Hurek Making melakukan prosesi adat menghadap suku Nimanuho terkait kematian ayahku. Sebab, Bapa Niko dilahirkan oleh Nenek Ebong yang sukunya Nimanuho. Hanya pimpinan atau sesepuh suku Nimanuho pula yang berhak menutup peti jenazah ayah saya. Aturan adat itu juga berlaku di semua keluarga Lamaholot di mana saja.

Bapak C.K. Nimanuho alias Ama Kepala Keluli ini memimpin Desa Mawa yang masih sangat sederhana pada 1980-an. Belum ada listrik. Tidak ada telepon. Tak ada televisi dan sebagainya.

Namun, visi kemanusiaan, gotong royong, toleransi, harmoni ata kiwan dan ata watan (Katolik dan Islam) sangat luar biasa. Tidak ada "kami" dan "mereka" tapi kita. Tite hena: kita semua sama!

Visi itu yang diterapkan Ama Kepala Keluli saat memimpin pembangunan masjid di kampung. Padahal Bapa C.K. Nimanuho ini seorang Katolik tulen. Mayoritas penduduk juga Katolik. Orang Islam tidak begitu banyak.

"Tite hama-hama gotong royong tula mesikit," kata Ama Kepala Keluli Nimanuho.

Artinya, ayo kita semua bergotong royong membangun masjid di kampung kita agar cepat rampung.

Maka, semua warga bergerak. Anak-anak SD macam saya ramai-ramai mengambil pasir, batu, dan material bangunan lainnya. Kerja gotong royong ini dilakukan dengan senang dan ikhlas.

Hasilnya, Masjid Nurul Jannah tampak indah dan gagah.

Ama Mohammad Ansar Paokuma alias Ama Imam yang jadi imam atau pimpinan masjid di dekat pantai itu. Ama Imam ini juga sering pimpin acara "baca doa" atau pengajian di rumah-rumah orang Katolik. Paling sering di rumah saya.

Nah, setelah Masjid Nurul Jannah itu berdiri, kampung kami sering jadi tuan rumah perayaan Idulfitri dan Iduladha se-Kecamatan Ile Ape. Umat Islam sekecamatan datang untuk salat Id berjamaah di masjid hingga ke halaman (namang). Festival musik kasidah pun pernah diadakan di Desa Mawa Napasabok.

Kalau dibandingkan masjid-masjid di kota, apalagi Jawa, sebetulnya masjid di Mawa itu kalah jauh. Lebih cocok disebut langgar atau musala. Bangunannya pun sederhana saja. Tidak seindah masjid-masjid di Jawa.

Namun, proses pembangunan yang langsung dipimpin Ama Kepala Keluli, orang Katolik, bersama warga desa yang mayoritas Katolik (93%), itu sangat berkesan bagi saya. Apalagi ketika kita mendengar banyak orang di tempat-tempat lain menolak pembangunan rumah ibadah agama lain yang mayoritas.
Setiap kali membaca atau mendengar kasus SARA terkait penolakan pembangunan gereja, wihara, pura dsb, saya langsung teringat Masjid Nurul Jannah di kampung halaman saya. Juga ingat Ama Kepala Keluli.

Sekarang Ama Kepala Keluli sudah tak ada lagi di dunia ini. Sudah pergi menemani Bapa Niko, sahabat ngobrol dan minum kopi di kampung, menghadap Sang Pencipta. Selesai sudah tugasnya di alam fana ini.

Ama Kepala Keluli hanya mau kopi kental di gelas besar, bukan gelas kecil. Ngobrolnya ngalor-ngidul dari soal remeh-temeh hingga masalah besar yang serius.

Dua orang penting di kampungku itu sudah tak ada lagi. Saat aku mudik tak ada lagi obrolan yang diwarnai gelak gawa Bapa Niko Hurek dan Ama Kepala Keluli Nimanuho.

Tuhan yang memberi
Tuhan yang mengambil
Selamat jalan Ama Kepala Keluli!
Jasa-jasa moen kame lupang hala!
(Jasa-jasamu tak akan kami lupakan!)

Sabtu, 23 Mei 2020

Misa 19 Menit ala Amerika


Sabtu ini, 23 Mei 2020, saya ikut misa online. Seperti biasa sejak gereja-gereja di Surabaya tutup sementara sejak 22 Maret 2020.

Sengaja kali ini saya pilih channel dari USA. Bukan Canada atau Washington seperti sebelum pandemi corona. Uskup Msgr. William F. Stumpf yang pimpin misa dari SS. Peter and Paul Cathedral di Indianapolis, Amerika Serikat.

Luar biasa!

Misa bersama Bapa Uskup Stumpf ini sangat padat dan efisien. Lecta missae alias misa tanpa nyanyian. Tanpa misdinar atau putra altar. Cukup dibantu seorang pater atau romo.

Tata perayaan ekaristi sama saja dengan di Indonesia. Cuma beda bahasanya saja. Bahasa Inggris punya kelebihan: lebih padat dan lancar mengalir. Uskup atau romo di USA juga tidak banyak basa-basi seperti di sini.

Karena itu, misa cepat selesai. Hanya 19 menit! Bandingkan dengan misa harian di Surabaya atau Malang yang rata-rata 50 menit. Misa hari Minggu di Indonesia paling cepat 70 menit. Syaratnya tidak banyak nyanyian dan homili singkat.

Selama dua bulan misa online ini saya rasa misa di Indianapolis USA ini yang tercepat. Biasanya misa harian di Amerika berkisar 25 sampai 33 menit. Indonesia minimal 40-an menit.

Selama 30-an tahun saya pikir rekor misa tercepat itu di Larantuka, Flores Timur. Misa yang dipimpin Pater Krisik SVD asal Ceko. Bacaannya sangat cepat, lancar, tanpa basa-basi, dan tanpa khotbah.

Bagian utama misa, yakni doa syukur agung, juga mengalir kayak sungai. Pater Krisik biasa berdoa sendiri tanpa jawaban umat. Belakangan baru saya tahu itulah tata kurban misa pra Konsili Vatikan II.

Karena itu, misa bersama Pater Krisik cepat selesai. Tapi secepat-cepatnya Pater Krisik, saya rasa durasinya masih di atas 23 menit. Lebih lama ketimbang misa yang dipimpin Uskup Stumpf di Indianapolis itu.

Yang jelas, orang-orang NTT di NTT umumnya tidak suka misa yang terlalu singkat dan padat. Sebab mereka sangat suka bernyanyi. Lagu yang punya 5 atau 7 ayat atau kuplet dinyanyikan semua. Beda dengan di Jawa yang nyanyiannya biasa cuma dua kuplet atau satu kuplet saja.

Que bene cantat bis orat! Siapa yang bernyanyi dengan baik berdoa dua kali.

Pepatah ini sangat merasuk di kalangan umat Katolik di NTT, khususnya Flores dan Lembata. Orang sedih kalau misa atau ibadat sabda tanpa nyanyian.

Tapi di era milenium yang bergegas ini rasanya misa cepat ala mendiang Pater Krisik SVD atau Uskup Stumpf di Amerika lebih disukai. Lebih hemat data internet juga.

Dominus vobis cum!

Ngotot Salat Id di Masjid

Presiden Amerika Serikat Donald Trump ngotot membuka lockdown di negaranya. Belakangan Trump juga ngotot meminta gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah lain dibuka dengan sejumlah persyaratan.

Tentu saja kebijakan Presiden Trump mendapat reaksi keras dari lawan-lawan politiknya. Juga media-media yang selama ini dituding Trump sebagai penyebar fake news.

CNN misalnya bolak-balik mengkritik Trump yang menganggap enteng virus corona. Trump juga tidak mau pakai masker. Padahal dokter-dokter terkemuka, penasihatnya, sudah bolak-balik mengingatkan Mr Potus.

Trump malah punya ide gila. Menyuntikkan cairan disinfektan ke dalam tubuh manusia untuk membunuh virus corona. Untung tidak ada orang Amerika yang mengikuti ide nyeleneh itu. Bisa mati konyol.

Sehari menjelang Idul Fitri orang Indonesia juga ramai di media sosial. Bolehkah salat Id di masjid atau lapangan atau tempat terbuka di tengah pandemi covid? Apalagi pasien covid naik tajam. Jawa Timur, khususnya Surabaya Raya, sedang berlaku PSBB?

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini meminta warga Surabaya untuk berlebaran di rumah saja. Salat Id di rumah. Sebab beberapa masjid di Surabaya sudah jadi klaster corona. Penjarakan sosial saat salat Id pun pasti sangat sulit.

Bagaimana tanggapan warga? Kelihatannya mirip Mr Trump di USA. Sebagian besar ngotot salat Id di masjid. Suara yang ngotot ini lebih banyak. Lupa bahwa angka korban corona di Surabaya terus naik, naik, dan naik.

Novita Juliantina:
"Di kampungku sholat ied... BISMILLAH."

Fery Hardianto:
"Gak ngurus lha....sing penting ketemu dolor dolor. setahun pisan ae apene dilarang... sing penting protokol kesehatan digawe. terserah nek memange ketularan yo wes takdire. ngunu ae kok repot.

Lapo kok repot2 ngelarang sholat ied jamaah nang masjid karo larangan unjung unjung.

Pikirno tenogo medis sing terpapar karo dadi korban meninggal dunia.

Kata ISOLASI ITU MEMENCILKAN SATU MANUSIA KE SUATU WILAYAH....

Nek niat ISOLASI YO NANG PULAU GAK NANG RUMAH SAKIT NANG RUANGAN TERTUTUP.

IKU LHO SING PENTING DIPIKIRNO

SELAMA ISOLASI NANG RUANGAN RUMAH SAKIT YO AKEH TENAGA MEDIS SING TERPAPAR.....PLUS SAIKI DADI TEMPAT RAWAN PENULARAN

PODO2 GAK ISOK DI DELOK YO MENDING DI ISOLASI NANG SATU PULAU. DIRIKAN TENDA MILITER TNI/POLRI. BUAT SISTEM BARAK.

DI LIHAT SAJA HASILNYA BAGAIMANA

BERIKAN REWARD/APRESIASI BUAT SELURUH TENAGA MEDIS YANG TELAH BEKERJA MENANGANI/MENYEMBUHKAN PASIEN POSITIF COVID."

Nur Aini:
"Sholat di masjid dan tanah lapang. Ini sdh dicontohkan oleh Rasulullah ngak ada contoh sholat Ied yg sunnah Muakad dilakukan di rumah."

Atok:
"ALhamdulillah ning kampungku sik ono sholat ied slurr, setaun pisan kok dilarang jamaah 😵
NO REKEN YOU 😅🙏"


Hector:
"Sholat ied d rumah khutbah2 dewe lucu paling wkwkwkwk untung duwe deso iso sholat ied ng masjid."

Indra Sagyboy:
"Lek jenenge sholat id berjamaah iku yo metu rekk... tekan umah mboh nok mesjid mboh nok Mall mbo nok Mushola Wes turu ae nok umah tangi awan trus mangan Lontong ngunu ae kug repot."

Selasa, 12 Mei 2020

Kantor pos justru makin ramai

Iseng-iseng aku mampir ke kantor pos di Jemursari, Surabaya. Ingin lihat suasana dan layanan pos di tengah pandemi Covid-19.

Wow.. ramai banget!

Suasana kantor pos kemarin jauh lebih ramai ketimbang perbankan. Kebanyakan orang yang mengurus pensiun, bayar pajak dan rekening macam-macam.

"Malah lebih ramai ketimbang sebelum PSBB," kata seorang warga Rungkut.

Suasana di kantor pos terbesar di Surabaya Selatan ini memang sangat normal. Seperti tidak ada corona atau PSBB. Antrean sangat panjang. "Masih 40 orang lagi," kata pria asal Rungkut itu.

Di dekat pintu masuk memang disediakan air dan sabun untuk cuci tangan. Ada juga imbauan untuk pakai masker. Ada pula tanda silang di tempat duduk buat jaga jarak.

Tapi... suasananya seperti normal. Para pensiunan angre ambil gaji untuk kebutuhan puasa dan Lebaran. Layanan pajak dsb seperti biasa.

Suasana kantor pos ini menepis anggapan banyak orang bahwa kantor pos akan habis di era digital. Era tanpa surat-surat plus perangko seperti sebelum 2000. Orang modern sudah lama bertukar pesan lewat SMS, WA, email, media sosial dsb.

Rupanya manajemen pos pandai membaca tanda-tanda zaman. Bisa beradaptasi dengan perubahan teknologi serta perilaku masyarakat. Kini kantor pos yang jaringannya sangat luas hingga pelosok itu punya banyak sekali layanan.

Karena itu, kantor pos sekarang tidak pernah sepi. Bahkan jauh lebih ramai sebelum ada HP dan internet.

Salut!

Senin, 11 Mei 2020

98% Bukan Pasien Murni Corona


Berapa orang Surabaya yang meninggal karena corona? Buanyaak. Maklum, Surabaya kota besar nomor 6 di Indonesia setelah Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta. Tiap hari ribuan orang luar negara dan luar daerah datang dan pergi.

Karena itu, pasien positif Covid-19 melejit terus. Minggu lalu 600-an, minggu ini tambah banyak. Apalagi setelah ada klaster besar di pabrik Sampoerna. Kemudian klaster pasar-pasar.

Sejatinya yang murni meninggal karena virus corona itu berapa orang?

Wali Kota Tri Rismaharini kemarin menyebut 4 orang. Empat pasien itu meninggal tanpa riwayat penyakit lain. Sementara 76 almarhum yang lain punya penyakit-penyakit bawaan.

"Orangnya sudah lama sakit campur-campur. Kencing manis, darah tinggi, jantungan... buanyaak," kata seorang tetangga korban corona yang meninggal dunia.

Hanya saja, setelah musim corona tiba, pasien itu positif uji swab. Sang mendiang pun tercatat sebagai pasien Covid-19 yang meninggal dunia.

"Hampir semua pasien yang meninggal punya riwayat," kata teman lama di Trawas yang juga pengobat tradisional. "Makanya jangan takut sama corona."

Angka-angka pasien corona di Surabaya Raya dan Jawa Timur memang bikin cemas. Naiknya terlalu cepat. Entah kapan mencapai puncak kurva lalu turun.

Karena itu, sangat wajar PSBB di Surabaya diperpanjang hingga dua minggu ke depan. Hingga lebaran. Dus, tradisi mudik tahun ini terpaksa ditiadakan. Termasuk sekadar berlibur dekat-dekat di Jawa Timur seperti ke Malang, Batu, Trawas, Puhsarang, Jember, Lumajang.