Dulu orang ramai-ramai minta dites masal. Kalau bisa semua warga Surabaya, Sidoarjo, Gresik... seluruh Jatim dites. Biar ketahuan siapa yang kena corona dan siapa yang sehat walafiat. Tapi peralatan tes cepat dan swab masih sedikit.
Maka yang dites hanya warga di kampung-kampung zona merah. Itu pun sebatas di sekitar rumah pasien Covid-19. "Kalau pemerintah serius mestinya semua orang dites," begitu omongan sebagian warga di media sosial.
Sejak dua minggu lalu peralatan rapid test makin banyak. Tes masal dilakukan di berbagai kawasan Surabaya Raya. Mulai pasar-pasar hingga kampung-kampung padat.
Pemerintah pusat juga mengirim mobil lab untuk tes swab. Hasilnya cepat diketahui. Tak perlu menunggu seminggu atau 10 hari. Sebab Surabaya Raya sudah lama merah. PSBB sudah tiga jilid.
Anehnya, belakangan warga malah takut dites cepat. Ada saja alasannya. Ada yang tutup kios lalu lari. Seperti di Pasar Taman Sidoarjo. "Aku sehat kok. Gak mau tes," kata seorang pedagang.
"Rapid test gak oleh sangu," kata pedagang yang lain.
Mengapa warga takut dites?
Sebab, khawatir hasil tesnya reaktif. Lalu diisolasi selama 14 hari oleh pemkab atau pemkot. Lalu diswab dan sebagainya.
"Bagaimana dengan anak-anak dan istrinya di rumah? Makan apa kalau kepala keluarga diisolasi dua minggu?" kata ibu pemilik warkop di Gunung Anyar Surabaya.
Wanita asal Madura ini menolak ikut rapid test masal gratis di puskesmas. Sebab, itu tadi, takut reaktif atau positif corona. Bukan takut mati, tapi takut tidak bisa memberi makan anak-anaknya.
Sampean gak takut corona?
"Hidup dan mati kita di tangan Allah. Kalau memang sudah ajal ya meninggal," katanya enteng.
Ibu Madura itu serta hampir semua pengunjung warkop bahkan menjadikan corona sebagai bahan guyonan. Sakit jantung mati dibilang corona. Pasien TBC mati corona. Diabetes, komplikasi dsb pun dianggap corona.
"Aneh-aneh aja pemerintah itu," kata seorang bapak asal Segoro Tambak, Sidoarjo.
Sudah tiga bulan kita bergulat dengan corona. Tapi belum ada tanda-tanda virus aneh itu segera dijinakkan. Angka pasien justru naik naik naik terus. PSBB pun diperpanjang entah sampai kapan.
"Pasien naik itu karena tes masal makin banyak. Coba kalau gak ada tes ya gak ada yang sakit corona," kata pria Segoro Tambak itu.
Maka yang dites hanya warga di kampung-kampung zona merah. Itu pun sebatas di sekitar rumah pasien Covid-19. "Kalau pemerintah serius mestinya semua orang dites," begitu omongan sebagian warga di media sosial.
Sejak dua minggu lalu peralatan rapid test makin banyak. Tes masal dilakukan di berbagai kawasan Surabaya Raya. Mulai pasar-pasar hingga kampung-kampung padat.
Pemerintah pusat juga mengirim mobil lab untuk tes swab. Hasilnya cepat diketahui. Tak perlu menunggu seminggu atau 10 hari. Sebab Surabaya Raya sudah lama merah. PSBB sudah tiga jilid.
Anehnya, belakangan warga malah takut dites cepat. Ada saja alasannya. Ada yang tutup kios lalu lari. Seperti di Pasar Taman Sidoarjo. "Aku sehat kok. Gak mau tes," kata seorang pedagang.
"Rapid test gak oleh sangu," kata pedagang yang lain.
Mengapa warga takut dites?
Sebab, khawatir hasil tesnya reaktif. Lalu diisolasi selama 14 hari oleh pemkab atau pemkot. Lalu diswab dan sebagainya.
"Bagaimana dengan anak-anak dan istrinya di rumah? Makan apa kalau kepala keluarga diisolasi dua minggu?" kata ibu pemilik warkop di Gunung Anyar Surabaya.
Wanita asal Madura ini menolak ikut rapid test masal gratis di puskesmas. Sebab, itu tadi, takut reaktif atau positif corona. Bukan takut mati, tapi takut tidak bisa memberi makan anak-anaknya.
Sampean gak takut corona?
"Hidup dan mati kita di tangan Allah. Kalau memang sudah ajal ya meninggal," katanya enteng.
Ibu Madura itu serta hampir semua pengunjung warkop bahkan menjadikan corona sebagai bahan guyonan. Sakit jantung mati dibilang corona. Pasien TBC mati corona. Diabetes, komplikasi dsb pun dianggap corona.
"Aneh-aneh aja pemerintah itu," kata seorang bapak asal Segoro Tambak, Sidoarjo.
Sudah tiga bulan kita bergulat dengan corona. Tapi belum ada tanda-tanda virus aneh itu segera dijinakkan. Angka pasien justru naik naik naik terus. PSBB pun diperpanjang entah sampai kapan.
"Pasien naik itu karena tes masal makin banyak. Coba kalau gak ada tes ya gak ada yang sakit corona," kata pria Segoro Tambak itu.