Sabtu, 21 Maret 2020

Tidak Wajib Misa Hari Minggu

Wabah virus corona mengimbas ke mana-mana. Termasuk urusan ibadah atau liturgi. Gubernur Khofifah mengeluarkan surat edaran yang intinya melarang kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Tentu saja termasuk jemaat yang beribadah di masjid, gereja, pura dsb.

Bagaimana dengan gereja? Khususnya Gereja Katolik. Saya cek di Paroki Roh Kudus, Purimas, Gunung Anyar, Surabaya, misa harian berlangsung seperti biasa. Ekaristi yang dimulai pukul 05.30 berlangsung normal saja.

Tadinya saya pikir misa harian atau daily mass ditiadakan gara-gara covid itu. Umat yang datang pun relatif stabil. Rata-rata 80 sampai 100 orang. Kadang bisa lebih.

"Kita justru lebih mendekatkan diri pada Tuhan," kata salah seorang jemaat yang rajin misa setiap pagi. Ibu ini rupanya tidak termakan isu corona. "Kita harus waspada tapi tidak boleh panik," katanya.

Lantas, bagaimana kebijakan resmi Paroki Roh Kudus, Surabaya, untuk misa hari Minggu?

Asal tahu saja Sunday Mass selalu dihadiri ribuan umat. Tempat duduk selalu penuh sampai di luar. Bahkan 15 menit sebelum misa tempat duduk sudah terisi.

Saya tanyakan pada Pastor Paroki Roh Kudus Pater Dominikus Udjan SVD. Pater atau romo asal Pulau Lembata, NTT, itu menjawab via WA.

"Selamat pagi Ama. Misa tetap ada. Yang sehat dan mau datang ikut silahkan dan yang tidak ikut juga tidak apa2. Prinsipnya tidak dipaksa," tulis Pater Domi Udjan.

Jawaban yang singkat, padat, dan jelas. Intinya, selagi masih darurat wabah corona, umat Katolik tidak diwajibkan ikut misa hari Minggu di gereja. Bisa berdoa bersama keluarga di rumah atau doa pribadi.

Sebelumnya Uskup Surabaya Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono mengeluarkan surat edaran kepada para pastor di Keuskupan Surabaya. Bapa Uskup meminta para imam agar tidak menyebarkan kepanikan terkait pandemi Covid-19 ini.

Umat yang sakit diminta berdoa di rumah masing-masing. Tidak perlu ke gereja. Namun, pelayanan sakramen tetap berlangsung dengan memperhatikan social distancing, kesehatan diri, dan kebersihan lingkungan.

Gereja-gereja juga diminta menyiapkan tempat cuci tangan, hand sanitizer dsb. Tempat-tempat ziarah dan devosional di lingkungan gereja ditutup sementara hingga akhir Maret 2019.

Kebijakan Keuskupan Surabaya tampaknya tidak seketat Keuskupan Agung Jakarta dan Keuskupan Agung Semarang. Kedua keuskupan utama di tanah air itu meniadakan misa hari Minggu, misa harian, dan semua kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Umat Katolik di Jakarta malah dianjurkan mengikuti misa via live streaming dan YouTube. Bisa jadi karena dampak corona di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jogjakarta lebih parah ketimbang di Jawa Timur.

Minggu, 15 Maret 2020

Tidak Misa karena Takut Corona

Wabah virus corona membuat segala urusan jadi terganggu. Termasuk peribadatan. Arab Saudi menghentikan sementara ibadah umrah. Vatikan juga menutup sementara basilika dan Lapangan Santo Petrus untuk umum.

Bahkan misa di Vatikan pun sangat dibatasi. Paus Fransiskus mengadakan misa harian di kapel kecil dengan sedikit jemaat. Gara-gara Covid 19 yang sudah pandemik itu.

Minggu pagi ini, 15 Maret 2020, saya berniat ikut misa pagi di Gereja Salib Suci, Waru. Kangen sama pater-pater SVD asal Flores yang tugas di Paroki Salib Suci.

Tapi setelah membaca berbagai imbauan di media sosial agar menghindari kerumunan, saya kecut juga. Apalagi dua minggu ini ada diskusi di kalangan umat Katolik agar tidak perlu mencelupkan tangan ke air suci di pintu masuk gereja. Khawatir ada umat yang kena corona lalu menyebar ramai-ramai.

Jadi gak ke gereja? Saya ragu-ragu. Tidak mantap.

Apa boleh buat. Misa pagi ini cukup di kamar saja. Ekaristi bahasa Inggris alias Sunday Mass yang disiarkan dari Amerika Serikat. Misa mingguan yang biasa dilayani pater-pater pasionis.

Suasananya sih sama saja dengan misa di gereja-gereja di Surabaya atau Sidoarjo. Bahasanya saja yang English. Tapi tata liturgi, bacaan pertama, kedua, Injil dsb sama saja.

Lagu-lagu tidak banyak. Sehingga Sunday Mass ini hanya 30 menitan. Beda dengan misa di gereja di Jawa Timur yang paling cepat 75 menit.

Tentu saja online mass ini ada kekurangan. Tidak ada komuni. Tidak ada salam damai dsb. Tapi mau bagaimana lagi?

Pagebluk virus corona ini benar-benar masif dan luar biasa. Menjaga kesehatan jauh lebih penting ketimbang... pigi misa.

Sejak Lapangan St Petrus Vatikan ditutup, misa online Paus Fransiskus jadi sangat populer. Bisa diakses di mana saja. Tanpa harus jauh-jauh pigi ke Roma.

Salam damai!

Rabu, 11 Maret 2020

Raja Belanda Minta Maaf Setengah Hati



Minggu lalu ada diskusi ringan tentang kolonialisme di Indonesia. Khususnya Belanda alias Londo. Sejak kapan sebenarnya Nusantara ini dijajah Belanda?

Sejak kedatangan de Houtman?

Sejak VOC berdagang rempah-rempah?

Sejak VOC bangkrut karena korupsi?

Sejak VOC diambil alih pemerintah Belanda awal 1800-an?

Tidak jelas.

Penjelasan beberapa pengamat dan pemerhati sejarah di Sidoarjo itu ngambang. Mbah Gatot masih menyebut 350 tahun. Persis hafalan murid-murid SD itu.

Yang pasti, wilayah yang sekarang bernama Indonesia ini tidak sekaligus dijajah Belanda. Londo Keju itu ambil satu-satu wilayah. Sebab pada saat itu wilayah-wilayah di Nusantara sangat otonom. Alias punya kedaulatan sendiri-sendiri. Bisa dikatakan sudah ada puluhan bahkan ratusan negara/kerajaan.

Karena itu, ketika Banten diambil Belanda, wilayah lain seperti Madura, Blambangan, Bali, Timor, Flores, atau Papua masih merdeka. Bahkan tidak tahu ada virus kolonialisasi dari negeri kincir angin itu.

Saya pikir angka 350 tahun itu sengaja digunakan para pejuang untuk membangkitkan semangat orang Indonesia untuk melawan penjajah Belanda. Angka persisnya pasti tidak sebanyak itu.

Belanda diusir Jepang tahun 1942. Indonesia proklamasi 1945. Tapi de facto Belanda masih bercokol di tanah air kita sampai akhir 1949. Kerajaan Belanda baru menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.

Selasa 10 Maret 2020, Raja Belanda Willem Alexander berkunjung ke Indonesia. Adem ayem aja. Sangat sepi pemberitaan. Apalagi sekarang lagi ramai virus corona alias Covid-19.

Walaupun tak ada corona, tetap saja lawatan raja dan ratu Belanda ini tidak dianggap penting. Sama saja dengan lawatan presiden Timor Leste atau PM Malaysia atau Sultan Brunei atau PM Papua Nugini.

"Apanya yang istimewa? Belanda itu masa lalu. Sudah tidak ada hubungan dengan kita," kata mantan wartawan senior di Surabaya.

Mungkin yang sedikit menarik perhatian media adalah sambutan Raja Willem. Dia sempat minta maaf atas masa lalu Belanda di Indonesia. Minta maaf atas penjajahan yang 350 tahun itu?

Awalnya saya kira begitu. Tapi setelah saya baca berita di beberapa media daring, Raja Willem sama sekali tidak singgung sepak terjang VOC dan kolonialisme Kerajaan Belanda yang sangat eksploitatif itu.

Willem ternyata hanya minta maaf atas "perpisahan yang menyakitkan" setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu ribuan pejuang Indonesia berguguran. Termasuk Arek-Arek Surabaya.

"Saya ingin minta maaf atas kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda," kata Raja Willem Alexander di Istana Bogor.

Begitulah angle penjajah. Belanda rupanya tidak merasa bersalah atas kolonialisme di Indonesia hingga 1945 (minus pendudukan Jepang) itu. Bisa jadi Belanda justru merasa berjasa sudah membangun berbagai infrastruktur di tanah air kita.

Syukurlah, Indonesia bukan Malaysia, Singapura, atau Brunei yang masih terus memupuk hubungan dengan bekas penjajahnya. Kita sudah lama melupakan Belanda.

Dan... naga-naganya kita tidak lagi membutuhkan duit Belanda sejak IGGI dibubarkan. Go to hell with your money!!!

"Belanda itu penjajah yang paling keparat dan brengsek," kata salah satu peserta sarasehan asal Sidoarjo.

Minggu, 08 Maret 2020

Khawatir Virus Corona

Virus corona bikin panik semua orang. Awalnya orang mengira cuma Tiongkok dan sekitarnya yang terdampak. Khususnya jelang tahun baru Imlek pada Januari 2020 lalu.

Eh... bukannya berkurang, wabah penyakit Covid-19 meluas ke mana-mana. Indonesia yang awalnya merasa kebal pun akhirnya kena juga. Padahal orang Indonesia sering makan soto dan rawon.

Rempah-rempah, empon-empon itu bagus untuk mencegah corona. Begitu antara lain kata-kata pejabat di Surabaya. Ia mengutip omongan profesor dari Universitas Airlangga.

Gara-gara virus corona, saya pun jadi khawatir bertemu sejumlah tokoh Tionghoa. Apalagi pengurus paguyuban pengusaha Tionghoa di Surabaya. Sebab mereka paling sering ketemu tamu-tamu dari Tiongkok. Siapa tahu ada sepercik corona yang dibawa dari Wuhan atau kota-kota lain.

Tapi saya tetap bertemu Andre Su. Guru bahasa Mandarin dan direktur SIIBT itu paling banyak mengirim mahasiswa ke Tiongkok.

"Tenang aja... corona ini bisa diatasi. Kayak flu biasa. Kayak DB," katanya enteng.

Yang pasti, ratusan mahasiswanya baru saja dipulangkan dari Tiongkok. Sebagian besar dari Provinsi Hubei. Andre khawatir dengan masa depan para mahasiswa tersebut. Takut putus kuliah alias DO.

Andre yang lulusan Taiwan ini sangat optimistis pemerintah Tiongkok mampu mengatasi persebaran virus corona. Sebab jumlah penderita terus menurun. "Kita jangan panik," katanya.

Kemarin Andre malah membuka lowongan bagi guru-guru yang ingin mengajar di Tiongkok. Lah... sekarang kan ada corona?

"Tenang saja... tidak lama lagi virus ini hilang. Kita tidak boleh panik," katanya.

Gak Nyangka Pendeta Hanny Layantara Bisa Gini



Siapa pun bisa jatuh dalam dosa. Termasuk pendeta atau pastor atau ustad atau pemuka agama. Agama apa pun.

Roh memang penurut tapi daging lemah!

 Itulah komentar ringan saya ketika Pendeta Hanny Layantara, 57, dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencabulan.

Sabtu 7 Maret 2020, Hanny Layantara ditahan di Polrestabes Surabaya. "Tersangka hendak pergi ke luar negeri," kata polisi.

Tak pernah dibayangkan Pendeta Hanny Layantara jadi pesakitan. Apalagi kasus asusila. Mencabuli perempuan jemaatnya sendiri selama 10 tahun. Sejak korban berusia 12 tahun. Di lingkungan gereja pula.

"Aneh.. kok bisa bertahun-tahun? Kok korban gak cerita ke mamanya atau keluarganya?" ujar seorang aktivis gereja yang kenal dekat Hanny Layantara.

Nasi sudah jadi bubur.

Korban dan keluarganya sudah kadung membawa kasus ini ke polisi. Reputasi Pendeta Hanny Layantara dan Gereja Happy Family (HFC) sudah pasti akan tergerus.

Hanny Layantara ini kelahiran Kupang NTT. Sejak kecil dibawa ayahnya ke Surabaya. Sempat jadi pengusaha kemudian belok jadi "pengusaha" gereja. Apalagi setelah kawin dengan Pendeta Agnes Maria yang lebih dulu terkenal.

Pasutri tanpa anak ini kemudian bikin Gereja HFC. Fokusnya menciptakan keluarga-keluarga yang bahagia. Dalam waktu singkat HFC berkembang pesat. Jadi gereja yang besar.

"HFC itu gereja yang ajaib," kata seorang pengurus Bamag di Surabaya. "Terlalu cepat besarnya. Sepertinya tidak alami."

Salah satu media di Surabaya secara khusus membahas gaya hidup sang pendeta yang dianggap tidak lazim. Gaya hidup mewah ala pengusaha papan atas. Hanny disebut koran itu punya koleksi mobil mewah sekelas Porsche.

"Dari mana uangnya? Memangnya pendeta itu banyak uang?" tanya seorang wartawan.

"Aku yo gak ngerti. Bisa jadi sumbangan atau hadiah dari jemaatnya yang pengusaha-pengusaha," kata saya sekenanya saja.

Melihat foto Hanny Layantara di koran pagi ini, aku ikut prihatin. Gak nyangka pendeta yang sering khotbah tentang bahaya godaan seksual itu digiring dua orang polisi.

Roh memang penurut tapi daging lemah!
Maka banyak-banyaklah berdoa dan berpuasa.

Rabu, 04 Maret 2020

Buku lebih murah ketimbang es jus

Akhir pekan lalu aku mampir ke Toko Buku Gramedia di Kertajaya, Surabaya. Bukan untuk mencari buku-buku tapi harmonika kromatis. Alat musik sederhana punyaku sudah lama rusak. Nada-nadanya gak karuan.

Ternyata tidak ada lagi chromatic harmonica. Yang ada cuma harmonika blues kecil dan harmonika tremolo. Orang Indonesia memang lebih suka tremolo yang lubangnya kembar itu. Blues harmonica tidak laku di NKRI karena susah dimainkan dengan baik dan benar.

Apa boleh buat, aku naik ke lantai 2 untuk melihat-lihat buku. Sama sekali tak ada rencana untuk membeli buku baru. Wow.. buku-buku baru ternyata sangat banyak. Desainnya bagus-bagus.

Sayang, tak ada satu pun yang kena di hati. Aku justru tertarik dengan Multatuli. Buku klasik tentang kekejaman Belanda pada masa penjajahan. Harganya di atas Rp 100 ribu. "Kapan-kapan cari di Jalan Semarang. Biasanya gak sampai separo," pikirku.

Maka, aku pun turun ke tempat parkiran. Tanpa membeli satu pun buku. Oh.. ternyata di sebelah parkiran dan toilet ada books sale. Obral buku-buku lama. Sudah pasti sangat murah ketimbang banderol aslinya.

Aku pun tergoda ke sana. Wow.. ternyata cukup banyak buku yang cocok dengan seleraku. Tapi mungkin tidak cocok dengan selera pembaca hari ini. Makanya "dibuang" ke lapak obralan.

Ada 20-an judul yang aku minati. Tapi aku hanya memilih 5 buku. Tionghoa Bangka (Rika Theo dan Fennie Lie), Seribu Senyum dan Setetes Air Mata (Myra Sidharta), Mind Body Spirit (Bre Redana), Djohan Sjahroezah (Riadi Ngasiran), dan Kumpulan Cerpen Bakdi Soemanto.

Empat penulis buku ini saya kenal. Mas Riadi teman lama sesama pekerja media. Bre Redana mantan wartawan Kompas. Almarhum Bakdi dosen UGM dan sastrawan. Ibu Myra kolumnis senior. Hanya penulis Tionghoa Bangka yang tidak aku kenal.

Berapa harga 5 buku ini? Ternyata hanya Rp 50 ribu. Lima puluh ribu rupiah! Tidak sampai 4 dolar, Bung!

Artinya, satu buku cuma Rp 10.000. Harga asli rata-rata di atas Rp 50 ribu per buku. Biografi tokoh Partai Sosialis Indonesia Djohan bahkan di atas Rp 100 ribu.

Begitulah... buku-buku cetak rupanya ikut kelimpungan ditelan gelombang disrupsi. Orang bisa dengan mudah mengakses informasi lewat ponsel. Artikel-artikel di internet sudah banyak. Cerpen-cerpen juga ada jutaan di internet.

Aku pulang dan mampir sejenak di warung sederhana. Dekat RSJ Menur yang terkenal itu. Pesan es jus jambu. Harganya Rp 15 ribu segelas. Lebih mahal ketimbang harga buku di big sale Gramedia.

Di sebelahnya ada orang jualan duren (durian). Bukan duren kelas bangkok atau montong yang di atas 100 ribu itu. Tapi duren lokal Jatim. Harganya paling murah Rp 30 ribu. Setara dengan tiga buku di Gramedia Kertajaya.

Kalau begini jadinya, siapa yang mau capek-capek menulis buku? Wawancara, riset, cari bahan, desainer, percetakan? Dan bukunya tidak laku? Jadi barang loakan?

Pedagang duren atau es jus jelas lebih beruntung daripada penulis buku atau penerbit buku. Gak ada ceritanya harga duren atau es jus tambah lama tambah turun. Tapi buku? Makin lama harganya makin hancur.

Selamat membaca buku sambil mencicipi es jus atau wedhang kopi!

Selasa, 03 Maret 2020

Siswa-siswa vs Siswa-siswi

Koran pagi ini menulis:

"Siswa-siswa kelas XII menjalani hari pertama ujian satuan pendidikan berbasis komputer dan smartphone (USP-BKS) kemarin (2/3)."

Smartphone.

Rupanya belum ada terjemahan yang diterima secara luas. Ada yang bilang ponsel pintar atau ponsel cerdas atau HP pintar. Tapi belum berterima.

Dinas Pendidikan masih pakai smartphone. Padahal kamus bahasa Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada lema ponsel pintar. Sudah lama banget.

Bagi saya, yang menarik itu "siswa-siswa" di awal kalimat. Mengapa bukan "siswa-siswi"?

Dulu saya sering diprotes di Sidoarjo karena membuang siswi saat mengedit naskah berita berbayar alias advertorial. Saya anggap siswa ya termasuk siswi atau pelajar yang perempuan.

"Tidak bisa. Harus pakai siswa-siswi karena pelajar sekolah itu tidak hanya laki-laki. Perempuannya juga banyak," kata mbak yang protes itu.

Diterima! Saya ikuti kemauan yang pasang iklan. Khawatir tidak mau bayar. Atau tidak beriklan lagi di masa yang akan datang.

Siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, karyawan-karyawati, satrawan-sastrawati, seniman-seniwati, wartawan-wartawati....

Koran-koran Indonesia sudah lama membuang kata wartawati. Padahal makin lama perempuan yang jadi jurnalis makin banyak. Malah cenderung lebih banyak daripada laki-laki dalam 10 tahun terakhir.

"Kata wartawan itu sudah mengandung wartawati. Jadi, tidak perlu pakai wartawati," kata seorang wartawan veteran mantan redaktur kawakan.

Saya juga bertanya ke beberapa editor bahasa di media besar. Termasuk Uu Suhardi, editor bahasa majalah Tempo. Pendapatnya sama. Cukup siswa saja. Tidak perlu siswi.

Para mahasiswa, bukan mahasiswa-mahasiswi. Ratusan karyawan PT X berunjuk rasa... Bukan: Ratusan karyawan dan karyawati berunjuk rasa...

Bagaimana kalau kita pakai kata "murid" atau "pelajar" saja agar netral?

Bisa saja. Saya memang sangat suka kata murid dan pelajar. Tapi, masalahnya, orang Indonesia, khususnya di Jawa, lebih suka siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, karyawan-karyawati, wartawan-wartawati....

Yang pasti, lembaga pendidikan polopor di Jawa bernama Taman Siswa. Bukan Taman Siswa-Siswi. Murid-muridnya pun laki-laki dan perempuan.