Rabu, 04 Maret 2020

Buku lebih murah ketimbang es jus

Akhir pekan lalu aku mampir ke Toko Buku Gramedia di Kertajaya, Surabaya. Bukan untuk mencari buku-buku tapi harmonika kromatis. Alat musik sederhana punyaku sudah lama rusak. Nada-nadanya gak karuan.

Ternyata tidak ada lagi chromatic harmonica. Yang ada cuma harmonika blues kecil dan harmonika tremolo. Orang Indonesia memang lebih suka tremolo yang lubangnya kembar itu. Blues harmonica tidak laku di NKRI karena susah dimainkan dengan baik dan benar.

Apa boleh buat, aku naik ke lantai 2 untuk melihat-lihat buku. Sama sekali tak ada rencana untuk membeli buku baru. Wow.. buku-buku baru ternyata sangat banyak. Desainnya bagus-bagus.

Sayang, tak ada satu pun yang kena di hati. Aku justru tertarik dengan Multatuli. Buku klasik tentang kekejaman Belanda pada masa penjajahan. Harganya di atas Rp 100 ribu. "Kapan-kapan cari di Jalan Semarang. Biasanya gak sampai separo," pikirku.

Maka, aku pun turun ke tempat parkiran. Tanpa membeli satu pun buku. Oh.. ternyata di sebelah parkiran dan toilet ada books sale. Obral buku-buku lama. Sudah pasti sangat murah ketimbang banderol aslinya.

Aku pun tergoda ke sana. Wow.. ternyata cukup banyak buku yang cocok dengan seleraku. Tapi mungkin tidak cocok dengan selera pembaca hari ini. Makanya "dibuang" ke lapak obralan.

Ada 20-an judul yang aku minati. Tapi aku hanya memilih 5 buku. Tionghoa Bangka (Rika Theo dan Fennie Lie), Seribu Senyum dan Setetes Air Mata (Myra Sidharta), Mind Body Spirit (Bre Redana), Djohan Sjahroezah (Riadi Ngasiran), dan Kumpulan Cerpen Bakdi Soemanto.

Empat penulis buku ini saya kenal. Mas Riadi teman lama sesama pekerja media. Bre Redana mantan wartawan Kompas. Almarhum Bakdi dosen UGM dan sastrawan. Ibu Myra kolumnis senior. Hanya penulis Tionghoa Bangka yang tidak aku kenal.

Berapa harga 5 buku ini? Ternyata hanya Rp 50 ribu. Lima puluh ribu rupiah! Tidak sampai 4 dolar, Bung!

Artinya, satu buku cuma Rp 10.000. Harga asli rata-rata di atas Rp 50 ribu per buku. Biografi tokoh Partai Sosialis Indonesia Djohan bahkan di atas Rp 100 ribu.

Begitulah... buku-buku cetak rupanya ikut kelimpungan ditelan gelombang disrupsi. Orang bisa dengan mudah mengakses informasi lewat ponsel. Artikel-artikel di internet sudah banyak. Cerpen-cerpen juga ada jutaan di internet.

Aku pulang dan mampir sejenak di warung sederhana. Dekat RSJ Menur yang terkenal itu. Pesan es jus jambu. Harganya Rp 15 ribu segelas. Lebih mahal ketimbang harga buku di big sale Gramedia.

Di sebelahnya ada orang jualan duren (durian). Bukan duren kelas bangkok atau montong yang di atas 100 ribu itu. Tapi duren lokal Jatim. Harganya paling murah Rp 30 ribu. Setara dengan tiga buku di Gramedia Kertajaya.

Kalau begini jadinya, siapa yang mau capek-capek menulis buku? Wawancara, riset, cari bahan, desainer, percetakan? Dan bukunya tidak laku? Jadi barang loakan?

Pedagang duren atau es jus jelas lebih beruntung daripada penulis buku atau penerbit buku. Gak ada ceritanya harga duren atau es jus tambah lama tambah turun. Tapi buku? Makin lama harganya makin hancur.

Selamat membaca buku sambil mencicipi es jus atau wedhang kopi!

Selasa, 03 Maret 2020

Siswa-siswa vs Siswa-siswi

Koran pagi ini menulis:

"Siswa-siswa kelas XII menjalani hari pertama ujian satuan pendidikan berbasis komputer dan smartphone (USP-BKS) kemarin (2/3)."

Smartphone.

Rupanya belum ada terjemahan yang diterima secara luas. Ada yang bilang ponsel pintar atau ponsel cerdas atau HP pintar. Tapi belum berterima.

Dinas Pendidikan masih pakai smartphone. Padahal kamus bahasa Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada lema ponsel pintar. Sudah lama banget.

Bagi saya, yang menarik itu "siswa-siswa" di awal kalimat. Mengapa bukan "siswa-siswi"?

Dulu saya sering diprotes di Sidoarjo karena membuang siswi saat mengedit naskah berita berbayar alias advertorial. Saya anggap siswa ya termasuk siswi atau pelajar yang perempuan.

"Tidak bisa. Harus pakai siswa-siswi karena pelajar sekolah itu tidak hanya laki-laki. Perempuannya juga banyak," kata mbak yang protes itu.

Diterima! Saya ikuti kemauan yang pasang iklan. Khawatir tidak mau bayar. Atau tidak beriklan lagi di masa yang akan datang.

Siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, karyawan-karyawati, satrawan-sastrawati, seniman-seniwati, wartawan-wartawati....

Koran-koran Indonesia sudah lama membuang kata wartawati. Padahal makin lama perempuan yang jadi jurnalis makin banyak. Malah cenderung lebih banyak daripada laki-laki dalam 10 tahun terakhir.

"Kata wartawan itu sudah mengandung wartawati. Jadi, tidak perlu pakai wartawati," kata seorang wartawan veteran mantan redaktur kawakan.

Saya juga bertanya ke beberapa editor bahasa di media besar. Termasuk Uu Suhardi, editor bahasa majalah Tempo. Pendapatnya sama. Cukup siswa saja. Tidak perlu siswi.

Para mahasiswa, bukan mahasiswa-mahasiswi. Ratusan karyawan PT X berunjuk rasa... Bukan: Ratusan karyawan dan karyawati berunjuk rasa...

Bagaimana kalau kita pakai kata "murid" atau "pelajar" saja agar netral?

Bisa saja. Saya memang sangat suka kata murid dan pelajar. Tapi, masalahnya, orang Indonesia, khususnya di Jawa, lebih suka siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, karyawan-karyawati, wartawan-wartawati....

Yang pasti, lembaga pendidikan polopor di Jawa bernama Taman Siswa. Bukan Taman Siswa-Siswi. Murid-muridnya pun laki-laki dan perempuan.

Rabu, 26 Februari 2020

Manuver Tun Mahathir Bikin Pusing

Malaysia lagi krisis politik. Gara-gara Tun Mahathir mundur dari kursi perdana menteri. Lalu dilantik sebagai PM interim oleh raja alias Yang Dipertuan Agong.

Arahnya ke mana manuver Tun M dan partainya?
Koalisi Pakatan Harapan ambyar?
Siapa PM berikutnya?
Anwar Ibrahim bakal naik sesuai janji saat kampanye dulu?

Sangat menarik mengamati krisis politik di Malaysia. Raja memanggil 221 anggota parlemen untuk diwawancarai satu per satu. Yang Dipertuan Agung pegang peranan utama dalam kemelut politik terkini di Malaysia ini.

Naga-naganya Tun M cuma bikin manuver aja. Ujung-ujungnya posisi politik pria 94 tahun itu semakin kuat. Sebaliknya, posisi Anwar Ibrahim tidak sekuat dulu.

Begitu analisis kita-kita di warkop pinggir jalan. Orang Malaysia tentu lebih paham isu-isu di balik manuver Tun M dan sejumlah politisi yang keluar dari PH.

Apakah Anwar Ibrahim berpeluang jadi PM?

"Berat Bung," kata Daniel Rohi, anggota DPRD Jawa Timur, yang pernah kuliah dan jadi pensyarah (dosen) di Kuala Lumpur, Malaysia.

Meskipun kelihatan kompak saat kampanye 2018, menurut Daniel, hubungan antara Tun M dan Anwar sebenarnya tidak begitu bagus. Kedua politisi Melayu itu bisa kompak dan bikin koalisi Pakatan Harapan karena ada musuh bersama. Namanya Najib Razak mantan PM.

Setelah sukses menumbangkan Najib, Tun M sepertinya tidak rela melepaskan jabatannya untuk Anwar. "Karena keduanya punya sejarah yang buruk di masa lalu. Tun M gagal mempersiapkan karpet untuk Anwar," kata Daniel Rohi yang dosen UK Petra Surabaya itu.

Krisis politik di Malaysia membuka mata kita bahwa sistem politik parlementer ala Malaysia ternyata sangat tidak stabil. Pemerintahan bisa tumbang kapan saja. Bisa jadi setahun bisa ganti PM tiga kali... kalau tiba-tiba sejumlah MP atau anggota parlemen memutuskan keluar dari koalisi.

Begitu kepentingan dan ideologinya terganggu maka cabutlah ia dari koalisi. Itu juga yang terjadi di Indonesia pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an. Sehingga Presiden Sukarno terpaksa menerbitkan dekrit presiden 5 Juli 1959.

Sistem politik kita di Indonesia saat ini juga tidak baik. Model oposisi vs pemerintah ala Amerika tidak jalan. Ketua oposisi Prabowo, calon presiden, malah masuk koalisi. Jadi menteri pertahanan hehe...

Tapi sejelek-jeleknya sistem politik Indonesia, ia masih lebih baik ketimbang di Malaysia. Presiden Jokowi dan presiden-presiden lain bisa dijamin berkuasa sampai lima tahun. Dus, tidak perlu pemilu berkali-kali ala negara Melayu di utara itu.

Selasa, 25 Februari 2020

Bertemu Eks Wartawan Trompet Masjarakat




Masih dalam suasana Hari Pers 2020, saya sambangi Oei Hiem Hwie. Mantan wartawan Trompet Masjarakat ini kebetulan sedang membaca koran di ruang depan Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya. Usia sudah 85 tahun tapi masih lincah.

Suaranya tidak lagi kenceng. Memorinya masih bagus untuk ukuran kakek sepuh di atas 80 tahun. "Mau bahas apa lagi?" tanya Om Hwie yang lulusan Pulau Buru itu.

Sebetulnya tidak ada isu yang mau dibahas. Saya cuma sambang perpustakaan koleksi majalah, koran, dan buku-buku lawas saja. Tidak ada niat wawancara. Saya cuma teringat wartawan-wartawan super senior setiap kali Hari Pers.

"Om Oei apa masih punya koleksi Trompet Masjarakat?" tanya saya.

"Cuma satu. Yang lainnya sudah gak ada lagi," kata pria kelahiran Malang 24 November 1935 itu.

Lalu Oei Hwiem Hwie mengambil Trompet Masjarakat itu. Koran tempat ia bekerja di Gedung Brantas, dekat Tugu Pahlawan, selama tiga tahun (1962-65). Gara-gara jadi wartawan, Oei wawancara khusus dengan Presiden Soekarno. Malah dikasih hadiah arloji bagus. Masih disimpan di perpustakaannya.

Gara-gara dekat Bung Karno, surat kabar Trompet juga selalu memihak kebijakan Bung Karno, Oei akhirnya ditangkap setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Selama 13 tahun dipenjara rezim Orde Baru. Delapan tahun usianya dihabiskan di Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik lainnya.

Oei Hiem Hwie sudah menulis panjang lebar kisah perjalanan hidupnya dalam buku Memoar. Koran-koran di Surabaya pun kerap menulis tentang Om Oei.

Kembali ke Trompet Masjarakat. Koran tahun 1960-an itu sangat sederhana. Belum ada komputer. Kualitas cetakannya sangat jauh ketimbang surat kabar atau majalah saat ini. Desain koran asal jadi.

Meski begitu, saya lihat sekilas isinya sangat tajam. Posisi politiknya jelas sehaluan dengan Bung Karno. Isi pidato Bung Karno diolah dan dijadikan berita di halaman depan. Ketika Bung Karno marah-marah sama Tengku di Malaysia, maka Trompet Masjarakat benar-benar menjadi trompet yang melantangkan kecamatan Bung Karno.

Itulah yang mungkin disebut pers perjuangan. Pers idealistik yang sepertinya belum punya pertimbangan pasar. Laku atau tidak asalkan ideologinya diangkat ke permukaan. Nada pemberitaan koran-koran lain pun sama-sama galak.

"Sekarang apa masih ada wartawan Trompet Masjarakat yang masih hidup selain Om Oei?"

"Tidak tahu. Setahu saya ya tinggal saya sendiri," katanya.

Om Oei lalu menyebut beberapa nama wartawan Trompet Masjarakat yang semuanya almarhum. Dia bangga dengan kolega-koleganya yang sangat gigih, militan, dan berani. Termasuk berani menulis opini dan berita sesuai dengan ideologi dan isi hatinya.

Masuk penjara, dibuang ke Pulau Buru... dikejar aparat itu risiko pekerjaan. Karena itu, Om Oei tidak menyesal jadi wartawan Trompet Masjarakat yang dekat Bung Karno. Meskipun dia tahu jadi pedagang kelontong di Malang tentu hasilnya lebih banyak dan tidak akan masuk penjara.

Obrolan harus diakhiri karena Om Oei harus salat Jumat. Kamsia kamsia....

Minggu, 23 Februari 2020

Pejalan Kaki Ditabrak di A. Yani

Baru saja kita bahas kucing vs manusia. Pengendara motor dan mobil di Surabaya lebih takut kucing daripada manusia. Takut menabrak kucing. Sebaliknya cuek sama manusia.

Eh.. tiba-tiba ada berita di Radio Suara Surabaya. Pejalan kaki tewas di Jalan Ahmad Yani Surabaya. Ditabrak pengendara motor. Kecepatan tinggi. Penabraknya orang Sidoarjo.

Lalu muncul banyak komentar di Twitter Suara Surabaya. Ada yang menyalahkan korban (pejalan kaki), banyak yang bisa memahami posisi penabrak.

Lampunya kurang terang, kata si A. Pejalan kaki sering seenaknya nyeberang, kata B. Kecepatan di atas 40 km/jam, kata C.

Sudah terlalu sering kecelakaan yang begini ini. Dan pasti bakal ada lagi korban-korban lain berjatuhan di jalan raya. Selama belum ada disiplin dan kesadaran masyarakat. Bahwa pejalan kaki perlu dihormati. Harus ada toleransi di jalan raya.

Saya sering ikut membantu program safety riding yang diadakan kepolisian dan Pemkab Sidoarjo. Dari sekian banyak materi, praktis tidak ada pelajaran untuk menghargai pejalan kaki, pesepeda, atau disabilitas.

Yang paling banyak dibahas adalah helm standar, sabuk keselamatan, dan periksa kondisi kendaraan. Padahal, menurut saya, perhatian terhadap pejalan kaki ini yang paling penting. Apalagi tempat penyeberangan masih sangat sedikit.

Orang bisa nyeberang di mana saja. Mirip kucing. Tapi mengapa kucing lebih aman ketimbang manusia?

Pater Yosef Buku Bala SVD Berkati Kontas Rosario


"Ama, romo di Salib Suci ne Romo Yosep Bala kah. Ra aku lewu?"

Begitu pertanyaan Ama Paul, guru SMA Petra, Kalisari, Surabaya, kepada saya. Bapa guru asal Botung, Adonara Barat, ini sudah bertanya Mbah Google tapi tak ada jawaban. Cuma ada satu dua kalimat pendek tentang sang pastor.

Ini juga menunjukkan bahwa Google tidak bisa diandalkan 100 persen. Kalau tidak ada input dari blogger, media massa, atau media sosial, maka Google tidak bisa apa-apa. Rupanya blogger paroki atau media gereja di Surabaya dan kota-kota lain kurang tertarik menulis sedikit profil pastornya.

Karena itu, hampir tidak ada umat Katolik di Surabaya yang tahu kampung asal Pater Yosef Buku Bala SVD. Tahunya ya dari Flores. "Dari namanya sih beliau asal Flores," kata seorang aktivis di Paroki Gembala Yang Baik, Jemur Handayani, Surabaya.

Flores mana? Flores itu ada 8 kabupaten? Ditambah Lembata jadi 9 kabupaten? Dari Ende, Sikka, Larantuka, Manggarai? Gak nyambung. Pokoknya Flores.. titik.

Syukurlah, saya pernah ngobrol sejenak dengan Pater Yosef Buku Bala SVD di Gereja Gembala Yang Baik (GYB) Surabaya. Beberapa tahun silam. Saat itu pater yang tak suka banyak bicara ini bertugas di GYB. Sehingga saya jadi tahu asal usulnya.

Maka, saya pun bisa menjawab pertanyaan Guru Paul yang juga penulis pantun dolo-dolo Lamaholot itu. "Kita sama-sama Lamaholot, Ama," jawab saya kepada Ama Paul yang tinggal di Pondok Jati Sidoarjo.

Bedanya, Ama Paul orang Adonara Barat, Ama Hurek Lembata Utara, Pater Yosef Buku Bala SVD Flores Timur Daratan. Tidak jauh dari Kota Larantuka. "Kampungnya Lewo Uran, daerah Lewo Tobi," tulis saya di pesan WA.

Lewo artinya kampung. Uran: hujan. Tobi: asam. Mungkin kampung asal Pater Yosef Buku Bala SVD itu banyak hujan dan banyak asam.

Satu lagi yang paling penting. Pater Yosef Buku Bala SVD ini punya adik kandung di Vatikan. Namanya Pater Markus Solo SVD. Salah satu staf kepausan sejak Paus Benediktus XVI. Pater Markus Solo SVD bertugas memajukan kerja sama Vatikan dengan berbagai kalangan lintas agama di dunia.

Ama Paul rupanya senang dengan penjelasan saya. Lalu menemui Pater Yosef Buku Bala SVD di pastoran Paroki Salib Suci, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo. Beberapa saat kemudian dia mengirim foto pertemuan dengan Pater Yosef Buku Bala SVD.

"Goe kerung Tuan kae. Nae berkat kontas goe tou," tulis Ama Guru Paul yang audiensi bersama istrinya.

Pesan bahasa Lamaholot itu artinya: Saya sudah ketemu Pater (Yosef Buku Bala). Beliau sudah memberkati saya punya kontas (rosario).

Kontas. Istilah ini sangat khas Flores Timur alias Lamaholot. Tidak ada orang yang sebut Rosario. Sembahyang Kontas sudah menjadi kebiasaan bahkan budaya di bumi Lamaholot alias Keuskupan Larantuka.

Dalam keadaan apa pun orang sembahyang kontas. Meskipun kontasnya sering tidak sampai 5 peristiwa. Saat berada di kampung halaman, saya perhatikan kontas biasanya paling banyak 3 peristiwa. Satu peristiwa yang sangat umum.

Beda dengan di Jawa Timur yang sembahyang rosario selalu full 5 peristiwa. Hampir tidak ada lingkungan atau kelompok doa yang mendiskon rosario.

Begitulah. Rupanya tiga paroki SVD yang bertetangga di Surabaya-Sidoarjo punya imam asal Lamaholot. Pater Gregorius Kaha SVD di Paroki Gembala Yang Baik, Jemur Handayani (asli Solor), Pater Dominikus Beda Udjan SVD di Paroki Roh Kudus, Rungkut-Gununganyar (asli Lembata), dan Pater Yosef Buku Bala SVD, Paroki Salib Suci, Tropodo, Waru (asli Lewouran, Lewotobi).

Jumat, 21 Februari 2020

Hindari Kucing, Tabrak Manusia



Orang Jawa biasanya sangat takut kalau sampai menabrak kucing. Apalagi sampai mati. Bisa kualat. Karena itu, pengendara mobil dan motor di Surabaya atau Sidoarjo berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari binatang yang namanya kucing kampung itu.

Begitu melihat sosok kucing dari jauh, si pengendara langsung memperlambat kendaraannya. Beda dengan ketika melihat manusia yang akan menyeberang. Pasti tidak dianggap. Menyeberang di zebracross pun tidak aman. Sebab pengendara mobil dan motor tidak mau tahu.

Salah satu kawasan rawan kecelakaan berada di Rungkut dekat perbatasan Sidoarjo dan MERR Gunung Anyar. Pengendara motor dan mobil acuh tak acuh dengan manusia-manusia yang akan menyeberang.

Gak ada ceritanya mobil atau motor mau ngalah. Kasih kesempatan untuk warga setempat menyeberang. Pengendara sepeda pancal pun sama dengan pejalan kaki. Kita baru bisa menyeberang ketika jalannya sudah kosong secara alamiah. Bukan atas belas kasihan pengendara motor dan mobil.

Bagaimana kalau kucing yang menyeberang?

Wow... dijamin berhenti. Saya lihat beberapa kali ada kucing yang tertabrak di Rungkut Menanggal. Geger. Si pengemudi mobil turun untuk mengurusi mayat si kucing itu. Gali tanah untuk dikubur secara layak. Takut kualat.

Jumat pagi ini (21/2) ada berita kecil di koran. Singkat tapi sangat menarik. Hindari Kucing, Tabrak Pemotor hingga Korban Meninggal.

Kejadiannya di Jalan Kendung Raya, Benowo, Surabaya Barat. Naim, 60, mengemudikan Avanza dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba ada kucing melintas di jalan. Naim kaget. Dia banting setir untuk menghindari si kucing.

Tapi Naim lupa ada sepeda motor dari arah depannya. Kraaak... pengemudi motor mati. Kucing selamat.

Sudah sebulan ini Surabaya sudah mulai berlaku tilang elektronik di sejumlah titik perempatan. Warga sudah jauh lebih tertib. Kebiasaan nerobos lampu merah dan lampu kuning sudah sangat menurun. Orang malas bayar denda dan berurusan dengan polisi.

Tapi masalah klasik yang jauh lebih besar justru belum disentuh. Yakni menghargai pejalan kaki. Belum ada kebiasaan untuk memberi kesempatan orang untuk menyeberang baik di jalan kampung hingga jalan raya di tengah kota. Sementara jembatan penyeberangan orang masih sangat terbatas.