Cukup banyak petilasan atau cagar budaya di Kabupaten Sidoarjo. Ada Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candipari, Porong, yang paling dikenal masyarakat. Ada juga Candi Tawangalun di Desa Buncitan, Sedati.
Nah, tidak jauh dari Buncitan, tepatnya di Desa Pulungan, ada pula situs lawas. Makam Nyai Ratu Rondo Kuning alias Nyai Ratu Sekarsari. Sesuai catatan di dinding, Mbah Rondo Kuning ini selir Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.
"Kalau tidak salah kira-kira tahun 1535 M," kata Iriyanto, pengurus situs, kepada Lambertus Hurek, Jumat 17 Januari 2020.
Batu-batu merah yang dipakai untuk membuat situs ini konon asli peninggalan Majapahit. Awalnya cuma lahan kosong, dekat Bandara Juanda. Kemudian Dulsahid yang punya kemampuan spiritual mendapat semacam petunjuk untuk membuat situs ini.
Ada foto peletakan batu pertama pada 1973 dipasang di pendapa nan asri. Di bawah naungan pohon asam jawa terdapat sendang berusia ratusan tahun. Sayang, sendang atau kolam tua di depan sudah diuruk untuk lahan parkir.
Tinggal sendang kecil di samping musala. "Sendang ini asli. Sejak dulu sudah ada," kata Iriyanto yang asli Kepanjen, Malang.
Saya kemudian minta sang juru kunci ini membuka pintu makam Nyai Rondo Kuning. Wow... ada sumur di sampingnya. Airnya ya dari sendang tua sejak zaman Majapahit. Sering diambil pengunjung untuk berbagai keperluan. Konon bisa menyembuhkan penyakit dsb.
Seperti umumnya petilasan-petilasan lain di Jawa Timur, makam Nyai Ratu Rondo Kuning ini dibuat layaknya makam muslim. ''Apakah bangsawan Majapahit itu beragama Islam? Jangan-jangan jenazahnya dikremasi layaknya umat Hindu?" tanya saya dalam hati.
Pak Yanto, mengutip cerita yang beredar dari mulut ke mulut, menyebutkan bahwa dulu Presiden Sukarno pernah mampir ke sini. Tentu saja situsnya belum sebagus sekarang. "Tahun 60an kan Presiden Sukarno meresmikan Bandara Juanda. Mungkin beliau sempat mampir," kata Yanto.
Belakangan ada penambahan dua makam baru. Yakni makam Nyi Anggraeni dan Eyan Aria Dwipa. Siapa gerangan keduanya? "Mbah Said yang paham. Beliau tinggal di dekat Lapangan Albatros Juanda," ujar Yanto.
Meskipun belum tercatat Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Trowulan, Mojokerto, menurut saya, situs di Pulungan ini jauh lebih terawat ketimbang situs-situs lain di Sidoarjo. Pengunjungnya tidak sebanyak di Candi Pari atau Candi Tawangalun. "Tapi ada saja yang mampir," kata Yanto.
Biasanya paling ramai pada malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Para penghayat kepercayaan atau aliran kebatinan biasanya datang untuk bersemadi. Mungkin juga untuk ngalap berkah.
"Ayem rasanya tinggal di sini. Ada saja rezeki dari Yang Mahakuasa," kata Iriyanto.
Rahayu!
Rahayu!
Rahayu!
Nah, tidak jauh dari Buncitan, tepatnya di Desa Pulungan, ada pula situs lawas. Makam Nyai Ratu Rondo Kuning alias Nyai Ratu Sekarsari. Sesuai catatan di dinding, Mbah Rondo Kuning ini selir Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.
"Kalau tidak salah kira-kira tahun 1535 M," kata Iriyanto, pengurus situs, kepada Lambertus Hurek, Jumat 17 Januari 2020.
Batu-batu merah yang dipakai untuk membuat situs ini konon asli peninggalan Majapahit. Awalnya cuma lahan kosong, dekat Bandara Juanda. Kemudian Dulsahid yang punya kemampuan spiritual mendapat semacam petunjuk untuk membuat situs ini.
Ada foto peletakan batu pertama pada 1973 dipasang di pendapa nan asri. Di bawah naungan pohon asam jawa terdapat sendang berusia ratusan tahun. Sayang, sendang atau kolam tua di depan sudah diuruk untuk lahan parkir.
Tinggal sendang kecil di samping musala. "Sendang ini asli. Sejak dulu sudah ada," kata Iriyanto yang asli Kepanjen, Malang.
Saya kemudian minta sang juru kunci ini membuka pintu makam Nyai Rondo Kuning. Wow... ada sumur di sampingnya. Airnya ya dari sendang tua sejak zaman Majapahit. Sering diambil pengunjung untuk berbagai keperluan. Konon bisa menyembuhkan penyakit dsb.
Seperti umumnya petilasan-petilasan lain di Jawa Timur, makam Nyai Ratu Rondo Kuning ini dibuat layaknya makam muslim. ''Apakah bangsawan Majapahit itu beragama Islam? Jangan-jangan jenazahnya dikremasi layaknya umat Hindu?" tanya saya dalam hati.
Pak Yanto, mengutip cerita yang beredar dari mulut ke mulut, menyebutkan bahwa dulu Presiden Sukarno pernah mampir ke sini. Tentu saja situsnya belum sebagus sekarang. "Tahun 60an kan Presiden Sukarno meresmikan Bandara Juanda. Mungkin beliau sempat mampir," kata Yanto.
Belakangan ada penambahan dua makam baru. Yakni makam Nyi Anggraeni dan Eyan Aria Dwipa. Siapa gerangan keduanya? "Mbah Said yang paham. Beliau tinggal di dekat Lapangan Albatros Juanda," ujar Yanto.
Meskipun belum tercatat Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Trowulan, Mojokerto, menurut saya, situs di Pulungan ini jauh lebih terawat ketimbang situs-situs lain di Sidoarjo. Pengunjungnya tidak sebanyak di Candi Pari atau Candi Tawangalun. "Tapi ada saja yang mampir," kata Yanto.
Biasanya paling ramai pada malam Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon. Para penghayat kepercayaan atau aliran kebatinan biasanya datang untuk bersemadi. Mungkin juga untuk ngalap berkah.
"Ayem rasanya tinggal di sini. Ada saja rezeki dari Yang Mahakuasa," kata Iriyanto.
Rahayu!
Rahayu!
Rahayu!